Wednesday, March 9, 2016

Siti Manggopoh, dan Jenderal Nasution pun Kagum padanya.

“Ya. Saya sangat menyesal karena tidak semua tentara Belanda di benteng Manggopoh dibantai. Saya menyesal karena hanya 53 yang terbunuh. Saya menyesal karena ada dua orang yang lolos dan mengadu kepada kalian sehingga Nagari kami diporak-poranda!”
Itulah yang diucapkan Siti Manggopoh ketika diinterogasi tentara Belanda, apakah dia menyesali perbuatannya menyerang markas pasukan Belanda di Manggopoh sehingga kemudian dicari-cari, ditahan dan diancam dengan hukuman gantung. Siti Manggopoh memimpin Perang Belasting di Nagari Manggopoh yang terletak di wilayah barat Kabupaten Agam, 100 KM dari Kota Padang dan 60 KM dari Bukittinggi (Siti Manggopoh dan Perang Belasting-Berdikarionline).
Siti Manggopoh atau Mandeh Siti memang tidak setenar Raden Ajeng Kartini yang telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional karena surat-suratnya diterbitkan menjadi buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) oleh Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda yang menjadi sahabat penanya. Tetapi kisahnya menjadi buah bibir turun temurun dan setiap tahun peristiwa Perang Manggopoh selalu diperingati Pemerintah Kabupaten Agam serta ada sebuah patung di Simpang Gudang Manggopoh Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam menggambarkan Siti Manggopoh sebagai sosok pemimpin bagak (pemberani).
Sewaktu menjadi menjadi Inspektur pada peringatan peristiwa Manggopoh di halaman Kantor Camat Lubuk Basung pada tahun 2015 yang lalu,  Gubernur Sumbar Irwan Prayitno dalam sambutannya menyampaikan, peristiwa perang Manggopoh merupakan bentuk perlawanan orang Minang atas perilaku penjajah yang terjadi pada tahun 1908 itu.  “Peristiwa Manggopoh ini kita peringati karena keberanian pejuang untuk melawan Belanda. Selain di Manggopoh juga ada di Perang Kamang. Peristiwa itu bukan aksi biasa apalagi dipimpin seorang perempuan yang dikenal dengan panggilan Siti Manggopoh,”  Pada kesempatan tersebut masyarakat Agam, khususnya mengusulkan Siti Manggopoh dijadikan Pahlawan Na­sional, karena atas jasa-jasanya dalam mempertahankan hak atas tanah leluhurnya.
Pengusulan Siti Manggopoh menjadi pahlawan nasional telah berulang kali dilakukan, dan pada tahun ini Pemerintah Kabupaten Agam kembali mengusulkan tiga pejuang perang belasteng 1908 (Perang Kamang dan Perang Manggopoh) untuk dijadikan Pahlawan Nasional yaitu Siti Manggopoh, Abdul Manan dan Datuk Radjo Penghulu. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Agam akan melengkapi dokumen serta mengadakan Seminar Nasional guna memenuhi persyaratan pengusulan tersebut. Pada tanggal 11 November 2008, dalam rangka se-abad kebangkitan nasional, Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumatera Barat juga pernah mengadakan seminar Internasional yang bertemakan Perlawanan Anti-Belasting dan Gerakan Kemajuan di Sumatera Barat 1908-2008 di View Parai Resort Bukittinggi, Kab. Agam.
Terlepas dari persyaratan administrasi dan prosedural, Siti Manggopoh memenuhi semua unsur yang dipersyaratkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang semasa hidupnya; pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa; tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan; melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya; pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara; pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat
dan martabat bangsa; memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Kisah heroik Siti Manggopoh bermula ketika Pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 21 Februari 1908 mengeluarkan aturan tentang penerapan pajak langsung atau yang dikenal dengan istilah Belasting di Sumatera Barat yang mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1908. Belasting tersebut terdiri dari hoofd belasting (pajak kepala), inkomsten belasting (pajak pemasukan suatu barang/cukai), hedendisten (pajak rodi), landrente (pajak tanah), wins belasting (pajak kemenangan/keuntungan), meubels belasting (pajak rumah tangga), slach belasting (pajak penyembelihan), tabak belasting (pajak tembakau), dan adat huizen belasting (pajak rumah adat). Penerapan Pajak-pajak tersebut sontak menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat. Penolakan terhadap kebijakan pemerintah Belanda itu merebak diberbagai wilayah di Sumatera Barat. Belanda diangap telah melanggar kesepakatan yang dibuat 65 tahun silam yang tertuang dalam Plakat Panjang. Perlawanan terhadap penerapan pajak mulai memakan korban dengan terjadinya serangkaian perang yang kemudian dikenal dengan istilah perang pajak. Diantara perlawanan tersebut yang paling ternama adalah Perang Kamang dan Perang Manggopoh.
Siti Manggopoh yang waktu itu berusia sekitar 28 tahun melakukan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Tentara Kolonial Belanda. Pada tanggal 16 Juni 1908, tengah malam buta Siti Manggopoh memimpin 16 orang rekannya melakukan penyerbuan ke markas pasukan kavaleri Belanda di Ketinggian, wilayah antara Bukit Bunian Berpuncak Tujuh, jaraknya dua kilo meter dari Pasar Manggopoh. 53 dari 55 pasukan Belanda berhasil dibunuh oleh Siti Manggopoh bersama rekan-rekannya hanya dengan bersenjatan ruduih (golok) dan keris.
Atas kejadian tersebut, keesokan harinya bala bantuan tentara belanda didatangkan dari luar Lubuk Basung untuk mencari Siti Manggopoh. Setelah 17 hari dilakukan pencarian, akhirnya Siti Manggopoh dan suaminya menyerahkan diri kepada Belanda karena bumi hangus yang dilakukan terhadap Nagari Manggopoh. Belanda memasukkan Siti Manggopoh dan Suaminya Rasyid ke penjara secara terpisah. Siti Manggopoh dan Suaminya mendekam dipenjara selama 14 bulan di penjara di Lubuk Basung, 16 bulan di Pariaman dan 12 bulan di Padang. Selanjutnya, Rasyid divonis hukuman dibuang ke Menado dan meninggal di Tondano.
Setelah Republik ini merdeka pada tahun 1945, Siti Manggopoh dan kisahnya sempat terlupakan. Baru pada tahun 1957, orang mulai mengingat akan perjuangan heroik Siti Manggopoh. Pemerintah Sumatera Tengah yang beribukota di Bukittinggi mengirim satu tim ke Lubuk Basung dan memberikan bantuan ala kadarnya. Siti Manggopoh merasa senang. Bantuan yang ia terima dijadikannya sebagai modal untuk membuka warung kecil di depan rumahnya.
Pada tahun 1960, Kepala Staf Angkatan Darat Jend. Nasution mendengar cerita heroik perjuangan Siti Manggopoh. Ia sangat terharu sekali atas keperkasaan Siti Manggopoh. Akhirnya ia memutuskan untuk datang ke Manggopoh untuk menemui Siti Manggopoh. Ia mengalungkan selendang kepada Siti Manggopoh sebagai lambang kegigihan dan keberaniannya melawan penjajahan. Masyarakat Manggopoh jadi haru ketika Jend. Nasution membopong dan mencium wajah tua keriput itu. Pada tahun 1964, Menteri Sosial mengeluarkan Sk tertanggal 17 November 1964 No. Pal. 1379/64/P.K yang isinya menyatakan bahwa Siti Manggopoh berhak menerima tunjangan atas jasa kepahlawanannya sebesar Rp 850,-. Tetapi kabarnya hanya sekali saja Siti Manggopoh menerima tunjangan tersebut.
Gelar Pahlawan Nasional memang seharusnya (kembali) diberikan terhadap Siti Manggopoh, karena perjuangannya telah diakui Pemerintah melalui Jenderal Besar AH. Nasution pada tahun 1964 dan dengan SK Menteri Sosial tahun 1964 yang sekaligus memberikan tunjangan atas kepahlawanannya.

*dari berbagai sumber.
Lubuk Basung, 9 Maret 2016