Friday, September 19, 2014

Kisah perempuan berzina yang curhat kepada Nabi Musa AS

Suatu hari, seorang wanita berparas cantik dengan berjalan terhuyung-huyung menuju kediaman Nabi Musa AS. Lewat pakaiannya sepintas terlihat menandakan bahwa wanita itu tengah berada dalam duka cita yang mendalam. Sesampainya di depan rumah Nabi Musa AS, di ketuknya pintu pelan-pelan sambil mengucapkan salam. Mendengar salam itu, Nabi Musa AS segera menyambutnya dengan memberi salam. "Silakan masuk," kata Nabi Musa AS Sambil menundukkan kepala, langkah kaki wanita itu segera menghampiri Nabi Musa AS. Sembari menangis sedu, dia mencurahkan isi hatinya kepada Nabi Musa AS. "Wahai Nabi Allah. Tolonglah aku. Do'akan aku agar Tuhan mengampuni dosa keji saya." "Apakah dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa terkejut.
"Saya takut mengatakannya," jawab wanita itu "Katakanlah jangan ragu-ragu!" desak Nabi Musa. "Saya...telah berzina!" Mendengar itu, Nabi Musa AS kaget, tetapi tetap mendengarkan cerita wanita cantik tersebut. "Dari perzinaan itu saya pun...lantas hamil. Setelah anak itu lahir, langsung saya...cekik lehernya sampai...mati," ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya. Dengan raut muka yang sangat marah ia memukul wanita itu, "Perempuan bejad, pergi kamu dari sini! agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!"... teriak Nabi Musa sambil memalingkan mukanya karena jijik melihat wanita itu. Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh lantak segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan. Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau kemana lagi melangkahkan kakinya, Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya bagaimana pula dengan manusia lainnya yang bakal menolongnya. Terbayang olehnya betapa besar dosanya, batapa keji perbuatannya. Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa AS. Sang Ruhul Amin Jibril bertanya kepada Nabi Musa AS: "Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertaubat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?" Nabi Musa terperanjat, "Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina itu?" Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril. "Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada dosa perempuan yang nista itu?" "Ada!" jawab Jibril dengan tegas. "Dosa apakah itu?" tanya Musa kian penasaran. Jibril menjawab, "Orang yang meninggalkan salat dengan sengaja dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar daripada seribu kali berzina." Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut. Nabi Musa menyadari orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sholat itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya.Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah dirinya. Sedang orang yang bertaubat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada dijalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya. Dalam hadits Nabi SAW, disebutkan: "Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Alquran, membunuh 70 nabi dan bersetubuh dengan ibunya didalam Kabah." Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadhonya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakhirat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia. Diambil dari Merdeka.com Senin, 28 Juli 2014 11:00 http://www.merdeka.com/ramadan/kisah-perempuan-berzina-yang-curhat-kepada-nabi-musa-as.html

Saturday, September 6, 2014

Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh Rakyat atau Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh DPRD?

Polemik Pemilihan Langsung oleh Rakyat atau Pemilihan Langsung oleh DPRD mengingatkan saya ketika tahun 1996 dalam Ujian Skripsi, waktu itu saya mengusulkan perubahan sistem pemilihan kepala daerah serta perubahan UU Nomor 5 Tahun 1974 karena aspirasi rakyat daerah tidak tersalurkan dalam pemilihan Kepala Daerah Tingkat II yang dilakukan DPRD. Dan yang paling saya ingat komentar Dosen Penguji (Yuslim, SH.MH) “Kalau Mendagri membaca Skripsi Saudara bisa merah kupingnya!”, Keterlibatan rakyat pada Pemilihan Kepala Daerah waktu itu “hanya” pada saat penjaringan bakal calon Kepala Daerah, itu pun waktunya hanya maksimal 2 bulan. Rakyat secara langsung menyampaikan dukungan bakal calon Kepala Daerah kepada DPRD melalui surat dukungan secara perorangan atau kelompok/organisasi. Setelah itu rakyat tidak lagi terlibat secara langsung dalam proses pemilihan Kepala Daerah.
Berdasarkan penelitian untuk penulisan skripsi berjudul “Pengisian Jabatan Bupati Kepala Daerah Tingkat II dan Penyaluran Aspirasi Rakyat Daerah” yang saya lakukan waktu itu, disimpulkan bahwa Aspirasi Rakyat mempunyai kedudukan yang lemah sehingga tidak menentukan mengenai siapa yang akan menjadi Kepala Daerah mereka nantinya. Berdasarkan hasil penjaringan bakal calon Bupati KDH Tk. II Periode 1995-2000 yang dilakukan di Kabupaten Agam, Kol. Inf. Gustiar Agus mendapatkan surat dukungan sebanyak 115 surat, berikutnya Kol. Inf. Ismu Nazif sebanyak 49, Kol. CKM. Drs. Syahrial 23 Surat dan 6 orang lainnya mendapat dukungan dibawah 5 surat. Tetapi yang ditetapkan oleh DPRD setelah melakukan konsultasi dengan Pejabat Berwenang adalah Kol. Inf. Ismu Nazif, Drs. Amran Zai (1 surat dukungan), Prof. H. Sofyarma Marsidin, Mpd (3 surat dukungan) dan DR. H. Agustiar Syah Nur, MA (4 surat dukungan). Begitu juga yang terjadi di Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Solok, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Tanah Datar. Banyak Bakal Calon yang mendapat dukungan mayoritas rakyat tetapi tidak ditetapkan menjadi Calon yang akan dipilih DPRD. Kegagalan Kol. Inf. Gustiar Agus di Agam, juga terjadi di pada Drs. Fahmi Rasyad, SH di Kabupaten 50 Kota, walau mendapatkan dukungan mayoritas rakyat secara langsung tetapi tidak ditetapkan menjadi Calon yang akan dipilih DPRD. Bahkan cenderung nama-nama yang ditetapkan tidak mempunyai kekuatan yang seimbang sehingga muncul istilah Calon Jadi dan Calon Pendamping. Perubahan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah sekaligus merubah sistem Pemilihan Kepala Daerah serta suasana politik di daerah. Perubahan yang paling signifikan adalah diberlakukannya Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung sejak tahun 2005, dimana Kepala Daerah dipilih dari pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan tertentu. Tetapi persoalan tetap saja muncul, ajang lima tahunan tersebut cenderung menjadi lahan bisnis, Parpol seakan hanya berfungsi sebagai mobil rental karena jarang sekali calon yang berasal dari pengurus/anggota Parpol. “penyewa” yang berasal dari luar partai harus membayar ongkos tanda jadi (DP) yang mahal untuk ikut proses sebagai peserta Pilkada. Mereka cenderung menjadi objek pemerasan, sebab “tanda jadi” tersebut baru untuk sebagai pendaftaran calon kepala daerah saja dan belum tentu diterima dan diloloskan menjadi calon yang diajukan dan diikutkan dalam Pilkada. Dalam perkembangannya Makamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan bahwa calon dari Non Partai Politik (Parpol) atau calon independen boleh ikut Pemilihan Kepala Daerah. Pasal yang mengharuskan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan tertentu dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK ini bagi banyak pihak tentu disambut suka-cita, karena tanpa berpolitik dalam arti tidak berhubungan, tidak menjadi anggota/pengurus bahkan tak perlu mendaftar untuk dicalonkan oleh Parpol bisa ikut kegiatan (Politik ) pemilihan kepala pemerintah daerah. Terbukanya kesempatan bagi calon independen banyak membawa kebaikan, mau tidak mau Parpol harus berbenah dan mempersiapkan kadernya untuk diterjunkan dalam ajang Pilkada. Sebab dukungan Parpol bukan lagi syarat mutlak, karena dengan dukungan Non Parpol pun bisa. Para akademisi, birokrat, pakar, kaum professional dan tokoh masyarakat yang mempunyai popularitas dan selama ini menahan diri, berposisi netral yang tidak menjadi pengurus, anggota dan simpatisan Parpol tentunya akan menjadi lawan tangguh bagi calon-calon dari Parpol. Calon independen juga akan (diharapkan) mengurangi ongkos politik, tidak harus membeli dukungan atau dengan kata lain tidak mesti menghabiskan atau menghambur-hamburkan uang milyaran rupiah untuk mendapatkan posisi Gubernur, Bupati/Walikota. Karena semakin besar uang diinvestasikan untuk meraih kursi Kepala Pemerintah Daerah Otonom maka semakin banyak APBD yang dialokasikan untuk mengembalikan modal tersebut. Terkait pemilihan Kepala Daerah akan dilakukan DPRD, menurut saya itu artinya memindahkan “pesta” dari rakyat ke Anggota DPRD. Pemilihan Langsung oleh Rakyat artinya oleh rakyat untuk rakyat, Pemilihan Langsung oleh DPRD bisakah oleh DPRD untuk rakyat? Pernah suatu ketika dalam pemilihan Gubernur oleh DPRD, terjadi perang tarif,..ada yang terang-terangan mengatakan siap mengeluarkan uang sebanyak 100 miliar rupiah untuk dibagikan kepada anggota DPRD (sebelum penetapan orang tersebut ditangkap atas tuduhan korupsi). Calon yang menang dalam pemilihan Gubernur oleh DPRD itu dikabarkan memberikan uang sebanyak 1,5 miliar rupiah pada masing-masing Anggota DPRD yang memilihnya. Pesaing kuatnya dikabarkan sebelumnya telah memberikan masing-masing 1 miliar, karena kalah uang tersebut ditagih kembali. Gubernur dan pesaing kuatnya tersebut pada akhirnya juga ditangkap karena kasus korupsi. Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh Rakyat atau Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh DPRD bukan semata persoalan biaya yang besar atau kecil maupun persoalan lainnya, tetapi yang paling penting adalah pemenuhan hak kedaulatan rakyat.