Friday, November 30, 2012

APBD Rahasia Negara?


Sampai saat ini sangat banyak masyarakat kita yang tidak tahu apa-apa mengenai haknya pada penyelenggaraan pemerintahaan. Tidak tahu apa itu Anggaran Pendapatan dan belanja di daerahnya (APBD). Misalnya, banyak urang awak yang tidak paham APBD Propinsi Sumbar,  banyak Rang Agam yang indak tau manau APBD Kabupaten Agam tahun 2012 dan RAPBD 2013 begitu pula masyarakat di daerah lainnya. ABPD seakan menjadi Dokumen Rahasia Negera karena sangat sulit untuk mengaksesnya. Jangankan untuk memiliki dokumennya melihatnyapun sangat sulit.
Begitu pula dengan kinerja Kepala Daerahnya, katakanlah dalam hal Laporan keterangan Penrtanggungjawaban (LKPJ) masyarakat tidak pernah tahu dan tidak terlibat secara langsung kecuali oleh para Wakil Rakyat di DPRD. Masyarakat tidak punya kesempatan untuk menilai apakah LKPJ itu telah jujur atau banyak bohongnya. Padahal LKPJ merupakan Progres report pelaksanaan tugas atau laporan pencapaian kinerja Pemda dalam satu tahun anggaran. Untuk itu seharusnya LKPJ harus diberitahukan masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Dengan adanya peraturan pemerintah (PP) Nomor 3 tahun 2007 tentang laporan penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Daerah dalam hal ini Kepala Daerah wajib menyampaikan kinerjanya kepada masyarakat secara langsung. Seperti dinyatakan Pasal 27 PP Nomor 3 tahun 3007 menyebutkan Kepala Daerah diwajibkan memberikan informasi laporan penyelenggaraan pemerintah daerah (LPDD) kepada masyarakat melalui iklan di media cetak dan elektronik untuk diminta tanggapan dan saran.
Untuk itu keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan harus diberdayakan terutama dalam hal pengambilan keputusan atau kebijakan public supaya pengawasan hak-hak rakyat bisa ditingkatkan. Hal ini sekaligus untuk memperkuat legitimasi politik dari rakyat terhadap pemerintahnya. Secara awam, paling tidak masyarakat bisa mengetahui berapa jumlah APBD dan dari mana asalnya serta untuk apa uang (ABPD) itu, siapa yang membelanjakan, dan bagaimana membelanjakannya. Apa itu LKPJ, apakah seperti Pidato Presiden pada setiap bulan Agustus atau seperti laporan ketua panitia acara karang taruna di kampung-kampung.
Pada tahap lebih kritis masyarakat idealnya sudah mengetahui hakekat dan fungsi anggaran (APBD) yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Seberapa besar anggaran untuk biaya operasional, belanja pegawai (Aparatur Pemda dan Anggota DPRD). Dan seberapa besar untuk biaya pembangunan. Apakah banyak pos-pos anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat atau tidak relevan dengan kondisi rakyat saat ini.
Apakah isi LKPJ Kepala Daerahnya banyak berisi data manipulative, berisi data yang di mark up dan fiktif seta tidak bersih karena korupsi masih merajalela di berbagai SKPD. Semua itu harus diketahui rakyat bahkan harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat karena secara politis Gubernur, Bupati/Walikota dipilih langsung oleh rakyat.
Untuk itu semua keputusan dan kebijakan yang menyangkut publik secara keseluruhan harus melibatkan rakyat dan semua dokumen yang berisi hak dan kepentingan masyarakat harus dipublikasikan secara luas. Bila perlu Dokumen sejenis APBD dan LKPJ itu juga ada pada setiap tempat yang mudah diakses masyarakat seperti di kantor Walinagai dan kantor Lurah


Monday, November 26, 2012

Wanted!, Gubernur dan Isteri Asli Melayu Riau.



Pengantar: Tahun 2003 menjelang Pemilihan Gubernur Riau berkembang isu mengenai “primmodialisme ekstrim” dimana bukan hanya Gubernurnya saja yang harus orang Melayu Asli tetapi Isterinya juga. Menurut beberapa kalangan isu itu muncul/dimunculkan untuk menghambat Saleh Jasit untuk terpilih keduakalinya. Sekarang di Riau juga sedang siap-siap memilih Gubernur… entah apa isu yang berkembang. Berikut catatan BK pada tahun 2003.

“Dicari, anak jati Melayu, ciri-ciri: Lahir di Riau, bapak sama mak kandung orang Melayu, bisa cakap Melayu, punya istri padusi Melayu”, Adanya Rekomendasi Mubes I Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (Mubes I FKPMR) tanggal 27 Maret 2003 yang berbunyi, “Gubernur Riau/Wagubri adalah putra daerah Melayu Riau dan juga mempunyai Istri putri Melayu Riau pula” sungguh suatu langkah mundur dalam demokrasi. Karena jabatan Gubernur/Wagub adalah jabatan politis dan setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam hal tersebut.  Hak untuk memilih dan dipilih adalah Hak Perdata Universal tanpa melihat asal-usulnya,  jenis kelamin, almamater, suku dan lain-lain. Dan biasanya seseorang akan sulit menjadi pemimpin tanpa melalui sistem dan mekanisme demokratis, tanpa bakat dan kemampuan, tanpa memiliki visi dan wawasan, tanpa dukungan dari masyarakat (partai politik) yang memenangkan pemilu.
Kebanggaan terhadap suku memang juga penting untuk memunculkan dan menampakkan karakter. Orang Melayu (Riau) adalah Pemeluk Islam yang taat, memikirkan dunia akhirat, berbudaya penuh sopan santun, bersikap open dan bertelinga tipis/malu akan sindiran. Ketika niat baik Walikota Pekanbaru untuk menutup tempat perjudian digagalkan oleh PTUN, maka Orang Melayu sangat marah! Adalah bukti betapa antipatinya Orang Melayu terhadap kegiatan maksiat.
Atau tentang Orang Minang yang membanggakan adatnya basandi sara’, sara’ basandi kitabullah, yang sangat pandai bergaul sehingga bisa merantau dan hidup membaur dengan suku-suku lain dipenjuru dunia, atau tentang suku-suku lainnya.
Mestinya yang dikedepankan dalam Cagubri 2003-2008 mendatang adalah The Best Chief yang mampu mengangkat harkat dan martabat warga Riau, dan mampu mengatasi 1001 persoalan yang membelit Riau. Mestinya bukan “orang mana-nya” yang dijadikan persoalan penting dalam menentukan Gubernur/Wagub melainkan orang yang mampu mengatasi persoalan yang kita hadapi dari hari ke hari di Riau yang pada ujungnya menyangkut usus atau isi perut rakyat yang kosong.
Propinsi Riau sebagaimana dimuat Harian Riau Pos pada Liputan Khusus Ahad 16/02/03 merupakan Pasar Ekonomi dan Ladang Berburu Rupiah dan merupakan daerah tujuan para investor. Jika didaerah lain ladangnya adalah palawija maka di sini adalah ladang minyak! Baik ladang minyak bumi maupun ladang minyak sawit!. Belasan Triliyun Rupiah uang beredar dan bermacam potensi bisnis lainnya juga diiringi dengan banyak persoalan yang akan menjadi bom waktu yang siap meledak di Riau. Persoalan keamanan, buruh, penyakit masyarakat, judi, narkoba, pelacuran & pekerja seks, pornografi, pencemaran/limbah, bobroknya mental dan disiplin aparat pemerintah, korupsi dan praktek nepotisme, arus pengungsi dari Daerah dan Negara tetangga merupakan tugas tidak enaknya jadi Gubri disamping anggaran dan fasilitas wah yang diberikan.
Bila diurai satu persatu persoalan tersebut nyata sekali dihadapan kita; pertama keamanan, hampir setiap hari kita disuguhi berita mengenai perampasan, penodongan, perampokan, pencopetan, perkosaan, penipuan dan peristiwa kriminal lainnya. Seakan penjahat tidak pernah jera dan tidak habis-habisnya walaupun sudah di-dor dan dipenjara. Kedua masalah narkoba, Riau tidak lagi kawasan perlintasan Narkoba tetapi telah menjadi pasar potensial perdagangan barang haram tersebut. Bukan hanya preman saja yang jadi konsumen tetapi telah merambah para wakil rakyat dan pejabat eksekutif. Ketiga masalah perjudian dan pelacuran; perjudian seperti permainan bola ketangkasan, kupon putih secara kasat mata dapat kita temui di setiap sudut daerah, baik ditengah kota maupun disudut-sudut kampung. Pelacuran; pemberian izin lokalisasi dengan alasan agar tidak berkeliaran di tengah kota adalah alasan yang lucu karena perbuatan tersebut adalah jelas-jelas maksiat dan sangat jauh dari budaya orang melayu. Keempat masalah buruh, banyaknya kawasan industri yang sekaligus menimbulkan masalah yang komplek dan kait-berkait yang pada umumnya disebabkan upah yang berada dibawah kebutuhan hidup minimum. Di Propinsi yang kaya raya UMPnya tidak lebih dari Rp.500 Ribu. Kelima masalah pencemaran lingkungan/limbah; hampir semua perusahaan yang ada merupakan penyumbang limbah yang menghancurkan ekosistim lingkungan sungai dan hutan yang akhirnya menghancurkan ekonomi  masyarakat yang menggantungkan hidup pada lingkungan sungai dan hutan tersebut. Begitu pula dengan masalah penebangan hutan yang menimbulkan masalah asap dimusim panas dan banjir dimusim hujan. Keenam masalah Mental dan disiplin Aparat Pemerintahan; banyak sekali terjadi praktek manipulasi yang mengabaikan sistem kerja aparat yang benar, menerima suap yang dianggap pemberian, meminta fasilitas dengan alasan macam-macam tanpa diiringi kualitas kerja yang baik.
Jadi, memilih Gubri mendatang tidak sekedar Putra Melayu Riau yang beristrikan Putri Melayu Riau melainkan orang yang mampu dan yang siap bersedia untuk bekerja 24 Jam sehari, 7 hari seminggu, 30 hari sebulan, 12 bulan setahun, bahkan 5 tahun dalam masa jabatan 2003-2008. Jangan memilih orang yang menganggap 5 tahun jadi Gubri adalah kesempatan emas dan sangat enak, karena berhak atas anggaran milyaran rupiah yang berisi tunjangan pakaian, kesehatan bahkan setiap berkunjung ke daerah akan disambut bak raja.
Gubri mendatang adalah orang yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyat Riau, aman tanpa takut kecopetan ketika naik oplet dan jalan tidak macet karena aksi demonstrasi buruh atau mahasiswa. Nyaman ketika tidak ada lagi lokasi perjudian atau pelacuran yang indentik dengan narkoba dan kejahatan. Tidak ada lagi perang antara kelompok pemuda bahkan perang antara aparat dengan aparat yang berawal dari tempat perjudian atau dari lokalisasi pelacuran. Tidak ada lagi perang dan ketegangan antar etnis yang bersumber dari ego kebesaran organisasi kesukuan.
Selanjutnya yang tak kalah penting, Gubernur itu harus mampu bersikap seperti sikap Orang Melayu yang mampu mengetengahkan Melayu ditengah-tengah Riau tidak sekedar menjadi orang pinggiran, Gubernur yang tidak hanya sekedar berpakaian Melayu ketika hari jum’at. Gubernur yang mau memperhatikan masyarakat Melayu Riau agar benar-benar menikmati warisan leluhurnya: sumber daya alamnya, minyak bumi dan hasil hutannya. Gubernur yang tidak hanya menghidupkan Melayu dengan corak bangunan kantor, berbalas pantun pada acara-acara seremonial atau hanya sekedar membuat film dokumenter kebudayaan Melayu pada kenyataannya tidak dibudayakan dan dilestarikan.
Karena FKPMR hanya memberikan  rekomendasi hendaknya dapat disikapi dengan arif  bahwa rekomendasi tersebut lahir (mungkin) karena kekawatiran akan munculnya slogan pesimistis Akan Hilang Melayu di Riau. Rekomendasi tersebut sekaligus doa semoga Gubri mendatang memahami betul maksud kalimat sakti “Tak akan Hilang Melayu di Bumi (Riau)” agar tetap sakti dan abadi. Tidak terlalu penting apakah Gubri itu laki-laki atau perempuan, orang Melayu Riau atau bukan, beristeri/bersuami Melayu atau tidak. Harapan dan do’a tersebut tentunya terpulang kepada para pemilih yang menentukan siapa yang berhak menjadi Gubernur/Wagubri nantinya, Amin.

Pekanbaru – Riau, 14 Juni 2003

Dari kumpulan tulisan Kamaruddin
dalam Buku : Bang Komar – Prediksi,
Khayalan, Pikiran dan Doa-doa.

Thursday, November 22, 2012

Wakil Kepala Daerah


Pertarungan antara Josrizal Zain dan Benny Mukhtar untuk merebut posisi Walikota Payakumbuh periode 2007-2012 dan juga sama-sama majunya Fauzi Bahar dan Yusman Kasim sebagai Calon Walikota (Cawako) Padang periode 2008-2013, telah memberikan pelajaran demokrasi yang buruk kepada rakyat. Bagaimana tidak, pasangan yang dulunya basandiang sebagai Walikota dan Wakil Walikota, kini malah batandiang untuk memperebutkan BA 1 di daerah tersebut. Di sisi lain, jarang ditemui ada pasangan yang pernah jadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih, dilantik, disumpah dan menjalankan tugas sampai akhir masa baktinya, pada pemilihan berikutnya kembali berpasangan.
Meskipun jarang ditelusuri pers dan dipublikasikan media massa, konflik Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah merupakan fenomena umum yang terjadi hampir disemua daerah di Indonesia. Bahkan di Jawa Barat perselisihan antara Walikota Cimahi Itoc Tochija dengan Wakil Walikota Dedih Djunaedi (masa bakti 2002-2007) berujung sampai diajukannya gugatan kepengadilan oleh Sang Wakil Walikota. Di Sumatera Barat sudah jadi rahasia umum dan jadi ota di lapau-lapau bahwa banyak pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sapayuang balain hati, masing-masing punya poros politik tersendiri.
Sejarah perselisihan antara Kepala (pemerintahan) dengan Wakilnya dimulai dengan retaknya hubungan Dwi-Tunggal Proklamator Soekarno-Hatta karena perbedaan idealisme. Soekarno mengatakan revolusi belum selesai, Hatta mengatakan selesai dan masanya untuk membangun. Hatta pun mundur dan Bung Karno memerintah tanpa Wakil Presiden sampai kejatuhannya.
Pada zaman Orde Baru, memang tidak pernah terlihat ada perbedaan paham antara Presiden Soeharto dengan para wakilnya (wapres), dari Hamengku Buwono IX hingga Habibie. Tetapi keberadaan Soeharto yang dominan membuat posisi Wapres tidak lebih sebagai simbol demokrasi. Ketika reformasi bergulir kursi Wapres pun dipandang sebagai kompensasi dari tawar-menawar koalisi politik.
Menurut peraturan perundang-undang posisi Wakil Kepala Daerah memang tidak jelas, bahkan dalam konstitusi UUD 1945 tidak ada disebut tentang Wakil Kepala Daerah atau Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota. Yang ada hanya Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai kepala pemerintahan daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota, dipilih secara demokratis (pasal 18 ayat 4, hasil amandemen kedua). Kecuali oleh UU No. 32 tahun 2004 pasal 56 ayat yang menyatakan : Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Selanjutnya oleh Pasal 26 dijelaskan bahwa Wakil Kepala Daerah bertugas membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintah daerah, mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal, menindak lanjuti laporan/temuan hasil pengawasan, memantau dan mengevaluasi tugas dipemerintahan di kecamatan, memberikan saran dan pertimbangan, dan menjalankan tugas kalau Kepala Daerah berhalangan. Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
Lemahnya posisi tersebut membuat banyak Wakil Kepala Daerah tidak merasa cukup puas ketika telah menjabat/menjadi Wagub, Wapub atau Wawako. Hal ini terungkap pada acara Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) para Wakil Kepala Daerah se-Indonesia di Bengkulu pada bulan Juni kemarin, yang menghasilkan rekomendasi agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.
Kepala Daerah sendiri cenderung memperlakukan wakilnya hanya sebagai “pembantu” yang pada gilirannya jadi korban dari kebijakan-kebijakan yang ada pada daerah tersebut. Dari segi wewenang dan alokasi anggaran Wakil Kepala Daerah mendapat porsi yang jauh lebih kecil, untuk urusan-urusan penting wakil sering tidak diikutsertakan bahkan dilimpahkan kepada pejabat Eselonering Sekretaris Daerah atau Kepala Dinas.
Jika timbul masalah, misalnya ada demonstrasi masyarakat atas kebijakan pemerintah baru wakil diberi tugas, ibarat bumper atau dijadikan tameng. Akibat dari hal tersebut muncul opini bahwa wakil tidak mempunyai peran dan kegiatannya tidak teragenda dengan baik sehingga aktifitasnya tidak menentu.
Dimata masyarakat secara de facto Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bukanlah 2 (dua) orang yang berbeda tingkat melainkan satu paket, dwitunggal, sejajar yang mempunyai visi dan misi sama. Pada saat proses Pilkada mereka berdua telah memberikan mahar berupa komitmen akan membangun lebih baik, meningkatkan kesejahteraan, menciptakan pemerataan dan janji manis lainnya.
Untuk itu sebagai perlunasan hutang janji kepada masyarakat diperlukan konsitensi sikap pasangan tersebut sebagaimana ketika sama-sama sehilir semudik pada saat kampanye. Menyamakan persepsi dan orientasi adalah hal mutlak yang harus dilakukan setiap pasangan Kepala Daerah karena secara aturan sulit dirumuskan pembagian tugas masing-masing. Mereka harus sehati sepikir seia sekata, berat sama dipikul rigan sama dijinjing karena keberhasilan maupun kegagalan seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab berdua. Komunikasi yang lancar dan sikap saling mempercayai akan membuat terjadinya keseimbangan dalam pelaksanaan wewenang dan kebijakan, tidak perlu ditampilkan siapa yang lebih berkuasa atau tidak berkuasa. Yang jelas, seorang wakil tetap seorang wakil yang tidak bisa melampaui wewenang Kepala Daerah, begitu juga sebaliknya sejak era reformasi tidak berlaku lagi pradigma Kepala Daerah sebagai penguasa tunggal di wilayahnya.
Meski oleh regulasi yang berlaku saat ini tidak diatur secara tegas dan jelas, posisi Wakil Kepala Daerah sangat vital dalam mengambil kebijakan politis (menyangkut publik) karena pelaksanaan otonomi daerah masih dalam tahap percobaan dimana permasalahannya sangat komplek yang sulit untuk dihandle sendiri oleh Kepala Daerah. Untuk itu wacana agar meniadakan jabatan wakil kepala daerah adalah merupakan langkah keliru dan sama saja degan mengembalikan demokrasi ke zaman seperti orde baru.
Kalau pun harus memperbaiki aturan main, maka sebaiknya seseorang hanya boleh menjabat sebagai Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah untuk dua kali jabatan. Seseorang pernah menjadi wakil jika suatu saat terpilih jadi kepala daerah maka dia hanya boleh untuk satu periode masa bakti. Penjelasannya, seseorang yang pernah menjabat wagub, wabup dan wakil walikota pada hakikatnya telah menjadi (bagian yang terpisahkan dari) kepala daerah karena pada saat Pilkada mereka satu kotak pilihan suara, satu suara pemilih adalah milik berdua.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan
Pada tahun 2007

Tuesday, November 20, 2012

Menyelamatkan Uang Rakyat


Ekperience is the best teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik. Banyak orang setuju akan pepatah Eropa ini karena pengalaman adalah merupakan kisah yang nyata peristiwa yang telah terjadi pada diri kita maupun yang dialami orang lain. Dalam takaran lebih besar Nusantara beserta isinya merupakan bangsa yang sangat kenyang akan pengalaman dalam bidang apapun, ironisnya kita termasuk kedalam yang tidak mau berguru pada pengalaman. Berulang-ulangnya kecelakaan pesawat terbang dan kereta api, déjà vu penembakan rakyat oleh aparat, dan terus-menerusnya praktek korupsi serta makin membludaknya penghuni Lapas Cipinang membuktikan sangat bandelnya bangsa ini.
Dengan alasan kemajuan zaman dan haik teihgnologi (logat Pak Habibie) banyak visioner di negeri ini telah sampai memikirkan hidup di planet lain yang bagi mayoritas rakyat itu hanya fiksi. Tanpa disadari elit pimpinan kita terlalu jauh merantau dan hidup dengan kemewahan menghambur-hamburkan uang meninggalkan rakyat di desa primitif dalam kekurangan sandang dan pangan.
Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Memenuhi tuntutan reformasi kita telah mencurahkan banyak energi untuk mengoperasi tumor korupsi dari perut bumi Indonesia, tidak sedikit peraturan perundang-undang, Institusi, Aparatur dan biaya yang dikeluarkan untuk proyek tersebut, tetapi bukannya sembuh malahan tumor tersebut makin menggerogoti uang rakyat Indonesia. Sejak tahun 1971 kita telah memproduksi tidak kurang 45 buah peraturan perundangan berkait dengan korupsi yaitu 1 Tap MPR, 22  Undang-Undang, 1 Perpu, 6 Peraturan Pemerintah, 1 Kepres, 1 Perda, 1 Permenteri, 7 Keputusan Mahkamah Konstitusi, bisa dibayangkan besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk itu.
Jika ditinjau secara hukum dagang, menghabiskan uang untuk menyelamatkan uang adalah pekerjaan yang sia-sia karena jangankan dapat untung balik modal pun tidak, bukti konkritnya uang yang berhasil diselamatkan Timtas Tipikor tidak seberapa dibandingkan dengan uang yang hilang pada kasus korupsi yang terjadi pada selama masa tugas tim tersebut. Atau jumlah uang dihabiskan dan yang diselamatkan oleh gugus tugas pemberantasan korupsi lainnya tidak membuat jumlah total uang hilang makin berkurang.
Rendahnya pengalaman nilai-nilai religius, pemahaman adat budaya sebagai orang timur yang bermalu dalam arti sebagai orang berpendidikan tinggi (Doktor dan Profesor) membuat praktek korupsi berjalan mulus. Pimpinan yang bergelar pasca sarjana, tokoh adat, baru pulang dari tanah suci, rajin ketempat ibadah ternyata tidak menjamin untuk tidak melakukan korupsi.
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai orang yang paling dipercaya rakyat pun telah pernah mencoba meracik dan memasarkan resep anti korupsi yaitu Inpres nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Intruksi Presiden tersebut ibarat obat yang harus dimakan atau ditelan bulat-bulat oleh para elit pimpinan Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Bupati dan Walikota agar virus korupsi tidak lagi menjalar kemana-mana.
Dari 12 macam obat pada resep Presiden tersebut ada salah satu yang jika dimakan setiap elit pemimpin maka korupsi tidak akan mewabah seperti saat ini yaitu sebagaimana tercantum pada poin ketujuh yang intinya pola hidup sederhana dan hemat. Sayangnya, dosis obat resep Presiden terlalu rendah hanya berupa intruksi sehingga hampir 3 tahun berlalu belum juga memberikan kemajuan dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi.


Pemimpin Yang Hemat
Jika kita mau bertanya kepada anak-anak Sekolah Dasar kenapa orang jadi miskin atau bagaimana caranya supaya kaya? Jawabannya pasti seperti yang diajarkan pak guru dan bu guru atau yang tertulis pada dinding sekolah Boros Pangkal Miskin, Hemat Pangkal Kaya. Seharusnya para pemimpin kita menutup muka-merasa malu, karena belum juga mampu memberantas korupsi dan memerangi kemiskinan. Kita terlalu memikirkan hal-hal atau cara-cara yang luar biasa untuk memberantas korupsi padahal korupsi itu sendiri disebabkan oleh hal sederhana yakni pola hidup boros, contohnya dalam membuat anggaran belanja kita bertumpu pada pinjaman, kita tidak mau berbelanja sesuai uang ada di kantong kita.
Para tersangka, terdakwa dan narapidana kasus korupsi yang notabene adalah para pejabat, berpangkat tinggi, orang yang telah kaya membuktikan bahwa pelaku korupsi itu adalah para pemimpin. Kuatnya budaya paternalistik pada bangsa kita membuat perbuatan korupsi terjadi bak air sungai mengalir, jika dihulu orang korupsi maka sampai kehilir orang akan melakukan hal yang sama. Oleh karena itu kita butuh pemimpin (orang yang berada di hulu) sekaliber Khalifah atau Paus yang titahnya dijalankan tanpa reserve, yang omongannya laksana undang-undang dan prilakunya jadi petunjuk pelaksana. Orang yang memiliki kemampuan menghimbau bawahannya untuk bertindak yang baik dan menjauhi perbuatan yang jelek.
Intruksi atau regulasi apapun yang dikeluarkan pemerintah untuk memberantas korupsi akan menjadi mujarab apabila disikapi sebagai sebuah pedoman tingkah laku oleh para aparatur dan diiringi kerelaan bergaya hidup sederhana dan hemat dimulai dari lingkungan Kepala Pemerintah, para Menteri, pimpinan TNI, dan pimpinan lembaga pemerintah lainnya. Melihat milyaran bahkan triliyunan rupiah uang rakyat yang hilang karena perilaku boros (korupsi) sudah sepatutnya para pemimpin untuk memulai hidup sederhana dan hemat, karena hanya dengan cara berhemat kita bisa kaya yang pada gilirannya menghentikan pemborosan yang mengakibatkan jutaan orang rakyat kita menjadi miskin.
Life style para pemimpin mempunyai efek yang kuat terhadap orang yang dipimpinnya, misalnya ketika ia hanya memakai mobil dinas seharga 200 juta rupiah niscaya bawahannya tidak akan berani memakai mobil dinas yang harganya Milyaran Rupiah. Atau membuat daftar belanja (APBN-APBD) tanpa bersumber dari pinjaman yang tidak besar pasak dari tiang, masih dianggarkan tetapi sudah minus alias tekor, lucunya masih juga bisa dikorup.

Tuesday, November 13, 2012

Gamawan Menabur Benih Politik



Hari Jumat kemarin pada saat menyaksikan acara Deklarasi Pasangan SBY Boediono melalui siaran langsung di televisi sebagaian dari kita “urang awak” mungkin merasa suprise ketika Gamawan Fauzi yang notabene Gubernur Sumatera Barat tampil beperan sebagai deklarator. Dan sebagian dari kita secara emosional tentu bangga melihat Gubernur Sumbar dekat dengan Presiden RI atau ada yang menilai Gamawan pintar membaca situasi dan mengambil kesempatan. Bahkan ada yang menilai langkah yang diambil Gamawan tersebut merupakan pilihan yang tepat dan menguntungkan bagi Sumatera Barat.
Tetapi, juga tidak sedikit yang kecewa dan berpendapat seharusnya Gamawan tidak hadir apalagi beberan sebagai pembaca naskah deklarasi, karena sulit untuk menghilangkan sosok Gamawan Fauzi sebagi seorang Pemimpin Ranah Minang walaupun kehadirannya bukan dalam kapasitas sebagai Gubernur atau mewakili seluruh rakyat Sumbar.
Kehadiran Gamawan secara personal bagaimanapun juga dapat menggiring opini publik bahwa masyarakat Sumatera Barat akan mendukung pasangan Capres/Cawapres “SBY Berbudi” pada Pilpres nanti (?). Lain halnya dengan kehadiran Djufri (walikota Bukittinggi) dimana ia juga menjabat sebagai Ketua DPD partai Demokrat Sumbar.
Sebagai gambaran, H. Gamawan Fauzi, SH, MM adalah Gubernur Sumatera Barat periode 2005 s/d 2010 yang bersama wakilnya Prof. H. Marlis Rahman (dikenal dengan Gama)meraih 757.256 suara pemilih (41.50%) pada Pilkada tahun 2005 Pasangan Gama mengalahkan 4 pasangan Cagub dan Cawagub Sumbar lainnya walaupun waktu itu Gama hanya diusung oleh gabungan beberapa Partai Politik diantaranya PDIP dan PBB yang sewaktu Pemilu Legislatif 2004 tidak memperoleh suara yang singnifikan di tingkat Provinsi Sumatera Barat. Dapat disimpulkan kemenangan Pasangan Gama dalam Pemilihan langsung Gubernur Sumbar karena Figur Gamawan Fauzi yang dikenal sebagai sosok Kepala Daerah yang sukses.
Artinya
Gawaman dikenal bukanlah sebagai tokoh politik yang malang melintang sebagai pengurus atau fungsionaris partai politik walaupun telah 3 kali memenangi pertarungan politik (2 kali terpilih sebagai Bupati Solok). Ia lebih dikenal sebagai seorang birokrat ulung atau juga sebagai sorang pamong senior.
Terlepas dari diajak atau sengaja merapat ke SBY dan tidak diajak oleh pasangan lainnya. Bagaimanapun juga kehadiran Gamawan dan berperan sebagai juru bicara koalisi pendukung ataupun Pasangan SBY-Boediono bisa dikatakan bahwa ia telah “menabur benih politik” yang konsekuensinya bisa saja sebuah blunder politik karena tideak bersikap netral terhadap pasangan Capres-Cawapres lainnya. Dalam politik semua kemungkingan bisa terjadi dan sampai saat ini tidak ada yang bisa menjamin pasangan mana yang akan memenangi Pilpres nanti. Kalau yang menang SBY-Boediono tentu saja Gamawan akan menuai hasil dari benih politik yang ia tanam, mungkin saja jabatan sebagai Gubernur akan berganti menjadi Mentgeri atau jabatan prestisius lainnya di Jakarta.
Bagaimana jika SBY-Boediono kalah dan yang menang JK-Wiranto atau Mega-Prabowo? Kita tidak bisa bayangkan sindiran politik yang keluar dari Jusuf Kalla “Rang Sumando Awak” atau dari Megawati yang suaminya juga mempunyai sisilah keturunan dengan Ranah Minang. Rasanya tidak tepat kalau pilihan Gamwan dilakukan demi masyarkat Minangkabau dan Sumatera Barat karena jika dilihat dari ranji atau sissilah SBY-Boediono tidak ada sangkut pautnya dengan Ranah Minang.
Dan kalau motivasinya jabatan Menteri, tanpa menghadiri dan berperan nyata pada acara tesebut pun akan didapatkan oleh Gamawan Fauzi karena secara kualitas Gamawan memang layak naik kelas. Lagi pula Azwar Anas maupun Hasan Basri Durin telah membuktikan bahwa biasanya setelah jadi Gubernur Smatera Barat karir akan berlanjut menjadi Menteri. Benih Poltik bisa menghasilkan karir yang cepat melejit dan sebaiknya juga membuat karir merosot tajam, siapkah Gamawan akan hal itu?

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan
edisi Senin tanggal 18 Mei 2009, Hal 3

Monday, November 12, 2012

Bergudul


Keras Kepala! itulah gambaran sikap Pemerintah dan orang orang di daerah. Banyaknya konflik yang terjadi ketika Pemilihan Kepala Daerah belakangan ini ternyata cukup mengusik nurani BK untuk terus menulis, apalagi BK juga dengar banyak sekali keluhan mengenai Korupsi yang kian merajalela. BK mencoba menulis untuk menbantu anda-anda melihat Otonomi di Zaman Orde Baru dengan otonomi di Zaman Reformasi (Otoda Kabupaten/Kota) dari visi BK.
Perbedaan-perbedaan yang sangat menonjol antara Doeloe dengan sekarang (BK sengaja menyeut demikian karena tidak tahu persis nomor dan tahun UU) adalah :
Doeloe yang disebut Pemerintah Daerah (Pemda) adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sedangkan Sekarang adalah hanya Kepala Daera.
Doeleo yang bertanggungjawab atas berhasil tidaknya pembangunan adalah Kepala Daerah dan juga DPRD, sedangkan sekarang tanggungjawab itu hanya pada Bupati/Walikota yang dinilai oleh DPRD.
Doeleo tidak ada Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) tahunan Bupati/Wako
Doeloe secara hirarki Bupati/Walikota adalah Bawahan dari Gubernur sehingga kebijaksanaan dari atas bisa cepat sampai dan dilaksanakan Bupati/Walikota, sekarang Bupati/Walko lebih berkuasa daripada Gubernur karena Gubernur tidak mempunyai wilayah sedangkan Bupati/Walko punya.
Doeleo Bupati/Walko “sesungguhnya” dipilih oleh Pemerintah Pusat sedangkan sekarang sepenuhnya ditentukan oleh DPRD.
Dari Perbedaan-perbedaan tersebut maka akan muncul-muncul persoalan seperti saat ini :
Anggota DRPD tidak mempunyai tanggungjawab secara moral karena secara formal tidak ada aturan yang mewajibkan mereka memberikan laporan pertanggungjawaban.
LPJ dan Pemilihan Bupati/Walko membuka kesempatan/peluang terjadinya Suap Menyuap.
Menjelang penyampaian LPJ Bupati/Wako akan muncul komentar-komentar dari Anggota DPRD yang umumnya mengindikasikan akan adanya penolakan LPJ, padahal hal tersebut merupakan pancingan agar Bupati/Wako “mendekati” mereka dan memberikan sesuatu supaya LPJ mulus diterima.
Kuatnya Posisi DPRD membuat mereka bisa “menyedot APBD” untuk kepentingan DPRD, bahkan prosentasenya sangat signifikan dari Anggaran untuk kepentingan yang lebih penting.
Gubernur kehilangan fungsi untuk mengontrol jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.
Bupati/Wako bisa dengan seenaknya melakukan “sesuatu” apakah itu bepergian tanpa izin dari Gubernur.
Munculnya Perda-perda yang bersemangat primodialisme/kedaerahan sehingga membuat daerah menjadi Negara dalam Negara.
Keadaan-keadaan atau permasalahan doeloe:
Pemilihan Bupati/Wako selalu “ditentukan” oleh Pemerintah Pusat sehingga cenderung Bupati/Wako “didatangkan/dititipkan” oleh Pusat dan cenderung adalah orang-orang yang tidak dikenal oleh Masyarakat di Daerah.
Tidak ada keseimbangan antara dana hasil daerah yang “disetor” ke pusat dengan dana yang “dikembalikan” ke Daerah.
Daerah selalu merasa dieksplokitisir oleh Pemerintah Pusat.
Dari sekian banyak permasalahan yang timbul, BK melihat masalah terbesar adalah Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dan Rakyat di Daerah (Anggota DPRD) tidak mau lagi mengikuti “petunjuk” ataupun “saran” yang diberikan oleh Pemerintah Pusat baik melalui Produk Undang-undang maupun dalam bentuk lain. Mereka menganggap setiap Petunjuk dan Saran tersebut adalah taktik Pemerintah Pusat untuk mengebiri Daerah Otonom.
Tetapi yang lucunya, jika terjadi perselisihan dalam Pemilihan Kepala Daerah maka mereka  mengatakan akan menyerahkan persoalan kepada Pemerintah Pusat (Depdagri), dan ketika Mendagri mengambil suatu “Kebijaksanaan” maka kebijaksanaan tersebut tidak mereka laksanakan. Padahal ketika akan meminta petunjuk mereka telah sepakat untuk menerima dan melaksanakan kebijaksanaan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat seberapapun pahitnya.
Otonomi ternyata membuat Pemda dan DPRD menjadi Besar Kepala dan akhirnya berubah menjadi Bergudul. Keleluasaan mengelola daerah beserta uangnya membuat para Kepala Daerah dan Anggota DPRD menjadi konglomerat ditengah-tengah penderitaan rakyatnya, bahkan Gubernurpun dibuat iri dan jengkel. Bupati/Wako atau DPRD bisa kapan saja untuk berpergian kemana saja tanpa pamit kepada Gubernur. Alasan Bupati/Wako… tidak ada aturan yang mengharuskan kami minta izin dan Gubernur bukan atasan kami.
BK juga melihat bahwa banyak persepsi yang salah mengenai Otonomi, mereka menganggap bahwa tanggung jawab mereka semata hanya mengurusi daerahnya tak peduli dengan daerah lain bahkan tidak peduli dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat kedaerahan telah menjadi pemicu timbulnya Negara dalam Negara, mereka mengurus keuangan sesuka hatinya, membuat aturan tanpa mempedulikan peraturan, mendudukkan pejabat tanpa pertimbangan profesionalisme, sangat banyak kesalahan yang terjadi.
Walaupun begitu bukan tidak ada cara untuk membenahinya, dan yang pertama sekali haruslah dari Kepala Derah itu sendiri karena dia merupakan “Raja” di daerahnya. Dibutuhkan seorang Raja yang sabar, jujur dan bersih. Sabar dalam mempersiapkan rencana pembangunan yang matang, tidak terburu-buru sehingga tidak menimbulkan dampak buruk dari kebijaksanaan yang diambilnya. Jujur, bersikap terus terang mengenai kondisi manajemen dan keuangan daerah, dan bersih dalam menjalankan tugas,tidak mau menerima pemberian/imbalan apapun dalam bentuk uang, fasilitas ataupun dalam bentuk lain kecuali hak yang telah diatur oleh peraturan. Sikap-sikap tersebut sangat diperlukan agar Pemda bisa menegakkan aturan hukum tanpa konpromi. Jangan hanya karena sering diberikan angpao atau Tiket Pesawat dan Fasilitas Akomodasi oleh seseorang atau suatu Perusahaan, orang atau perusahaan tersebut tidak ditindak walau telah jelas-jelas melanggar peraturan.
Untuk memulai sesuatu hal diperlukan komitmen dan dalam pelaksanaannya diperlukan sikap yang konsisten. Memang selalu kita dengar Komitmen dari Bupati/Wako atau pejabat-pejabat yang baru dilantik untuk memberantas Korupsi, tetapi setelah menjabat mereka tak pernah lagi menyebut-nyebut komitmen tersebut karena mereka memang tidak melaksanakannya.
Dan mereka malah cenderung mengaburkan penafsiran korupsi tersebut dengan jumlah, mereka selalu menyebutkan “hanya” untuk angka-angka yang tidak sampai puluhan milyar rupiah. Padahal walaupun itu hanya Rp. 100.000,- tetap saja korupsi namanya jika diperoleh dengan tidak benar. Dan mereka karena alasan gaji yang kecil atau dana operasional yang terbatas menyatakan “terpaksa” meminta dana kepada pihak lain yang seharusnya tidak boleh. Karena alasan-alasan tersebut maka praktek-praktek korupsi menjadi terang-terangan dan pada gilirannya mental korup tersebut menjadi sesuatu yang lumrah.
Saat ini kita seakan sudah terbisa melihat seseorang yang berubah drastis mendadak kaya setelah menduduki jabatan tertentu padahal kita tahu Gajinya berapa. Dan begitu juga mereka yang korup, mereka seakan tak bersalah dan lebih parahnya merasa tak berdosa telah “mendadak jadi kaya” karena dalam fikirannya tertanam… ah semua pejabat begitu.
Dan mungkin suatu saat nanti orang tidak lagi menganggap sakral kata “K-O-R-U-P-S-I” karena sudah menjadi kebiasaan dan lumrah dilakukan semua orang. Kalau suatu lingkungan sudah menganggap hal tersebut tidak terlarang maka yang sesungguhnya salah pun menjadi benar. Apalagi pembenaran kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai jabatan. Kita tentu masih ingat ketika para tokoh dan orang pintar di Jakarta yang tidak suka Megawati jadi Presiden mengeluarkan Fatwa “Haram Perempuan Jadi Pemimpin” tetapi kemudian ketika Megawati mau tidak mau harus jadi Presiden juga, maka mereka bersedia dikangkangi Perempuan asal dapat jabatan.
Akhirnya BK mengajak kita semua untuk terus berjuang untuk menegakkan kebenaran, kebenaran yang menurut hati kita tidak bisa diingkari. Semoga.

Sunday, November 11, 2012

Inspeksi Mendadak Sang Bupati

“Penegakan disiplin di daerah ini diyakini dalam waktu dekat akan makan korban”, demikian judul berita si sebuah harian loka beberapa waktu lalu. Ketika melakukan Inspeksi Mendadak (Sidak) pascalibur bersama kemarin, Sang Bupati mengeluarkan warning, “Saya tidak main-main, siapa yang mampu akan diserahi tugas dan tanggungjawab. Yang tidak mampu silahkan minggir atau dipinggirkan!”.  Nada berang Bupati Agam itu keluar karena ketika melakukan sidak ada pejabat struktural (Kepala Dinas, Kabid, dll) yang tidak berada di kantornya tanpa alasan.
Masalah kedisiplinan terutama kehadiran PNS merupakan persolanan klasik sejak zaman orde baru dan hingga kini masih sangat sulit diatasi, sorotan tajam masyarakat mengenai persolanan kinerja PNS yang tidak efektif dan tidak efisien. Indikator yang dijadikan tolok ukur adalah tingkat kedisiplinan serta produktivitas kerja PNS, bukan hanya pada level staf atau bawahan, para pejabat bereselon rendah hingga level Kepala Dinas (Eselon II) pun banyak yang sering tidak ngantor. Istilah yang berlaku” bawahan malas masuk kantor, atasan sering dinas luar”
Kalau Pak Bupati mau mensidak lebih jauh sangat banyak pegawai yang kehadirannya lebih sedikit dibanding ketidakhadirannya di kantor. Hal itu bisa diketahui atau dibuktikan dari keramaian kantor-kantor Pemda pada tanggal 1-5, semua kantor penuh karena pegawai hadir, tetapi ketika memasuki tanggal 10 kantor mulai sepi, apalagi tanggal 20 keatas, lengang seperti habis dihoyak gampo.
Ada pegawai yang hilang-hilang timbul, bulan mudo (gajian) mancogok di kantua, bulan tuo manghilang dan muncul lagi ketika tanggal muda bulan berikutnya. Ada pula pegawai yang “rajin secara formal” setiap pagi ikut apel dan mengisi daftar hadir tetapi sesudah itu menghilang entah kemana. Perangai seperti ini biasanya dilakukan oleh pengawai staf atau yang tidak mempunyai jabatan, dan ketika ditanya umumnya jawaban yang diberikan “gaji tidak mencukupi jadi terpaksa cari tambahan di luar kantor”
Lain staf lain pula perangai atasan walau alasannya sama “cari tambahan penghasilan”. Para atasan tidak berada di kantor pada umumnya adalah karena alasan “DL” atau dinas luar. Dengan alasan yang cenderung dibuat-buat pada informasi staf sangat banyak kepala SKPD (satuan Kerja Perangkat Daerah) yagn melakukan pekerjaan dinas luar daerah. Padahal urusan yang di handle tersebut bisa ditangani oleh bawahannya.
Pada prinsip kerja efektif dan efisien, kepala SKPD yang sering dinas luar apalagi ke luar propinsi jelas merugikan daerah karena biaya yang dihabiskan sangat besar dan urusan prisnip yang mesti diselesaikan jadi tertunda. Secara psikologi kalau atasan banyak raun-raun maka anak buah akan banyak malala.
Dalam menegakkan  aturan kedisiplinan pegawai, setiap daerah otonom telah mempunyai “institusi” yaitu dinas/badan/kantor/bagian kepegawaian yang mempunyai otoritas untuk menegakkan regulasi kepegawaian dan juga ada Inspektorat yang bisa bertindak sebagai “Kejaksaan” nya Pemda. Jika kedua lembaga tersebut bisa dimaksimalkan fungsinya maka persoalan disiplin PNS tidak perlu merepotkan Kepala Daerah untuk melakukan sidak sana sidak sini. Lagi pula seperti kata Bupati juga “karajo lah babagi, tangunggjawab lah diagiah”
Bagi masyarakat di era reformasi ini berita “Bupati sidak dan marah-marah” akan menjadi berita biasa tanpa diiringi berita lebih lanjut misalnya “Dua Pejabat Dicopot jabatannya dan lima staf diturunkan pangkatnya karena indisipliner”. Berita seperti ini akan lebih menarik bahkan ke depan masyarakat berharap dan menunggu berita yang mengabarkan Bupati melakukan sidak ke kantor-kantor yang melakukan fungsi pelayanan karena disana rentan terjadi praktek-praktek pungutan liar. Semoga!.

Saturday, November 10, 2012

Ghaitsa Tiara Dintty

Anakku yang kedua, lahir di Lubuk Basung pada tanggal 26 Juni 2003


Korupsi dan Transparansi APBD

Korupsi ibarat penyakit turun termurun yang sangat sukar untuk bisa diobati dari jaman jahiliyah sampai dunia terang benderang saat ini, Penyakit turun temurun ini tidak mengenal Suku, Agama Golongan dan Ras. Semua orang berpotensi dihinggapi virus penyakit sangat berbahaya ini, jadi jangan heran jika setiap hari ada saja kasus korupsi yang terungkap dan diekspos oleh Koran maupun Televisi. Anehnya di Negara kita ini sangat sulit untuk membuktikan korupsi dan menghukum pelakunya maupun yang jelas lebih sulit lagi untuk membuktikan tidak ada korupsi.
Ironis memang, dahulu kasus-kasus korupsi hanya terjadi pada orang-orang besar di Jakarta, kini hampir di setiap Kabupaten/Kota dari Sabang sampai Metauke dari Lurah sampai Gubernur, dan Legislatif sampai Eksekutif. Lebih tragisnya, dulu perbuatan korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kini dilakukan secara terbuka, terencana dan sistematis seperti penyalahgunaan Anggaran Pendapan dan Belanja Daerah (APBD).
Sejak berlakunya era Otonomi membuat Pejabat di Daerah dan para senator (Anggota DPRD) memiliki otoritas merancang, menyusun, mensyahkan dan memakai APBD sesukannya, tetapi oleh otoritas pembuat APBD kesempatan tersebut ternyata dimanfaatkan untuk menangguk ikan di air jernih. Kepala Daerah (Bupati /Walikota/Gubernur) bersama-sama DPRD memproduksi peraturan perundang-undangan dalam bentuk Perturan Daerah (Perda) atau Keputusan Kepala Daerah beserta stafnya dalam bentuk kunjungan daerah, dana taktis, perjalanan dinas dan pos anggaran lain yang sebenarnya tidak perlu. Sangat banyak mata anggaran yang dibuat tanpa mempedulikan kondisi kemiskinan dan kebodohan masyarakat di daerah tersebut.
Salah satu penyebab lancarnya praktek penggerogotan uang rakyat tersebut adalah karena tidak adanya keterbukaan dalam proses penyusunan APBD Masyarakat tidak pernah tau bagaimana APBD itu direncanakan, dibuat, apa isinya, berapa alokasi anggaran ( pembangunan) untuk masyarakat, atau untuk apa saja uang rakyat itu dianggarkan.
APBD yang sudah di-perdakan dan diundangkan pada Lembaran Daerah sangat sulit untuk diakses oleh masyarakat. Bahkan kalangan pers sendiri menemui kesulitan untuk mengakses Dokumen APBD secara mudah dan sederhana. Dokumen APBD dianggap sebagai dokumen rahasia Negara sehingga tidak sembarangan orang bisa melihat dan membaca isinya. Kaupun ada publikasi pada masyarakat itu terbatas hanya pada iklan pengaqaan barang dan jasa, atau dalam bentuk pengumuman lelang proyek-proyek pisik. Sementara bahwa ada penggunaan uang rakyat untuk pembelian Koran, pena dan Pakaian Pegawai atau biaya jalan-jalan Anggota Senator Masyarakat Banyak tidak tahu. Tidak adanya keterbukaan terhadap proses pembuatan hingga pengesahan menjadi dokumen APBD membuat masyarakat tidak bisa melakukan kontrol terhadap penggunaan uang rakyat.

Pentingnya Transparansi
Salah satu penyebab tumbangnya rezim otoriter orde baru sembilan tahun lalu adalah merebaknya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), untuk itu berbagai upaya dilakukan dalam memberantas KKN termasuk dengan lahirnya ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Transparansi merupakan salah stau prinsip penyelenggaraan pemerintah yang baik dan besih, menurut Penjelasan Pasal 3 angka 4 UU 28/1999, Azas Keterbukaan diartikan bahwa “Azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskrimitatif tentang penyelenggaraan Negera dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap hak azasi pribadi, golongan dan rahasia Negara. Transparansi APBD adalah jaminan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan proteksi secara dini terhadap terjadinya kasus tindak pidana korupsi makna transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu : (1) salah satu wujud petanggungjawaban pemerintah kepada rakyat, dan (2) upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintah yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme.
Dengan adanya prinsip transparansi maka masyarakat dapat mengetahui sejauh mana upaya yang telah dilakukan pemerintah (daerah) dalam melakukan pembangunan di daerahnya. Masyarakat dapat mengetahui secara rinci penggunaan uang rakyat, kebijakan-kebijakan apa yang telah dilaksanakan Kepala Daerah (yang kemaren mereka pilih langsung) dalam memenuhi janji pada saat kampanye Pilkada. Atau sejauh mana peranan Anggota DPRD dalam memperjuangkan Aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Apakah APBD tersebut benar-benar berpihak kepada masyarakat (daerah) atau hanya untuk kepentingan Anggota DPRD dan Kepala Daerah beserta stafnya. Transparansi APBD dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintah daerah sangat perlu jadi perhatian karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara proposional.
Keterlibatan masyarakat sejak awal proses pembahasan, pengesahan, pemakaian hingga pertanggung jawaban APBD juga akan mengoptimalkan publik kontrol dan sosial kontrol terhadap penggunaan uang rakyat. Hal ini disamping untuk mewujudkan transparansi, partisipasi masyarakat juga akan sangat membantu Pemerintah Daerah dan DPRD dalam melahirkan APBD yang menampung aspirasi, memihak masyarakat dan accountable.
Transparansi harus dilakukan dalam pemberian informasi dan menerima masukan dari publik bukan sekedar ditampung, dicatat lalu disimpan. Keterbukaan atas kekurangan dan kelemahan penyelenggaraan pemerintahan juga harus disampaikan kepada publik tanpa harus berkelit dengan alasan ini rahasia. Dengan akses yang terbuka, mudah dan tidak berbelit terhadap APBD partisipasi masyarakat dalam menentukan dan mengawasi kebijakan yang menyangkut publik dapat terlaksana, upaya penegakan hukum akan mendapat dukungan luas dan hal itu sekaligus akan memberikan legitimasi yang kuat terhadap otoritas di daerah. Jika sudah demikian maka orang-orang yang terjangkit virus koruptor akan kesulitan melakukan aksinya. Semoga!