Saturday, June 27, 2015

Plus Minus Incumbent



Tidak terasa lima tahun berlalu, musim baliho dari orang-orang yang merasa pantas menjadi bakal calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) di Sumatera Barat mulai bertebaran di mana-mana. Baliho tidak hanya terpampang di dalam kota, tetapi juga merambah keluar kota, di sepanjang tepi jalan hingga ke Kecamatan dan Nagari/Desa di seluruh Ranah Minangkabau.
Pada hakikatnya pemasangan baliho tersebut merupakan bentuk promosi politik untuk mendongkrak citra dengan memasang foto diri, dan slogan-slogan janji politik bagi mereka yang berambisi menjadi kepala daerah. Tidak perduli terpilih atau tidak terpilih nantinya, yang penting foto diri telah bertebar di mana-mana, yang penting tambah terkenal. Semua baliho di samping terpampang foto diri, juga ada slogan-slogan yang mempromosikan janji-janji politiknya.
Tak perlu memiliki visi dan misi yang logis, cukup dengan memajang gambar diri dengan senyum lebar tanpa dosa ditambah janji-janji, maka seseorang sudah bisa mengaku diri sebagai calon pemimpin masa depan.
Memang, bila sepintas lalu, tidak ada yang salah dengan baliho-baliho tersebut, namun ketika melihat baliho para incumbent (petahana, pejabat yang tengah memerintah), muncul keheranan dibenak kita, untuk apa?. Apakah sama dengan baliho lainnya atau sekedar untuk memberitahu bahwa dia akan maju lagi. Seorang incumbent yang telah mempimpin selama 5 tahuan, seharusnya tidak perlu lagi memajang dan menjual diri dalam baliho yang besar-besar. Tak perlu melakukan politik pencitraan lewat baliho, kalau memang sukses maka Rakyat dengan sendirinya yang akan meminta kembali untuk memimpin.
Para incumbent pada umumnya memiliki banyak keuntungan, terutama nama yang sudah dikenal luas (awareness) dan kemampuan mendapatkan sumber dana (fundraising ability). Incumbent secara alamiah telah mempunyai bekal instrumen perangkat dan institusi di bawahnya, bisa dengan mudah mengendalikan uang APBD untuk dialokasikan pada upaya pencitraannya. Juga bisa mengendalikan Penyelenggara Pemilukada  dengan mengangkat aparat birokrasi yang bisa “disetir” menjadi petugas-petugas KPU, KPPS, PPS, PPK. Mengendalikan aparat birokrasi, menggunakan fasilitas-fasilitas kedinasan untuk kepentingan pencalonan. Dan yang tak kalah penting calon incumbent memiliki fasilitas informasi yang lebih banyak sehingga dapat digunakan untuk meyakinkan publik. Incumbent juga lebih tahu secara detail yang menjadi kelebihan dan kekurangan daerahnya, terutama terkait dengan program yang sudah dan belum dilaksanakan.
Para incumbent saat menjalankan tugasnya sebagai pejabat dan pada saat bersamaan, secara tidak langsung juga melakukan kampanye. Mengunjungi masyarakat, berdialog, memberikan informasi dan menyajikan tanggapan atas pertanyaan masyarakat, meresmikan sebuah kegiatan atau proyek adalah bagian dari tugas seorang pejabat. Aktivitas tersebut secara bersamaan juga sering dimanfaatkan untuk menjual diri sebagai orang yang akan mencalonkan diri lagi. Pendeknya, jika kandidat lain hanya berkampanye menjelang pemilihan, para incumbent telah berkampanye selama 5 tahun menjabat. Tidak mengherankan kalau potensi kemenangan dari incumbent ini jauh lebih besar dibandingkan dengan orang baru.
Akan tetapi, mengalahkan incumbent juga bukan tidak mungkin. Pada tahun 2005 dan 2010 dari masing-masing 200-an Pemilukada yang diikuti oleh incumbent, hasilnya berimbang dimana persentase incumbent yang menang tidak jauh berbeda dengan incumbent yang kalah. Hal ini seiring dengan sebuah adagium terkenal yang menyebutkan: “Merebut kemenangan adalah hal yang sangat sulit, tetapi mempertahankan kemenangan adalah sesuatu yang jauh lebih sulit.” Artinya kesulitan terbesar berada pada incumbent bukan pada para penantang, dan Juara bertahan bukanlah sosok yang harus ditakuti.
Apalagi jika incumbent  tidak mempunyai prestasi luar biasa selama masa kepemimpinannya. Para pemilih pasti akan memberikan ‘hukuman’ dengan tidak lagi memilih incumbent yang tidak berpretasi atau cuma berprestasi biasa-biasa saja. Kalaupun kinerja incumbent sering dilihat dan diksepose atas dasar penghargaan yang diterima dari pemerintah pusat. Namun ketika masyarakat tak mampu merasakan penghargaan itu secara nyata berdampak pada peningkatan kesejahteraannya, maka “keberhasilan” itu tidak akan mampu mengarahkan pilihan masyarakat terhadap incumbent.
Pencitraan yang dilakukan Humas pemerintah jika tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pelayanan prima, maka hanya menjadi bumerang bagi incumbent itu sendiri. Kini Pemerintah bukan lagi raja yang harus dilayani rakyatnya, akan tetapi sebagai pelayan dan pengayom rakyat.
Seringkali Humas kebablasan melakukan marketing pencitraan sehingga yang terjadi malah aksi “bunuh diri”, misalnya dengan baliho, spanduk, pamflet hanya dengan memasang photo Kepala Daerah tanpa wakilnya. Kesan yang muncul adalah bahwa sang Kepala Daerah telah “menyingkirkan” wakilnya, yang pada akhirnya memunculkan opini bahwa Kepala Daerah telah menzalimi Wakilnya karena takut bersaing nantinya di Pemilukada. Ketika ada kecenderungan salah satu pihak “dilemahkan” atau “ditekan” oleh pihak lain atas dasar kekuasaan, maka itu akan mendatangkan simpati terhadap yang dilemahkan atau ditekan itu. Metode pelemahan karakter terhadap lawan tidak akan pernah berdampak positif, alih-alih justru menguntungkan pihak lawan tersebut.
Apabila hal ini jika dimanfaatkan oleh para penantang sebagai trending topic maka bisa dijadikan sebagai senjata mematikan dalam melakukan serangan balik terhadap para Incumbent yang tengah melakukan “operasi pasar” menjelang memasuki tahap Pemilukada. Predikat sebagai sosok yang dizalimi bisa menjadi senjata ampuh untuk mendorong citra dirinya, kisah Taufik Kiemas yang “menzalimi” SBY tahun 2004 telah membuat Presiden Megawati sebagai Incumbent tumbang oleh SBY.
Banyak sisi gelap incumbent yang dapat dijadikan sasaran tembak untuk mengurangi kekuatan politiknya, karena dalam politik segalanya bisa digunakan sebagai senjata untuk meraih kemenangan. Biasanya incumbent sulit terbebas dari praktek-praktek curang dalam menjalankan roda pemerintahan, seperti kolusi dalam menetapkan pemenang paket pekerjaan, kolusi atau nepotisme dalam melakukan pengangkatan sutruktural setingkat Kepala Dinas, Camat dan lain-lain, atau terlalu ikut campurnya isteri Kepala Daerah dalam urusan pemerintahan.
Maka, tidak usah takut dengan incumbent, karena incumbent bukanlah dewa yang tak bisa ditumbangkan. Kelebihan incumbent bisa digunakan sebagai kelemahan oleh para penantangnya. Segala tindak tanduk, sikap, kebijakan, tutur kata, pakaian, dari seorang incumbent adalah komunikasi politik. Setiap bahasa tubuhnya menjadi perhatian dan membuat image politik akan senantiasa terbangun.
Kita bisa lihat pada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok, gaya komunikasinya didepan publik terkesan arogan, keras dan cenderung kasar. Suka marah-marah bahkan memaki orang atau bawahannya  di muka umum. Meski apa yang disampaikannya benar dan didukung masyarakat, tetapi disisi lain membuat orang “yang dikata-katain” tidak nyaman dan akan membuat sebagian masyarakat jadi kurang simpati. Berani dan Tegas tidak harus kasar, melainkan harus dengan mulut manis. Keberanian dan ketegasan harus dikemas dengan komunikasi yang baik dan santun, enak didengar dan sejuk dihati. Sebagai orang timur masyarakat kita cenderung lebih mengutamakan sopan dan santun, tidak tempramental dan emosional.
Hal terberat sebenarnya ketika ia membuat kebijakan publik. Apabila kebijakan tersebut tidak populer dan bertentangan dengan opini publik, maka hal itu akan jadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Faktor rakyat sangat menentukan, saat ini rakyat lebih suka pemimpin yang mempunyai personal branding membumi dan terbukti bekerja, pemimpin yang dekat dengan rakyat, tidak ragu turun ke jalan. Bersikap apa adanya, jika ada kesalahan diakui dan akan memperbaikinya, bukan mengeluh dan menghindar.
Oleh karena itu, supaya tidak “cakak habih silek takana”,  mengingat masih banyak waktu menjelang Pemilukada hendaknya dipertimbangkan bahwa  kampanye dengan menebar pesona melalui baliho, dan sejenisnya itu hanya menjadikan para kandidat bak bintang iklan, yang justru menjauhkannya dari calon pemilihnya. Cara ampuh yang ditempuh dengan masuk ke kampung-kampung, pelosok-pelosok desa untuk bertemu langsung dengan masyarakat sebaiknya dilakukan oleh para kandidat yang akan berkampanye. Dengan demikian, para kandidat dapat mendengar langsung aspirasi, keluh-kesah, maupun apa yang dibutuhkan masyarakat sebagai calon konsituennya. Dalam kampanyenya juga, sebaiknya tidak mengumpulkan dan berorasi dihadapan orang banyak, tapi lebih mendatangi warga. Sehingga mampu memberi “kehangatan” dengan jiwanya yang mengayomi.
Lagipula, apabila kita simak tulisan-tulisan dalam baliho, spanduk, pamflet dan sejenisnya itu kebanyakan hanya menampilkan slogan berupa janji-janji belaka. Kini zamannya para kandidat untuk tampil smart dengan menggali aspirasi lalu menawarkan solusi.
Berlomba-lombalah membangun rasa percaya diri masyarakat, kembangkan transparansi dan optimisme, tumbuhkan semangat ekonomi kerakyatan, dan buka ruang-ruang demokrasi dari tingkat yang paling bawah. Sehingga akhirnya masyarakat pun dengan jujur akan menilai siapa yang layak dipilihnya sebagai Gubernur, Bupati atau Walikota.
Lubuk Basung, 26 Juni 2015

Wednesday, June 17, 2015

Khalifah Umar Bin Khatab, Pemimpin Yang Penuh Tanggung Jawab



Khalifah Umar bin Khatab dikenal sebagai pemimpin yang sangat disayangi rakyatnya karena perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa pada rakyatnya. Salah satu kebiasaannya adalah melakukan pengawasan langsung dan sendirian berkeliling kota mengawasi kehidupan rakyatnya. Inilah beberapa kisahnya.
Pada suatu malam hartawan Abdurrahman bin Auf dipanggil oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk diajak pergi ke pinggir kota Madinah.
“Malam ini akan ada serombongan kafilah yang hendak bermalam di pinggir kota, dalam perjalanan pulang”, kata Khalifah Umar kepada Abdurrahman bin Auf.
“Lalu apa masalahnya?” tanya Abdurrahman.
“Kafilah ini akan membawa barang dagangan yang banyak, maka kita sebaiknya ikut menjaga keselamatan barang dari gangguan tangan-tangan usil. Jadi nanti malam kita bersama-sama harus mengawal mereka”, sahut sang Khalifah. Abdurahman dengan senang hati membantu dan siap mengorbankan jiwa raganya menemani tugas khalifah yang ia cintai ini.
Demikianlah sang khalifah menjalankan tugasnya, turun tangan langsung untuk memastikan rakyatnya tidur dan hidup dengan tenang. Bahkan malam itu khalifah Umar mendesak Abdurahman untuk tidur sambil siaga sementara ia sendiri tetap terjaga hingga pagi hari.
Khalifah Umar bin Khattab memang dikenal sebagai seorang pemimpin yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik secara diam-diam. Orang yang ditolongnya sering tidak tahu, bahwa penolongnya adalah khalifah yang sangat mereka cintai.
Pernah suatu malam Auza’iy pernah ‘memergoki’ Khalifah Umar masuk rumah seseorang. Ketika keesokan harinya Auza’iy datang ke rumah itu, ternyata penghuninya seorang janda tua yang buta dan sedang menderita sakit. Janda itu mengatakan, bahwa tiap malam ada orang yang datang ke rumahnya untuk mengirim makanan dan obat-obatan. Tetapi janda tua itu tidak pernah tahu siapa orang tersebut! Padahal orang yang mengunjunginya tiap malam tersebut tak lain adalah adalah khalifah yang sangat ia kagumi selama ini.
Pada suatu malam lainnya ketika Khalifah Umar berjalan-jalan di pinggir kota, tiba-tiba ia mendengar rintihan seorang wanita dari dalam sebuah kemah yang lusuh. Ternyata yang merintih itu seorang wanita yang akan melahirkan . Di sampingnya, duduk suaminya yang kebingungan. Maka pulanglah sang Khalifah ke rumahnya untuk membawa isterinya, Ummu Kalsum, untuk menolong wanita yang akan melahirkan anak itu. Tetapi wanita yang ditolongnya itu pun tidak tahu bahwa orang yang menolongnya dirinya adalah Khalifah Umar, Amirul Mukminin yang mereka cintai.
Pada kisah lainnya, ketika sang Khalifah sedang ’meronda’, ia mendengar tangisan anak-anak dari sebuah rumah kumuh. Dari pinggiran jendela ia mendengar, sang ibu sedang berusaha menenangkan anaknya. Rupanya anaknya menangis karena kelaparan sementara sang ibu tidak memiliki apapun untuk dimasak malam itu. Sang ibupun berusaha menenangkan sang anak dengan berpura-pura merebus sesuatu yang tak lain adalah batu, agar anaknya tenang dan berharap anaknya tertidur karena kelelahan menunggu. Sambil merebus batu dan tanpa mengetahui kehadiran Khalifah Umar diluar jendela, sang ibupun bergumam mengenai betapa enaknya hidup khalifah negeri ini dibanding hidupnya yang serba susah. Khalifah Umar yang mendengar hal ini tak dapat menahan tangisnya, iapun pergi saat itu juga meninggalkan rumah itu. Malam itu juga ia menuju ke gudang makanan yang ada di kota, dan mengambil sekarung bahan makanan untuk diberikan kepada keluarga yang sedang kelaparan itu. Bahkan ia sendiri yang memanggul karung makanan itu dan tidak mengizinkan seorang pegawainya yang menemaninya untuk membantunya. Ia sendiri pula yang memasak makanan itu, kemudian menemani keluarga itu makan, dan bahkan masih sempat pula menghibur sang anak hingga tertidur sebelum ia pamit untuk pulang. Dan keluarga itu tak pernah tahu bahwa yang datang mempersiapkan makanan buat mereka malam itu adalah khalifah Umar bin Khatab !

Abu Nawas, episode : Asmara Memang Aneh



Secara tak terduga Pangeran yang menjadi putra marikota jatuh sakit. Sudah banyak tabib yang didatangkan untuk memeriksa dan mengobati tapi tak seorang pun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Raja mengadakan sayembara. Sayembara boleh diikuti oleh rakyat dari semua lapisan. Tidak terkecuali oleh para penduduk negeri tetangga.
Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan itu dalam waktu beberapa hari berhasil menyerap ratusan peserta. Namun tak satu pun dari mereka berhasil mengobati penyakit sang pangeran. Akhirnya sebagai sahabat dekat Abu Nawas, menawarkan jasa baik untuk menolong sang putra mahkota.
Baginda Harun Al Rasyid menerima usul itu dengan penuh harap. Abu Nawas sadar bahwa dirinya bukan tabib. Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa. Para tabib yang ada di istana tercengang melihat Abu Nawas yang datang tanpa peralatan yang mungkin diperlukan. Mereka berpikir mungkinkah orang macam Abu Nawas ini bisa mengobati penyakit sang pangeran? Sedangkan para tabib terkenal dengan peralatan yang lengkap saja tidak sanggup. Bahkan penyakitnya tidak terlacak. Abu Nawas merasa bahwa seluruh perhatian tertuju padanya. Namun Abu Nawas tidak begitu memperdulikannya.
Abu Nawas dipersilahkan memasuki kamar pangeran yang sedang terbaring. La menghampiri sang pangeran dan duduk di sisinya. Setelah Abu Nawas dan sang pangeran saling pandang beberapa saat, Abu Nawas berkata, "Saya membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering mengembara ke pelosok negeri."
Orang tua yang diinginkan Abu Nawas didatangkan. "Sebutkan satu persatu nama-nama desa di daerah selatan." perintah Abu Nawas kepada orang tua itu.
Ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Kemudian Abu Nawas memerintahkan agar menyebutkan bagian utara, barat dan timur. Setelah semua bagian negeri disebutkan, Abu Nawas mohon agar diizinkan mengunjungi sebuah desa di sebelah utara. Raja merasa heran.
"Engkau kuundang ke sini bukan untuk bertamasya."
"Hamba tidak bermaksud berlibur Yang Mulia." kata Abu Nawas.
"Tetapi aku belum paham." kata Raja.
"Maafkan hamba, Paduka Yang Mulia. Kurang bijaksana rasanya bila hamba jelaskan sekarang." kata Abu Nawas. Abu Nawas pergi selama dua hari.
Sekembali dari desa itu Abu Nawas menemui sang pangeran dan membisikkan sesuatu kemudian menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Lalu Abu Nawas menghadap Raja.
"Apakah Yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?" tanya Abu Nawas.
"Apa maksudmu?" Raja balas bertanya.
"Sang pangeran sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini." kata Abu Nawas menjelaskan.
"Bagaimana kau tahu?"
"Ketika nama-nama desa di seluruh negeri disebutkan tiba-tiba degup jantungnya bertambah keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian utara negeri ini. Dan sang pangeran tidak berani mengutarakannya kepada Baginda."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Raja.
"Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu."
"Kalau tidak?" tawar Raja ragu-ragu.
"Cinta itu buta. Bila kita tidak berusaha mengobati kebutaannya, maka ia akan mati." Rupanya saran Abu Nawas tidak bisa ditolak. Sang pangeran adalah putra satu-satunya yang merupakan pewaris tunggal kerajaan.
Abu Nawas benar. Begitu mendengar persetujuan sang Raja, sang pangeran berangsur-angsur pulih. Sebagai tanda terima kasih Raja memberi Abu Nawas sebuah cincin permata yang amat indah.