Saturday, July 20, 2013

Jangan Korupsi di Bulan Puasa!


Syukur Alhamdulillah Insya Allah kita masih dapat bersama-sama merasakan nikmatnya bulan Ramadhan 1436 H, Ramadhan merupakan rajanya bulan karena banyak sekali keistimewaan dan pahala yang dilipatgandakan oleh Allah SWT. Puasa menurut syariat ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (seperti makan, minum, hubungan kelamin dan sebagainya) semenjak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, dengan disertai niat ibadah kepada Allah, karena mengharapkan ridha-nya dan menyiapkan diri guna meningkatkan Takwa kepadanya.
Untuk itu, hendaknya kita tidak menjadikan puasa hanya sebagai tameng dalam mengarungi hidup. Sebelas bulan melakukan tindakan melawan hukum, mengeksploitasi uang rakyat demi meraih predikat “Urang Bapitih”, berbuat dosa tetapi berlagak jadi “Urang Siak”, menyucikan diri di saat Ramadhan. Pura-pura beramal salih dan pura-pura berbuat baik kepada fakir miskin, bersedekah dengan uang haram.
Melakukan korupsi bukan lagi hal tercela dan memalukan; seakan sudah menjadi profesi banyak orang terutama para aparatur pemerintahan. Padahal mereka telah bersumpah di bawah kitab suci tidak akan menerima sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung bisa mempengaruhi pekerjaannya. Bahkan seorang mantan Menteri Agama pernah divonis penjara karena mengkorupsi dana haji dan saat ini seorang mantan Menteri Agama juga sedang menjadi Tersangka Korupsi.
Kalau Menteri Agama saja sudah korupsi, masihkah kita bisa percaya bahwa Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) beserta jajarannya, serta Polisi, Jaksa dan Hakim tidak korupsi? Walaupun sulit dibuktikan, tetapi lebih sulit untuk mengatakan mereka tidak korupsi. Mereka tidak merasa malu berprofesi sebagai “Maliang” uang rakyat bahkan menyombongkan diri dengan uang hasil “Mancilok” untuk membuat rumah megah, membeli mobil, membayar uang sekolah anak bahkan mengenyangkan perut keluarga. Mereka hanya merasa malu ketika tidak punya mobil pribadi, hanya memiliki 1 rumah, tidak menyekolahkan anak ke Pulau Jawa atau ke luar negeri.
Mereka tidak takut lagi pada instrument pemberantasan korupsi, buku KUHP dianggap sebagai “Kasih Uang Habis Perkara”, KPK, BPK apalagi Inspektorat bukan lagi institusi yang menakutkan karena dengan angpau, oleh-oleh dan service  yang wah kasus bisa ditutup.
Sungguh sangat memalukan melihat Sumatra Barat yang hampir seluruh warganya adalah umat Islam tetapi Korupsi juga banyak terjadi.

Monday, July 1, 2013

Urang Rantau


Merantau bagi Urang Awak seolah telah menjadi kewajiban adat yang tak bisa lagi ditawar-tawar. Karantau madang di hulu, babuah babungo balun…..dstnya.
Kalau boleh ditambah, marantau juga laksana proses benih menjadi padi. Benih tidak akan menjadi padi kalau tidak dipindahkan dari persemaian, artinya urang awak kalau mau jadi “orang besar” harus merantau!. Dan itu terbukti dengan banyaknya urang awak yang jadi orang besar di negeri orang (perantauan), begitu juga dengan orang besar orang besar yang ada di Sumatra Barat saat ini, rata-rata mereka punya pengalaman merantau.
Bukan hanya rantau dakek antar daerah dalam Sumatra Barat tetapi telah melampaui sikilang  aia bangih, melintas durian ditakuak rajo dan menyeberangi ombak nan badabua. Medan, Pekanbaru, Jambi dan Pulau Jawa, setiap daerah dari Sabang sampai Merauke jadi tempat merantau, bahkan tidak sedikit “si-Minang” yang merantau sampai ke Negeri Sembilan Malaysia dan Mancanegara. Saking banyaknya sampai ada ungkapan yang, “Jika telah ada kehidupan kehidupan di bulan atau planet lain maka di sana pun akan ada rumah masakan Padang”, artinya dimana ada kehidupan di situ akan ada orang Minang. Berdasarkan data yang dirilis sebuah situs internet (Wikipedia Indonesia), saat ini jumlah populasi suku Minangkabau sekitar 12 juta orang dan berdomisili di perantauan sebesar 8 jutaan.
Walau tidak semua perantau kita berhasil dan sukses menjadi orang besar dan kaya, tetapi dari yang kita lihat ditiap Hari Raya sulit mengatakan mereka sebagai orang susah. Rata-rata mereka pulang dengan mobil atau motor sehingga jalanan yang biasanya lengang menjadi macet!. Jalur Payakumbuh-Padang yang biasanya ditempuh 2,5 jam selama libur lebaran bisa memerlukan waktu 10 jam!. Merka juga sangat “boros”, uang sangat gampang mereka berikan atau sumbangkan. Bahkan yang lebih luar biasa, ada perantau yang berani menawar lelang “singgang ayam” di atas 10 juta!. Indak kayo jo namonyo tu?
Selain yang peduli dengan kampug, ada juga perantau yang ketika pulang hanya sok pamer “manggaya ka urang kampung” dengan mobil yang mengkilap, bicara dengan bahasa Indonesia yang diselingi istilah asing walau patah-patah dan logat padangnya masih kental. Sangat suka membanding-bandingkan negeri rantau dan kampuang, mengkritik orang kampung atau menyalahkan pemerintahan daerah kita yang tidak bisa berbuat begini-begitu. Persis seperti kritik Sutan Rajo Angek terhadap perantau dalam sebuah cerita Balerong Group Jakarta pimpinan Yus Dt. Parpatiah : Urang rantau tu pulang pai “mamburangahi” urang kampuang, ko salah, ko buruak! Dan ketika ditanya apa solusinya terhadap kritikan tersebut atau diminta bantuannya, e.e mereka bergegas-gegas balik ke rantau sambil berucap nanti akan dikirim dari rantau. Tetapi sampai Hari Lebaran berikutnya kiriman tersebut tidak pernah juga sampai, ha.ha.
Dengan beragam gayanya bagaimanpun juga perantau merupakan aset dan potensi yang luar biasa bagi daerah yang harus digarap secara maksimal. Misalnya saja, dari 8 juta perantau jika tiap tahunnya ada 2 jutaan yang pulang kampung dan masing-masing membawa dan membelanjakan uangnya sebesar Rp 1 juta berarti uang masuk atau devisa bagi Ranah Minang mencapai Rp 2 triliun!