Wednesday, November 18, 2015

Aroma Kolusi dari Mulut Novanto

”Freeport jalan, bapak itu happy, kita ikut happy. Kumpul-kumpul/kita golf, kita beli private jet yang bagus dan representatif”. 
Demikian salah sa­tu isi pem­bi­ca­raan yang tertera pada transkrip pem­­­bi­ca­raan antara Ketua DPR RI Setya Novanto de­ngan Petinggi PT Free­port Indo­nesia di kawasan Pacific Place yang dila­po­ran seba­gai perbuatan ter­cela oleh Menteri Energi Sumber Da­ya Mineral Su­dir­man Said ke Mahkamah Kehor­ma­tan De­wan (MKD) DPR RI.
 Lantas, berapa sih harga Private Jet (Jet Pribadi)?. Dari penelusuran di google, didapat harga Jet Pribadi itu beragam, mulai dari 50-an miliar sampai ratusan mi­liar rupiah. 
Yang “murah” mungkin adalah HondaJet, yang di­kem­­bangkan Honda Air­craft Company yang ber­basis di AS, mematok harga 4,5 juta dollar AS atau seki­tar Rp 58 miliar. Pesawat jet dengan tujuh kursi penum­pang dengan panjang sekitar 13 meter itu mampu ter­bang sejauh 2.000 kilometer tanpa perlu mengisi ulang bahan bakar. Pesawat ini mampu terbang dari Los Angeles dan Denver atau dari London dan Roma de­ngan kecepatan hingga 778 kilometer per jam, jauh lebih cepat dari pesawat sejenisnya. 
Atau yang lebih bagus dan representatif dimaksud dalam transkrip itu adalah Jet Pribadi Tipe Gulfs­tream G200 produksi Israel Aircraft Industries seperti yang dimiliki Pesepakbola Cristiano Ronaldo asal Por­tugal seharga 19 juta euro (sekitar Rp 278 miliar). Pesawat itu mampu me­ngang­kut delapan hingga sepuluh penumpang. Di dalamnya, ada toilet khusus terpisah untuk penumpang dan kru, ruang ganti, serta dapur. Selain Ronaldo, Jet Pribadi sejenis juga dimiliki oleh selebriti papan atas lainnya yakni  Arnold Sch­war­zenegger dan Jim Carey. 
Jika kita cermati trans­krip pembicaraan antara Setya Novanto dengan Pe­ting­gi PT Freeport Indo­nesia yang sudah tersebar luas tersebut, ada bau kolusi dari mulut (pembicaraan) itu. Sulit dibantah bahwa ada usaha melakukan pemu­fakatan yang dibumbui de­ngan uang (dalam bentuk saham) didalamnya atau hadiah atau fasilitas (privat jet) tertentu untuk terca­painya keadaan yang di­ingin­kan (freeport jalan). Memang, perbuatan me­la­wan hukum atau kerugian negara (mungkin) belum terjadi, tetapi jika kasus ”pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapre Jusuf Kalla untuk keper­luan memperpanjang kon­trak Freeport Indonesia” ini tidak terbongkar ke publik, maka bukan tidak mungkin terjadi Kolusi yang akan berujung pada Korupsi se­ba­gaimana dimaksud Un­dang-undang Nomor 28 Ta­hun 1999 tentang Penye­lenggara Negara yang Ber­sih dan Bebas Dari Korup­si, Kolusi dan Nepotisme. Menurut Undang-undang tersebut  Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hu­kum antar Penyelenggara Negara atau antara Penye­lenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. 
Modus Operandi Kolu­si telah dimulai sejak peren­canaan suatu “proyek”. Bagaimana anggaran untuk pengadaan barang dan jasa dalam APBN sudah dimu­lai sejak pengajuan ang­garan di DPR. Beberapa kasus korupsi yang diung­kap KPK membuktikan di DPR ada praktek perca­loan atau makelar yang dapat “menggoalkan” suatu “pro­­yek”, tentu dengan “fee” atau ba­ya­ran tertentu. Kolusi atau per­sengko­kolan meru­pa­kan sebuah bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan Ko­rup­si. Ko­­lusi meru­pakan pintu masuk terja­dinya Korupsi di­mana sebelum ter­ja­dinya korupsi akan di­awali de­ngan kong­kaling­kong atau per­mufa­katan yang me­­lawan hukum yang pada akhir­nya akan me­nga­­­ki­bat ke­ru­gian ke­uangan ne­ga­ra. Ko­lu­si meru­pa­kan per­buatan yang men­do­rong terja­di­nya tindak pidana korupsi. Kolusi se­ja­ti­nya lebih tua dari Ko­rup­si kare­na sejak di zaman Presiden So­harto ber­kuasa dengan Orde Baru-nya, kolusi se­ca­ra besar-besaran itu sudah terjadi, uang negara dikuras melalui kerjasama atau ko­lu­si para pengu­saha de­ngan para pejabat di tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, provinsi dan kabupaten/kota. Kolusi pula-lah yang menjadi salah satu issu sen­tral dalam gerakan re­for­masi yang menum­bang­kan kekua­saan Presiden Soeharto. Pada era Re­formasi tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 kosa ka­ta Kolusi sa­ngat “popular” namanya sehingga dihujat dimana-mana, mahasiswa tidak hen­ti-hentinya mene­riakan “bas­mi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” 
Kita tentu masih ingat Eddy Tansil atau Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan yang berhasil membobol Bank Bapindo sebesar sebe­sar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,3 triliun rupiah dengan kurs saat itu) dengan kredit fiktif melalui grup perusahaan Golden Key Group. Santer terdengar kasus itu berawal dari Ko­lusi yang terjadi antara Eddy Tansil dengan orang-orang kesayangan Presiden Soe­harto waktu itu yaitu mantan Menko Polkam Sudomo dan mantan Menteri Ke­uangan J.B Sumarlin. 
Keduanya disebut-sebut memberikan referensi atau kate­belece (surat pe­ngan­tar dari pejabat un­tuk urusan ter­tentu), dalam kasus mega skan­dal pembobolan Bapin­do Rp.1,3 triliun oleh Eddy Tansil. Hal itu diakui sendiri oleh Sudomo dalam ke­sak­siannya di Pe­ngadilan Ne­geri Ja­karta Pusat pa­da 19 Juni 1989.
Terlepas apakah ujung laporan Menteri ESDM ter­se­but bermuara pada ranah hukum atau tidak, apa yang telah dilakukan Setya No­vanto bersama-sama peting­gi PT. Freeport Indonesia telah menyebarkan aroma tidak sedap kemana-mana. Publik mencium ada bau Kolusi ditengah hiruk pikuk perpanjangan kontrak tam­bang emas yang beromzet puluhan triliunan rupiah pertahun.
Kalau melihat nilai se­buah Jet Pribadi type Gulfs­tream G200 yang Rp. 278 miliar dibandingkan dengan omzet yang didapat per­tahun, maka itu adalah nilai yang “cemen”. Dan happy-happy dan kumpul-kumpul, main golf serta membeli private jet itu sangat mung­kin terjadi. Pada tahun 2013 sebagaimana diungkapkan Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto pendapatan PT Freeeport Indonesia dari tam­bang emas dan tem­ba­ga­nya di Papua diperkirakan mencapai US$ 3,8 miliar atau sekitar Rp 38 triliun. Itu di bawah perkiraan awal yang sebesar US$ 5,8 miliar atau sekitar Rp 58 triliun (sumber-detik.com).
Apalagi Setya Novanto merupakan sosok yang kon­troversial belakangan ini, kehadirannya dalam kon­ferensi pers Capres Ame­rika Donald Trump disela-sela kegiatan pertemuan perwakilan parlemen dari berbagai penjuru dunia di Markas Besar PBB, New York. Kemudian juga kon­troversi Mobil Jaguar ber­plat RI 6, plat resmi mobil dinas Ketua DPR RI. Jauh sebelumnya, nama Setya Novanto juga pernah di­sebut-sebut terkait kasus dugaan korupsi pengalihan hak piutang (cassie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang terjadi pada tahun 1999.
Apakah aroma Kolusi itu akan menguap begitu saja dan Setya Novanto lolos dari sanksi dari Mahkamah Ke­hormatan Dewan (MKD)? Mari kita tunggu. ***

Wednesday, November 4, 2015

Pilkada dan Janji Jabatan Untuk PNS

Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilakukan serentak pada 9 Desember nanti akan menghasilkan pasangan Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Barat dan pasangan Bupati/Walikota baru di 13 Kabupaten/Kota di Ranah Minang tercinta ini. Melihat kondisi 5 tahun lalu, kita patut optimis Pilkada yang dilakukan urang awak tidak akan berdarah-darah seperti yang terjadi di daerah lain. Semua akan berjalan secara Badunsanak, lancar dan aman sampai para “pengantin” resmi dilantik dan bekerja di rumah bagonjong.
Saat ini yang menjadi cerita hangat disetiap daerah yang akan memilih Kepala Daerah tersebut selain prediksi siapa yang akan menang, adalah cerita tentang mutasi pejabat yang akan dilakukan para pengantin tersebut nantinya. Hal itu tidak terlepas dengan keterlibatan para Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS terutama pejabat Struktural, yang secara kasat mata aktif dalam mendukung Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terutama para Paslon dari Petahana.
Orang mulai menghitung-hitung, jika Paslon yang itu menang maka para Pejabat A, B, C dan D akan tetap pada jabatannya sekarang. Sebaliknya jika Paslon yang itu kalah maka mereka hampir bisa dipastikan akan non job.
Untuk mengantisipasi hal itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi dalam beberapa kesempatan mengingatkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk netral dalam pilkada serentak Desember 2015, dan melarang Kepala Daerah untuk mengambil keputusan merotasi pejabat sesuka hatinya.
Hal itu dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Edaran MenPAN-RB nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak.
Kemudian UU No.5/2014 tentang ASN, PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, akan dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dengan tidak hormat.
Selain itu, dalam PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS, juga menegaskan bahwa PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Walaupun larangan PNS terlibat dalam kancah politik dan telah diatur dengan peraturan perundang-undangan serta himbauan dari MenPAN-RB,  nyatanya hal itu tidak mangkus. PNS secara sukarela, terpaksa dan dipaksa terseret dan diseret masuk dalam pusaran politik karena dipastikan akan “ada pesta” usai Pilkada yaitu mutasi/promosi PNS.
Sesungguhnya, ada suasana dilematis pada para PNS ketika Calon Kepala Daerahnya berasal dari Petahana. Apalagi jika di daerah tersebut kontestan hanya terdiri dari dua Paslon yang semula bersatu pecah kongsi kemudian masing-masing mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.
Mau pilih siapa dan akan berpihak pada siapa? Keduanya pernah menjadi atasannya, dan jika salah pilih masa depan karirnya akan terancam, masuk dalam daftar PNS yang akan dimutasi atau di-non job-kan setelah Pilkada.  Secara tak langsung mereka juga mendapat isyarat ancaman dan intimidasi, dan dari pengalaman masa lalu sudah banyak bukti PNS yang ikut “berperan” pada pihak yang menang, akan mendapat imbalan jasa dan balas budi berupa jabatan pada Mutasi yang dilakukan setelah Pilkada oleh Kepala Daerah (pemenang Pilkada).
Tidak heran, akhirnya banyak PNS yang berani secara terbuka dan terang-terangan mendukung Paslon tertentu. Bahkan ada pula yang kebablasan atau sangat berlebihan dalam bertindak tanduk, cari muka sambil merunduk–runduk. Bekerja tanpa didasarkan pada “Tupoksi” yang benar melainkan menuruti keinginan sang penguasa. Melakukan pembelokan fakta kebenaran hanya karena ingin mendapatkan kekuasaan. Yang hitam dijadikan putih, yang benar bisa menjadi salah, yang salah bisa tampak benar atau menciptakan kondisi agar semuanya dibuat “Rancak Di Labuah”, demi sebuah jabatan.
Sebaliknya PNS yang berada dipihak lain, hanya tinggal menunggu waktu dimatikan karirnya. Banyak di antara mereka yang berada dipihak yang kalah, langsung mengundurkan diri, minta pindah ke daerah lain sebelum sanksi mutasi atau non job diberikan kepadanya. 
Mutasi yang dilakukan pasca Pilkada, sulit dibantah memang sarat dengan kepentingan politik sehingga banyak aturan yang dilanggar. Jelas sekali bahwa yang menentukan bukan lagi Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) melainkan “keinginan” Kepala Daerah yang berupa balas jasa dan balas budi dukungan waktu Pilkada.
Istilah “sakali aia gadang sakali tapian barubah” benar-benar terjadi, bergantinya Kepala Daerah segaligus diikuti pergantian para pejabat struktural, bahkan sopir dan ajudan pun berganti. Konon, para kepala sekolahpun berganti terkait Pilkada.
Mutasi/promosi usai Pilkada inilah yang menjadi biang kegaduhan dan kehancuran birokrasi di daerah. Kenapa gaduh? Penyebabnya, karena dilakukan sekaligus dalam jumlah besar. Bagi yang terkena mutasi apalagi promosi biasanya akan menerimanya, tetapi bagi yang terdemosi (turun eselon) tidak akan tinggal diam bahkah tidak jarang sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Balas budi dan balas dendam terkait Pilkada yang dibungkus Mutasi PNS inilah yang sering terjadi di Tanah Air beberapa tahun terakhir. 
Bahkan tidak jarang mutasi/promosi PNS membuat bibit-bibit pecahnya kongsi Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah. Karena terlalu kuatnya dominasi Kepala Daerah sehingga dia berjalan sendiri dengan tidak melibatkan Wakil Kepala Daerah dalam proses pengisian jabatan struktural. Hal ini pernah terekspose di media cetak dan televisi nasional ketika Wakil Gubernur Riau tidak tahu tentang adanya mutasi dan pelantikan pejabat di lingkungannya bahkan diusir ketika mencoba mendatangi acara pelantikan tersebut.
Mereka (Kepala Daerah) memang mempunyai kewenangan yang besar terhadap PNS dilingkungan Pemerintahan Daerahnya, berwenang untuk mengangkat, memutasi, memberi promosi, menghukum bahkan memberhentikan seorang dari jabatannya. Hal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan PNS dalam jabatan sekaligus sebagai Pembina bagi PNS di daerahnya.
Tetapi kewenangan itu tidak bisa dilakukan semau-maunya sendiri. Dan kewenangan itu tidak lah sama dengan “prerogatif” Presiden dalam membentuk kabinetnya,  karena ada aturan kepegawaian yang harus dipedomani. Dan dalam hal “mengatur” PNS di lingkungannya Gubernur, Bupati dan Walikota berstatus dan harus bertindak sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, bukan mengedepankan status sebagai Kepala Daerah yang notabene adalah jabatan politis.
Sangat disayangkan para Kepala Daerah kita banyak yang mentang-mentang!, mentang-mentang dengan jabatan Gubernur, Bupati/Walikota-nya dengan sengaja melanggar aturan kepegawaian dan menyeret-nyeret PNS ke ranah politik. Menjanjikan jabatan sebagai konpensasi dukungan dalam Pilkada, “jika saya menang, saya akan mengangkat Sekda dari putra daerah ini”. Tetapi tidak jarang banyak janji jabatan tersebut tidak dipenuhi sama halnya janji-janji kampanye lainnya. Dan banyak PNS yang jadi korban PHP atau di PHP-in alias diberi harapan palsu. Oleh karena itu PNS seharusnya tidak berharap jabatan dan Netral dalam Pilkada dan selalu menjaga integritasnya dengan bersikap jujur, menjaga komitmen dan berperilaku konsisten sesuai aturan yang telah ada. Semoga!.