Thursday, May 22, 2014

Membunuh Pesona Capres

Saat ini masing-masing kita mungkin telah menerima “pesan” di Wall Facebook, Broadcast Masengger via BB atau di Timeline Twitter yang berisi “Kampanye Negatif” tentang sosok Calon Presiden (Capres). Isinya sangat melecehkan SARA dan “membunuh” pesona karakter Capres yang biasanya sedang disukai publik. Pertanyaannya, mampukah kampanye negatif itu membunuh Capres yang sedang mempesona rakyat itu? Melihat sejarahnya, kampanye negatif tersebut terus terjadi dan berulang disetiap menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres). Pada tahun 2004 ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat “mempesona” masyarakat kita, tiba-tiba tersebar isu bahwa SBY itu Presiden pesanan Amerika. Bahkan juga muncul berita-berita bahwa mayoritas wakil rakyat terpilih dari Partai Demokrat ternyata bukanlah Muslim. Tidak berhenti disitu, SBY juga dicurigai ikut terlibat kerusuhan 27 Juli 1996 karena waktu itu dia menjabat sebagai Ka Staf Kodam Jaya. Megawati Soekarnoputri juga pernah terkena “serangan mematikan”. Tahun 1999 ketika Megawati Soekarnoputri ada tanda-tanda akan menjadi Presiden karena partai yang dia pimpin, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) memenangi pemilu legislatif. Isu tentang perempuan tidak boleh menjadi Presiden muncul disertai fatwa haram bagi warga Muslim untuk dipimpin Perempuan Presiden. Kampanye negatif yang berisi berita-berita negatif tersebut disebar secara terselubung melalui sosial media dan tidak terbuka karena kebenaran materinya memang sulit untuk dipertanggungjawabkan apabila ada tuntutan secara hukum. Tetapi pada akhirnya, kampanye negatif tidak membuahkan hasil diharapkan. Megawati yang pada tahun 1999 gagal jadi Presiden karena diharamkan, akhirnya pada tahun 2001 mendapatkan kembali haknya. Dan para “penentangnya” dengan lancar menyebut “ Yang Terhormat Presiden RI, Ibu Megawati Soekarno Putri!”. Begitu juga dengan SBY, walaupun Partai Demokrat tidak menjadi pemenang Pemilu 2004 toh dia terpilih menjadi Presiden RI bahkan dua periode dan hampir semua Parpol yang menjadi lawannya di Pilpres bergabung dalam koalisi yang dipimpinnya. Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, itu pepatah “lebay” karena fitnah dikatakan lebih jahat dari penghilangan nyawa. Tetapi melihat dan membaca kampanye negatif atau fitnah-fitnah politik yang beredar sepertinya fitnah itu memang pantas disebut lebih kejam dari pembunuhan. Apalagi dengan perkembangan sosial media saat ini, kampanye negatif itu menyebar dari tangan ke tangan yang dengan satu status di dinding FB bisa dibaca ratusan atau ribuan orang, atau dengan sekali broadcast melalui BB yang dibumbui dengan catatan “sebarkan!”, atau melalui kicauan di timeline twitter. Tidak perlu meminta persetujuan orang lain untuk setuju membaca atau menerima pesan berantai tersebut. Mengapa para pelaku politik itu melakukan kampanye negatif? Melihat sejarah yang terjadi pada Pilpres 1999, 2004 dan 2009 bisa disimpulkan bahwa kampanye negatif biasanya dilakukan karena telah merasa kalah sebelum bertarung. Mereka sesungguhnya telah menyadari bahwa lawan mereka sangat mempesona, yang sulit dikalahkan secara fair play dan head to head. Pada akhirnya mereka mencari-cari bau busuk lawan tersebut dan menyebarnya kemana-mana. Mereka bukannya memancarkan pesona yang dimiliki dan lebih suka melakukan pembohongan publik sambil menunggu lawan politik tergelincir. Hasil Pemilu Legislatif 9 April yang telah menyingkirkan 2 Parpol (PBB dan PKPI) untuk menuju Gedung DPR/MPR karena tidak mencapai Parlement Thershod 2,5% suara, memunculkan PDI P sebagai pemenang, disusul Partai Golkar diposisi dua dan Partai Gerindra diposisi tiga. Partai Demokrat (Pemenang Pileg 2009) harus puas diposisi 4. Pilpres 9 Juli nanti yang hanya diikuti 2 pasang Capres/Cawapres ibarat Pertandingan Final turnamen politik lima tahunan. Partai Final yang mempertemukan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang diusung koalisi PDI P dengan Partai Nasdem, PKB dan Hanura versus Prabowo – Hatta Rajasa yang diusung koalisi Partai Genrindra dengan PPP, PAN, PKS, Partai Golkar dan PBB akan menyajikan pertandingan menarik karena politik selalu memberikan kejutan. Siapa sangka PDI P dan Gerindra yang pada Pilpres 2009 berpasangan mendukung Megawati – Prabowo dan pada Pemilukada DKI mengusung Jokowi – Ahok, pada Pilpres 2014 ini akan melakukan Big Macht. Bisa jadi setelah Pilpres nanti koalisi yang kalah bubar dan bergabung dengan pemenang. Walaupun “psywar” sudah dimulai melalui media massa termasuk sosial media, mudah-mudahan saja “pertarungan” antara Banteng dengan Garuda hingga tanggal 9 Juli nanti tidak diwarnai kekerasan dan berdarah-darah. Bahkan yang lebih penting tidak saling bunuh karena keduanya adalah aset bangsa tempat rakyat (terutama konstituennya) menaruh harapan untuk kehidupan lebih baik. Pemilihan Presiden akan dilakukan langsung oleh rakyat dan pada Pileg 9 April kemarin rakyat telah memberikan penilaian dengan suara bagi para Calon Legislatif. Jangan abaikan kecerdasan rakyat dalam menentukan pilihan dengan kampanye-kampanye negatif. Apakah Jokowi atau Prabowo yang terpilih menjadi Presiden RI berikutnya, suara rakyat yang menentukan. Kita yang berposisi sebagai penonton yang tidak memihak (mungkin juga Partai Demokrat) tentu ingin menyaksikan permainan yang cantik dan memuaskan. Jangan rasis, jangan main kasar mecelakai lawan, pendukung tak usah bikin rusuh!, buktikan saja siapa yang paling mempesona dilapangan maka rakyat akan memberikan dukungan. Hidup Indonesia!!