Wednesday, October 8, 2014

Jaksa Agung Abraham Samad

Daftar nama calon pengisi Kabinet Tri­sakti Jokowi dan JK beredar di dunia maya. Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, digadang-gadang akan men­duduki jabatan Jaksa Agung. Masuknya nama pentolan KPK tersebut dalam bursa Kabinet Trisaksi sebagai calon Jaksa Agung ke 24 menarik untuk dicermati. Karena berdasarkan polling Kabinet Rakyat (w­ww.ka­­binetrakyat.org) yang diadakan dari tanggal 17 Juli sampai 4 September 2014 , terlihat masyarakat luas sangat menginginkan Abraham Samad (2.559 pemilih) jadi Jaksa Agung. Besarnya dukungan masyarakat terhadap Abraham Samad untuk menduduki jabatan Jaksa Agung dika­renakan sosok seperti beliau sangat diperlukan agar Lem­baga Kejaksaan berjalan lebih profesional dan diandalkan. Mencuatnya nama Abraham Samad diseantero negeri ini bermula ketika ia terpilih menjadi ketua KPK periode 2011-2015. Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan tersebut memperoleh suara mayoritas yakni 43 suara (76,78 persen) jauh melampui empat pimpinan KPK lainnya, Busyro Muqoddas (5 suara), Bambang Widjojanto (4 suara), Zulkarnain (3 suara), serta Adnan Pandu Praja (1 suara). Figurnya semakin me-Indo­nesia karena pernyataan-pernyataannya yang lantang dan lugas pada saat membe­rikan pernyataan-pernyataan. Dalam menjalankan roda organisasi hukum di KPK, Abraham Samad terkenal sangat tegas dan berani dengan menyeret tersangka korupsi kelas kakap tanpa pandang bulu apakah itu menteri, jenderal, polisi, anggota-anggota DPR/ MPR, pimpinan partai dan lain sebagainya. Andai nanti Abraham Sa­mad memang dilantik sebagai Jaksa Agung, maka ini pertama kali Kejaksaan Agung yang berasal dari aspirasi dan pilihan masya­rakat yang diusulkan secara terbuka. Sebagaimana harapan masyarakat terhadap Presiden baru, harapan masya­rakat terhadap Jaksa Agung yang baru tentu juga sangat tinggi. Lembaga Kejaksaan, beberapa kali pernah dipimpin “orang luar” Korps Adhyaksa diantaranya Andi Galib, Mar­zuki Darusman, Marsilam Siman­juntak dan Abdul Rah­man Saleh. Kejaksaan adalah lembaga besar yang mempunyai sejarah panjang. Sehingga wajar kalau dalam lembaga ini terbentuk dan berlaku suatu kultur tertentu yang menyangkut semua segi praktik kehidupan lembaga ini. Kejaksaan mempu­nyai doktrin Satya Adi Wicak­sana, mempunyai kode etik Tata Krama Adhyaksa, mem­punyai organisasi dan pola tata kerja dan kebiasaan-kebiasaan lain yang baku. Untuk itu, seorang Jaksa Agung perlu memahami betul kultur terse­but, agar kehadirannya sebagai pimpinan baru dapat meme­takan persoalan-persoalan yang membuat Lembaga ini cen­derung dicurigai dan tidak dipercaya publik. Pada sisi luar, kita melihat bahwa dengan pertanggung­jawabannya yang hierarkhis dan pemberlakuan ala sistem komando, lembaga ini terkesan mencoba mengontrol kekuasaan dengan menjerat penyalah­gunaan kekuasaan (korupsi), terutama di daerah. Kasus-kasus yang mengesankan opini negatif tidak terselesaikan secara tuntas dan menyeluruh. Sulit bagi masyarakat untuk melupakan Jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan dengan uang suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi di daerah banyak oknum yang suka mempermainkan de­ngan mem­per­gunakan celah hukum untuk merekayasa kasus. Banyak gunjingan tentang perilaku oknum-oknum jaksa yang diduga melakukan kebo­hongan, sewenang-wenang dan tidak profesional di dalam melaksanakan ketentuan peratu­ran perundang-undangan pene­gakan hukum. Mi­salnya, menetapkan seseorang sebagai ter­­­sang­ka sebe­lum dilakukan penye­lidikan atau me­ngu­rangi atau menam­bah jumlah ter­sang­ka dari jumlah yang sebenarnya. Atau melakukan pe­lang­garan prosedur dalam pene­tapan tersangka dan ter­dakwa di berbagai kasus, juga tinda­kan sewenang-wenang di dalam mempidanakan kasus-kasus sengketa perdata/ke­pemilikan yang terjadi antara warga negara dengan negara; meng­korupsikan pelanggaran-pelang­garan pidana ketentuan pera­turan perundang-undangan khusus misalnya undang-undang di bidang perizinan, undang-undang di bidang kehutanan dan undang-undang di bidang lingkungan hidup dan seba­gainya. Kasus-kasus pidana biasa yang dija­dikan kasus korupsi di dalam dugaan pelanggaran kehutanan dan penyimpangan administrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Ada pula kesan yang ter­lihat bahwa kesuksesan tugas dilihat dari berapa jumlah kasus atau warga negara yang dapat di bawa ke pengadilan. Tidak peduli apakah suatu kasus itu cukup bukti atau tidak. Ini sama saja artinya dengan meng-fait accompli pengadilan, yang di dalam kebanyakan kasus tidak dapat keluar dan menghindar dari persepsi dakwaan jaksa ataupun per­sepsi kebersalahan publik yang terbentuk akibat penetapan seseorang menjadi tersangka/terdakwa. Ini yang dinamakan penyi­dikan sesat sebagai bagian dari peradilan sesat yang berujung pada penegakan hukum sesat. Penyidikan sesat merupakan kegagalan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penyidik secara substantif yang dapat dilihat dari kondisi ketidak­mampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness). Ketidakmampuan penyidikan diakibatkan dari profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidak­mauan penyidikan berkaitan dengan masalah KKN yang dilakukan oleh aparat penyidik yang sudah menjadi rahasia umum. Kondisi ketidak­mam­puan dan ketidak­mauan mem­buat aparat penyid­ikan cen­derung bertindak asal-asalan untuk memenuhi target se­mata, ketimbang melakukan penyelidikan dan penyidikan secara benar dan sesuai hukum yang berlaku. Praktek penyimpangan yang dilakukan di pada level Kejak­saan Negeri yang tingkat pengetahuan masyarakat terha­dap hukum masih minim membuat praktek-praktek tersebut tidak terekspose ke permukaan. Akibatnya para oknum jaksa nakal tersebut makin leluasa melakukan ulahnya dan dia menjadi orang yang ditakuti di daerah tersebut. Dalam kondisi demikian, perilaku penyidik kemudian menjadi tidak transparan bahkan bersikap koruptif dengan menjadikan sebuah kasus/perkara menjadi obyek dan ladang pemerasan. Hal seperti ini terjadi ketika penyidik sengaja memaksakan kasus perdata menjadi kasus pidana, bahkan disertai an­caman penahanan, sehingga pembuatan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) sampai pada SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) yang cenderung kontroversi. Selanjutnya masalah pena­hanan juga dijadikan obyek tawar menawar antara penyi­dik dengan tersangka. Para ter­sangka akhirnya menjadi seperti lalat yang terperangkap jaring laba-laba ketika mulai berurusan dengan penyidik, dan dibuat frustasi karena untuk mem­peroleh penegakan hukum diperlukan uang yang banyak. Bukan hanya masyarakat umum, para pejabat daerahpun banyak yang dijadikan “sumber uang” karena telah terindikasi melakukan penyimpangan hukum. Dengan “senjata” sebagai institusi pengendali proses perkara (Dominus Litis) yang “menentukan” apakah suatu kasus diajukan ke Pengadilan atau tidak, kasus tersebut tidak dituntaskan dan dibiarkan mengambang dan akhirnya menim­bulkan kesan bahwa ka­sus tersebut memang sengaja tidak segera ditun­taskan. Kasus-kasus yang “masih menggantung” atau tidak diselesaikan dengan tuntas atau lebih berpihak kepada kepen­tingan pihak yang mem­berikan uang, telah menim­bulkan sikap skeptis masya­rakat terhadap kejaksaan dan pada penegakan hu­kum pada umumnya. Banyak yang berpen­dapat bahwa apa yang terjadi pada Kejak­saan bukanlah persoalan yang hanya melanda institusi pe­negak hu­kum. Ada persoalan fun­damental yang terkait dengan profesionalitas dan integritas seorang penegak hokum, yaitu dukungan sistem yang lebih rapi, kredibel dan akuntabel. Salah satu dian­taranya me­nyang­­kut kesejah­teraan aparat penegak hukum. Rendahnya tingkat keper­cayaan masyarakat terhadap penegakan hukum salah satu­nya disebabkan integritas moral dan profesionalitas dari aparat penegak hukum yang rendah dan buruknya pelayanan kepada masyarakat. Hal ini diakui oleh Jaksa Agung Basrief Arief dalam amanatnya pada Peringatan Hari Bakti A­dhyaksa 2 tahun terakhir Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terha­dap Instansi Kejaksaan diper­lukan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dari segi kredibilitas dan profesionalitas dalam men­jalankan tugasnya dalam penanganan kasus atau pening­katan kinerja serta pening­katkan pelayanan terhadap masyarakat. Perlu dilakukan terobosan baru dalam upaya hukum untuk meminta pertang­gungjawaban pejabat penyidik, akibat penyidikan sesat yang mereka lakukan. Penyidik memang memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan undang-undang, tetapi mereka juga dibebani tanggung jawab untuk menjalankan kewenangannya tersebut secara benar dan bertanggung jawab. Para korban ataupun masyarakat lainnya secara hukum dapat meminta pertanggungjawaban aparat penyidik baik sebagai lembaga maupun sebagai pribadi pejabat, bila mereka melakukan penyimpangan dalam proses penyidikan dan bertindak sewenang-wenang, yang melanggar hak-hak asasi warga negara.
Pertanggungjawaban atas penyidikan sesat tingkat pidana dapat dimintakan kepada pejabat kepolisian dari tingkat Kapolri, Kabareskim sampai dengan jajaran di bawahnya yang melakukan penyidikan sebuah kasus secara ceroboh dan tidak profesional. Demikian pula halnya jika hal serupa terjadi di Kejaksaan Agung beserta jajarannya. Masyarakat yang menjadi korban tindakan aparat penyi­dik jangan segan-segan untuk melaporkan atau melakukan tuntutan terhadap aparat penyidik bila mereka mela­kukan kesewenang-wenangan karena kita sudah memiliki UU Perlindungan Saksi dan Pelapor sebagai jaminan keamanan bagi mereka. Mencuatnya nama Abraham Samad merupakan respon masyarakat atas kinerja Kejaksaan selama ini yang dinilai belum mampu memu­lihkan kepercayaan masya­rakat. Dan adanya “perintah” Presiden SBY untuk mem­percepat pemberian remu­nerasi atau tunjangan kinerja di lingkungan Kejaksaan supaya penyimpangan yang terjadi jauh berkurang merupakan bentuk solusi dan momentum untuk kembali menjadi institusi yang sesuai harapan masyarakat. Ketika nantinya Jaksa Agung baru adalah Abraham Samad atau siapapun orangnya asal mempunyai kaliber yang sama dan remunerasi telah diberikan, tidak ada lagi alasan keter­batasan fasilitas atau kesejah­teraan untuk mem­bentuk aparat Kejaksaan yang handal, tangguh, profe­sional, bermoral dan beretika guna menunjang kelancaran pelak­sanaan tugas pokok, fungsi dan wewenang, terutama dalam upaya pene­gakan hukum yang berkea­dilan. Semoga. (*)