Sunday, November 19, 2017

Dunia Panggung Sandiwara

Beberapa waktu lalu saya menyaksikan sebuah film yang berjudul Phone Booth yang dibintangi actor Collin Farrel. Itu adalah kedua kalinya saya menyaksikan film tersebut setelah pada awal tahun 2000an ketika film tersebut baru beredar.
Dari sinopsis "resmi" yang beredar film ini menceritakan tentang seorang lelaki bernama Stu Shepard (Collin Farrel) yang disandera seorang sniper dalam ruangan Telepon Umum.
Dari dialog2 yang disajikan, saya melihat bahwa ada hal sangat menarik yang bisa diambil dari Film yang disutradarai oleh Joel Schumacher dan ditulis oleh Larry Cohen itu.
Dalam film itu sosok Stu adalah Seorang publisher yang ambisius, mempunyai hubungan yang cukup luas tapi sayang ia mempunyai karakter yang buruk, Arogan, Suka obral janji, menipu, meremehkan orang, dengan uang segalanya bisa ia beli termasuk menyuap.
Peran Stu Shepard sangat mewakili kondisi saat ini, dimana banyak Tokoh Publik yang berpenampilan seperti seorang Hero tetapi sesungguhnya adalah Bandit. Berperan sebagai Protagonis tetapi sesungguhnya dia seorang yang Atagonis. Berkesan sebagai seorang yang ramah dan lemah lembut tetapi sesungguhnya dia seorang yang sangat Arogan dan kasar.
Stu merasa nyaman dengan kondisi itu karena merasa tidak ada yang mengetahui kebohongan yang ia lakoni. Hingga pada suatu saat seorang Sniper menyaderanya.
Sniper itu menceritakan bahwa ini bukan pertama kali dia menyandera seseorang. Dan korban-korban sebelumnya dia bunuh karena tidak mau mengikuti kemauannya.
Bagi Stu, sesungguhnya bukan hanya ancaman peluru dari senjata sniper saja yang dia takuti. Tetapi juga rahasia kebohongannya yang diketahui si sniper secara detail.
Stu dipaksa mengakui semua kebohongan yang telah ia lakukan. Mengakui didepan publik termasuk didepan isterinya dan orang-orang yang dia bohongi. Mulanya Stu tidak mau dan lebih memilih ditembak daripada harus melakukan itu. Tetapi si sniper mengatakan bahwa sebelum membunuh Stu terlebih dahulu dia akan membunuh orang orang yang disayangi Stu.
Akhirnya Stu terpaksa melakukan keinginan Sniper itu. Menceritakan semua yang dia kerjakan selama ini adalah bohong dan hanya rekayasa, pencitraan dan manipulasi. Membuat pengakuan bahwa dia bukanlah seseorang Hero yang patut untuk diharapkan karena sesungguhnya dia adalah Bandit, pembohong!!
Pada ending Film tersebut, Stu selamat karena telah membuat pengakuan itu dan diberi maaf oleh orang-orang yang dibohonginya. Tetapi Sniper yang melakukan penyanderaan itu juga lolos dari pencarian aparat kepolisian karena memanipulasi orang lain yang dijadikan korban seolah olah itu dirinya.
Apakah itu sebuah cerita yang sederhana atau membosankan? silakan tonton.
Bagi saya cerita itu sangat menarik karena ada "pesan" hebat yang disampaikan. Pesan bahwa kebohongan itu suatu saat bisa terbongkar dengan cara yang tidak pernah diduga.
Peran Antagonis pada sosok Sniper dalam Film itu mempunyai pengaruh yang luar biasa. Dia memang menjadi sosok penjahat, tetapi dia juga menjadi sosok hero karena membongkar "kejahatan" yang dilakukan sosok Protagonis. Peran Utama bukan hanya pada sosok Protgagonis, sosok Antagonis juga menjadi Bintang Utama dalam film Phone Booth tersebut.
Dengan cara mengetahui secara detail kebohongan-kebohongan yang dilakukan seseorang, dia mampu memaksa orang itu untuk tobat dan membuat pengakuan serta meminta maaf. Dan dia melakukan itu tanpa motif uang seperti pemeras. Kartu truf yang dia pegang tidak digunakan untuk menangguk keuntungan
Untuk membongkar kebohongan yang dilakukan seperti Stu itu memang diperlukan Tokoh Antagonis seperti dalam film itu. Yang bukan sekedar mengancam dengan senjata tajam tetapi juga dengan bukti yang komprehensif. Mengetahui secara detail dan menyeluruh apa saja kebohongan yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan.
Karena orang seperti Stu tidak akan takut dengan Undang-undang walau berisi ancaman hukuman penjara puluhan tahun. Mereka tidak akan takut dengan pengalaman orang lain yang pernah dihukum
Saangat sulit untuk merubah image seseorang yang sudah menjadi brand kebaikan (super hero) menjadi seorang bandit sebagaimana sesungguhnya. Bandit seperti itu adalah sangat licin seperti belut, sering lolos walau sudah dalam genggaman. Perlu trik khusus untuk membuatknya tidak berkutik.
Jika hidup di Dunia ini hanya panggung sandiwara, silakan pilih peran apa yang kita sukai. Apakah akan menjadi pemeran Protagonis atau Antagonis. Apakah akan berlakon sebagai Hero atau Bandit. Apakah akan menjadi pemeran utama atau hanya sekedar figuran, pemeran pembantu.
Beraktinglah secara total, jangan hanya senyum di bibir tetapi kepalan tangannya menunjukkan kemarahan. Raut muka menunjukan kesedihan terapi bahu tetap terangkat menunjukan orang happy. Apa yang diucapkan berlainan dengan gesturnya. Berlako seperti orang sakit tetapi terlihat seperti orang sehat wal afiat.
Semua orang akan melihat panggung, memperhatikan sandiwara itu dan akhirnya akan menilai apakah anda aktor yang bagus atau tidak. Sekian.


Lubuk Basung, 19 Nopember 2017

Saturday, September 30, 2017

Biasa Luar Biasa

Tanpa disadari di Dunia Sosial Media kita seringkali mempertontonkan rendahnya kualitas diri kita sendiri kepada publik. Mempertunjukan wacana yang dangkal, berpikir pragmatis, mudah terbawa arus dan terperangkap pada loyalitas dan rivalitas abadi pesta demokrasi.
Terpesona pada hal-hal yang sesungguhnya biasa-biasa saja tetapi menganggapnya "luar biasa". Begitu mudah memuji dan memuja seseorang yang hanya melakukan hal-hal remeh yang sudah seharusnya ia lakukan. Tanpa mau berpikir bahwa subtansi kehebatan itu seharusnya diukur pada pencapaian prioritas tanggungjawab yang diembannya.
Kita menganggap Luar Biasa ketika ada pejabat berseragam ikut mengali pusara. Kita menganggap hebat ada pejabat yang "menyalurkan" bantuan bencana. Padahal itu bukan subtansi kehebatan karena itu memang sudah tugasnya.
Kita menganggap luar biasa ketika ada pejabat dekat dengan rakyatnya. Dekat dalam bentuk suka berselfie atau bersalaman. Terpesona pada perfomance dan tutur bahasa seseorang dihadapan media padahal omongannya tanpa gagasan dan prinsip alias kosong melompong.
Bahkan secara formal pun kita seakan telah kehilangan nalar dan merendahkan level diri kita. Melebih-lebihkan hal biasa menjadi seakan-akan luar biasa.
Contohnya, Predikat laporan keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang didapat disambut antusias bahkan untuk mendapatkan predikat Wajar itu ada yang melakukan tindak pidana korupsi (Kemendes). Padahal itu "cuma" predikat wajar! bukan predikat Luar Biasa Bagus atau Sangat Baik!
Kita menganggap Hebat pejabat yang bersih, tidak korupsi! Padahal, tidak korupsi itu adalah hal yang seharusnya dilakukan semua pejabat.
Atau, lihatlah pula iklan pertandingan Liga Sepakbola kita di televisi, semua diberi label "Big Match" bahkan ada yang Super Big Match. Padahal itu hanya pertandingan tim papan bawah dan bukan pula pertandingan antar klub "musuh berbuyutan".
Padahal yang pantas disebut Big Match itu adalah ketika Real Madrid bertanding melawan Barcelona di Spanyol, Juventus vs AC Milan di Italia, Manchester United vs Liverpool di Inggris.  Karena jauh hari sebelum pertandingan kesebelasan tersebut media sudah membahasnya, dan ketika pertandingan berlangsung stadion penuh sesak oleh penonton.
Tidak ada salahnya berbangga dengan pencapaian kita. Tetapi seharusnya kita membuat standar yang tinggi untuk sebuah prestasi. Standar yang tinggi merupakan kekuatan untuk ikut bersaing pada level yang lebih tinggi.
Tidak semua "gerak gerik" dipoles dengan pencitraan, diberi label hebat dan diekspose di media dengan judul "Luar Biasa" yang disertai pujian. Karena semakin dinyaring-nyaringkan kehebatan itu maka semakin menandakan isinya kosong. Karena yang nyaring bunyinya adalah Tong Kosong !.
Mungkin kita mendapat juara 1 tetapi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) kelas kita cuma 6,5. Sementara ditempat lain KKM nya sudah di atas 9.
Atau dalam istilah lainnya, kita hanya jadi juara di kandang kambing. Jadi, tidaklah tepat kalau kita bersorak sorai dengan "prestasi" yang biasa. Tidak lah hebat namanya jika sesuatu itu memang sudah seharusnya. Tidak lah luar biasa jika itu sudah biasa.
Kita paham bahwa kita memang masih berada di zona berkembang, belum berada di zona (Negara) maju. Oleh karenanya kita harus mematok target berada di rangking “Papan Atas” untuk kita capai dan kelak disanalah kita berbangga ria.

Lubuk Basung, 1 Oktober 2017

Wednesday, September 20, 2017

Keberanian Menunggu Ajal

Beberapa waktu lalu saya kehilangan orang dekat. Beliau adalah Guru saya di Sekolah Dasar, yang mengajarkan saya membaca, menulis dan berhitung. Beliau seusia Indonesia Merdeka.
Sebelum meninggal, beliau sangat jarang sakit. Bahkan Kartu Kuning (kartu asuransi kesehatan untuk PNS) tidak pernah beliau pergunakan.
Itu saya ketahui ketika membezuk beliau ketika dirawat di rumah sakit. Beliau bercerita ini pertama kali Ibuk dirawat. Ibu belum pernah mempergunakan Kartu Kuning.
Waktu itu beliau direncanakan akan dioperasi tetapi harus menunggu beberapa hari karena ada beberapa kondisi tubuh beliau harus distabilkan sesuai persyaratan seseorang harus dioperasi.
Kondisi itu ternyata membuat beliau resah. Beliau tidak betah menunggu lama untuk dioperasi.
Ketika mendapatkan kunjungam dokter, beliau langsung menyampaikan,; "Pak Dokter apa lagi yang ditunggu? Operasi saja sekarang!"
Seminggu setelah membezuk itu saya mendapat kabar bahwa beliau meninggal. Diantara kesedihan saya ada syukur karena sempat membezuk beliau.
Sangat banyak orang Bagak bahkan berteriak-teriak Saya tidak taku mati! ketika sedang bertemgkar dengan lawannya.
Tetapi saya melihat Beliau-lah orang yang benar-benar tidak takut mati. Ah, atau lebih tepatnya Beliau adalah orang yang telah siap untuk mati, telah siap ketika ajal itu datang.
Keberanian beliau, kesiapan beliau untuk mati tidak pernah secara dikatakan dengan bahasa lisan. Tetapi apa yang beliau lakukan membuktikan bahwa beliau benar-benar siap. Mungkin saja karena usia beliau yang telah melebihi angka 70.
Beliau mempersiapkan Kain Kafan dan kelengkapan jenazah lainnya. Ya, Beliau siapkan semua itu untuk jenazah beliau nantinya. Bukan karena khawatir nanti ketika meninggal tidak ada ahli waris atau sanak saudara yang akan menyediakan perlengkapan itu. Bukan.
Anak-anak Beliau sangat mapan secara ekonomi. Dan beliau sendiri adalah orang yang dihormati dilingkungannya sehingga bawaan orang yang takziah akan melebihi kebutuhan untuk satu jenazah.
Keberanian beliau menunggu ajal bukan pula sebagai bentuk orang yang pasrah apalagi berputus asa hingga terpakaa menunggu ajal. Beliau tetap melakukan aktifitas seperti orang yang akan berumur panjang. Berkebun, menanam tanaman tetap bersemangat beliau lakukan. Tidak peduli apakah buah dari tanaman yang beliau tanam itu akan dapat beliau nikmati.
Terimakasih Ibu Guru, sampai akhir hayat masih memberikan Ilmu yang luar biasa.
Lubuk Basung, 19 September 2017

Saturday, August 19, 2017

Ayo Merdeka

"Mati Bulando karano pangkaik, mati Cino karano harato, mati Kaliang karano salero...mati Melayu karano angan-angan"
Konon Asbabun Nuzul pepatah ini karena dizaman Penjajahan dulu sudah sangat kasat mata perbedaan antara orang Belanda, China, India dan Indonesia. Ini hanya sebagian, bukan keseluruhan tetapi perangai ini mampu membuat ciri khas yang membedakan. Orang-orang Belanda dalam mengejar Jabatan atau Pangkat rela melakukan apa saja. Menfitnah, menghasut dan mengadu domba. Orang China juga begitu, mereka melakukan hal-hal tidak jujur dalam mengumpulkan harta. Dalam berdagang mereka kerap berbohong dan menipu serta menjadi rentenir. Lain pula Keling atau India, mereka terkenal sangat doyan kuliner bahkan cenderung rakus. Tetapi kalau perut mereka sudah kenyang maka mereka pun akan tenang, tidak macam-macam atau berbuat ulah.
Dan yang miris itu Bangsa kita, Pribumi...orang kita sibuk berangan-angan. Memboroskan energi dan mental untuk memimpikan sesuatu tanpa disertai usaha untuk mendapatkan apa yang diangan-angankan itu. Mereka hanya mengandalkan "nasib baik" untuk memperoleh sesuatu.
Mereka tidak ikut berjuang melawan penjajah seperti kebanyakan orang. Bergerilya di hutan menyandang bambu runcing atau senjata sederhana. 
Mereka sibuk berangan-angan; Kalo den punyo badia geren, den tembak Bulando kalera tu. Kalo den kayo, den pabini anak Cino nan putiah barasiah tu. Kalo den bapitih banyak, den bae makan lamak tiok hari!!.
Itu dulu, sebelum Soekarno dan Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. 
Sekarang, Negara kita telah merdeka, telah terlepas dari bangsa penjajah selama 72 tahun. Pertanyaannya, apakah kita telah benar-benar merdeka?
Kalau dilihat dari unsur Merdekanya suatu negara yaitu adanya Rakyat, Wilayah, Pemerintahan yang berdaulat dan Pengakuan secara de facto dan de jure dari negara lain maka secara formal kita bisa berkata; Iya, kita telah Merdeka!
Tetapi kalau mau berkata secara lugas, kita masih merasakan belum benar-benar Merdeka. Banyak hal yang sesungguhnya masih seperti di zaman penjajahan. Kelakuan para elit di eksekutif maupun di legislatif bagaikan tabiat para bangsa kolonial. Memaksakan kehendak dan menggunakan kekuasaan dengan mempertakut rakyat. Tiap sebentar mengkampanyekan bahwa mereka lah Pemegang Prerogatif dan kalian harus ikut aturan yang dia buat bahkan harus mengistimewakan mereka.
Sekali lagi, Ini hanya sebagian, bukan keseluruhan.
Mereka bertindak laksana penjajah sehingga banyak diantara kita merasakan hidup seakan masih dizaman belum merdeka. Di hantui kecemasan dan rasa takut terhadap para elit itu.
Tetapi sesungguhnya para elit itu juga berada dalam penjajahan. Mereka tidak mampu melepaskan diri dari ketakutan yang tumbuh dalam hati mereka. Takut kehilangan Pangkat dan Jababatan, takut kehilangan popularitas. Takut terhadap kritikan dan badnews.
Dan ketakutan itu mereka tutupi dengan berbuat seperti Bulando dan Cino dizaman penjajahan dulu. Menganggap rakyat pribumi sebagai ekstrimis, menganggap pengkritik sebagai perusak, menganggap badnews sebagi hoax. Mereka dengan gampang melakukan blaming, menyalahkan rakyat sebagai pemalas, menyalahkan pengkritik yang tidak konstruktif, menyalahkan medsos yang dipenuhi akun palsu.
Mereka juga tidak bisa bersikap adil bahkan fair karena banyak hutang yang belum dilunasi. Hutang janji kampanye yang belum ditepati, hutang budi yang belum dibalas, hutang materi yang belum lunas. Akibatnya perlakuan terhadap rakyat tidak sama karena hutang budi itu. Pada kelompok yang ini mereka sangat keras terhadap kelompok yang lain terlihat "sangat bersahabat".
Merdeka marilah kita merdeka, bebaskan diri kungkungan rasa takut karena akan kehilangan pangkat, jabatan, makanan enak. Merdeka dari rasa segan akan ditagih hutang budi, janji dan materi. Merdeka dari pengaruh dan tekanan.
Seperti kata Bung Karno; Merdeka itu Berdikari, berdiri di kaki sendiri!
Merdeka mengendalikan diri ! Dirgahayu bangsaku!
Lubuk Basung, 16 Agustus 2017.

Friday, August 11, 2017

Puti Ransani Turun dari Khayangan

Setelah ratusan tahun berada di khayangan Puti Ransani merasa rindu ingin kembali ke Kampung kelahirannya di Maninjau. Banyak hal yang membuat ingin segera pulang. 
Ada rasa gelisah melihat kondisi Danau Maninjau yang semakin rusak walau keindahannya tetap mempesona.
Maninjau memang selalu indah ketika dilihat dari Bukik Sakura atau dari Embun Pagi. Tetapi ketika didekati rupa nan berseri indah itu hilang, Danau Maninjau laksana gadis yang murung dalam sepi dan terus terasa semakin sepi. Gemercik airnya seakan mendendangkan kesedihan. Sedih karena ditinggalkan pergi oleh yang selama ini menemani. Semua pergi satu persatu semenjak kedatangan puluhan ribu Keramba Apung.
Anak-anak Danau sudah enggan berenang dan mandi di danau. Turis pun tak lagi betah memghabiskan waktu di Pinggiran Danau. Hampir setiap tahun ribuan ikan mati, bangkainya mengapung di permukaan air danau. Udara yang tadinya segar berubah menjadi busuk menyengat hidung. Orang-orang menutup hidung ketika melintas dan bergegas ingin segera menjauhi danau. Kaca-kaca mobil tertutup rapat sambil berlari kencang.
Bukan hanya itu, Rinuak dan Pensi pun mulai meninggalkan Danau. Rinuak mulai pergi menghilang entah kemana. Pensi mulai mencari kehidupan baru di bandar di pinggiran danau bahkan ada yang sampai ke anak-anak sungai Batang Antokan.
Jangan-jangan karena bau busuk itu, si Bunian pun mungkin telah pergi meninggalkan Istana megahnya di barisan bukit keliling Danau Maninjau. Tidak pernah ada lagi cerita tentang terdengarnya bunyi "Aguang" dari hutan di bukit itu tandanya Bunian Baralek Gadang.
Dan, mungkin pula Bujang Sambilan juga telah pergi, tidak kuat lagi menghuni Danau karena airnya tidak lagi bersih.
Ah,... tetapi bukan itu yang utama membuat Puti Ransani ingin segera pulang. Dia ingin mencari cintanya yang dulu hilang, kasiah tak sampai. Mencari Si Giran tunangannya, anak tungga babeleang Mamak Kanduangnya Datuak Limbatang.
Cinta Puti Ransani yang yatim piatu kepada Si Giran tak sampai ke pelaminan karena terhalang restu kakak-kakak kandungnya, Bujang Sambilan. Puti Ransani dan Si Giran difitnah telah melanggar adat.
Keduanya bersumpah di tepi kawah Gunung Tinjau bahwa mereka tidak melakukan apa yang dituduhkan Bujang Sambilan. Setelah itu Puti Ransani dan Si Giran melompat kedalam kawah tetapi tubuh keduanya malah melayang, lalu dibalut awan dan membubung ke angkasa.
Meninggalkan Gunung Tinjau yang kemudian meletus dan akhirnya berubah menjadi kawah besar dan kelak menjadi Danau Maninjau yang dihuni sembilan ekor Ikan Rayo jelmaan Bujang Sambilan.
Pada hari yang sangat cerah Puti Ransani turun dari khayangan. Tempat yang pertama dia tuju adalah rumah mamaknya Datuk Limbatang.
Kedatangannya disambut haru oleh Datuk Limbatang.
"Uda Giran dima kini Tek?"; tanya Puti Ransani kepada isteri mamaknya.
"Etek tidak tau Sani, sejak kejadian kalian dipuncak Gunuang dulu.... Si Giran tidak pernah lagi kembali pulang!". Jawab isteri mamaknya dengan suara bergetar.
"Di sebelah barat danau ini ada kampung bernama Sigiran, pergilah kesana, mungkin disana ada petunjuk keberadaan Si Giran!"; sambung Datuk Limbatang.
Puti Ransani lalu mohon pamit akan pergi ke Sigiran. Tetapi sebelum Puti Ransani melangkahkan kaki meningalkan rumah Datuk Limbatang terjadi kehebohan. Banyak orang berkumpul dan bertanya kepada Datuk Limbatang siapa perempuan yang baru saja datang itu.
"Puti Ransani kemenakan kandungku, tunangan anakku Sigiran!"; jawab Datuk Limbatang.
"Bukankah si Sani telah meninggal ketika melompat ke dalam kawah bersama Si Giran!"; ujar seorang dengan nada heran.
"Tidak, saya tidak meninggal... saya diterbangkan ke khayangan, sekarang saya turun mencari Uda Giran!"; Puti Ransani berkata sambil berdiri ditengah kerumunan orang.
***
Ketika kemarin heboh-heboh ada benda aneh jatuh dari langit dan mendarat di Sungai Batang - Maninjau, mungkin ada yang berimajinasi macam-macam.... Alien, serpihan pesawat atau apalah. Saya entah kenapa berimajnasi itu "kendaraan" Puti Ransani yang turun dari khayangan.... mencari Uda Giran nya. Mencari cintanya yang tak kesampaian. Hehehe
Lubuk Basung, 19 Juli 2017

Status Facebook

Cerita Reuni : Pulang
Ketika sedang berkumpul (reuni) dengan kawan semasa sekolah, saya menanyakan motivasinya yang setiap tahun pulang kampung. Bahkan bukan sekali setahun, bukan setiap hari raya tetapi kadang sampai 2 - 3 kali setahun. Padahal jarak tempuhnya lebih dari 30 jam !
"Mancaliak rang gaek", jawabnya. Dan selanjutnya dia bercerita;
"Ibuku sudah semakin tua, 79 tahun umur beliau. Tiga tahun belakangan kondisi beliau "makin coyoh" semakin renta. Setiap melihat beliau ada rasa khawatir apakah tahun depan, hari raya tahun depan masih bisa bertemu beliau.
Saya sudah kehilangan Ayah, rasanya sangat menyedihkan. Sampai saat ini ketika berada di pusara Ayah, selalu ada rasa sedih karena tidak sempat menyenangkan hati beliau.
Saya tidak ingin itu terjadi lagi terhadap Ibu. Perjalanan pulang 30 jam itu terasa sangat jauh, sangat jauh dan lama. Saya ingin segera bertemu Ibu. Momen ketika beliau tersenyum menunggu didepan pintu itu yang membuat rindu. Terlihat beliau sangat senang melihat saya pulang"
"Ya, pulanglah selagi bisa pulang dan temui ibu, peluk dan senangkan hati beliau, ciumi kaki beliau sembari memohon maaf!" Kata kawan yang lain menanggapi.
"Saya merindukan kesempatan itu tapi sudah tidak bisa karena ibu saya telah tiada!!. Kesempatan itu tidak bisa diukur dengan uang, tidak bisa !
Mungkin biaya untuk pulang bertemu ibu itu bisa lebih dari 5 atau 10 juta dan kita berpikir lebih baik uang itu dikirim saja untuk beliau. Jika itu yang kita lakukan maka bukan hanya sedih kehilangan tetapi juga sesal yang kita rasakan dipusara beliau nantinya"
***

Lubuk Basung, 1 Juli 2017

Konon Ceritanya Kita Bersaudara
Menyikapi kondisi kekinian, tergerak juga hati untuk berciloteh.
Sepertinya kita terjebak pada kondisi yang Ndak Berkelincitan, Bertea-tea, Ndak Sandereh!! Saling benci tak berkesudahan. Padahal kita sering menonton bahwa Muhammad Ali, Mike Tyson dan para Petinju lainnya ketika saling memukul untuk mengalahkan atau menjatuhkan lawannya setelah pertandingan usai dan lawannya sudah kalah bahkan K.O sekalipun mereka selalu merangkul dan memeluk l
awannya. 
Tetapi kita sepertinya tidak, yang disudut sana membenci yang di sebelah sini. Kelompok itu membenci kelompok lainnya. Saling membenci dan saling menghujat.
Padahal, konon ceritanya, kita semua sesama manusia yang ada di Planet Bumi ini Badunsanak. Berdunsanak dengan Raja Salman yang kaya raya dari Arab, berdunsanak dengan Bangsa Jerman yang Juara Dunia Sepakbola. Juga berdunsanak dengan Ahok yang China. Apalagi dengan Rizieq Shihab atau Syafii Maarif, kita berdunsanak. Berdunsanak karena di Arab, di China ataupun di Pariaman air laut itu konon sama rasanya, asin !
Konon ceritanya, kita badunsanak karena Inyiak Moyang kita adalah sama yaitu Iskandar Zulkarnain. Satu garis keturunan !
Beliau mempunyai tiga orang anak yaitu; yang Gadang bernama Mararajo Alif moyangnya Raja Arab, yang tengah adalah Inyiak-nya si Ahok yang bernama Pangeran Zi Pang. Dan yang si Bungsu bernama Maharajo Dirajo yang merupakan Inyiak Urang Awak, inyiak dari Buya Syafii Maarif, inyiak Denai juga dan inyiak awak sadonyo.
Oleh karenanya, yang membedakan itu hanya Suku, Agama, warna kulit. Sementara Otak, Lagak, Selera dan Perangai kita "salin-basalin" Ada Habibie, yang ber-Otak Jerman, ada urang awak yang berlagak orang Arab, ada urang awak yang berperangai seperti orang China. Bahkan ada yang melebihi perangai buruk bangsa lain, seperti ungkapan; "ateh lo dari Bulando mintak tanah". Begitu sebaliknya.
Sudahlah, jangan diperturutkan juga sakit hati itu, nanti benar-benar sakit. Hahaha !

Lubuk Basung, 10 Mei 2017

Thursday, April 6, 2017

Cerita : Uda, I Love You Too !! (part 2)

Malamnya, mereka berkesempatan duduk berdua dan bercerita di teras rumah yang menghadap ke arah danau Maninjau. Keindahan Maninjau bukan hanya di siang hari. Malam hari Maninjau juga sangat mempesona. Bagai memandang hiasan cahaya yang melingkar mengelilingi danau.
Dari teras rumah itu Danau terlihat sangat dekat, dan seperti duduk di tepi danau, lampu-lampu keramba terlihat berkerlap kerlip cahaya laksana bintang yang bersenandung menemani Danau Maninjau. Tenang, sepi....damai…tidak ada riak....diam...seakan danau-pun beristirahat melepas penat. Tapi tidak dengan 2 anak manusia itu.
“Aida !” suara Irwan seperti mendesah dan berbisik.
“Ya Uda!” Jawab Aida pelan. “Ada yang ingin kusampaikan, tidak tahu apakah ini ada gunanya atau tidak”
“Apakah sama dengan yang ingin uda sampaikan di bandara ?” Aida berdebar menunggu.
Ingatan Irwan dan Aida kembali melayang mengingat pertemuan terakhir di bandara itu. Ketika sama-sama terpaku. Saling berpandangan seakan saling berusaha untuk menyampaikan sesuatu. Tetapi hanya bisa dilakukan lewat tatapan. Dan akhirnya mereka berpisah.
“Ya Aida, namun lebih banyak dari itu, ada lagi yang lain...yang aku rasakan sejak siang tadi”.
“Sampaikan lah uda !”
“Tidak tau persis apa sebab awalnya…tapi ada yang tarasa beda ketika pertama kali melihatmu, ada getar dihati, kemudian tubuh ini seperti menuruti kata hati, entah itu persepsi yang salah atau tidak.  Ada rasa takut dan malu untuk mengungkapkannya, ada pula keinginan untuk menyampaikannya, tetapi waktu kita terlalu singkat...”
“Uda, aku tahu semua itu...dari tatapan itu...ada sesuatu disana..dan bahasa tubuh uda,...”
“Ya, entah ini persepsi yang salah, ada jawaban pula dari bahasa tubuh dan perhatian darimu, dari itu aku mulai berani berharap walau masih dalam hati, ketika masa itu akan berakhir, ingin sekali mengungkapkannya...I Love You!”
Ndeeeh Udaaa, merinding mendengarnya…ndak tau mesti bagaimana.  Ini tidak boleh ada uda, tidak mungkin...terlarang. Please Uda, buang jauh jauah rasa itu…!”, Aida gemetar. Hatinya berkecamuk dan matanya berlinang.
Terlarang dan tidak mungkin memang! Tapi tidak akan aku buang, melainkan akan disimpan jauh-jauh dalam hati karena baru kali ini merasakannya tapi ini pula yang terjadi” Irwan mengalihkan pandangannya ke arah danau, menatap jauh.
“Biarlah ini menjadi kenangan ketika nanti kembali ke Gorontalo. Mungkin aku akan cerita ke ayah bahwa keinginan beliau untuk bermenantukan gadis Minang hampir saja terlaksana” Lanjut Irwan.
Simpanlah kalau Uda ingin menyimpannya. Akupun tidak kuat menahan hati sejak siang tadi, pikiranku berkecamuk, mengapa begini. Sejak berpisah itu, ada rasa rindu ingin bertemu lagi tetapi tidak menyangka akan secepat ini dan seperti ini.  Entahlah uda...sesak dada ini terasa”, Aida berhentik sejenak, menarik nafas panjang.
“Mudah-mudahan uda mendapat mendapatkan si Upiak (Gadis Minang) sesuai harapan Ayah”
“Aida, suruh lah Udamu itu istirahat, besok pagi-pagi Mak Datuak menyuruh kerumahnya di Sungai Batang. Pulang dari situ, ajak lah Udamu keliling danau!” terdengar suara Nursidah setengah berteriak dari dalam rumah.
Aida dan Irwan saling berpandangan, kemudian Irwan melihat jam ditangannya, pukul 10 malam.
“Istirahat lah Uda, besok kita kerumah Mamak !”
***
Pagi-pagi, dengan memakai motor yang biasa dipakai Aida kerja di Kantor Pemerintah Daerah mereka pergi ke rumah Mamak Menan yang berjarak sekitar 3 km dari rumah Aida.
Irwan membawa motor itu dan Aida berbonceng di belakang. Beberpa kali Irwan tergagap karena jalan yang berliku dan menurun tajam. Beberapa kali pula Aida beteriak kecil, “Awas Udaa!!” sambil berpegangan pada bahu Irwan.  Hampir saja Irwan hilang konsentrasi, bukan karna jalan itu tetapi karena sentuhan Aida. Darahnya berdesir. Aida cepat menyadari dan segera menurunkan tangannya dari bahu Irwan. Tetapi kondisi jalan yang menurun tajam, mau tidak mau tangannya harus memegang punggung Irwan,kalau tidak maka badannya kan terdorong kedepan.
Cuaca mendung seperti mauhujan lebat. Angin bertiup kencang. Tidak sampai 10 menit mereka sampai di rumah Mamak Menan. Disana Irwan diperkenalkan kepada isteri dan anak-anak Mamak Menan. Mamak Menan mempunyai 3 orang anak yang kesemuanya perempuan tapi yang ada dirumah hanya 2 orang. Anak perempuannya yang sulung tinggal di Jakarta ikut suaminya. Yang nomor baru tamat sekolah kebidanan, dan yang bungsu kelas 3 SMA. Setelah bersalam-salaman Isteri dan kedua anak Mamak Menan serta Aida langsung menuju dapur.  Sementara Irwan dan Mamak Menan duduk diruangan tamu.
Baru sebentar berbicang-bincang, terdengar suara Aida,
“Mamak, Da Irwan..nasi sudah terhidang, silakan makan”
“Ayo Irwan, mari kita makan” sambung Mamak Menan sambil berdiri dan berjalan ke arah meja makan yang ada di ruangan tengah rumah itu.
Irwan pun berdiri mengikuti Mamak Menan. Irwan duduk dikursi kosong sebelah kanan Mamak Menan. Disampingnya duduk Aida. Pas didepannya duduk anak menan yang baru tamat sekolah kebidanan.
“Makan lah Irwan, ada panggang ikan danau, goreng bada masiak jo palai rinuak, jarang-jarang ada di Sulawesi !” ujar isteri Mamak Menan.
“Iyo Etek!”, sahut Irwan sambil mengangguk pelan.
Irwan makan dengan lahap, dua kali nambah. Masakan itu enak sekali dan terasa pas sekali di lidahnya. Mungkin karena dia keturunan Minang dan mungkin juga karena isteri Mak Menan pintar memasak.
Ketika hampir selesai makan, terdengar hujan mulai turun. Makin lama makin lebat. Irwan dan Aida saling berpandangan.
“Ada apa?” tanya Mamak Menan ketika melihat Irwan dan Aida saling bertatapan begitu.
“Ini Mamak, tadi rencananya setelah dari sini, Aida akan mengajak Uda Irwan keliling Danau...ke Bayur, ke Muko-muko, Tanjung Sani....kan besok Da irwan akan balik Mamak!”, sahut Aida.
“Oo...tunggu saja...mudah-mudahan hujan reda, baru berangkat kalian!”
“Iya mamak!” sahut Aida dan Irwan hampir bersamaan.
***
Ternyata hujan tidak reda-reda juga. Langit bahkan semakin kelam seakan akan menumpahkan semua air yang ada dilangit. Hingga pukul 4 sore Irwan dan Aida terkurung di rumah Mak Menan. Irwan resah karena hasratnya untu berkeling danau berdua dengan Aida tidak tercapai. Dan pembicaraan di rumah Mamak Menan pun mulai terasa membosankan karena topiknya sudah berulang-ulang. Keresahan Irwan itu diketahui oleh Aida, sesekali Aida tersenyum sambil menatap kepada Irwan seakan memberi tahu,”hari hujan, tidak mungkin kita pergi”.
Irwan seakan mengerti isi tatapan Aida itu dan itu membuat hatinya lega apalagi Aida tersenyum sangat manis seperti ketika saat pertama kali melihat senyum itu.
Setelah shalat Asyar, hujan mulai reda. Dan kesempatan itu dipergunakan Irwan dan Aida untuk pamit. Tetapi pamit untuk kembali pulang karena tidak mungkin lagi pergi berkeliling danau, sudah sore dan cuaca tidak mendukung.
Baru saja sampai dirumah hujan kembali turun dengan deras. Bahkan semakin deras bunyinya. Irwan dan Aida kembali duduk di teras memandang ke Danau yang tidak terlihat jelas karena curah hujan yang deras.
Sudah beberapa saat berlalu keduanya masih saling diam. Irwan menatap jauh ke arah Danau, entah apa yang dilihatnya karena tidak ada yang bida dilihat kecuali hujan.  Bahasa tubuhnya menyuratkan kegelisahan.
Aida sedari tadi memperhatikan perubahan sikap Irwan. Berkali-kali Aida berusaha meberikan senyuman agar Irwan juga tersenyum tapi balasan senyum Irwan menggambarkan kesedihan.
“Udaa...!
“Ya Aida..” jawab Irwan sambil menoleh kepada Aida, tetapi kemudian kembali menatap lurus kedepan.
“Cerita lah uda...jangan hanya diam!”

“Cerita apa Aida,...besok aku pergi, pulang...dan mungkin kita tidak kan betemu lagi!”

Bersambung.....

Tuesday, March 14, 2017

Cerita : Uda, I Love You Too !!

“Wow! very lovely lake!!, luar biasa indahnya...” guman Irwan ketika memandang keindahan Danau Maninjau dari Kelok 44 di Ambun Pagi. Dikelilingi gugusan bukit hijau yang menyegarkan mata. Air danau nampak tenang, berwarna biru terkena pantulan langit, seolah menyimpan misteri yang dalam. Keindahannya jauh lebih memukau dibandingkan Danau Toba yang kemarin dia lewati. Bahkan sangat jauh lebih indah dari Danau Limboto nun di “kampungnya” di Gorontalo.
Pantas saja Presiden Bung Karno sampai mengambarkan keindahan danau Maninjau dengan sebuah pantun, “Jika makan arai Pinang, makanlah dengan sirih yang hijau, jangan datang ke Ranah Minang, kalau tak mampir ke Maninjau."
Bagi Irwan ini adalah perjalanan “pulang kampung” setelah hampir dua puluh tahun tidak pernah datang lagi ke kampungnya, kampung kelahiran mendiang Ibunya. Ya, terakhir dia pulang ke Maninjau saat masih berusia 4 tahun. Tidak lama setelah Ibundanya meninggal karena kecelakaan di Medan. Dia kemudian dibawa oleh Ayahnya pulang ke Maninjau. Setelah itu ayahnya pamit kepada keluarga ibunya untuk membawa anak tunggalnya Irwan ke Gorontalo, kampung ayahnya. Disana dia dibesarkan sampai dewasa oleh Ayahnya.
Ketika sedang asyiik menikmati keindahan itu, dia teringat seorang gadis. Aida ! dimana kah gadis itu berada, dimanakah kampungnya di Sumatera Barat ini?. Gadis yang baru dia kenal 2 hari yang lalu ketika naik pesawat dari Surabaya menuju Jakarta. Dalam perkenalan singkat itu Irwan terpesona dengan kecantikan dan keanggunan gadis itu. Berkali-kali Irwan mencoba menghubungi tetapi tidak pernah menyambung, tidak aktif atau diluar jangkauan.
Aida, ah tatapannya ketika akan berpisah di Terminal 3 Ultimate Soekarno Hatta membuat tubuh Irwan bagai terpaku kelantai. Langkahnya terasa berat beranjak. Berkali-kali Irwan menoleh ke arah Aida, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi terasa tidak mungkin.  Diwajah Aida juga terpancar hal yang sama dengan Irwan, ada rasa berat melangkahkan kaki meunju pesawat yang akan membawanya ke Padang. Sementara Irwan harus melanjutkan perjalanannya ke Kualanamu Medan. Ah, kenapa pesawat ini tidak delay saja. 1 jam.. 2 jam, mungkin itu cukup untuk kembali bercerita. Bukan bercerita, tetapi mengungkapkan apa yang dirasakan saat ini.
Perlahan Aida menjauh, hilang dibalik sekat-sekat gedung bandara itu. Tinggal Irwan sendiri masih berdiri kaku. Pikirannya berkecamuk. Tidak tahu harus bagaimana.
Dengan gontai Irwan menuju bangku-bangku tempat menunggu keberangkatan. Didekat “gate” keberangkatan pesawat menuju Medan. Pesawat Irwan masih 1,5 jam lagi. Irwan mencoba menelpon nomor yang diberikan Aida tadi. Tetapi sudah tidak aktif. Irwan gelisah, berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Di salah satu sudut Irwan kembali duduk, kemudian membuka tas dan mengambil koran. Membacanya. Tapi hatinya tetap tidak tenang, pikirannya terus membayangkan gadis itu.
“Di Maninjau nyo dima Uda ?’, Irwan dikagetkan pertanyaan sopir minibus itu.
“Kampuang Dadok Sungai Batang”, jawab Irwan. Lamunannya buyar, ternyata dia sudah hampir sampai di tujuan. Dari rambu jalan di tiap tikungan tertulis Kelok 2. Tidak berapa lama sampai pada Kelok 1. Akhirnya mobil itu berbelok menuju arah Sungai Batang.
Sampai di Kampuang Dadok, Irwan tidak kesulitan mencari alamat yang dituju karena kampung itu tidak begitu ramai. Dengan sekali bertanya, ia mendapatkan petunjuk yang jelas.
 *000* 
Assalamu’alaikum !
“Waalaikum salam, sia tu ?”, tanya suara di atas rumah. Tidak lama mucul wajah perempuan dari balik pimtu.
“Saya tek, Irwan !” sambil bergegas membuka sepatunya.
“Ondeeh Irwan, naiak lah...ado Mak Datuak disiko kini,...”
“capek kironyo ang tibo, etek sangko minggu bisuak”, sambung eteknya yang bernama Nursidah itu sambil membimbing tangan Irwan.
Dirumah itu Irwan disambut hangat keluarganya itu, Eteknya, Suami Etek, dan Mak Menan yang telah diangkat menjadi Datuk Kepala Suku. Itu memang bukan rumah Ibu kandungnya. Rumah ibunya telah lama roboh karena tidak pernah lagi ditinggali sejak neneknya meninggal dan ibunya ikut ayahnya ke Medan 25 tahun lalu. Ibunya merupakan anak satu-satunya alias tungga babeleng dari neneknya.
Berdasarkan cerita Ayah Irwan, Etek Nursidah itu merupakan anak dari adik neneknya, mereka ada bertiga bersaudara, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Eteknya itu mempunyai anak 4 orang, 2 pasang.
Setelah dihidangkan air teh hangat, Irwan shalat asyar di ruangan tamu rumah itu. Ketika selesai Shalat, Irwan berdoa. Berdoa untuk arwah ibunya yang terkubur di Medan. Dari kampung kelahiran ibunya itu dia panjatkan doa.
“Assalamu’alaikum !”, terdengar suara mengucapkan salam dari pintu.
Serentak yang ada dalam rumah itu menjawab salam. Irwan pun menoleh ke arah pintu masuk. 2 orang perempuan nampak memasuki rumah sambil membawa kantong berisi belanjaan. Yang satu berusia sekitar 20 tahun dan satu lagi sekitar 10 tahun.
Alangkah kagetnya Irwan!. Dia seperti bermimpi, tubuhnya kembali menjadi kaku seperti di bandara itu, wajahnya tiba-tiba jadi pucat. Seakan tak percaya pada penglihatannya. Perempuan yang baru masuk rumah itu.
Dan perempuan itu Aida ! Aida pun terpana, kantong ditangannya hampir terlepas ketika melihat Irwan. Terasa darahnya seperti terhenti mengalir.
“Aida,..Rani !! itu Irwan anak mendiang Mak Tuo Ema, baru tibo dari Sulawesi. Salami lah !” Ucap Ayahnya ketika melihat Aida seperti orang kebingungan. Rani duluan mendekati Irwan, menyalami sambil mencium tangan Irwan.
Aida dan Irwan sama-sama melangkah saling mendekati. Sama-sama mengulurkan tangan, tapi jantung mereka seperti berhenti berdetak.
“Udaa, Selamat datang dikampung!” ucap Aida ketika tangan mereka bersentuhan.
“Iyaa Aida” jawab Irwan tersenyum, seakan masih tidak percaya dengan penglihatannya.
“Aidaa, bawalah belanjaan tu kemari, mamasak lah capek, Uda Irwan kau lah lapar tu!,” suara dari dapur itu memecahkan kekakuan yang terjadi antara Aida dan Irwan.
Aida telah pergi ke dapur, Irwan kembali duduk bersama Ayah Aida dan Mak Datuk Menan. Bercerita tentang keadaan Ayahnya di Gorontalo sana. Bercerita tentang pekerjaannya, sampai cerita tentang rencana kapan menikah.
Amboi...menikah? Pikirannya belum pernah sampai kesana, pikirannya hanya kapan dapat bertemu lagi dengan gadis yang mempesona itu, Aida. Dia memang telah berniat untuk mencari Gadis itu setelah urusan pulang kampungnya selesai, tetapi HP Aida tidak pernah lagi bisa dihubungi. Oo..rupanya disini memamg belum ada signal. Kalo mau menelpon harus pergi ke pasar Sungai Batang.
Dan tanpa diduga, pucuk dicinta ulam tiba, gadis itu bersua dengannya. Namun Irwan masih tidak tenang, diantara rasa senangnya bertemu dengan gadis yang diangan-angankannya. Dia sadar, bukan pertemuan seperti ini yang dia angankan. Gadis itu adalah saudara sesuku, adiknya, masih satu keturunan yang sangat dekat. Oh mengapa situasinya begini sulit.
Didapur. Aida juga resah. Berkali-kali kentang yang sedang dia pegang terlepas, namun dia terus mengupasnya, terlepas lagi. “Hati-hati Aida, beko luko tangan tu!, apo nan sadang bapikiakan?” peringatan dan pertanyaan ibunya itu kontan membuat dia terkejut. Mukanya memerah.
“Ndak ada mak!”, Dia kembali berusaha konsentrasi. Tidak ada, bohong!. Hatinya bimbang, memikirkan kejadian 2 hari yang lalu di mulai dari peasawat dari Surabaya, di Bandara Soekarno Hatta. Seorang Pria yang memikat hatinya walau pertemuan itu baru pertama kali. Lelaki yang berwajah tampan, berbudi, mempunyai tutur kata dan pembawaan yang sopan. Ah, lelaki yang pantas diidamkan menjadi junjungan sampai hari tua.

Dan kini dia bertemu lagi dengan laki-laki itu. Ternyata laki-laki itu adalah saudaranya, sasuku, satu keturunan. Oh, hidup ini luar biasa dan tidak bisa diduga.

Bersambung...

Wednesday, March 8, 2017

Cinta, Ekstrimis dan Penguasa (part 2)

Mengapa saya menulis tentang Cinta, Ekstrimis dan Penguasa? Imajinasi saya menerawang ketika keluarga dan masyarakat dengan support dari Pemda Lima Puluh Kota berusaha memulangkan jenazah Tan Malaka dari Kediri ke Suliki Lima Puluh Kota. Walaupun tidak berhasil memulangkan kerangka jenazah, tetapi langkah itu telah membuat Tan Malaka “semakin hidup” semakin ramai dibicarakan ditengah-tengah masyarakat.
Seingat saya Tan Malaka adalah tokoh yang dilarang untuk “dibicarakan” pada zaman orde baru. Secara samar-samar dalam ingatan saya Tan Malaka adalah tokoh yang dianggap ekstrim dan berhaluan kiri serta pembuat onar oleh penguasa.  Oleh karena itu ketika beliau kembali ramai dibicarakan, saya berusaha mencari tahu dengan membaca beberapa literatur.
Presiden Soekarno dengan Keputusan Presiden RI No. 53, mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963. Tetapi ketika zaman berganti Sang Pahlawan “disingkirkan”dari sejarah Indonesia, di era Orde Baru namanya dicoret dari daftar nama Pahlawan Nasional dan hampir tidak pernah dibahas dalam pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah.
Tan Malakan memiliki semangat militan ketika membela kaum yang tertindas, membenci ketidakadilan dan peduli terhadap penderitaan para buruh serta memiliki pengetahuan sosial politik yang didapat selama belajar di Eropa, berbekal itu Tan Malaka memutuskan untuk bergabung dengan organisasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Pergerakan organisasi ISDV ini berbasis ideologi Marxisme yang pada intinya memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan alat produksi kepada rakyat agar tidak dimonopoli oleh kaum pemilik modal dan kolonial asing.
Perkumpulan ISDV ini sangat ekstrim melawan "penindasan" dari kolonial Belanda. Lambat laun, gerakan itu didominasi oleh kaum pribumi muslim. Sampai akhirnya pada tahun 1920, ISDV resmi berganti nama menjadi "Perkumpulan Komunis di Hindia" (PKH) cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) di kemudian hari. Dalam tulisan Asvi Warman Adam dengan judul “Menggali Makam Tan Malaka”, disebutkan bahwa oleh sebab itulah  Tan Malaka dianggap sebagai Tokoh Penting dalam lingkaran generasi pertama PKI. Selanjutnya diceritakan bahwa tokoh-tokoh PKH masa itu sebagian juga pemimpin Islam yang gigih seperti Haji Misbach di Jawa dan Datuak Batuah, guru sekolah Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Para aktifis PKH ini tidak pernah meninggalkan shalat meskipun dikejar-kejar oleh Politieke Inlichtingen Dients (intel Belanda).
Dalam perkembangan selanjutnya tergambar jelas bahwa Tan Malaka tidak terlibat dalam gerakan Komunis tahun 1926 dan 1948, dimana Tan Malaka menentang kebijakan PKH dan kemudian pada tahun 1927 mendirikan Partai Republik Indonesia. Bahkan pentolan PKI, Muso pernah berkata;, “jika punya kesempatan, yang pertama akan dia gantung adalah Tan Malaka”. Itu
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Tan Malaka merasa para pemimpin seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir terlalu lembek terhadap Belanda yang masih terus berusaha menguasai Indonesia. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan dengan adanya Proklamasi itu sudah diraih sepenuhnya, jadi tidak perlu melakukan perundingan apapun dengan Belanda. Ia khawatir perjanjian-perjanjian seperti Linggarjati dan Renville justru merugikan Indonesia nantinya. Hingga pada saat itu muncullah pemikirannya yang sangat terkenal, “Berunding setelah ada pengakuan kemerdekaan seratus persen” dan “Tuan Rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”.
Itulah Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang dikenal dengan Tan Malaka, lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949, yang berjuang dengan cara “ekstrim” dan benar-benar dianggap ekstrimis hingga terbunuh oleh peluru bangsanya sendiri. Sampai akhir hayatnya itu tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Tan Malaka pernah menikah.
Dalam buku Adam Malik Mengabdi Republik, Tan Malaka pernah ditanya,”Apa Bung Pernah Jatuh Cinta?”. “Pernah, tiga kali malahan. Sekali di Belanda. Sekali di Filipina dan sekali lagi di Indonesia. Tapi semuanya itu katakanlah hanya cinta tidak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan!”, jawab Tan Malaka.
**000**
Bahwa cinta itu mungkin seperti Laila dan Qais atau Siti Nurbaya, kasih tak sampai ke pelaminan! Walaupun bermacam-macam penghalang, teruslah berdoa “Kalau memang cinta itu sakti, persatukan sebelum mati atau biarkan dia menjadi bidadariku surga!”. Dan mungkin pula sebegitu romantis Romeo dan Juliet. Atau bahkan mungkin sebaliknya. Menyedihkan, membuat hati terasa perih.
Dipandang jahat atau pun jalang oleh orang yang memang membenci kita, tidak lah menjadi beban di hati malahan memacu semangat untuk membalasnya pada saatnya nanti. Tapi dibenci oleh orang yang kita cintai dan sesungguhnya pula dia juga mencintai. Ah! itu jauh lebih berat dan menyakitkan rasanya. Ada keinginan mereguk segenggam kebahagian tetapi selalu tersingkir dan terlempar jauh. Apa yang dicari seolah sudah nyaris tergenggam di tangan.
Pun begitu bagi orang yang “membenci” itu, di bibir ia mengusir, menyuruh kita pergi jauh. Tapi dalam hati sebenarnya dia ingin mengatakan “jangan pergi!”, ada rindu yang se rindu-rindunya. Didepan orang menampakkan muka penuh amarah, namun disaat sendiri airmatanya mengalir deras seiring goncangan dadanya karena rasa sedih yang teramat dalam.
Begitu pula cinta para Pahlawan, dianggap ekstrim dan dicap ekstrimis karena mengganggu atau membahayakan kekuasaan penguasa. Dan mungkin di zaman itu dilabeli ekstrimis, bahkan dizaman lain dihapus pula dari catatan sejarah tetapi dizaman yang lain pula kebenaran itu terungkap.
Ketika Kompeni berkuasa, para pejuang kita dicap pengacau, pemberontak, Ekstrimis!! Toh akhirnya pada hari ini kita menikmati hidup di negeri yang merdeka ini karena perjuangan dan cinta para ekstrimis-ekstrimis itu.   
Terimaksih Tan Malaka, terimakasih atas cintamu pada negeri ini. Dimanapun makammu berada, dimanapun jasadmu terkubur perjuangan dan cintamu akan selalu hidup di bumi pertiwi ini.


Lubuk Basung, 8 Maret 2017