Thursday, April 16, 2015

Mari Cegah PHK Sepihak



Pada Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei atau yang juga dikenal dengan May Day, seperti biasanya selalu diramaikan dengan aksi demonstransi buruh dimana-mana. Ratusan bahkan mungkin mencapai ribuan buruh yang tergabung dalam berbagai komunikasi atau oranganisasi buruh turun ke jalan untuk menyurarakan aspirasi mereka, dan tuntutan utama para kryawan tersebut adalah perbaikan kesejaterahan atau dengan kata lain masalah upah!
Bagi sebagian orang aksi demonstrasi yang dilakukan buruh dianggap mengganggu karena membuat jalanan jadi macet, apalagi jika sampai berakhir rusuh. Bahkan sampai ada yang mengumpat dan memaki mereka “bukannya bersyukur sudah dikasih kerja malah menuntut macam-macam, di PHK baru tau rasa!’
Padahal kalau kita mau memperhatikan lebih seksama akan terlihat diwajah kaum buruh itu terlukis kerasnya hidup yang mereka lalui untuk mencari nafkah keluarga. Di wajah mereka tergambar rona penderitaan karena tenaganya diforsir siang malam hanya untuk mendapatkan upah yang tidak seberapa.
Selain masalah minimnya upah yang mereka terima, ancaman terbesar yang mereka hadapi yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang bisa datang kapan saja. PHK sepihak yang diputuskan oleh pengusaha terhadap buruh sering dilakukan dengan alasan efisiensi, rasionalisasi, restrukturisasi, relokasi, take over, atau kondisi ekonomi yang kurang mendukung kelanjutan usaha mereka dan lain sebagainya. Pekerja/buruh cenderung menjadi opsi pertama untuk dikorbankan sebagai solusi jika perusahaan dalam masalah.
Dan sangat disayangkan regulasi yang ada seperti Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum mampu memberikan perlindungan terhadap ancaman PHK sepihak tesebut. Buruh tetap berada diposisi yang lemah karena perusahaan bisa kapan saja melakukan PHK tanpa harus melalui prosedur yang berbelit seperti izin dari Dinas Tenaga Kerja. Dan buruh seringkali terpaksa menerima di PHK secara sepihak karena untuk memperkarakannya membutuhkan energi dan biaya yang tidak sedikit. Harus bolak balik ke kantor Dinas Tenaga Kerja atau ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sementara pesangon yang diperjuangkan tidaklah seberapa. Ketika terjadi PHK banyak buruh yang langsung putus asa “dari pada harus sibuk berurusan apalagi sampa ke PHI lebih baik terima apa adanya”.
Dan bila dilihat sepintas, posisi buruh dengan posisi pengusaha buruh memang sangat tidak seimbang. Para buruh dianggap “kasar”. bepenghasilan kecil serta terkesan “massal” berpendidikan rendah dan kurang memahami aturan dan hak-haknya. Bertolak belakang dengan pengusaha yang terkesan lebih intelek, sangat berjasa karena berinvestasi membayar pajak membuka lapangan kerja.
Melihat kondisi buruh yang lemah seharusnya pemerintah mengambil kebijakan yang lebih berpihak kepada buruh agar tidak terjadi PHK secara sepihak oleh para induk semangnya. Misalnya dengan memperpanjang prosedur PHK karena dengan semakin sulitnya buruh di PHK maka akan menciptakan ketenangan dalam bekerja sekaligus akan meminimalisir perselisihan hubungan indurstrial. Karena gejolak demostrasi atau mogok massal yang dilakukan buruh dari dulu hingga kini adalah terjadi karena didorong oleh masalah upah dan PHK.