Friday, May 31, 2013

Bersainglah Secara Sehat!



Fenomena dalam ajang pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung semenjak era reformasi adalah ditandai oleh persaingan incumbent antara Kepala Daerah dengan Wakil kepala Daerah. Pada tingkat lebih tinggi aroma persaingan sejenis pun bisa kita saksikan pada hubungan Presiden SBY dengan Wakil Presiden JK menjelang Pemilu 2009 yang lalu.
Posisi sebagai Gubernur, Bupati/Walikota di era otonomi daerah yang mempunyai kekuasaan yang kuat, banyak uang dan fasilitas lebih lainnya serta bisa dikatakan sebagai raja di daerah tersebut telah menyebabkan hati nurani dan mata hati tertutup. Tanpa segan dan sungkan banyak bawahan melawan atasan, yang kemarin berposisi sebagai Wakil Kepala Daerah bertarung melawan Kepala Daerah memperebutkan kursi sebagai penguasa daerah otonomi. Bahkan ada pejabat eselon/struktural (Sekda atau Kepala Dinas) yang kemarin selalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata ya pak!, siap pak!, sekarang bertarung dengan mantan bossnya. Banyak contoh nyata bisa kita lihat berpisahnya Kepala Daerah dengan Wakilnya, serta ikut sertanya Sekda atau Kepala Dinas dalam pencalonan kepala daerah. Menurut hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita kenyataan tersebut sah-sah saja, bahkan merupakan hak seseorang untuk dipilih dan memilih.
Idealnya, karena pada Pilkada yang lalu mereka berpasangan dan terpilih sebagai paket yang tidak terpisahkan serta setelah lima tahun mereka bersama-sama sehilir-semudik  memerintah, harusnya bersama-sama pula pada Pilkada berikutnya. Berhasil atau tidak selama memerintah kemarin adalah tanggung jawab berdua, jika keduanya masih kepingin ya harus tetap berpasangan, paling tidak satu sama lain tidak bersaing.
Karena persaingan seperti itu akan membuat kekacauan politik, masyarakat yang kemarin memilih mereka kali ini akan ikut terpecah, bahkan para Aparatur Pemda (PNS) akan terseret arus untuk ikut politik dukung-mendukung walau regulasi melarangnya. Bahkan setelah usai Pilkada pun akan juga terjadi kekacauan, misalnya dalam melaksanakan aturan kepegawaian karena biasanya akan ada mutasi yang bernuansa politis, ada yang mendadak kariernya melejit atau yang mendadak di-nonjob-kan. Atau pembangunan daerah yang timpang antara daerah penyumbang suara terbanyak dengan daerah lainnya.
Tetapi, karena ini adalah urusan politik yang tidak mengenal etika, sopan santun apalagi segan dan sungkan, maka kita pun hanya bisa berharap siapa pun yang akan keluar sebagai pemenang persaingan ini tidak meninggalkan “luka yang dalam” pada yang kalah. Karena luka politik itu sulit disembuhkan dan bisa berubah jadi dendam, yang akan dibalaskan dengan berbagai cara. Kita semua tentunya ingin persaingan tersebut berlangsung dengan sehat (jujur dan adil) agar tidak berimbas ke konflik horizontal pada masyarakat.

Kita Gagal UN!



Kenaikan peringkat ataupun presentase kelulusan Ujian Nasional (UN) disikapi otoritas pendidik di daerah ini sebagai parameter hasil pendidikan. Banyak sorak sorai, puja-puji dan ucapan selamat ketika melihat daerah atau sekolahnya berada di rangking atas daftar presentase kelulusan.
Oleh para pejajar dan siswa keberhasilam melewati UN disikapi dengan coret-coret seragam dan ramai-ramai raun sabalik. Bagi mereka lulus UN berarti sama dengan Santiang alias pintar, dan selanjutnya mereka akan memperoleh tanda lulus, STTB atau Sertifikat Tanda Tidak Bodoh.
Mengelola pendidikan tidak cukup dianggap sebagai tugas semata tetapi lebih dari itu yakni Responbility, tanggungjawab yang tidak selesai meskipun 100% lulus UN. Apapun lah namanya, Ujian Akhir, EBTANAS, UAN atau UN seharusnya menjadi tolak ukur kemampuan kita menyiapkan generasi muda yang cerdas agar nantinya menjadi urang nan bataratik (professional, religius dan beradat) yang tidak canggung hidup di rantau dan tak gagap ketika teknologi kian canggih.
Tolak ukur, apakah para penyelenggara pendidikan telah menyelengarakan pendidikan dengan benar, guru misalnya apakah terlah benar dalam mendidik mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi pelajar dan siswanya, apakah pemerintah (termasuk Pemda cq Dinas Pendidikan) telah jujur melaksanakan fungsi eksekutif, atau hanya sekedar menghabiskan besarnya uang anggaran pendidikan, pitih abih utang tak lansai!
Menurut penjelasan Pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas, kompetensi kelulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif) pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik). Bagi peserta didik, lulus UN sesungguhnya baru tahap awal larena ujian sesungguhnya adalah ketika telah berada di tengah-tengah masyarakat, apakah ilmu yang didapat di bangku sekolah bisa dikonversi sebagai modal mereka untuk menjadi manusia yang berguna bagi orang tua, Nusa dan Bangsa.
Keberhasilan maupun kegagalan peserta didik dalah cerminan kita, mereka akan mencontoh dan meniru perilaku serta menerima ataupun ilmu yang kita berikan misalnya jika kita biasa mengutip iuran maka kelak mereka akan terbiasa melakukan pungutan, jika guru ber-HP ria ketika sedang mengajar maka merekapun lebih pintar memanfaatkan HP.
Adalah wajar ketika ada diantara mereka yang berprestasi juara kita berebut klaim, o.. dia itu murid saya! Bahkan sudah seharusnya para Pak Kepala Daerah memberikan reward untuk siswa-siswa yang nengantongi nilai tertinggi pada UN kemarin. Dan tentunya ketika mereka berbuat salah, kita pun tidak boleh memalingkan atau menutup muka karena apabila kita kencing berdiri, maka akan kencing sambil berlari.

Pilihlah Yang Boneh!



Mencari calon yang memenuhi peryaratan sesuai Peraturan Perundangan Kepegawaian untuk diangkat menjadi pejabat strukural di Sumatera Barat tentunya tidak lah sulit karena disini adalah gudangnya orang pintar. Dari dulu daerah kita ini telah memproduksi pemimpin ulung berskala nasional dan internasional, bahkan hingga kini urang awak selalu ada di Kabinet Walaupun Presiden telah berganti-ganti. Kita punya banyak stok apalagi jika hanya untuk pejabat eselon II, “sambuah, beserak cando rambai dihampehkan”. Tetapi memilih mana yang patut, pantas dan pas serta cocok dengan Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah harus diakui bagai mencari barang antik. Sangat langka dan sukar untuk mendapatkanya, apalagi yang mau jujur dan ikhlas untuk menyatakan mimpi manis sewaktu Pilkada dulu. Kita juga harus mengakui bahwa daerah kita ini masih kotor, terbukti dengan meratanya kasus korupsi (sampai ke pengadilan) disetiap Kabupaten/Kota. Kita mengalami krisis pemimpin yang mampu mambangkik batang tarandam Minangkabau!
Yang ada hanya para pemimpn SDM alias Selamatkan Diri Masing-masing dari pemeriksaan Bawasda BPK dan aparat Hukum lainnya, atau yang bak ayam diinjak malam tidak tahu mau berbuat apa kamanga den ko lai. Pemilu (Pilkada) yang menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan pemimpin (Presiden dan Kepala Daerah) akhirnya minyak habih samba tak lamak, pitih abih utang tak lansai dan upah tajawek kabau pincang.
Mungkin pemimpin kita itu bersih sebagaima imagenya sewaktu kampanye dulu tetapi sangat sulit dibantah bahwa saat ini di setiap kantor, setiap kita berurusan, setiap akan mendapakan pelayanan kita masih dimintai biaya, banyak birokrat yang berdompet di saku urang.
Momentum mutasi/promosi Pejabat Struktural seharusnya dijadikan Kepala Daerah untuk merealisasikan janji-janji kampanye dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk itu syarat-syarat seperti kualifikasi dan tingkat pendidikan, kompetensi, usia dan pengalaman menjadi syarat vital dalam mengangkat seorang dalam jabatan, selain itu juga harus dipertimbangkan pemahaman dan penguasaan para calon tersebut mengenai pokok-pokok adat dan karateristik urang awak sehingga komunikasi pembanggunan dengan masyarakat bisa berjalan dengan lancar.
Kita sangat memutuhkan para pejabat Penghulu yang bermartabat, menjadi contoh dan tauladan bagi stafnya dan masyarakat, yang mampu menjada diri dan orang-orang yang dipimpinnya dari perbuatan-perbuatan dosa menurut Agama Islam sehingga ia menjadi pemimpin yang berwibawa dan disegani yang kharismatik, pusek jo kumparan ikan. Kita di Sumatera Barat butuh pemimpin yang mempunyai sifat, siddiq, tablig, amanah dan fathanah agar batang tarandam itu bisa dibangkitkan.
Untuk itu kepada otoritas yang berwenang mengangkat seorang pejabat, sebelum mengambil keputusan hendaknya terlebih dahulu diangin dikisai-kisai, diindang ditampi-tampi supaya dadak tabuang atah manyisiah sehingga yang tinggal hanya nan boneh.

Mencari Pejabat Pemalu



Setiap ada rencana Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) merombak kabinetnya, selalu saja membuat banyak pejabat eselonering  harap-harap cemas, dan bagi banyak pihak perombakan, reposisi, reshuffle, mutasi promosi atau apapun namanya merupakan hal yang sangat menarik karena banyak kepentingan menyangkut hal itu, terbukti dengan apresiasi Media Cetak yang meng-ekspos berita mulai dari gonjang-ganjing sampai pelantikan dan komentar para politisi di daerah ini.
Kasak-kusuk setiap berembusnya angin mutasi/promosi mengindikasikan bahwa jabatan struktural telah menjadi jabatan politis dan cenderung terjadi perebutan untuk mendapatkan posisi dari jabatan tersebut banyak yang kalimpasingan dan sport jantung menjelang hari pelantikan dan di sisi lain ada yang lobi sana lobi sini, karena proses mutasi/promosi dilakukan secara sangat rahasia. Surat Keputusan Mutasi biasanya di-print out beberapa jam sebelum pelantikan dan para pejabat yang terkena mutasi/promosi hanya menerima undangan acara pelantikan tanpa tahu persis apa jabatan barunya.
Mutasi/promosi merupakan hak prerogatif seorang Kepala Daerah dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mendapat pertimbangan dari Baperjakat. Oleh ayat (2) Pasal 17 Undang-undang nomor 45 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dinyatakan bahwa Pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku agama, ras atau golongan.
Kecendrungan Kepala Daerah memakai syarat objektif lainnya yang mengandung banyak penafsiran, multi-asumsi membuat terjadinya praktek-praktek korupsi (upeti dan sogokan), kolusi, nepotisme dan kompetisi secara tidak sehat dalam meraih jabatan struktural.
Momentum mutasi/promosi seharusnya dijadikan Kepala Daerah untuk meningkatkan kinerja dan kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan daerah otonom yang lebih baik dari hari kemarin. Untuk itu Kepala Daerah harus jeli dalam mencari memilih orang yang tepat pada posisi yang tepat, bukan sekedar menganti yang lama dengan yang baru. Salah satu faktor penting adalah bahwa di Ranah Minang saat ini sangat dibutuhkan pejabat yang pemimpin. Pemimin yang laksana Pengulu yang mempunyai rasa malu pada diri sendiri karena rasa malu merupakan syarat utama orang beradat. Malu ketika tidak bisa menjadi tauladan bagi para staf dan masyarakat, malu ketika tidak berkinerja baik, malu ketika berbuat salah walau tidak disengaja.
Saat ini banyak pejabat yang tidak tahu malu, memakai fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi, seperti Penghulu busuak hariang penipu masyarakat-penjual anak kemenakan berdompet disaku orang, atau Penghulu ayam gadang berkotek tatapi tidak bertelur. Bahkan yang kecondongan mato urang banyak-pun masih berkelit dengan Presumption Of Innocence.
Untuk itu kepada Pemegang Hak Prerogatif disamping memenuhi persayaratan peraturan pendang-undangan, hendaknya calon pejabat itu harus punya rasa malu. Dan tolak ukur pemimpin di Ranah Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah adalah kesanggupan dan kemampuan menjalankan sifat wajib penghulu yaitu STAF; Siddiq, Tabliq, Amanah dan Fathanah, jika tidak memiliki sifat STAF tersebut lebih baik jangan diangkat jadi pejabat karena niscaya akan malu-maluin.

Adilkah Pemberian Tunjangan Daerah?



Fenomena pemberian Tunjangan Daerah (Tunda) yang dimaksudkan untuk mensejahterahkan pegawai ternyata mulai menuai protes dan mencuat kepermukaan. Di Kabupaten Agam protes muncul dari para guru yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Bupati Agam beberapa waktu lalu pada sebuah koran dalam menjawab SMS Warga mengatakan: “Tunjangan Daerah bisa diterima pada bulan Mei ini, dan hal itu sebagai bentuk perhatian dan kepedulian terhadap staf dan PNS”. Ternyata bentuk perhatian dari kepedulian pemerintah daerah tidak membuat para Pegawai (PNS/PTT) terutama guru puas.
Tunda Agam perlu Ditunda kata Kasra Scorpi dalam Refleksinya di Haluan Kamis 10 Mei 2007 dalam menyikapi aspirasi yang berkembang dikalangan pendidik Kabupaten Agam. Berdasarkan Keputusan Bupati  Agam Nomor 23/2006, kepala sekolah menerima 200.000/bulan, sementara KTU sekolah menerima Rp. 225.000/bulan, sedangkan guru PNS termasuk guru Bantu menerima Rp. 150.000/bulan, pejabat pemegang eselon ada yang menerima Rp. 2 jutaan/bulan dan potong pajak 15%.
Bukan hanya di Agam di daerah-daerah lain pun kejadiannya hampir serupa, memberikan Tunjangan Daerah dengan alasan meningkatkan kesejaterahan pegawai atau lebih halus sebagai tunjangan beban kerja.
Komposisi/Stuktur pemberian Tunjangan Daerah pun hampir sama yaitu seperti Piramida Terbalik, makin tinggi jabatan struktural atau golongan pangat makin besar tunjangan yang diterima, makin rendah pangkat/golongan ruang makin kecil tunjangan yang diterima. Hal inilah yang menjadi pangkal munculnya permasalahan bagi kalangan staf bawah terutama guru yang tiap bulannya hanya menerima gagi dan tunjangan fungsional, tanpa ada uang pernjalanan dinas atau tambahan lainnya.
Sepintas pemberian tunjangan daerah tersebut merupakan kebaikan/kepedulian Kepala Daerah terhadap seluruh staf/PNS yang berada didaerahnya, memperjuangkan sampai akhirnya bisa memberikan tambahan penghasilan. Wah, Walikotanya baik, Bupatinya hebat!. Itu baru Gubernur!
Tetapi bagi yang berpikir kritis pemberian tunjangan daerah merupakan akal-akalan kelompok tertentu agar dapat menangguk di air jernih, kesempatan emas menaikan pengahasilan secara syah, Ekstrim-nya, pemberian tunjangan daerah merupakan konspirasi antara DPRD dengan Bupati/Walikota/Gubernur bersama Pejabat Pemda (Sekda, Kepala Dinas atau pejabat bereselon). Anggota DPRD (legislatif) mendapat penghasilan melalui berbagai tunjangan seperti representasi, keluarga, beras. pph/khusus, paket, panitia musyawarah, komisi, panitia, anggaran, badan kehormatan, perumahan, dan tunjangan komunikasi, sebagian ada yang menganggarkan pembelian Laptop.
Untuk meloloskan anggaran tersebut maka pihak eksekutif menganggarkan tunjangan daerah, yang intinya adalah merupakan kepentingan kelompok (Kepala Daerah dan Pejabat bereselon di daerahnya) tertentu.
Sistim pemberian tunjangan daerah seperti ini memunculkan kecemburuan, dan pertentangan-pertentangan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya dengan alasan tidak adil. Kelompok yang sangat diuntungkan akan berdalih bahwa keadilan tidak boleh dipandang sama artinya dengan pemerataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang menperoleh bagian yang sama. Wajar saja kami mendapat bagian bersar mengingat tanggungjawab kerja dan jabatan yang diraih susah payah dalam waktu lama.
Kelompok yang menerima lebih kecil mengatakan enak di bapak-bapak saja, urusan gaji, honor dan tunjangan besar ke bapak (atas). Nggak enak buat kami urusan pembagian kerja makin kebawah makin berat.
Terdapat dua perbedaan penafsiran mengenai keadilan sebagaimana diajarkan Aristoteles yaitu Keadilan Distributif dan Keadilan Commutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasa nya.
Tidak setiap orang harus mendapat bagian sama banyak bukan persamaan melainkan ke sebandingan.
Setiap warga negara dapat diangkat dalam jabatan setiap pejabat pemerintah (ayat (3) Pasal 43 UU 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia), bukan berarti semua orang dapat diangkat menjadi pejabat eselon II tersebut melainkan berarti bahwa jabatan tersebut diberikan kepada mereka berdasarkan syarat-syarat tertentu dan patut mendapatkannya.
Keadilan commutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan  tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.
Memang sangat sukar mencari keadilan dimanapun berada diatas dunia ini apalagi jika dilakukan banyak orang, adil bagi si A belum tentu adil bagi si B. sesuatu yang diterima secara gratis pun sering digugat tidak adil, masa Cuma segini.
Bahkan hukum-pun tidak bisa memberikan keadilan itu pada setiap orang, vonis demi keadilan yang dijatuhkan hakim akan diterima berbeda oleh korban dan pelaku.
Melihat fenomena pemberian tunjangan daerah oleh masing-masing pemerintah daerah adalah yang jelas sangat besar perbedaan antara yang diterima pejabat tertinggi dengan staf terendah sehingga jurang pemisah penerimaan penghasilan antara orang yang sama-sama satu kantor itu makin dalam. Jika ditotal, penghasilan resmi dan legal (gaji + tunjangan jabatan ) eselon II sebelumnya berkisar Rp. 4 juta sebulan meningkat 50 persen menjadi 6 juta rupiah, sementara PTT yang sebelumnya Rp. 500 ribu naik 30 persen menjadi 650 ribu rupiah per bulan, tetapi jarak  gaji mereka yang sebelumnya hanya 3,5 juta kini menjadi lebih 5 juta atau lain kata sebulan penghasilan eselon II bisa buat setahun untuk PTT.
Dalam hal ini terlihat lemahnya sensibilitas para pejabat kita terhadap kondisi disekitarnya, terhadap bawahannya seperti itu apalagi terhadap orang yang berada jauh dari kantornya (masyarakat daerahnya). Apakah memang tidak ada lagi rasa kepedulian sesama, atau tidakkah disadari bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Daerah itu pada hakikatnya untuk mensejahterahkan semua masyarakat di daerah tersebut. Apakah memang tidak ada lagi rasa kepedulian sesama, atau tidakkah disadari bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Daerah itu pada hakikatnya untuk mensejahterahkan semua masyarakat di daerah tersebut.
Karena memang tidak mungkin memberikan rasa adil bagi semua masyarakat, paling tidak dengan itikad baik memberikan keseimbangan dan tidak membuat kesejangan sosial. Bukankah Indonesia yang berkeadilan menurut pembukaan UUD adalah Indonesia yang menjamin terselenggaranya hak-hak setiap warganya dan mampu mencegah terjadinya kesenjangan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan benegara.
Apakah pantas disaat daerah ini diguncang bencana dan memerlukan banyak bantuan, serta masih banyaknya masyarakat miskin yang belum tertanggulangi, kita ribu-ribut soal komposisi Tunjangan Daerah yang mungkin hanya bisa dinikmati sebagian rakyat daerah ini saja?
Sum mumius, summa iniura, keadilan tertinggi adalah ketidak-adilan yang tertinggi.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan
edisi Senin tanggal 21 Mei 2007, Hal 1