Wednesday, January 28, 2015

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Peperangan Samsul Bahri dengan Datuk Maringgih (bag.2)

Mendengar bunyi sepatu dokter si sakit membuka matanya
dan memandang kepada dokter. Di situ nyata, mata si sakit telah
kabur warnanya dan pemandangannya telah lemah. Dokter yang
masuk ini segera memberi salam, lalu bertanya, "Apa kabar?"
"Perasaan badan ada baik sedikit, walaupun sakit kepala
belum hilang benar," jawab si sakit perlahan-lahan. .
"Memang, sakit kepala itu dalain dua tiga hari ini barangkali
masih ada," lalu dokter memeriksa kulit muda mata dan jalan
darah pada pangkal lengan si sakit. "Berapa panas badannya pagi
ini?" tanya dokter kepada penjaga.
"Ada hamba tuliskan," jawab penjaga, seraya mengunjukkan
sehelai daftar. Setelah doukter melihat daftar ini, terdiamlah ia
sejurus.
"Tuan Dokter," kata si sakit pula dengan tiba-tiba.
"Walaupun hamba katakan tadi, perasaan badan hamba senang
sedikit, tetapi kesenangan itu, pada sangka hamba, bukan
kesenangan karena akan sembuh. Jangan marah, bila hamba
katakan, bahwa hamba tiada lama lagi akan hidup di atas dunia
ini; karena demikianlah perasaan hamba. Janganlah Tuan
sembunyikan pendapatan Tuan kepada hamba, karena misalnya
Tuan kuatir, hamba takut mati. Sekali-kali tidak. Kematian telah
lama hamba ingini dan telah hamba cari di mana-mana. Baru
sekarang hamba peroleh. Syukurlah!
Lagi pula tadi malam hamba telah dikunjungi oleh kekasih
dan ibu hamba, yang telah lama meninggalkan dunia ini. Mereka
berjanji hari ini akan datang kembali menjemput hamba supaya
dapat pergi bersama-sama ke tempat mereka."
Di sini berhentilah si sakit berkata-kata sejurus lamanya
karena percakapan ini rupanya sangat melemahkannya. Kepalanya
dipegangnya, sebagai ia berasa sakit di sana.
"Jika berasa lelah, lebih baik jangan berkata-kata dahulu."
kata dokter.
Setelah berdiam sejurus si sakit menggagahi dirinya, untuk
meneruskan perkataannya, "Tak apa-apa Tuan Dokter. Jangan
kuatir! Sakit kepala hamba datang pula sedikit. Sebelum hamba
meninggalkan dunia ini ada suatu permintaan hamba kepada
Tuan."
"Permiritaan apa itu? Katakanlah! Jika dapat, tentu akan
hamba kabulkan." sahut dokter.
"Hamba ingin benar hendak bertemu dengan Sutan Mahmud,
Penghulu di Padang ini. Bolehkah?" tanya si sakit perlahan-lahan
putus-putus suaranya.
"Tentu sekali boleh." jawab dokter, walaupun ia tiada
mengerti apakah sebabnya seorang opsir tentara, hendak berjumpa
dengan seorang Melayu Padang. "Dengan segera ia akan
hamba minta datang kemari. Adakah lagi permintaan Tuan?"
"Tidak. Hanya itu. Terima kasih!" jawab si sakit.
"Baiklah," kata dokter pula, lalu ke luar, untuk menyuruh
panggil Sutan Mahmud.
Setelah keluar dokter, si sakit tertidur kembali, sebagai
kelelahan karena berkata-kata tadi.
Dua jam kemudian datanglah Sutan Mahmud ke rumah sakit
ini, lalu dibawa penjaga masuk bilik opsir tentara yang sakit tadi.
Tatkala dilihat Sutan Mahmud muka si sakit, sangatlah
terperanjat ia, karena rupa opsir ini tak ubah dengan rupa
anaknya Samsulbahri, yang telah ineninggal dunia di Jakarta,
sepuluh tahun yang telah lalu.
Dengan tiada dapat ditahannya, berlinang-linang air matanya,
sebab terkenang nasib anaknya yang malang itu, yang telah
membunuh dirinya, karena putus asa. Sekali-kali tiada disangkanya
akan demikian untung anaknya yang sebiji mata itu.
Sebenarnya ia telah lama menyesal akan perbuatannya, yang
tergopoh-gopoh atas anaknya itu. Karena akan perbuatan
anaknya itu berhubung dengan bangsa dan pangkatnya yang
tinggi, diusirnya anaknya ini, sehingga istrinya yang hanya
seorang, mati karena kesedihan hati dan anaknya yang tunggal
mernbunuh diri, karena kedukaan. Setelah meninggal anaknya
ini dan setelah dipikirkannya benar-benar perkara ini, terasa
olehnya, bahwa kesalahan anaknya itu sebenarnya tiada
seberapa.
Percintaannya kepada Nurbaya, tak dapat disalahkan; karena
sejak kecil ia bercampur gaul dengan anak sahabatnya ini,
sebagai seorang yang bersaudara kandung. Persangkaannya,
bahkan pengharapannya pun, Nurbaya akan menjadi istri anaknya.
Walaupun Nurbaya tiada berbangsa tinggi, tetapi tak
mengapa. Kecantikan parasnya, kepandaiannya dan tingkah
lakunya yang baik, telah cukup untuk pengganti kerugian
kebangsawanan Padang. lstrinya, Ibu Samsu, bukan orang
berbangsa, tetapi tiada menjadi alangan apa-apa bagi kehidupan
bersuami-istri. Memang patut Samsu bersanding dengan
Nurbaya, seorang cantik, seorang tangkas. Demikian kenangkenangan
Sutan Mahmud.
Maka terbayanglah di matanya pada waktu itu, anaknya
duduk bersuka-sukaan dengan Nurbaya, sebagai orang yang
bersuami-istri. Samsu sebagai seorang dokter dan Nurbaya,
sedang memangku seorang anak laki-laki, cucunya.
"Ah, kalau tak ada Datuk Meringgih jahanam itu, niscaya
kenang-kenanganku ini bukan cita-cita, melainkan
sebenarnyalah. Dan jika tiada karena bangsa dan pangkatku yang
tinggi, barangkali tiada sampai kuusir anakku yang sebiji mata.
Sekarang apa hendak dikata? Karena keduanya tak ada di
dunia ini lagi. Semoga di akhirat dapat disampaikannya sekalian
cita-cita dan hasrat hatinya, yang tiada diperolehnya di dunia
ini."
Di situ bercucuran pula air matanya, jatuh berderai dengan
tiada dirasainya.
Sesungguhnya demikianlah, hati Sutan Mahmud. Sesal
dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, kata pepatah.
Walaupun engkau menjerit sampai ke langit sekalipun,
kesalahanmu ini tak dapat diperbaiki lagi. Jika tiada tergesa-gesa
engkau menjatuhkan hukurnan atas anakmu waktu itu,
barangkali tiada terjadi kesengsaraan dan kesedihan ini dan
dapatlah kaucapai cita-citamu tadi. Tetapi karena engkau masih
sangat terikat oleh kemegahan pangkat dan bangsamu, jadilah
demikian kesudahannya.
Tentu; mulut terdorong, mas padahannya; hukumanmu
terdorong kepada anakmu, kesengsaraan dan kematian beberapa
orang balasnya. "Terlebih besar dosamu atas kesalahanmu ini,
karena engkau seorang kepala negeri, ibu-bapa, tempat meminta,
tempat bertanya, tempat berlindung kepanasan, tempat berteduh
kelrujanan, bagi anak buahmu. Engkaulah yang harus
menyelesaikan yang kusut, memperjemih yang keruh dan
memperbaiki yang rusak.
Bila engkau kepada anakmu sendiri telah menjatuhkan
hukuman yang seberat itu, hanya karena engkau bersangka harus
berbuat sedemikian, karena kebangsawananmu dan pangkatmu
yang tinggi, betapakah engkau akan melakukan kewajibaumu
dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya kepada oiang lain''
fiap-tiap kesalahan itu memang ada hukumannya dan inilah
hukuman yang telah dijatuhkan Tuhan ke atas dirimu. Mudahmudahan
dapatlah engkau memetik ibaratnya!
Sementara Sutan Mahmud berdiri termenung memikirkari
untung nasib anaknya yang malang dan merindukannya serta
menyesal akan perbuatan yang tergesa-gesa, menunggu si sakit
bangun, masuklah dokter tadi ke dalam bilik itu dan karena itu si
sakit terjaga daripada tidurnya, lalu membuka matanya dan
menoleh ke kanan ke kiri. Tatkala dililiatnya Sutan Mahmud,
lalu diperhatikannya Penghulu ini sejurus lamanya. Kemudian
ditutupnya pula matanya dan dilambainya Penghulu ini dengan
tangannya, supaya datang mendekatinya. Dokter dan penjaga
berdiri agak jauh sedikit, karena tiada hendak mendengarkan
percakapan yang mungkin tiada boleh didengar orang lain.
Setelah hampirlah Nenohulu Sutan Mahmud, lalu berkatalah
si sakit perlahan-lahan dengan putus-putus suaranya, "Tuanku
Penghulu! Hamba minta datang Tuanku kemari, karena adalah
suatu rahasia yang hendak hamba bukakan, sebelum hamba
berpulang. Rahasia itu ialah permintaan anak Tuanku sendiri,
Samsulbahri."
"Anak hamba Samsulbahri yang telah meninggal dunia di
Jakarta?" tanya Sutan Mahmud dengan terkejut.
"Ya, Samsu itu, yang tiada jadi mati," sahut si sakit.
"Samsu tiada mati. Anak hamba tiada mati?" tanya Sutan
Mahmud dengan tergesa-gesa dan amat herannya.
"Benar," sahut si sakit.
"Jadi ia masih hidup sekarang? Di manakah ia waktu ini? ...
Tetapi betapakah Tuan tahu akan hal ini."
"Sebab hamba waktu itu ada dalam rumah sakit, tempat ia
diobati," lalu diceritakanlah oleh si sakit tentang penembakan
diri Samsu di Jakarta dan apa sebabnya ia dikatakan telah mati.
Kemudian ia masuk tentara, untuk mencari kematian, tetapi tiada
diperolehnya juga. Akhirnya ia disuruh ke Padang untuk
memadamkan huru-hara belasting.
"Jika demikian, ia ada di Padang sekarang ini." kata Sutan
Mahmud dan mukanya bercahaya karena kesukaan.
"Benar ia datang bersama-sama hamba kemari dan berperang
pun bersama-sama hamba pula. Pangkatnya Letnan dan namanya
Mas, yaitu kebalikan namanya yang sebenarnya. Sam."
Karena bercakap-cakap ini rupanya si sakit bertambah lelah
sehingga berkata pun hampir tak dapat. Mukanya semakin pucat
dan acap kali ia memegaug kepalanya, karena kesakitan.
Setelah berhenti sejurus, berkata pula ia sambil mengangkat
kepalanya sedikit, sebagai kuatir, suaranya tiada akan terdengar
oleh Sutan Mahmud.
"Inilah pesannya: bila . . . ia ... mati minta ... dikuburkan ...
antara ... ibunya ... dan ... Nurbaya ... Allahu Akbar!"
Tatkala habis perkataan ini, habislah pula napas si sakit, lalu
rebah ke tempat tidurnya dan berpulanglah ia dengan tenangnya.
Walaupun kamatian si sakit ini amat tenang dan mudah
rupanya, karena muka mayatnya tiada berubah, sebagai orang
yang tidur biasa saja, sedang pada bibirnya masih berbekas
senyum, seolah-olah suka meninggalkan dunia yang fana ini,
tetapi Sutan Mahmud sangat terperanjat, melihat kematian yang
tiba-tiba ini. Setelah ia berkomat-kamit membaca doa sejurus
lamanya, seraya bertanya, "Kenalkah Tuan, Letnan Mas yang
datang dari Jakarta, bersama-sama Tuan yang baru meninggal
ini? Di manakah ia sekarang ini?"
"Letnan Mas?" tanya dokter dengan heran.
"Ya, Letnan Mas, yang datang kemari untuk berperang
dengan perusuh di Padang ini." kata Sutan Mahmud pula.
"Tiada lain, melainkan inilah dia, yang baru meninggal dunia
ini." jawab dokter.
Tatkala Sutan Mahmud mendengar perkataan dokter ini,
terpekiklah ia, lalu memeluk dan mencium mayat itu, sambil
menangis tersedu-sedu; karena sekarang nyatalah olehnya, si
sakit yang baru meninggal itu, tiada lain melainkan anaknya
sendiri, Samsulbahri, yang telah sepuluh tahun dirindu-rindukannya,
sekarang meninggal di hadapannya, dengan tiada dikenalnya.
"Aduhai Anakku, biji mataku!! Mengapakah tiada dikatakan
lebih dahulu, sehingga ayahda tiada tahu akan anak sendiri.
Memang sejak terpandang mukamu tadi, ayanda telah syak
wasangka; tetapi tiada berani membenarkan persangkaan itu,
karena mustahil rasanya. Wahai! Mengapakah Ananda tiada
hendak mengaku terus terang, melainkan menyembunyikan diri,
sampai ananda tak ada lagi. Barangkali ananda masih marah
kepada ayanda, sehingga tiada hendak mengaku bapa lagi
kepada ayanda.
Telah lama ayanda rasai dan ketahui kesalahan ayanda,
karena telah menjatuhkan hukuman yang berat, ke atas diri
Ananda, dengart tiada usul periksa yang sebaik-baiknya,
sehingga sesal yang tak kunjung putus, telah menggoda ayanda.
Oleh sebab itu, beringin benar ayanda beroleh maaf dari Ananda,
dunia dan akhirat.
Aduhai Ananda! Mengapakah tatkala hidup dalam sepuluh
tahun, tiada hendak kembali kepada ayanda, sehingga ayanda
hanya diberi kesempatan sejurus lamanya, untuk bercakap-cakap
dengan Ananda, yang tiada ayanda kenal lagi, pada penghabisan
umur Ananda?
Kesalahan ayanda kepada Ananda memanglah besar, tetapi
patut juga Ananda maklumi kekurangan orang tua, yang terikat
oleh adat istiadat negerinya, sebagai ayanda ini. Sekarang apalah
gunanya ayanda hidup lagi, seorang diri di atas dunia ini, karena
Ananda tak ada lagi; sedang bunda Ananda pun telah lama pula
meninggalkan ayanda. Bawalah ayanda bersama-sama, supaya
dapat pula kita bercampur gaul, sebagai dahulu. Janganlah
ayanda ditinggalkan seorang diri, di atas dunia ini!
"Ya Allah, ya Tuhanku! Lekaslah cabut pula nyawaku ini,
supaya dapat bertemu kembali dengan anak-istriku!"
Maka pingsanlah Sutan Mahmud, tiada khabarkan dirinya
lagi.
Pada keesokan harinya diusunglah sebuah jenazah dari rumah
Sutan Mahmud, Penghulu di Padang, yang dipikul oleh empat
orang Kepala Kampung. Jenazah ini, sebagai kebiasaan di
Padang, ditutup dengan kain putih, yang penuh ditaburi bungabungaan.
Sebelah ke muka, di tengah-tengah dan sebelah ke
belakang, jenazah itu dipayungi dengan payung kuning, tanda
yang meninggal itu seorang bangsawan tinggi. Di muka jenazah,
berjalan dua orang muda. Yang membakar setanggi dan gaharu
dalam perasapan yang ditaruh di atas dulang perak. Yang
seorang lagi membawa bunga-bungaan dan air cendana. Di kiri
kanan jenazah ini, berjalan beberapa pemuda bangsawan, yang
membawa tombak dan perisai, pedang dan panji-panji, dan lainlainnya,
yang biasa dibawa dalam upacara penguburan anak rajaraja.
Hanya gendang dan serunailah yang tiada kedengaran
bunyinya, karena tiada dibenarkan oleh ulama-ulama.
Di belakang jenazah ini, kelihatan haji-haji, syekh-syekh,
ulama-ulama, yang tiada putus-putusnya zikir dan membaca doa.
Di belakang mereka, berjalan pembesar, pegawai-pegawai,
Kepala-Kepala, orang tua-tua, cerdik pandai, kaum bangsawan
dan rakyat biasa. Di belakang itu pula, berbaris serdadu yang
memakai pakaian kebesaran.
Mulanya akan disertakan musik dan penembakan bedil,
menurut aturan tentara, tetapi ini pun tiada dapat dibenarkan oleh
kaum ulama. Sebagai penutup, kelihatan kendaraan pembesarpembesar
kota Padang, dari sekalian bangsa yang berjejer
sampai jauh ke belakang.
Jenazah siapakah itu? Itulah jenazah Samsulbahri, anak Sutan
Mahmud, Penghulu Padang yang terkenal, sebagai seorang
bangsawan tinggi, yang dihormati dan dimuliakan orang. Bagi
sahabat kenalannya, Samsulbahri adalah seorang yang baik budi,
peramah pengasih penyayang, penolong dengan tiada menilik
rupa dan bangsa. Dalam tentara ialah Letnan Mas, yang masyhur
gagah beraninya dan telah menolong Pemerintah dalam beberapa
kesukaran peperangan. Itulah sebabnya, tatkala hidupnya
dadanya dihiasi beberapa bintang. Bagi kaum keluarganya, ialah
seorang anak yang disayangi.
Di antara orang yang banyak, yang mengantarkan jenazah
ini, kelihatan seorang tua bungkuk, yang telah berambut putih,
berjalan perlahan-lahan di sisi jenazah, sebentar-sebentar
meminta ikut mendagang jenazah ini, dengan air matanya yang
tergenang di pelupuk matanya, seraya berkata seorang diri, "Ya,
inilah penanggungan orang yang dikurniai Tuhan umur yang
panjang. Segala yang muda-muda, yang mendahuluinya, harus
diantarkannya seorang ke dalam kubur, sampai datang gilirannya,
ia sendiri diantarkan orang ke makamnya.
"Alangkah beratnya bagi mereka yang harus melihat kekasihnya
dilahirkan dan diambil kembali, oleh Yang Maha Kuasa.
Ibunya kulihat dilahirkan, dan sepuluh tahun yang lalu, kuantarkan
ia kekuburan. Anaknya ini, kulihat pula dilahirkan. Sekarang
harus pula kuantarkan ia ke makamnya. Tetapi aku sendiri,
bilakah datang giliranku? Dan siapakah yang akan mengantarkan
aku ke kuburku?" Demikianlah pikiran orang tua itu, yakni kusir
Ali yang sangat terikat hatinya kepada Samsulbahri dan ibunya.
Di antara perempuan, yang banyak pula pergi mengantarkan,
kelihatan Sitti Alirnah dengan ibu-bapanya, karena teringat akan
Sitti Nurbaya, kekasih yang meninggal ini.
Setelah jenazah Samsulbahri dibawa ke mesjid dan
disembahyangkan di sana, barulah dibawa ke Gunung Padang,
tempat makam yang diminta oleh yang meninggal. Setelah
sampai ke sana diturunkanlah jenazah Samsulbahri ke dalam
kubur, yang letaknya antara kubur ibunya dan Sitti Nurbaya,
kekasihnya, sebagaimana permintaannya, pada penghabisan
umurnya, lalu diernbangkan dan ditimbunlah liang kubur itu.
Kemudian dibacakan talkin.
Sekalian pembesar Belanda dan bangsa lain turut menimbun
kubur itu dengan sekepal tanah dan akhirnya disiramilah kubur
itu dengan air cendana dan disebarkanlah bunga-bungaan ke
atasnya. Setelah itu berpidatolah seorang pembesar tentara,
memperingati kegagahan dan kesetiaan yang meninggal, kepada
Pemerintah. Ialah anak negeri yang mula-mula dapat mencapai
pangkat yang setinggi itu dalam golongan tentara. Kemudian
diucapkannya, supaya arwah yang meninggal mendapat
kesentosaan dan kesejahteraan di alam yang baka.
Setelah Sutan Mahmud mengucapkan terima kasih kepada
pembesar ini dan kepada sekalian orang yang telah datang
memperlihatkan kesedihan hatinya, dengan bersusah payah, ikut
serta menyelamatkan jenazah anaknya dan setelah dimintakannya
maaf atas sekalian dosa kesalahan anaknya ini, yang dapat
memberatinya di dalam kuburnya dan setelah dimintakannya
pula doa sekalian yang hadir kepada Allah taala, untuk
keselamatan Samsulbahri, pulanglah sekaliannya ke rumah
masing-masing. Hanya Sutan Mahmud dengan beberapa hajilah
yang masih tinggal mengaji di sana. Kemudian mereka ini pun
pulang pula dan tinggallah Sutan Mahmud dengan kusir Ali,
termenung duduk di atas sebuah batu. Rupanya Sutan Mahmud
terlalu berdukacita karena kematian anaknya ini dan amat
menyesal akan perbuatannya yang telah lalu.
Setelah malamlah hari, berjalanlah kedua mereka itu dari
sana dan sunyilah di makam itu. Hanya Samsulbahrilah yang
tinggal seorang diri, di tempatnya yang awal dan akhir ini.
Insaflah insan akan dirimu, demikianlah juga akhirnya akan
jadimu!
Dua bulan kemudian, kelihatan pada suatu hari, dua orang
muda naik bendi menuju ke Muara. Walaupun pakaian mereka
cara Eropah, tetapi kopiahnya yang hitam itu menyatakan, bahwa
mereka bangsa Bumiputra, anak negeri di sana.
Seorang daripada mereka, berpangkat dokter dan seorang
lagi, berpangkat opseter. Keduanya memegang seikat bunga
dalam tangannya. Setelah sampai ke Muara, lalu mereka
menyeberang sungai Arau dan mendaki Gunung Padang. Tatkala
mereka tiba di tempat yang ditujunya, kelihatanlah di sana
olehnya, lima buah kubur sejejer berdekat-dekatan. Kelima
kubur itu sama besar dan sama bentuknya. Pada tiap-tiap kepala
kubur ini, ada batu nisan dari marmer, yang bertulis dengan
huruf air mas. Di kubur yang pertama tertulis "Inilah kubur
Baginda Sulaiman, meninggal pada tanggal 5 Ramadan, tahun
1315"
Pada nisan yang kedua tertulis "Inilah kubur Siti Nurbaya,
binti Baginda Sulaiman meninggal pada tanggal 5 Zulhidjdjah
tahun 1315".
Pada nisan yang ketiga tertulis "Inilah kubur Samsulbahri,
anak Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal tanggal 5
Syafar, tahun 1326".
Pada nisan yang keempat tertulis, "Inilah kubur Sitti
Maryam, istri Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal pada
tanggal 5 Zulhijah 1315."
Pada nisan yang kelima tertulis "Inilah kubur Sutan Mahmud,
Penghulu Padang, meninggal pada tanggal 8 Rabiulawal, tahun
1326".
Kedua anak muda tadi, lalu menaburkan bunga yang
dibawanya ke atas kelima kubur ini, terlebih-lebih ke atas kubur
yang kedua dan ketiga, sedang air matanya berlinang-linang.
"Bakhtiar!" kata dokter itu. "Adakah engkau sangka, tatkala
kira-kira sebelas tahun yang lalu, berjalan-jalan dengan Samsu
dan Nurbaya kemari, kita pada waktu ini akan melawat kuburnya
di sini? Masihkah engkau mengingat waktu itu, tiga bulan
sebelum kita berangkat ke Jakarta?"
"Sesungguhnya, Arifin," jawab opseter, "tidak kusangka
sekali-kali. Tetapi apa hendak dikata? Karena manusia itu tiada
dapat berbuat sekehendak hatinya, melainkan haruslah menepati
segala janji, yang telah diperbuat. Meskipun demikian, kelima
mereka ini telah nyata dan tetap tempatnya, berdekat-dekatan
kelimanya. Akan tetapi kita ini, belum tentu lagi, entah di mana,
entah dengan siapa."
"Tetapi apakah sebabnya Engku Sutan Mahmud meninggal
dengan tiba-tiba? Apakah sakitnya?" tanya Arifin pula.
"Rindu akan anak-istrinya, menyesal akan perbuatannya,"
jawab Bakhtiar.
"Kasihan," sahut Arifin.
Setelah disuruh mereka beberapa fakir mengaji di sana,
kembalilah keduanya pulang ke rumahnya. Hanya yang telah
berkubur itu jugalah yang tinggal di sana, untuk selama-lamanya.
TAMAT