Wednesday, March 26, 2014

Pemilu “Pesta” yang Sepi?

Melihat tingkat partisipasi masyarakat yang cenderung semakin menurun sejak Pemilu 1999, 2004 dan 2009, diyakini Pemilu 9 April 2014 nanti akan menjadi Pemilu yang berat bagi Partai Politik (Parpol) karena semakin banyak masyarakat yang “basilengah”. Semakin tingginya angka golongan putih (golput) atau yang tidak menggunakan hak pilihnya dari Pemilu ke Pemilu dan dibeberapa Pemilukada membuktikan bahwa Pemilihan Umum bukan lagi sebuah pesta. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 93,33%, Pemilu 2004 turun menjadi 84,9%, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99%. Pemilu 2014, diprediksi hanya tinggal 54%. Angka golput juga terus meningkat, Pemilu 1999 angka golput 10,21%, Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%, dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01%. Bandingkan dengan angka golput pada pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) yang tak pernah lebih dari 10%. Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi. Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi 23,3% (angka partisipasi pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%). Angka golput pemilukada rata-rata 27,9%. Kampanye terbuka tidak lagi mampu menarik massa, rakyat enggan ikut karena tidak tertarik dengan visi dan misi serta jargon-jargon Parpol maupun Calon Anggota Legislatig (Caleg). Bujukan dan imbalan baju kaos berlambang parpol, tranportasi gratis, makan gratis dan kupon undian doorprize pun tidak mampu menghadirkan banyak masyarakat di arena Kampanye. Mengapa rakyat “basilengah”? Hal itu disebabkan oleh rasa kecewa dan hilangnya kepercayaan terhadap Parpol dan aktor- aktor yang terpilih dalam Pemilu. Siapapun yang saat ini menduduki jabatan dari hasil Pemilu, Pilpres maupun Pemilukada bertanggungjawab terhadap kondisi ini. Janji-janji sewaktu kampanye dulu banyak yang tidak ditepati, misalnya saja banyak yang menjanjikan pendidikan gratis. Memang tidak ada “SPP” atau uang bulanan tetapi banyak sekolah yang memungut “uang pembangunan” atau sekolah yang jualan “buku paket” (1 paket = sekitar 10 buku) dan mengharuskan setiap murid membelinya. Atau karena para elit dan tokoh Parpol yang tidak konsisten dan menjadi kutu loncat, Pemilu 1999 jadi caleg Parpol A, 2004 jadi caleg Parpol B, 2009 pindah ke Parpol C dan sekarang jadi pengurus Parpol D. Rakyat juga makin sulit percaya ketika banyak wakil rakyat baik di pusat maupun di daerah yang terlibat kasus korupsi dan kasus amoral. Ketika orang-orang itu terpilih dan mendapatkan mandat untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan, mereka justru memperkaya diri sendiri dengan melawan hukum. Pemilu sepertinya hanya menjadi pemenuhan prosedural atau mekanisme legal memilih dan mengganti periode masa jabatan wakil rakyat sementara kualitas perangai mereka tidak menjadi lebih baik. Jika pola tingkah politisi di negeri ini tidak berubah maka masyarakat akan semakin “basilengah” terhadap Pemilu. Mereka memilih “tidur” ketimbang bersusah payah menuju ke TPS untuk memilih. Akibatnya, kualitas Anggota DPD, DPR, DPRD Prop, DPRD Kab/Kota terpilih sangat lemah dari legitimasi suara pemilih. Sulit mendapatkan Anggota Wakil Rakyat Terpilih yang perolehan suaranya mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih), padahal BPP itu hanya dari suara yang sah! Legitimasi itu semakin lemah kalau perolehan suara mereka kalah pula dengan BPP dari yang tidak ikut memilih alias Golput. Pemilu 2014 tinggal menghitung hari. Kita berharap semua stake holder terutama KPU, Partai Politik dan Pemerintah terus melakukan sosialisasi, Melakukan pendekatan yang dibutuhkan agar partisipasi masyarakat pada Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden RI tahun ini lebih baik daripada Pemilu-Pemilu sebelumnya. Benar-benar menjadi Pesta Demokrasi oleh dan untuk rakyat. Semoga. Catatan : dimuat di Media Online Koma Post (http://komapost.com/opini/item/90-pemilu-%E2%80%9Cpesta%E2%80%9D-yang-sepi)