Thursday, February 11, 2016

Catatan Pllkada Agam : Pertandingan Final

Pertandingan Final itu telah usai, Peluit panjang tanda berakhirnya permainan telah dibunyikan wasit, ball possesions menunjukkan angka 47% - 53%, Tidak ada lagi tambahan waktu, apalagi adu pinalti !
Sebagian penonton telah meninggalkan stadion, pulang...dan umumnya itu suporter Tim yang kalah.
Sekarang tinggal menunggu waktu penyerahan Piala dan bonus bagi Sang Juara !
Anehnya, biarpun pertandingan telah game over, masih terdengar gemuruh suara dari para suporter. Bukan hanya dari suporter dan tim yang kalah, tetapi juga dari suporter dan tim yang telah dinyatakan menang.
Suporter dan Tim yang kalah....biasa lah, meratap....menuding pertandingan tidak berjalan normal, Wasit tidak fair, hakim garis tidak becus.
Suporter dan Tim yang menang pun....anehnya berlaku seperti kelompok yang kalah pula. Meratap !..Saling unjuk jasa, bahkan juga saling tuding...seharusnya kita lebih mendominasi permainan. Lebih parahnya, mereka ikut meratap melihat yg kalah meratapi kekalahan.
Sudah lah,...yang kalah biarkan meratap,...biarkan saja. Yang menang, bersorak lah, bergembira lah.
Seharusnya setelah pertandingan usai, saling bersalaman dan bertukar baju kaos....!
‪#‎catatanpilkada‬


Serangan Balik!
Usainya Pilkada tak membuat suhu Kabupaten Agam mereda walaupun pemenang telah dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Agam periode 2016 – 2021. Hari ini dari berita di koran, ada 2 peristiwa yang membuat panasnya Pilkada Agam kemarin masih terasa hingga kini.
Pertama, pengunduran diri Syafirman, SH dari jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Agam. Syafirman mengundurkan diri menjelang usia pensiun sebagai Aparatur Sipil Negara (PNS). Kedua, Ketua DPRD Agam Marga Indra Putra melaporkan Wakil Ketua DPRD Agam Suherman ke Badan Kehormatan (BK).
PNS dan masyarakat Agam khususnya di Lubuk Basung bertanya-tanya ada apa gerangan Syafirman sampai minta mundur? bukankah sampai waktu pensiun itu Bupati juga tidak akan memberhentikan/mutasi Sekda maupun PNS lainnya karena ada aturan yang melarangnya.
Setelah pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Agam terpilih, suasana dipermukaan terlihat biasa-biasa tetapi di media sosial Facebook terjadi pem-buly-an terhadap beberapa pejabat yang dianggap tidak mendukung pasangan pemenang Pilkada. Dari situ publik jadi tahu bahwa ada pertarungan diantara para pejabat di Kabupaten Agam selama Pilkada kemarin, ada praktek dukung-mendukung.
Apa yang kita baca dari pengunduran diri Syafirman atau yang akrab disapa Pak Cap atau Uncu Cap ? berbagai pandangan dan komentar dapat kita lihat dari status2 yang ada di FB maupun media cetak.
Bagi saya, pengunduran Syafirman yang merupakan salah seorang pemangku Jabatan Sekda terlama di republik ini, 8 tahun! Ini bukan pengunduran biasa!!. Pak Syafirman merupakan pejabat yang sangat loyal terhadap atasannya, tidak pernah menolak atau membantah perintah atasan. Beliau juga dikenal sangat sabar, dari raut wajahnya tergambar bahwa beliau “bersih” dan bahu serta gestur beliau selalu menunjukkan bahwa beliau bukanlah orang yang tinggi hati. Artinya, beliau sangat kuat terhadap tekanan! Artinya beliau mundur bukan karena tekanan.
Saya melihat, pengunduran diri yang dilakukan beliau merupakan sebuah “serangan balik” dan pukulan telak terhadap pihak2 tertentu. Bisa jadi mereka yang mengharap sesuatu menjadi buluih. 

Lubuk Basung 23 Februari 2016

Wednesday, February 10, 2016

Beda Ahok dengan Akuan

Pada awal 2000 an saya pernah bekerja pada perusahaan milik "orang China" dan disana saya kenal dan bergaul dg orang China. Nama mereka hampir semuanya diawali dengan huruf A. Ada Atan, Asu, Ahong, dan yang cukup akrab namanya Akuan.
Akuan ini orangnya suka sekali berjudi, togel, taruhan bola...sama dengan banyak China lainnya. Katanya sih biar cepat kaya. Dan itu "biasa" asal tidak menyakiti orang lain. Dan tidak memaksakan kehendak pada orang lain.
Akuan suka bersahabat, sama halnya dengan orang kita bersahabat. Jika sudah akrab maka kita juga akan diajak berkunjung kerumahnya. Dan dia pun akan berkunjung kerumah kita. Tidak ada beda dengan cara orang kita bersahabat.
Pernah suatu waktu saya dikasih ikan, ketika saya tanya dapat dari mana. Rupanya ikan itu dia curi dari kolam ikan perusahaan yang sangat dilarang untuk dipancing oleh karyawan.
Walau berbeda Tuhan, mereka sangat menghargai dan menghormati cara kita beragama. Kalau sudah akrab, mereka tidak sungkan mengingatkan kita untuk shalat, atau berbuka ketika bulan puasa. Bahkan cenderung orang kita yang kurang menghargai mereka "beribadah".
Ketika diajak bicara tentang negara atau kebangsaan, mereka memang tidak tertarik...kesan yang terlihat adalah, untuk apa bicara nasionalisme toh tidak ada tempat buat kami "mengabdi" buat Indonesia.
Itulah kira2 gambaran Akuan yang saya kenal yang saat ini jadi wirausaha karena perusahaan tempat kami bekerja dulu sudah tutup, tetapi Ciliandra Fangiono  salah seorang anak pemilik perusahaan itu saat ini masuk 20 besar daftar orang terkaya di Indonesia.
Bagaimana dengan Ahok ?
Saya tidak kenal secara langsung apalagi akrab dengan Ahok seperti halnya dengan Akuan.
Saya kenal Ahok lewat buku dan "internet" sebagai orang China pertama yang jadi Bupati di Negeri ini. Pertama tau orang ini, pertanyaan yang muncul adalah, apa sih hebatnya orang ini sehinga bisa jadi Bupati ?
Setelah mengikuti perjalanannya, saya percaya dia orang yang suka berterus terang, jujur dan anti korupsi. Mungkin itu yang membuatnya dipilih banyak rakyat sehingga akhirnya menjadi Anggota DPR, Wakil Gubernur DKI walau partainya ganti terus. Dan kini dia jadi Gubernur.
Apakah Ahok seorang yang sangat cinta tanah air atau punya nasionalisme, entahlah...saya tidak bisa mengukurnya.
Satu yang istimewa pada Ahok adalah ke-terus terang-an nya yang sangat benci pada Suap, Korupsi !! Dan itu disampaikan kepada anakbuahnya di depan publik berkali-kali.
Berkali-kali dia mengatakan, jangan terima suap, jangan korupsi !! Kalau masih terima suap atau korupsi saya pecat kalian !!
Saya tidak punya keuntungan apapun dengan Ahok, apakah kelak dia terpilih lagi jadi Gubernur atau tidak bahkan jadi apapun dia.
Saya hanya berkhayal saja, di ranah yang istilah Korupsi Berjamaah itu bermula....Bupati/Walikota dan Gubernur kita mau berterus terang seperti orang yang punya "akuan" bahwa dia anti korupsi dan berkata dihadapan para bawahannnya dan di depan publik jangan terima suap, jangan terima gratifikasi, jangan korupsi !!
Selamat imlek Akuan !!
Selamat menjadi Kepala Daerah para pemenang !!!
Lubuk Basung, 9 Februari 2016

Friday, February 5, 2016

Cerita Asal Usul Danau Maninjau.



Alkisah, di sebuah daerah di Sumatera Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit...! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.  
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
* * *



Diceritakan oleh Samsuni


Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatera Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu :
siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat