Tuesday, March 14, 2017

Cerita : Uda, I Love You Too !!

“Wow! very lovely lake!!, luar biasa indahnya...” guman Irwan ketika memandang keindahan Danau Maninjau dari Kelok 44 di Ambun Pagi. Dikelilingi gugusan bukit hijau yang menyegarkan mata. Air danau nampak tenang, berwarna biru terkena pantulan langit, seolah menyimpan misteri yang dalam. Keindahannya jauh lebih memukau dibandingkan Danau Toba yang kemarin dia lewati. Bahkan sangat jauh lebih indah dari Danau Limboto nun di “kampungnya” di Gorontalo.
Pantas saja Presiden Bung Karno sampai mengambarkan keindahan danau Maninjau dengan sebuah pantun, “Jika makan arai Pinang, makanlah dengan sirih yang hijau, jangan datang ke Ranah Minang, kalau tak mampir ke Maninjau."
Bagi Irwan ini adalah perjalanan “pulang kampung” setelah hampir dua puluh tahun tidak pernah datang lagi ke kampungnya, kampung kelahiran mendiang Ibunya. Ya, terakhir dia pulang ke Maninjau saat masih berusia 4 tahun. Tidak lama setelah Ibundanya meninggal karena kecelakaan di Medan. Dia kemudian dibawa oleh Ayahnya pulang ke Maninjau. Setelah itu ayahnya pamit kepada keluarga ibunya untuk membawa anak tunggalnya Irwan ke Gorontalo, kampung ayahnya. Disana dia dibesarkan sampai dewasa oleh Ayahnya.
Ketika sedang asyiik menikmati keindahan itu, dia teringat seorang gadis. Aida ! dimana kah gadis itu berada, dimanakah kampungnya di Sumatera Barat ini?. Gadis yang baru dia kenal 2 hari yang lalu ketika naik pesawat dari Surabaya menuju Jakarta. Dalam perkenalan singkat itu Irwan terpesona dengan kecantikan dan keanggunan gadis itu. Berkali-kali Irwan mencoba menghubungi tetapi tidak pernah menyambung, tidak aktif atau diluar jangkauan.
Aida, ah tatapannya ketika akan berpisah di Terminal 3 Ultimate Soekarno Hatta membuat tubuh Irwan bagai terpaku kelantai. Langkahnya terasa berat beranjak. Berkali-kali Irwan menoleh ke arah Aida, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi terasa tidak mungkin.  Diwajah Aida juga terpancar hal yang sama dengan Irwan, ada rasa berat melangkahkan kaki meunju pesawat yang akan membawanya ke Padang. Sementara Irwan harus melanjutkan perjalanannya ke Kualanamu Medan. Ah, kenapa pesawat ini tidak delay saja. 1 jam.. 2 jam, mungkin itu cukup untuk kembali bercerita. Bukan bercerita, tetapi mengungkapkan apa yang dirasakan saat ini.
Perlahan Aida menjauh, hilang dibalik sekat-sekat gedung bandara itu. Tinggal Irwan sendiri masih berdiri kaku. Pikirannya berkecamuk. Tidak tahu harus bagaimana.
Dengan gontai Irwan menuju bangku-bangku tempat menunggu keberangkatan. Didekat “gate” keberangkatan pesawat menuju Medan. Pesawat Irwan masih 1,5 jam lagi. Irwan mencoba menelpon nomor yang diberikan Aida tadi. Tetapi sudah tidak aktif. Irwan gelisah, berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Di salah satu sudut Irwan kembali duduk, kemudian membuka tas dan mengambil koran. Membacanya. Tapi hatinya tetap tidak tenang, pikirannya terus membayangkan gadis itu.
“Di Maninjau nyo dima Uda ?’, Irwan dikagetkan pertanyaan sopir minibus itu.
“Kampuang Dadok Sungai Batang”, jawab Irwan. Lamunannya buyar, ternyata dia sudah hampir sampai di tujuan. Dari rambu jalan di tiap tikungan tertulis Kelok 2. Tidak berapa lama sampai pada Kelok 1. Akhirnya mobil itu berbelok menuju arah Sungai Batang.
Sampai di Kampuang Dadok, Irwan tidak kesulitan mencari alamat yang dituju karena kampung itu tidak begitu ramai. Dengan sekali bertanya, ia mendapatkan petunjuk yang jelas.
 *000* 
Assalamu’alaikum !
“Waalaikum salam, sia tu ?”, tanya suara di atas rumah. Tidak lama mucul wajah perempuan dari balik pimtu.
“Saya tek, Irwan !” sambil bergegas membuka sepatunya.
“Ondeeh Irwan, naiak lah...ado Mak Datuak disiko kini,...”
“capek kironyo ang tibo, etek sangko minggu bisuak”, sambung eteknya yang bernama Nursidah itu sambil membimbing tangan Irwan.
Dirumah itu Irwan disambut hangat keluarganya itu, Eteknya, Suami Etek, dan Mak Menan yang telah diangkat menjadi Datuk Kepala Suku. Itu memang bukan rumah Ibu kandungnya. Rumah ibunya telah lama roboh karena tidak pernah lagi ditinggali sejak neneknya meninggal dan ibunya ikut ayahnya ke Medan 25 tahun lalu. Ibunya merupakan anak satu-satunya alias tungga babeleng dari neneknya.
Berdasarkan cerita Ayah Irwan, Etek Nursidah itu merupakan anak dari adik neneknya, mereka ada bertiga bersaudara, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Eteknya itu mempunyai anak 4 orang, 2 pasang.
Setelah dihidangkan air teh hangat, Irwan shalat asyar di ruangan tamu rumah itu. Ketika selesai Shalat, Irwan berdoa. Berdoa untuk arwah ibunya yang terkubur di Medan. Dari kampung kelahiran ibunya itu dia panjatkan doa.
“Assalamu’alaikum !”, terdengar suara mengucapkan salam dari pintu.
Serentak yang ada dalam rumah itu menjawab salam. Irwan pun menoleh ke arah pintu masuk. 2 orang perempuan nampak memasuki rumah sambil membawa kantong berisi belanjaan. Yang satu berusia sekitar 20 tahun dan satu lagi sekitar 10 tahun.
Alangkah kagetnya Irwan!. Dia seperti bermimpi, tubuhnya kembali menjadi kaku seperti di bandara itu, wajahnya tiba-tiba jadi pucat. Seakan tak percaya pada penglihatannya. Perempuan yang baru masuk rumah itu.
Dan perempuan itu Aida ! Aida pun terpana, kantong ditangannya hampir terlepas ketika melihat Irwan. Terasa darahnya seperti terhenti mengalir.
“Aida,..Rani !! itu Irwan anak mendiang Mak Tuo Ema, baru tibo dari Sulawesi. Salami lah !” Ucap Ayahnya ketika melihat Aida seperti orang kebingungan. Rani duluan mendekati Irwan, menyalami sambil mencium tangan Irwan.
Aida dan Irwan sama-sama melangkah saling mendekati. Sama-sama mengulurkan tangan, tapi jantung mereka seperti berhenti berdetak.
“Udaa, Selamat datang dikampung!” ucap Aida ketika tangan mereka bersentuhan.
“Iyaa Aida” jawab Irwan tersenyum, seakan masih tidak percaya dengan penglihatannya.
“Aidaa, bawalah belanjaan tu kemari, mamasak lah capek, Uda Irwan kau lah lapar tu!,” suara dari dapur itu memecahkan kekakuan yang terjadi antara Aida dan Irwan.
Aida telah pergi ke dapur, Irwan kembali duduk bersama Ayah Aida dan Mak Datuk Menan. Bercerita tentang keadaan Ayahnya di Gorontalo sana. Bercerita tentang pekerjaannya, sampai cerita tentang rencana kapan menikah.
Amboi...menikah? Pikirannya belum pernah sampai kesana, pikirannya hanya kapan dapat bertemu lagi dengan gadis yang mempesona itu, Aida. Dia memang telah berniat untuk mencari Gadis itu setelah urusan pulang kampungnya selesai, tetapi HP Aida tidak pernah lagi bisa dihubungi. Oo..rupanya disini memamg belum ada signal. Kalo mau menelpon harus pergi ke pasar Sungai Batang.
Dan tanpa diduga, pucuk dicinta ulam tiba, gadis itu bersua dengannya. Namun Irwan masih tidak tenang, diantara rasa senangnya bertemu dengan gadis yang diangan-angankannya. Dia sadar, bukan pertemuan seperti ini yang dia angankan. Gadis itu adalah saudara sesuku, adiknya, masih satu keturunan yang sangat dekat. Oh mengapa situasinya begini sulit.
Didapur. Aida juga resah. Berkali-kali kentang yang sedang dia pegang terlepas, namun dia terus mengupasnya, terlepas lagi. “Hati-hati Aida, beko luko tangan tu!, apo nan sadang bapikiakan?” peringatan dan pertanyaan ibunya itu kontan membuat dia terkejut. Mukanya memerah.
“Ndak ada mak!”, Dia kembali berusaha konsentrasi. Tidak ada, bohong!. Hatinya bimbang, memikirkan kejadian 2 hari yang lalu di mulai dari peasawat dari Surabaya, di Bandara Soekarno Hatta. Seorang Pria yang memikat hatinya walau pertemuan itu baru pertama kali. Lelaki yang berwajah tampan, berbudi, mempunyai tutur kata dan pembawaan yang sopan. Ah, lelaki yang pantas diidamkan menjadi junjungan sampai hari tua.

Dan kini dia bertemu lagi dengan laki-laki itu. Ternyata laki-laki itu adalah saudaranya, sasuku, satu keturunan. Oh, hidup ini luar biasa dan tidak bisa diduga.

Bersambung...

Wednesday, March 8, 2017

Cinta, Ekstrimis dan Penguasa (part 2)

Mengapa saya menulis tentang Cinta, Ekstrimis dan Penguasa? Imajinasi saya menerawang ketika keluarga dan masyarakat dengan support dari Pemda Lima Puluh Kota berusaha memulangkan jenazah Tan Malaka dari Kediri ke Suliki Lima Puluh Kota. Walaupun tidak berhasil memulangkan kerangka jenazah, tetapi langkah itu telah membuat Tan Malaka “semakin hidup” semakin ramai dibicarakan ditengah-tengah masyarakat.
Seingat saya Tan Malaka adalah tokoh yang dilarang untuk “dibicarakan” pada zaman orde baru. Secara samar-samar dalam ingatan saya Tan Malaka adalah tokoh yang dianggap ekstrim dan berhaluan kiri serta pembuat onar oleh penguasa.  Oleh karena itu ketika beliau kembali ramai dibicarakan, saya berusaha mencari tahu dengan membaca beberapa literatur.
Presiden Soekarno dengan Keputusan Presiden RI No. 53, mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963. Tetapi ketika zaman berganti Sang Pahlawan “disingkirkan”dari sejarah Indonesia, di era Orde Baru namanya dicoret dari daftar nama Pahlawan Nasional dan hampir tidak pernah dibahas dalam pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah.
Tan Malakan memiliki semangat militan ketika membela kaum yang tertindas, membenci ketidakadilan dan peduli terhadap penderitaan para buruh serta memiliki pengetahuan sosial politik yang didapat selama belajar di Eropa, berbekal itu Tan Malaka memutuskan untuk bergabung dengan organisasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Pergerakan organisasi ISDV ini berbasis ideologi Marxisme yang pada intinya memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan alat produksi kepada rakyat agar tidak dimonopoli oleh kaum pemilik modal dan kolonial asing.
Perkumpulan ISDV ini sangat ekstrim melawan "penindasan" dari kolonial Belanda. Lambat laun, gerakan itu didominasi oleh kaum pribumi muslim. Sampai akhirnya pada tahun 1920, ISDV resmi berganti nama menjadi "Perkumpulan Komunis di Hindia" (PKH) cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) di kemudian hari. Dalam tulisan Asvi Warman Adam dengan judul “Menggali Makam Tan Malaka”, disebutkan bahwa oleh sebab itulah  Tan Malaka dianggap sebagai Tokoh Penting dalam lingkaran generasi pertama PKI. Selanjutnya diceritakan bahwa tokoh-tokoh PKH masa itu sebagian juga pemimpin Islam yang gigih seperti Haji Misbach di Jawa dan Datuak Batuah, guru sekolah Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Para aktifis PKH ini tidak pernah meninggalkan shalat meskipun dikejar-kejar oleh Politieke Inlichtingen Dients (intel Belanda).
Dalam perkembangan selanjutnya tergambar jelas bahwa Tan Malaka tidak terlibat dalam gerakan Komunis tahun 1926 dan 1948, dimana Tan Malaka menentang kebijakan PKH dan kemudian pada tahun 1927 mendirikan Partai Republik Indonesia. Bahkan pentolan PKI, Muso pernah berkata;, “jika punya kesempatan, yang pertama akan dia gantung adalah Tan Malaka”. Itu
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Tan Malaka merasa para pemimpin seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir terlalu lembek terhadap Belanda yang masih terus berusaha menguasai Indonesia. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan dengan adanya Proklamasi itu sudah diraih sepenuhnya, jadi tidak perlu melakukan perundingan apapun dengan Belanda. Ia khawatir perjanjian-perjanjian seperti Linggarjati dan Renville justru merugikan Indonesia nantinya. Hingga pada saat itu muncullah pemikirannya yang sangat terkenal, “Berunding setelah ada pengakuan kemerdekaan seratus persen” dan “Tuan Rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”.
Itulah Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang dikenal dengan Tan Malaka, lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949, yang berjuang dengan cara “ekstrim” dan benar-benar dianggap ekstrimis hingga terbunuh oleh peluru bangsanya sendiri. Sampai akhir hayatnya itu tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Tan Malaka pernah menikah.
Dalam buku Adam Malik Mengabdi Republik, Tan Malaka pernah ditanya,”Apa Bung Pernah Jatuh Cinta?”. “Pernah, tiga kali malahan. Sekali di Belanda. Sekali di Filipina dan sekali lagi di Indonesia. Tapi semuanya itu katakanlah hanya cinta tidak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan!”, jawab Tan Malaka.
**000**
Bahwa cinta itu mungkin seperti Laila dan Qais atau Siti Nurbaya, kasih tak sampai ke pelaminan! Walaupun bermacam-macam penghalang, teruslah berdoa “Kalau memang cinta itu sakti, persatukan sebelum mati atau biarkan dia menjadi bidadariku surga!”. Dan mungkin pula sebegitu romantis Romeo dan Juliet. Atau bahkan mungkin sebaliknya. Menyedihkan, membuat hati terasa perih.
Dipandang jahat atau pun jalang oleh orang yang memang membenci kita, tidak lah menjadi beban di hati malahan memacu semangat untuk membalasnya pada saatnya nanti. Tapi dibenci oleh orang yang kita cintai dan sesungguhnya pula dia juga mencintai. Ah! itu jauh lebih berat dan menyakitkan rasanya. Ada keinginan mereguk segenggam kebahagian tetapi selalu tersingkir dan terlempar jauh. Apa yang dicari seolah sudah nyaris tergenggam di tangan.
Pun begitu bagi orang yang “membenci” itu, di bibir ia mengusir, menyuruh kita pergi jauh. Tapi dalam hati sebenarnya dia ingin mengatakan “jangan pergi!”, ada rindu yang se rindu-rindunya. Didepan orang menampakkan muka penuh amarah, namun disaat sendiri airmatanya mengalir deras seiring goncangan dadanya karena rasa sedih yang teramat dalam.
Begitu pula cinta para Pahlawan, dianggap ekstrim dan dicap ekstrimis karena mengganggu atau membahayakan kekuasaan penguasa. Dan mungkin di zaman itu dilabeli ekstrimis, bahkan dizaman lain dihapus pula dari catatan sejarah tetapi dizaman yang lain pula kebenaran itu terungkap.
Ketika Kompeni berkuasa, para pejuang kita dicap pengacau, pemberontak, Ekstrimis!! Toh akhirnya pada hari ini kita menikmati hidup di negeri yang merdeka ini karena perjuangan dan cinta para ekstrimis-ekstrimis itu.   
Terimaksih Tan Malaka, terimakasih atas cintamu pada negeri ini. Dimanapun makammu berada, dimanapun jasadmu terkubur perjuangan dan cintamu akan selalu hidup di bumi pertiwi ini.


Lubuk Basung, 8 Maret 2017

Tuesday, March 7, 2017

Cinta, Ekstrimis dan Penguasa

Pada abad pertengahan di jazirah Arab tersebutlah kisah cinta romantis dua anak manusia, Laila binti Al-Mahi, Putri Bangsawan yang cantik jelita dengan Qais bin Al-Mulawwah seorang hartawan yang budiman keturunan Bani Ami. Hubungan cinta kedua sejoli ini bergetar ketika umur Laila 12 tahun dan Qais 13 tahun. Percintaan yang terlalu dini ini tidak direstui oleh keluarga kedua belah pihak, sehingga terjadilah pemkasaan pemutusan hubungan. Laila dikurung ketat di dalam kamarnya sehingga Qais tak dapat lagi menemuinya. Jangankan berbicara dengannya, mendengar suaranya pun tak bisa lagi. Hingga suatu ketika Qais mendengar kabar Laila akan dinikahkan ayahnya dengan seorang saudagar kaya asal dari Irak dengan mas kawin 1.000 dinar. Laila tak berdaya melawan perintah ayahnya karena adat memang menyatakan bahwa laki-laki bekuasa atas perempuan.
Ketika ia mendengar kabar Laila
akan dinikahkan oleh orangtuanya dengan lelaki lain, Qais menangis sejadi-jadinya. Ialah tangisan yang merobek langit, mencerca rembulan, memaki bumi. 
Ayah qais menemui ayah Laila dan menawarkan 100 unta sebagai pengganti uang 1.000 dinar yang diberikan Sa’d bin Munif. Tetapi lamaran ayah Qais ditolak. Pesta perkawinan Laila dan Sa’d bin Munif tetap dilaksanakan secara besar-besaran. Hancur luluhlah hati Qais, tak satupun obat yang dapat menyembuhkan walau telah banyak tabib yang mencoba mengobati.
Qais tidak mau lagi bicara dengan siapapun, dia sibuk dengan dirinya sendiri, sampai pada akhirnya orang-orang menyebutnya dengan Majnun yang berarti Gila ! dan sebaliknya, Laila meskipun telah menjadi isteri Sa’d bin Munif, hatinya tetap mencintai Qais.
Hingga dalam satu kesempatan Laila dan Qais bertemu. Ketika itu mereka hanya mampu saling berpandangan, dan Qais menunjukkan penderitaannya hingga menjadi orang gila sebagai bukti cintanya. Melihat itu Laila berkata: “Engkau dapat melampiaskan kerinduanmu dengan puisi, dengan berlaku gila, dengan berteriak sesuka hati. Tetapi aku memendamnya seorang diri, membiarkan api membakar tubuhku dari dalam, bertahun-tahun. Jadi, siapa di antara kita yang paling menderita?” 
Itu adalah pertemuan terakhir mereka.
Ketika mendapat kabar Laila meninggal dunia, Qais datang menjiarahi makamnya. Di pusara itu sekali lagi Qais menangis, menyandarkan kepalanya di atas pusara itu, dalam nikmat cinta. Ia membiarkan takdir menjemputnya dalam kerelaan untuk menyempurnakan kebahagiaanya dalam memiliki kekasih. Qais meninggal dunia di pusara itu dengan tenang, tanpa seorang pun tahu!

Itulah kisah cinta Laila dan Qais atau yang lebih dikenal dengan kisah Laila Majnun, sebuah kisah tentang kekuatan Cinta. Kekuatan cinta memang luar biasa. Orang yang jatuh cinta akan rela mengorbankan apa saja demi yang ia cintai. Cinta menjadikan segalanya indah, meski harus dilalui dengan penderitaan. Cinta memang tidak mengenal logika. Ketika rasa itu sudah tertanam kuat di hati, semua hal bisa dengan mudah berubah 180 derajat. Tak heran, nyawa pun seringkali kalah mulia dibanding cinta.
Sangat banyak kisah lain yang menceritakan tentang dahsyatnya cinta, cerita Romeo dan Juliet, atau kisah kasih tak sampai Siti Nurbaya. Bangunan Tajmahal yang salah satu keajaiban dunia merupakan monumen cinta Shah Jahan terhadap Arjumand Begum Bann yang meninggal ketika melahirkan anak mereka. Atau kisah Sampek dan Engtay yang berubah menjadi kupu-kupu setelah keduanya meninggal. Bahkan kononkabarnya candi Prambanan adalah bukti Cinta Bertepuk Sebelah Tangan. Raden Bandung Bondowoso jatuh hati pada Puteri Roro Jonggrang. Tetapi cinta itu ditolak karena Bandung Bondowoso adalah pria yang membunuh ayah Roro Jonggrang. Cinta juga meninggalkan kisah romantis, sedih dan bahkan memilukan.

Cinta juga-lah yang membuat para pejuang berani menghadang maut, melawan senjata api hanya dengan bambu runcing. Tanpa rasa takut, hart, darah, dan nyawa, mereka pertaruhkan dengan hadangan peluru bedil dan meriam demi membuktikan cinta pada Tanah Air Indonesia. Betapa luar biasa beraninya Siti Manggopoh, yang waktu itu berusia sekitar 28 tahun melakukan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Tentara Kolonial Belanda. Memimpin 16 orang rekannya melakukan penyerbuan ke markas pasukan kavaleri, 53 dari 55 pasukan Belanda berhasil dibunuh oleh Siti Manggopoh bersama rekan-rekannya hanya dengan bersenjatan ruduih (golok) dan keris. Pun begitu, Jenderal Besar Soedirman, yang tetap bergerilya memimpin para pejuang walau kondisi tubuhnya dalam keadaan sakit.
Cinta itu juga yang membuat banyak para Tokoh Republik ini yang tidak menikah sebelum Indonesia Merdeka, salah satunya Tan Malaka.

Bersambung...