Saturday, September 30, 2017

Biasa Luar Biasa

Tanpa disadari di Dunia Sosial Media kita seringkali mempertontonkan rendahnya kualitas diri kita sendiri kepada publik. Mempertunjukan wacana yang dangkal, berpikir pragmatis, mudah terbawa arus dan terperangkap pada loyalitas dan rivalitas abadi pesta demokrasi.
Terpesona pada hal-hal yang sesungguhnya biasa-biasa saja tetapi menganggapnya "luar biasa". Begitu mudah memuji dan memuja seseorang yang hanya melakukan hal-hal remeh yang sudah seharusnya ia lakukan. Tanpa mau berpikir bahwa subtansi kehebatan itu seharusnya diukur pada pencapaian prioritas tanggungjawab yang diembannya.
Kita menganggap Luar Biasa ketika ada pejabat berseragam ikut mengali pusara. Kita menganggap hebat ada pejabat yang "menyalurkan" bantuan bencana. Padahal itu bukan subtansi kehebatan karena itu memang sudah tugasnya.
Kita menganggap luar biasa ketika ada pejabat dekat dengan rakyatnya. Dekat dalam bentuk suka berselfie atau bersalaman. Terpesona pada perfomance dan tutur bahasa seseorang dihadapan media padahal omongannya tanpa gagasan dan prinsip alias kosong melompong.
Bahkan secara formal pun kita seakan telah kehilangan nalar dan merendahkan level diri kita. Melebih-lebihkan hal biasa menjadi seakan-akan luar biasa.
Contohnya, Predikat laporan keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang didapat disambut antusias bahkan untuk mendapatkan predikat Wajar itu ada yang melakukan tindak pidana korupsi (Kemendes). Padahal itu "cuma" predikat wajar! bukan predikat Luar Biasa Bagus atau Sangat Baik!
Kita menganggap Hebat pejabat yang bersih, tidak korupsi! Padahal, tidak korupsi itu adalah hal yang seharusnya dilakukan semua pejabat.
Atau, lihatlah pula iklan pertandingan Liga Sepakbola kita di televisi, semua diberi label "Big Match" bahkan ada yang Super Big Match. Padahal itu hanya pertandingan tim papan bawah dan bukan pula pertandingan antar klub "musuh berbuyutan".
Padahal yang pantas disebut Big Match itu adalah ketika Real Madrid bertanding melawan Barcelona di Spanyol, Juventus vs AC Milan di Italia, Manchester United vs Liverpool di Inggris.  Karena jauh hari sebelum pertandingan kesebelasan tersebut media sudah membahasnya, dan ketika pertandingan berlangsung stadion penuh sesak oleh penonton.
Tidak ada salahnya berbangga dengan pencapaian kita. Tetapi seharusnya kita membuat standar yang tinggi untuk sebuah prestasi. Standar yang tinggi merupakan kekuatan untuk ikut bersaing pada level yang lebih tinggi.
Tidak semua "gerak gerik" dipoles dengan pencitraan, diberi label hebat dan diekspose di media dengan judul "Luar Biasa" yang disertai pujian. Karena semakin dinyaring-nyaringkan kehebatan itu maka semakin menandakan isinya kosong. Karena yang nyaring bunyinya adalah Tong Kosong !.
Mungkin kita mendapat juara 1 tetapi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) kelas kita cuma 6,5. Sementara ditempat lain KKM nya sudah di atas 9.
Atau dalam istilah lainnya, kita hanya jadi juara di kandang kambing. Jadi, tidaklah tepat kalau kita bersorak sorai dengan "prestasi" yang biasa. Tidak lah hebat namanya jika sesuatu itu memang sudah seharusnya. Tidak lah luar biasa jika itu sudah biasa.
Kita paham bahwa kita memang masih berada di zona berkembang, belum berada di zona (Negara) maju. Oleh karenanya kita harus mematok target berada di rangking “Papan Atas” untuk kita capai dan kelak disanalah kita berbangga ria.

Lubuk Basung, 1 Oktober 2017

Wednesday, September 20, 2017

Keberanian Menunggu Ajal

Beberapa waktu lalu saya kehilangan orang dekat. Beliau adalah Guru saya di Sekolah Dasar, yang mengajarkan saya membaca, menulis dan berhitung. Beliau seusia Indonesia Merdeka.
Sebelum meninggal, beliau sangat jarang sakit. Bahkan Kartu Kuning (kartu asuransi kesehatan untuk PNS) tidak pernah beliau pergunakan.
Itu saya ketahui ketika membezuk beliau ketika dirawat di rumah sakit. Beliau bercerita ini pertama kali Ibuk dirawat. Ibu belum pernah mempergunakan Kartu Kuning.
Waktu itu beliau direncanakan akan dioperasi tetapi harus menunggu beberapa hari karena ada beberapa kondisi tubuh beliau harus distabilkan sesuai persyaratan seseorang harus dioperasi.
Kondisi itu ternyata membuat beliau resah. Beliau tidak betah menunggu lama untuk dioperasi.
Ketika mendapatkan kunjungam dokter, beliau langsung menyampaikan,; "Pak Dokter apa lagi yang ditunggu? Operasi saja sekarang!"
Seminggu setelah membezuk itu saya mendapat kabar bahwa beliau meninggal. Diantara kesedihan saya ada syukur karena sempat membezuk beliau.
Sangat banyak orang Bagak bahkan berteriak-teriak Saya tidak taku mati! ketika sedang bertemgkar dengan lawannya.
Tetapi saya melihat Beliau-lah orang yang benar-benar tidak takut mati. Ah, atau lebih tepatnya Beliau adalah orang yang telah siap untuk mati, telah siap ketika ajal itu datang.
Keberanian beliau, kesiapan beliau untuk mati tidak pernah secara dikatakan dengan bahasa lisan. Tetapi apa yang beliau lakukan membuktikan bahwa beliau benar-benar siap. Mungkin saja karena usia beliau yang telah melebihi angka 70.
Beliau mempersiapkan Kain Kafan dan kelengkapan jenazah lainnya. Ya, Beliau siapkan semua itu untuk jenazah beliau nantinya. Bukan karena khawatir nanti ketika meninggal tidak ada ahli waris atau sanak saudara yang akan menyediakan perlengkapan itu. Bukan.
Anak-anak Beliau sangat mapan secara ekonomi. Dan beliau sendiri adalah orang yang dihormati dilingkungannya sehingga bawaan orang yang takziah akan melebihi kebutuhan untuk satu jenazah.
Keberanian beliau menunggu ajal bukan pula sebagai bentuk orang yang pasrah apalagi berputus asa hingga terpakaa menunggu ajal. Beliau tetap melakukan aktifitas seperti orang yang akan berumur panjang. Berkebun, menanam tanaman tetap bersemangat beliau lakukan. Tidak peduli apakah buah dari tanaman yang beliau tanam itu akan dapat beliau nikmati.
Terimakasih Ibu Guru, sampai akhir hayat masih memberikan Ilmu yang luar biasa.
Lubuk Basung, 19 September 2017