Tuesday, September 25, 2012

Rekayasa Sejarah part 2 : Bang Komar Datang!!!




Suatu hari, disaat terjadinya “masa genting” di Negara kita… di Istana Negara berkumpul para pembesar negeri ini termasuk para pembesar yang berada di luar struktur pemerintah.
Keadaan betul-betul kritis yang mana kalau tidak cepat diantisipasi bakal mengalami kehancuran sekaligus mengorbankan ratusan juta rakyat! Telah berpuluh-puluh pakar dan politikus serta negarawan mengeluarkan pandangannya untuk bisa keluar dari permasalahan ini tetapi semua pendapat tersebut gagal merumuskan suatu solusi. Hampir saja pembesar-pembesar itu putus asa dan menyerah serta pasrah untuk menunggu hari “H” kehancuran tersebut. Untung seorang tokoh tersentak dan langsung berdiri :
“tidak ada jalan lain, kita harus panggil beliau!”, teriaknya.
“siapa?”, Tanya Panglima ABRI.
“Bang Komar…!”.
“Ya, hanya Bang Komar yang bisa!”, sahut yang lain.
Dua jam kemudian BK tiba di Istana Negara setelah dijemput dengan Pesawat Khusus ke kediamannya di pedalaman.
Wajah-wajah tegang menyambut kedatangan BK. Suasana hening, yang terdengar hanya detak sepatu dan langkah BK. Semua pandangan mata mengiringi langkah BK sampai ke tempat duduk yang telah disediakan. Dengan mulut terkunci rapat dan wajah yang dingin, BK menaroh pantatnya di kursi empuk sambil menanggalkan jubahnya.
“Selamat dating kami ucapkan pada Bang Komar, dan kita langsung ke pokok permasalahan!”, ucap Presiden.
Selanjutnya terjadi dialog sebagaimana berikut.
Presiden:              
Begini, Bang Komar kan tahu bagaimana keadaan Negara kita saat ini, jadi kami mohon petuah agar Negara dan rakyat dapat diselamatkan.
BK:                        
Hm, sebentar… rokok saya habis, tanpa merokok dan kopi saya tidak bisa berpikir, jadi…
Presiden:              
Tolong saudara ajudan, belikan sigaret dua bungkus (Presdien memotong pembicaraan BK)
BK:                        
Oke, sebelum rokok dating, silakan masing-masing menyampaikan permasalahan.
Menko Polkam:    
Dari segi politik dan keamanan saat ini kami kesulitan untuk mengkoordinir karena hamper disetiap daerah ada gejolak dan gejala ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan ini.
Menlu:                  
Pandangan dunia internasional terhadap Negara kita betul-betul membuat kita tersudut karena system pemerintahan kita dianggap tidak elok.
Menko Ekuin:       
Perekonomian kita maburadul karena korupsi, monopoli dan kolusi merajalela serta rupiah anjlok sampai level Rp.25.000 per 1 US dollar.
(pembicaraan terhenti karena Ajudan Presiden memasuki ruangan dengan membawa rokok dan langsung menyerahkannya pada BK, setelah BK membakar rokonya dan menghembuskan asapnya ke udara pembicaraan dilanjutkan)
Ketua Komnas HAM:        
Hak azasi manusia pada rakyat kita benar-benar nggak terlindungi oleh undang-undang.
Men Agama          :          
Kerukunan antar agama mulai panas karena banyaknya dakwah yang menyimpang.
Men Kehakiman:  
Hukum sudah nggak ada artinya lagi, sekarang yang berlaku adalah hukum rimba.
Stop! Cukup, itu permasalahan dari pemegang kekuasaan, sekarang silakan dari pojok lain! Bang komar memberi kesempatan pada tokoh diluar strutur pemerintahan.
Ali Sadikin II:        
Orang-orang di luar pemerintahan tidak dibenarkan mengkritik.
Hariman Siregar II            : 
Mahasiswa dikungkung untuk semata bergelut dengan buku di kampus.
Mukhtar Pakpahan II:      
Buruh-buruh dipekerjakan lebih dari jam kerja hewan, dan upahnya jauh di bawah standar kebutuhan pisik minimum.
Megawati II:          Partai politik dibuat kacau ole hokum pemerintah.
Iwan Fals II:           Seniman dibatasi untuk berkarya.
Emha Ainum Nadjib II:      Budayawan tidak dibolehkan memberikan ceramah.
Tokoh Masyarakat Daerah:
Kepala Daerah kami selalu dikirim dari pusat, kami percuma mengajukan balon Bupati, Walikotamadya dan Gubernur.
Khaak! Tiba-tiba Bang Komar batuk dan mengejutkan seisi ruangan, pembicaraan kembali terhenti dan semua perhatian kembali tertuju pada Bang Komar. Setelah meneguk kopi Bang Komar menatap dengan mata nanar satu persatu manusia yang ada dirungan itu dan baru berhenti pada wajah Presiden. “Anda sendiri bagaimana?” begitu yang terbaca oleh Presiden ketika bertatapan dengan Bang Komar.
Presiden:              
Saya merasakan adanya suatu desakan agar saya turun dari kursi kepresiden. Padahal saya telah berbuat secara konstitusional dan tidak menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945, saya baru menyadari keadaan ini belakangan karena sebelumnya laporan yang saya terima selalu “tidak ada masalah” bahkan panglima pun bilang keadaan aman terkendali.
Bang Komar:        
Baiklah, itu permasalahan yang saudara-saudara sampaikan, saya sendiri biar tinggal di pedalaman juga mengikuti perkembangan negeri ini, semenjak saya lahir sampai tadi siang saat dijemput.
Sepertinya memang sudah kronis, koma dan akut situasi yang dialami Negara sekarang tetapi bukan berarti tidak ada jalan keluar. Karena saya dating dimintai petuah, sebagai masyarakat sebagai warga Negara yang berhak dan berkewajiban membela Negara dan Calon Raja ke-5 saya akan mengeluarkan petuah saya.
Saat ini yang menyebabkan keadaan sampai begini adalah saudara-saudara sendiri semua, kecuali saya. Kalian telah melupakan sejarah, melupakan tujuan diproklamirkannya kemerdekaan, melupakan dasar Negara dan tidak memakai serta malah menyelewengakan Undang-undang dasar. Kalian terjebak pada kepentingan pribadi kelompok, kepentingan organisasi, kalian terperangkapdalam pertentangan yang berkepanjangan dengan orang-orang yang sama-sama berbendera merah putih.  (Bang Komar berhenti sejenak untuk menikmati rokok dan seteguk kopi….kemudian)
Kalian lebih suka mencari lawan, mecari-cari kesalahan orang lain, mencari keburukan orang lain dan menutup-nutupi kesalahan sendiri. Kalian suka mencari kambing hitam untuk dikorbankan daripada memecahkan masalah.  Siapa sih yang sukan pada keburukan dan kekotoran? Jangankan kekotoran orang lain, kotoran kita sendiri pun membuat kita harus menutup hidung!
Sekarang mari kita benahi semuanya, yang dipemerintahan perbaiki system! Kembali ke Pancasila dan UUD 1945… jalankan itu! Adanya Negara karena adanya rakyat, mengabdi kepada Negara berarti mengabdi kepada rakyat, jangan untuk kepentingan lain. Yang diluar struktur juga begitu, jangan hanya mengungkapkan kesalahan pemerintah tanpa memberikan solusi. Kalian suka menggoyahkan stabilitas nasional, membuat suasana bertambah panas, membikin rakyat kebingungan dengan isu-isu dan rumor-rumor yang tidak jelas. Saya meragukan kekritisan saudara-saudara bukan didasari kecintaan pada bangsa ini tetapi karena tidak dapat jabatan dan karena ingin cari nama!
Kesimpulannya, kita mulai dari kita-kita yang berada di sini sekarang, jalin persatuan dan kesatuan, saling percaya dan saling memberi kesempatan!
Presiden:              
                        Apakah mungkin dalam keadaan mendesak sekarang itu bisa? Bagaimana dengan kepercayaan rakyat yang telah luntur kepada kami?
Bang Komar:         Anda merasa tidak sanggup?
Pangab:                
Bukan begitu Bang Komar, kalau sampai besok pagi keadaan tidak diatasi maka Negara kesatuan akan terpecah menjadi lebih 5 negara!
Bang Komar:        
Kalau begitu nanti malam kita adakan sidang istimewa dan sejak itu saya yang jadi pemimpin Negara ini! Ada yang tidak setuju?

Semua diam!... dan sekian.

Catatan: Tidak ada larangan untuk mengkhayal, Oppie pun menghayal lewat lagunya. Bang Komar tidak mau tanggung-tanggung menghayal… menghayal jadi orang kaya rasanya tanggung, menghayal jadi Bupati juga tanggung! Jadi, inilah hayalan Bang Komar.

Aur Atas, Bukittinggi – Sumatera Barat, 19 Januari 1996
Dari kumpulan tulisan Kamaruddin
dalam Buku : Bang Komar – Prediksi,
Khayalan, Pikiran dan Doa-doa.

Politik Cari Muka


Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 dilihat dari satu sisi  dapat dianggap sebagai kemenangan bagi rakyat. Salah satu bentuk kemenangan itu adalah rakyat lebih merdeka dalam menentukan pemimpin sendiri, mulai dari memilih Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Wakil Rakyat (Anggota DPR/DPRD/DPD). Rakyat tidak lagi memilih kucing dalam karung tetapi dapat  melihat dan memilih sendiri secara langsung wajah dan nama yang mereka suka.
Rakyat dalam memilih pemimpin tentunya yang cocok dengan keinginan dan harapan untuk kebaikan mereka. Pilihan itu tentu saja dipengaruhi “proses” yang terjadi sebelum hari “H” pemilihan, apakah itu karena track record atau janji-janji dan harapan yang disampaikan sosok calon pemimpin tersebut.
Setelah lebih 15 tahun Era Reformasi tersebut berjalan dan dalam setiap pesta politik (Pemilu maupun Pemilukada) rakyat selalu beharap untuk mendapatkan pemimpin yang mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Rakyat masih mau memberikan suaranya untuk mendapatkan seorang pemimpin, agar setelah terpilih pemimpin tersebut akan mempunyai kekuasaan dan akan memperhatikan nasib rakyat serta bekerja demi kemaslahatan rakyat. Paling tidak itu sebagai balas budi kepada rakyat yang telah memilihnya, Itu asumsinya!.
Namun, faktanya sungguh jauh berbeda. Yang terjadi, penguasa daerah (Kepala Daerah dan wakil kepadadaerah) hanya sibuk bekerja demi kepentingannya sendiri, kepentingan kelompoknya dan membalas budi hanya kepda pihak-pihak yang mendanainya dalam memenangkan Pemilukada.
Bahkan belum beberapa tahun menduduki Kursi Kepala Daerah, mereka telah dirasuki nafsu kekuasaan untuk kembali menjabat pada periode berikutnya. Bukannya fokus membangun daerah dan memberdayakan masyarakatnya tetapi malah sibuk mempersiapkan diri untuk Pemilukada berikutnya.
Ciri-ciri atau tanda-tanda para Kepala Daerah yang bernafsu mengejar kekuasaan 2 periode tersebut secara kasat mata dapat dilihat dari gelagat dan “kelakuan” mereka setelah pertama kali dilantik menjadi Kepala Daerah. Yang paling kasat mata adalah mereka selalu mencari momentum politik pencitraan di mata masyarakat. Rajin menghadiri seremoni-seremoni walaupun hanya acara tingkat Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW), yang penting acara itu juga dihadiri ratusan calon pemilih pada Pemilukada berikutnya. Berkelakuan layaknya “orang baik” santun, ramah dan pemurah kepada rakyat walau pribadi sesungguhnya tidak paralel dengan itu, bahkan bertolak belakang karena sesungguhnya pribadinya "parabo" angker. Untuk mendukung politik pencitraan tersebut ratusan spanduk atau baliho dipasang disetiap sudut daerah. Padahal spanduk, baliho atau poster-poster itu tidak mempunyai korelasi apapun dengan subtansi peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan rakyat serta pembangunan daerah.
Momentum lain yang sering dimanfaatkan para “pemburu kekuasaan” tersebut adalah bencana atau musibah yang menimpa rakyat. Mareka rela berlumpur-lumpur ria didaerah bencana ditengah sorotan fotografer dan kameramen agar esoknya mendapat tempat  sebagai “news” di media. Inilah yang disebut politik pencitraan atau “Politik Cari Muka” demi popularitas menjelang Pemilukada berikut.
Dalam tataran ini seharusnya masyarakat kita harus lebih kritis melihat publikasi yang hanya berisi puja-puji terhadap sosok tokoh politik dengan membandingkannya terhadap substansi kebutuhan masyarakat. Apakah muka-muka yang sering muncul dimedia massa itu mampu dan telah melakukan pembenahan dan perubahan kearah yang leibih baik. Mudah-mudahan masyarakat lebih cerdas lagi dalam memilih sosok pemimpin yang ikhlas mengabdi untuk kepentingan rakyat.**

Syarat Jadi Camat


Setelah membaca tulisan Rusdi Lubis (mantan Sekdaprov Sumbar) dengan judul “Apakah Camat Masih Diperlukan?” (Haluan halaman 4, Senin 11/4/2011), salah satu kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa saat ini banyak terjadi kesalahan dalam pengangkatan seseorang pada jabatan Camat. Selanjutnya, dari tulisan tersebut kita juga dapat merasakan kegelisahan seorang yang pernah menduduki Jabatan Struktural Tertinggi di Daerah, yang telah malang melintang dalam pemerintahan dan tentunya sangat paham dengan kondisi kecamatan (khususnya di Sumatera Barat) dan peranan apa yang harus dilakukan seorang camat, dan pada akhirnya diekspresikan dengan “Opini” berjudul seperti itu.
Kesimpulan itu ditarik dari tulisan Pamong Senior tersebut yang menyebutkan,” Dalam pada itu pimpinan kecamatan tidak lagi mendasarkan kepada pertimbangan kompetensi atau professional, banyak pimpinan kecamatan diisi dari tenaga-tenaga yang kurang mengetahui tentang teknis penyelenggaraan pemerintahan, ataupun pengalaman kerja tersebut, pengisian jabatan camat disamakan saja dengan pengisian perangkat daerah lainnya”.
Apa yang telah disampaikan Pak Rusdi Lubis secara kasat mata dapat kita lihat di Era Otonomi daerah saat ini, untuk menjadi Camat tidak harus lulusan sekolah camat (APDN/STPDN/IPDN) tetapi lulusan dari perguruan tinggi lainnya juga bisa. Dari berita-berita yang muncul di Koran, ada camat yang berlatar belakang pendidikan Guru, Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum dan latar belakang pendidikan lainnya.
Namun tulisan saya ini bukan untuk menjawab “pertanyaan” beliau melainkan sebuah refleksi yang muncul dari kesimpulan tersebut sehingga memunculkan sebuah pertanyaan, apa saja syarat seseorang untuk bisa diangkat menjadi Camat?
Lebih lanjut, dalam tulisannya Rusdi Lubis menyampaikan bahwa pada waktu yang, lalu untuk menjadi camat ada pertimbangan khusus dari segi latar belakang ilmu/pendidikan/pelatihan serta pengalaman pekerjaannya.
Bukan hanya untuk waktu yang lalu, pada saat ini “pertimbangan khusus” untuk dapat menjadi camat itu juga ada bahkan lebih spesifik dan lebih selektif. Beberapa regulasi yang khusus mengatur Kecamatan dan Camat dapat dipakai untuk dijadikan pertimbangan atau syarat yang harus dipenuhi sebelum mengangkat seseorang jadi Pemimpin Kecamatan. 
Salah satu regulasi yang khusus mengatur  tentang Kecamatan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008. Dalam peraturan ini kekhususan Camat dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya adanya kewajiban untuk mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketenteraman dan ketertiban wilayah kecamatan sebagai perwujudan masyarakat. Disamping itu, dalam penyelenggaraan tugas instansi pemerintahan lainnya di kecamatan (unit-unit pelaksana teknis Dinas Pendidikan, Kesehatan, Pertanian dan lainnya) harus berada dalam koordinasi Camat. Dalam hal ini, fungsi utama camat selain mernberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah.
Mengingat Kecamatan adalah ujung tombak yang langsung bersentuhan dengan masalah-masalah masyarakat, maka pelayanan yang diberikan Camat sangat berpengaruh terhadap citra pelayanan publik di mata masyarakat. Artinya jika pelayanan di tingkat Kecamatan baik, maka secara umum tanggapan masyarakat terhadap pelayanan publik juga baik, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu PP tersebut dalam Pasal 24, 25 dan 26 secara tegas mengatur persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Camat, yaitu menguasai pengetahuan teknis pemerintahan yang dibuktikan dengan ijazah pendidikan diploma/sarjana pemerintahan dan pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun. Jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi dengan alasan keterbatasan sumber daya PNS yang berlatar belakang pendidikan ilmu pemerintahan, maka yang bersangkutan harus telah lulus pendidikan teknis pemerintahan sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 30 tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pendidikan Teknis Pemerintahan Bagi Calon Camat.
Disamping itu juga patut diperhatikan peryaratan lainnya terkait pengangkatan seseorang dalam jabatan struktural yang pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan pembinaan karier Pegawain Negeri Sipil. Dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 Tahun 2002 yang memuat Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, diatur pedoman dalam memproses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Misalnya, untuk diangkat menjadi Pejabat Struktural harus dipenuhi ketentuan-ketentuan mengenai kepangkatan, kualitas dan tingkat pendidikan, prestasi kerja, kemampuan dan karakteristik, sehat jasmani dan rohani. Disamping itu harus diperhatikan faktor senioritas dalam kepangkatan, usia, pendidikan dan pelatihan (diklat) dan  pengalaman jabatan. 
Tetapi dalam kenyataannya regulasi-regulasi yang bertujuan untuk memberikan pedoman kepada pejabat yang berwenang seperti Anggota Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) maupun Bupati/Walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. Apalagi pengangkatan Camat yang dilakukan pasca Pemilukada, banyak diantara camat yang diangkat tidak memenuhi persyaratan sebagaimana telah oleh PP Nomor 19 Tahun 2008, Permendagri Nomor 30 Tahun 2009 serta Keputusan Ka BKN Nomor 13 Tahun 2002. Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya Camat yang tidak memiliki latar belakang pendidikan ilmu pemerintahan bahkan ada yang Cuma berijazah SLTA, belum pernah bertugas di kecamatan bahkan memiliki pangkat lebih rendah dari bawahannya. 
Lebih parahnya, Baperjakat maupun Bupati/Walikota tidak melakukan “pembinaan” dengan tidak memberdayakan potensi aparatur yang ada di Kecamatan seperti PNS yang telah bertugas sebagai Sekretaris Camat (Eselon IIIb) atau  Kepala Seksi (Eselon IVa). Bahkan, tidak memanfaatkan para PNS yang nyata-nyata merupakan alumni Pendidikan Dalam Negeri (APDN/STPDN/IPDN) yang sering disebut sebagai “sekolah Camat”. Disamping itu ada pula Bupati/Walikota yang melakukan mutasi Camat seperti melakukan sebuah revolusi, Camat lulusan sekolah Camat dipindahkan ke jabatan lain yang tidak mempunyai korelasi dengan kompetensi pendidikan atau pengalaman kerjanya. Sebagai penggantinya dilantik Camat baru yang tidak memenuhi kompetensi yang telah diatur.
Hal ini bukan saja menyalahi aturan yang berlaku, tetapi sekaligus menyulitkan tujuan untuk mewujudkan penyelenggara pemerintahan daerah yang profesional karena Camat yang dilantik tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis dibidang pemerintahan.

Lubuk Basung, April 2011