Ketika Reformasi bergulir dan era otonomi daerah mulai
diberlakukan, jabatan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) menjadi sangat
populer. Mengiurkan banyak orang karena bisa mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerahnya. Bisa menjadi Raja di
Daerah Otonom karena berkuasa atas pengelolaan keuangan daerah ratusan milyar
rupiah. Kesempatan tesebut disamdut dengan eforia para tokoh-tokoh sipil dan
pensiunan militer dan Polri yang beramai-ramai terjun ke dunia politik untuk
berlomba menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota.
Di Sumatera Barat, dari 20 Kepala Daerah (1 provinsi + 19
Kabupaten/Kota) kita boleh berbangga karena kita memiliki figur yang lengkap
dari pensiunan tentara, pensiunan polisi, pamong senior, dokter, pengusaha,
ulama maupun politikus sejati dan kita pun sejenak boleh kagum karena mereka
berhasil membius kita dengan slogan-slogan yang bagus laksana iklan di TV.
Beragam visi dan misi dibuat sebagai label daerah disertai julukan-julukan
seperti Kota Beriman, Serambi Mekkah, Kabupaten Madani, Kota Tercinta dan itu
juga diiringi dengan keberhasilan meraih penghargaan, award, piala diberbagai
bidang.
Sebagian dari beliau (Kepala Daerah) ada yang bergelar Datuk
atau ada yang dijuluki Buya, yang secara adat adalah orang yang dituakan, didahulukan salangkah dan tinggikan
sarantiang. Cocok betul dengan daerah kita yang adat Basandi Syara, Syara’
Basandi Kitabullah dimana pemimpin yang cocok adalah selain ahli pemerintahan
juga ahli agama dan paham adat istiadat. Manusia-manusia yang memiliki
sifat-sifat kepemimpinan yang religious, adil dan berakhlak mulia, sederhana di
dalam kehidupan pribadi dan keluarganya.
Dengan semua itu kita pun mebayangkan bahwa beliau-beliau
yang mempunyai posisi/peran yang sangat urgen dan strategis tersebut akan bisa
memperbaiki dan membawa kita menuju cita-cita masyarakat madani/beradap (civil
society). Mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan dalam masyarakat yang makin
berakhlak dan cerdas. Kepala Daerah yang bisa memberikan pelayanan dan memenuhi
kebutuhan rakyatnya, peduli, berpihak dan tidak membebani rakyat miskin dengan
berbagai pemborosan APBD yang di halalkan dengan berbagai aturan.
Kepemimpinan tersebut pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
“ulil amri” ketika memimpin Madinah, tetapi jika merasa terlalu berat mencontoh
Muhammad karena beliau seorang Rasulullah, tauladani lah Umar Bin Khatab; harta
dan tahta dan mahkota tidak menjadi tujuan hidupnya, kepentingan rakyatlah yang
beliau utamakan atau tirulah Bung Hatta yang hidup sederhana walau beliau
seorang Proklamator Kemerdekaan RI dan Wakil Presiden.
Bukan beliau-beliau yang sok-sok an menjadi kaum ninik mama,
alim ulama, cadiak pandai tetapi memaksa bawahan dan raknyatnya memenuhi
kepentingan, serta membuat aturan-aturan yang menguntungkan dirinya sendiri.
Yang di daerah pemerintahannya telah terjadi kerusakan etika, campur baur adat
istiadat dengan kebiasaan urang barat serta maraknya prilaku amoral. Yang di
wilayah kekuasannya praktek suap menyuap dan korupsi terus berkembang biak
menjadi hal yang lumrah dan biasa. Dan orang yang kaya dengan uang dari hasil
korupsi tetap dihormati karena perbuatan korupsi tersebut bukan lagi dianggap
sebagai aib yang memalukan.
Mumpung kini Kepala Daerah masih bisa menjadi Raja di
daerahnya, jadilah Raya yang alim, bukan lalim karena Raja Alim Raya disembah, Raja lalim Raja disangah.