Karya : Motinggo Busye
IBU-IBU yang masih menyusui anaknya
sudah merasa takut dimana-mana. Kisah anak-anak yang
diculik, yang kemudian ditinggalkan
dibawah pohon dalam keadaan bolong kepalanya, semakin
mengerikan.
Sudah banyak ibu-ibu di desa Serunai
tidak berani hamil lagi. Sebab Jika pun hamil mereka
merasa percuma karena nanti apabila
lahir sehari dua hari akan kehilangan anaknya karena
diculik. Juga di desa Surya Mulih
yang aman damai semenjak diperintah Nyi Surya, mulai resah.
Keresahan itu pun terasa sampai ke
desa bukit Api yang terkenal memiliki banyak pendekar
tersembunyi.
Tetapi desa Kumayan pun tak luput dari
ketakutan yang sama. Ketika Gumara masih mengobati
Ki Lading Ganda, muncullah diambang
pintu Ki Putih Kelabu. Melihat keadaan Ki Lading Ganda, Ki
Putih Kelabu bertanya: “Belum ada
perubahan untuk sembuh?”
“Belum, tuan Guru. Silahkan masuk”,
ujar Gumara.
Ki Lading Ganda diangkut oleh orang
utas setelah ditemukan jatuh dari Guha Lembah Surilam. la
masih dalam keadaan gila.
“Guru Gumara”, ujar Ki Putih Kelabu,
“Rasanya anda cuma menghabiskan waktu mengobati Ki
Lading Ganda. Ki Jengger sendiri
sudah gagal, karena memang cuma Pita Loka yang mampu
menyembuhkan penyakit gila ini”.
“Memang saya cuma berusaha”, kata
Gumara.
“Tapi hal yang lebih penting lagi
adalah harapan penduduk Kumayan kepada kita berdua.
Memang Ki Jengger benar, Guru! Beliau
memegang silsilah tujuh manusia harimau yang bukan
palsu. Memang kita berdua disini yang
sebenarnya sudah ditetapkan sebagai harimau-harimau
yang syah. Bukti Ki Talim sendiri
bayinya kena culik dan tetap tak berdaya. Sudah aku baca Kitab
Tujuh yang aseli, memang tinggal kita
berdua saja harimau-harimau yang syah !. Tapi kesahihan
kita berdua belum syah apabila kita
belum mampu menyergap wanita edan penculik bayi itu.
Siapa menurut pendapat anda yang
punya ilmu hitam yang kejam itu?”
“Siapa saja boleh diduga, asal jangan
tuan Guru menduga Harwati”, kata Gumara.
“Tapi kuharap juga tuan jangan
menyangka puteriku Pita Loka !” ujar Ki Putih Kelabu.
“Yang membingungkan memang karena
saksi mata yang kebetulan melihat penculikan bayi itu
menyebutkan wanita penculik itu edan.
Jadi saya tak bisa menyalahkan penduduk sini yang
mengira itu Harwati. Kau sendiri tak
bisa menyangkal bahwa Harwati masih dalam keadaan edan,
kan ?”
Gumara tenang, kendati wajahnya merah
padam. Dia lalu berkata; “Memang saya malah yang
lebih mengetahui, bahwa pelajaran
yang dituntut oleh Harwati selama ini, sampai dia gila,
melalui guru-guru berilmu setan.
Andaikata Ki Rotan masih hidup, dia akan lebih parah
darisekarang. Ki Rotan ini bukan
orang pertama yang menyeret Harwati ke ilmu setan. Harwati
sendiri pernah belajar pada Ki Pata
!”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
2
“Ki Pata”” mata Ki Putih Kelabu
melotot.
“Ya, Ki Pata...apa anda kenal dia?”
“Dia teman masa kecilku!”
“Dia penduduk desa Tulus, yang semula
menjadi murid yoga Rama Yogi, lalu mendapat serangan
kejam dari padepokan Ki Rotan.
Ilmunya yang lebih mengutamakan samadhi dia tinggalkan. Dia
murtad. Lalu dia mendirikan padepokan
sendiri dengan Ilmu Kobra. Harwati pernah mewarisi
ilmu ini, dan saya gagal mencegahnya.
Tapi bagaimanapun, saya tidak yakin bahwa Hanwati
mennpelajari ilmu pemakan bayi.
Betapapun, dia berdarah Ki Karat, ayahku....Ayahku berdarah
harimau seperti juga anda. Cobalah
tuan Guru jangan berburuk sangka pada Harwati”.
“Penduduk yang berburuk sangka, Guru
Gumara!” kata Ki Putih Kelabu.
“Omongan mereka harus tuan cegah
kalau begitu!” ujar Gumara. Gumara masih memijit bagian
atas mata Ki Lading Ganda yang tak
mau membuka matanya itu sejak diobati. Lalu dia memberi
isyarat pada Alif supaya menggendong
Ki Lading Ganda masuk kamar. Memang nasib pendekar
ini amat buruk. Keluarganya tak sudi
menerimanya kembali dalam keadaan gila.
Dan muncullah pula diambang pintu
pendekar muda Dasa Laksana, murid Ki Putih Kelabu. Dia
melapor: “Tuan Guru, bayi Tankaya
baru saja diculik oleh pendekar edan”.
Gumara cepat menyela: “Pendekar edan?
Kamu yakin orang edan bisa jadi pendekar dan kamu
yakin gelar pendekar bisa pula
menculik bayi?”
“Mayit bayi itu ditemui dibawah pohon
rusasa dekat sumur, dalam keadaan kepalanya bolong”,
kata Dasa Laksana.
Gumara cepat menyambar kain sarung.
Lalu diliiitkannya kain sarung itu ke lehernya, dan dia
mengajak Ki Putih Kelabu dan muridnya
menuju rumah Tankaya.
BEGITU mereka sampai di rumah
Tankaya, maka Nyi Tankaya meratap. Tankaya langsung
menuding Gumara: “Harap Tuan Guru
buka mayit bayi kami, supaya engkau tahu betapa
kejamnya Pendekar Edan Harwatimemakan
benak bayi kami!”
Ucapan itu menyengat telinga Gumara.
Namun kesabarannya luar biasa. Dia amat tenang
menuju ke tempat bayi itu
dibaringkan, tertutup kain batik. Dan disingkapkannya kain penutup
itu. Lalu dia lihat kepala bayi itu
bolong. Mayat itu tak lagi punya otak, sudah dihisap oleh wanita
edan yang menculik itu.
Ditutupnya kembaii kain batik itu.
Gumara menatap Tankaya. Dia mencoba meyakinkan:
“Katakanlah penculik yang kejam ini
pendekar edan, walaupun sepengetahuanku tak pernah ada
pendekar yang edan sebab orang edan
tak layak disebut pendekar. Tapi, sekiranya ada pendekar
edan, maka sebaiknya jangan dikaitkan
dengan nama Harwati!”
Suaranya lembut tapi hatinya
tersiksa. Tankaya masih belum puas. Dan mempertanyakan: “Jika
memang Harwati tidak menculik bayi,
tentu dia menetap di satu tempat!”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
3
“Memang dia menetap di satu tempat.
Sungguh menderita keadaannya di tempat itu!” ujar
Gumara.
“Dimana tempat itui” tanya Tankaya.
“Disebuah guha, di Lembah Surilam”,
ujar Gumara.
“Anda menjamin dia ada disitu
sekarang ini?”
“Saya menjaminnya. Dia memang gila
disana. Mungkin dia akan gila terus menerus disana,
sampai mati. Jelas buat tuan jaminan
saya?” tanya Gumara.
Tankaya tak menjawab. Lalu menyeleluk
Abung Legoyo: “Kunci dari semua bencana ini
sebetulnya terpikul dibahu seorang
pendekar wanita, puteri Tuan Guru Putih Kelabu. Hanya dia
yang bisa menyembuhkan kegilaan
Harwati. Tapi kita pernah mendengar sendiri, dia menolak.
Karena cemburu”.
Wajah Ki Putih Kelabu merah padam.
“Baiklah kalau begitu tuduhannya. Ini
baru satu orang yang menuduh dan mempersalahkan
puteriku. Tapi jika nanti tuduhan ini
menjalar ke seluruh Kumayan, mau tak mau saya tak bisa
berdiam diri. Saya akan cari puteriku
yang menghilang itu sampai ketemu. Lalu aku paksa dia
mengobati kegilaan Harwati, supaya pendekar
edan ini jangan lagi membuat kekacauan ibu-ibu
yang memiliki bayi!” kata Ki Putih
Kelabu, yang langsung membuat Gumara tak bisa menahan
kesabarannya, hingga Gumara bertanya:
“Tahukah tuan Guru, bahwa anda terlalu agung untuk
menuduh Harwati sebagai pendekar edan
yang memakan otak bayi? Tidak menyesalkah tuan
Guru yang mulia mengatakan hal itu
didepan mayit di rumah duka ini? Bukankah tuduhan itu
mencoreng muka semua turunan Ki
Karat?”
“Aku ada usul, tuan-tuan”, Tankaya
menengahi, “Kesucian hati Guru Gumara maupun Ki Putih
Kelabu tidak pernah kami ragukan.
Tapi kesucian hati Harwati maupun Pita Loka tentu belum kita
buktikan. Kini kembali kepada jaminan
Ki Gumara tadi...”
“...Mengenai Harwati?” potong Gumara.
“Ya. Karena saya sangsi apa betul
Harwati itu menetap di satu tempat yang disebut Guha
Surilam. Tempat itu sulit ditempuh.
Terutama bagi kami orang awam. Jangan-jangan keterangan
ini sekedar melindungi nama baik Ki
Karat.”
“Tuan bisa saya bantu untuk ke sana .
Nah, baikiah sekarang.Juga tuan bersama saya, dengan
saksi-saksi Ki Putih Kefabu dan
muridnya Dasa Laksana dan kalau perlu seorang lagi. Abung
Legoyo. Mari kita berangkat ke sana
untuk memuaskan hati anda. Sekaligus membuktikan bahwa
Harwati tidak terlibat dan menetap di
guha itu dalam keadaan edan””
Tankaya maupun Abung Legoyo
kebingungan dengan tantangan itu. Tapi ketika Tankaya
menyatakan “Baik saya ikut anda”.
Abung Legoyo pun menyatakan kesediaan.
“Tuan Guru memegang tangan Abung
Legoyo, dan saya memegang tangan Tankaya”, ujar
Gumara pada Ki Putih Kelabu.
“Apa yang dimaksud memegang tangan
kami?” tanya Tankaya.
“Supaya anda tak merasa letih
berjalan ke sana . Dan waktu bisa lebih dipersingkat”, ujar
Grafity, http://admingroup.vndv.com
4
Gumara. Lalu mereka meninggalkan
rumah duka itu. Begitu memasuki semak dan jalan pintas,
Gumara memegang tangan Tankaya.
Langkahnya menggebubu, dan Tankaya keheranan karena
irama langkahnya seakan-akan tidak
pula berpijak di bumi. Begitupun Abung Legoyo, keheranan
bersangatan .karena tidak merasa seperti
melangkah melainkan sedikit melayang. Juga
keheranan apabila dia menerjang
pohonan maka robohlah pohonan itu.
Dan lebih heran lagi ketika mereka
menuruni lembah tanpa ngeri.
JUGA, ketika mereka harus meloncat
batu runcing demi batu runcing yang bagai tombak di dasar
lembah itu, mereka berdua ini. Abung
Legoyo dan Takaya sama keheranan. Mereka tak sempat
bercakap. Tapi juga tak mengeluh
lelah.
“Itulah guha itu, di atas itu”, kata
Gumara.
“Untuk pertama kali aku melihat ada
guha disitu”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Guha itu kini menjadi guha setan”,
ujar Gumara.
“Saya tak ingin naik ke sana ”, kata
Tankaya.
“Saya juga tidak”, ujar Abung Legoyo.
“Kalau begitu biarlah saya dan Ki
Putih Kelabu saja yang memanjat ke atas. Tuan Tankaya...
harap tuan percaya kesaksian Ki Putih
Kelabu, bahwa Harwati ada di atas situ, dalam guha itu!”
“Bagaimana supaya saya puas, kalian
berdua sebagai pendekar besar membawanya ke bawah?”
tanya Tankaya
“Usul yang baik”, ujar Ki Putih
Kelabu.
“Baik kalau begitu, kendati susah
menyergap Harwati karena tenaganya tenaga setan”.
“Kalau perlu kita pingsankan”, kata
Ki Putih Kelabu.
“Biar aku yang menetak urat darah
pingsannya nanti”.
Tankaya puas sekali. Baik dia maupun
Abung Legoyo, sama terheran-heran melihat dua
pendekar kesohor ini memanjati
dinding lembah itu bagai dua ekor cicak yang saling berpacu.
Setiba dibibir guha, memang dua
pendekar itu agak kesulitan, namun akhirnya mereka berdua
berhasil masuk ke dalam guha.
Gelap Dan sunyi. Tak ada tanda nafas
kehidupan.
“Harwati, dimana kau?” tanya Gumara
lembut, karena curiga bahwa Harwati bersembunyi.
Tak ada jawaban. Ki Putih Kelabu lalu
memoleskan ludahnya pada sepuluh kuku jari tangannya.
Dan bersinarlah kuku itu bagaikan
lampu. Dan teranglah keadaan dalam guha itu. Namun tak
tampak Harwati dalam guha yang
menyeramkan itu.
Gumara terhempas malu. Dia menatap ke
wajah Ki Putih Kelabu dan berkata: “Saya tak perlu
turun lagi. Saya malu bertemu muka
dengan dua orang awam itu. Orang awam hanya ingin
bukti, bukan ingin penjelasan berupa
alasan. Tuan turunlah ke bawah sendirian”.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
5
“Tuhan marah padamu karena jaminan
kepastian”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Saya harus hukum diriku sendiri,
Saya akan bertapa seorang diri di sini selama 40 hari, tuan
Guru. Saya malu...”, dan Gumara
menjatuhkan dirinya kepermukaan guha itu, dan airmatanya
bercucuran.
“Jangan bersedih hati. Tiap pendekar
mesti kena uji”, kata Ki Putih Kelabu.
“Kalau begitu turunlah, Katakan pada
mereka berdua apa yang kita lihat, sebab anda
dipercayakan sebagai saksi. Dan
sampaikan salam maaf saya kepada mereka berdua”.
“Baik”.
“Juga maaf saya yang tulus kepada
Tuan Guru sendiri”.
“Baik”, kata Ki Putih Kelabu. Gumara
masih menggeletak kecewa. Dan Ki Putih Kelabu turun
dengan meluncur pada dinding guha
itu.
“Apa yang saya lihat adalah seperti
dikatakan Guru Gumara,” ujar Ki Putih Kelabu kepada
Tankaya dan Abung Legoyo.
“Kami kurang jelas”, kata Tankaya.
“Apa yang dikatakan Gumara adalah apa
yang saya lihat. Itulah keterangan saya sebagai saksi.
Dan Gumara itu orang yang tulus, bisa
dipercaya kata-katanya”.
“Jadi memang sulit membawa Harwati ke
bawah?” tanya Tankaya.
“Yang tuan katakan itu betul”, kata
Ki Putih Kelabu.
Lalu dipegangnya tangan Tankaya dan
tangan Abung Legoyo, dan berlompatanlah tiga manusia
di malam kelam itu di atas
tombak-tombak batu alam sampai ke tepi lembah, kemudian
memanjati lembah dengan ringan dan
kemudian sampai dipucuk lembah disambut oleh Dasa
Laksana.
Kemudian mereka sampai ke rumah duka
Tankaya. Dan Tankaya mengumumkan keterangan
pada orang yang melayat: “Ucapan
Gumara bisa dipercaya. Bukan Harwati yang menculik dan
memakan otak bayi kami, tapi wanita
edan yang lain”.
“Apa anda tidak tertipu?” tanya
isteri Tankaya.
“Kami membuktikannya sendiri,
Sekarang pun Gumara masih dalam guha untuk membujuk
Harwati turun tapi tak bisa”, kata
Tankaya.
Tapi keterangan Tankaya itu tak
menghibur para ibu-ibu , bukannya ingin tahusiapa pendekar
edan itu. Mereka tak memerlukan
pengusutan. Tapi mereka memerlukan penumpasan.
Ketika bayi Tankaya dikuburkan,
banyak orang hadir juga anak-anak sekolah. Tankaya berpidato
: “Bayi kami ini adalah korban ketiga
penculikan bayi. Kematian harus diiklaskan karena hal itu
pekerjaan Tuhan Maha Kuasa. Tapi kita
yang hidup tak boleh menyerah. Banyak ibu-ibu di
Kumayan ini yang kebetulan belum
tertimpa musibah, sekarang ini dalam ketakutan. Kami harap,
baik dari pihak keamanan, maupun dari
pihak dunia persilatan akan membantu mengurangi
kecemasan. Karena pendekar wanita
memakan otak bayi, sekalipun pendekar itu bukannya
Grafity, http://admingroup.vndv.com
6
Harwati puteri almarhum Ki Karat,
namun kejadian ini tak lepas dari rimba persilatan yang kita
orang awam kurang faham, Kebetulan
hadir pada pemakaman ini Ki Putih Kelabu, yang mungkin
dapat menjelaskan cara
penumpasannya”.
“Baiklah saya sambut ucapan Tankaya
sekarang juga”, ujar Ki Putih Kelabu, Tiap murid ada
gurunya. Tiap persilatan ada
medannya. Tak bisa disangkal, wanita gila yang kejam ini tentu ada
gurunya. Cuma medan yang dia pilih
ternyata sesat. Yaitu bayi tak berdosa. Saya sebagai orang
tua yang dipercaya yang kebetulan
memiliki beban ahlak untuk menumpas kejahatan, akan
menerima kewajiban ini. Tapi kalian
yang mengaku awam pun jangan lengah. Tiap gelagat
mencurigakan, lapor pada saya”.
Kebetulan hari itu hari Kamis.
Besoknya hari Jum”at, karena itu
malam itu malam Jum”at Kliwon. Banyak ibu-ibu melemparkan
air berkembang tujuh dalam kendi yang
dipecah di depan rumah. Banyak yang membakar
setanggi dan menyan. Tapi malam
Ju”mat Kliwon ini dirasa aneh. Sebab sejak waktu isya anjing
banyak yang melolong.
“Setan sedang berkelilingdi sini”,
ujar lbu Kabulono.
Ibu itu mendekapi bayinya. Dan
bayinya menyedot putik teteknya amat kuat sehingga dia
meringis. Pak Kabulono duduk di
pinggir tempat tidur. Di rumahnya tidak memasang asap
menyan atau setanggi. Tapi dia
mendadak berkata pada isterinya : “Sepertinya saya merasakan
bau menyan”.
“Saya juga “, ujar isterinya
merinding.
“Saya merinding, bu”, kata pak
Kabulono.
“Saya juga merinding, pak”, kata
isterinya.Suami isteri itu ketakutan. Mereka sama-sama
mencemaskan sang bayi. Lalu sang
suami bertanya:”tadi pintu belakang ada kamu kunci?”
“Ada ”.
“Wah, ketakutan kita kali ini
melebihi ketakutan perampokan sengit 10 tahun yang lalu”, kata
Kabulono.
“Tolong periksa lagi pintu belakang
dan depan, Pak”, ujar Bu Kabulono.
“Ha? Aku takut!” ujar sang suami.
Suami isteri itu menatap pada bayi yang sudah melepaskan
kemotan bibirnya pada tetek sang ibu,
Mereka cemas, jangan-jangan malam ini bayi mereka jadi
korban penculikan.
“Seingatmu, masih ada berapa bayi
lagi yang belum diculik di sini, Bu?” tanya Kabulono pada
isterinya.
“Aku bersama sebelas ibu lainnya.
Tiga ibu sudah kena culik. Dan terakhir Pak Tankaya dan
isterinya ketimpa musibah. Tadi pagi
baru dikuburkan bayinya. Bagaimana perasaan kau, Pak?”
“Aku sangsi pada anak ini”, kata
Kabulono, lalu menundukkan kepala mencium kening bayinya.
“Bau menyan lagi!” mendadak isterinya
setengah kecut berucap. Dan Kabulono mulai
kebingungan.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
7
“Ya, bau menyannya hebat”, kata
Kabulono.
“Jangan-jangan pendekar edan itu
sedang mengelilingi rumah kita”, kata sang isteri.
“Mari kita menyerah saja”, ujar sang
suami, yang mandi keringat dan merasakan lagi bau
menyan. Lalu bau kembang.
“Bau kembang mayit, Bu, apa kau
rasakan?” tanya sang suami. Bu Kabulono memejamkan mata,
dan mulai menangis: “Ya, bau kembang
lagi, bau kembang mayit. Kurasa, penculik bayi ini bukan
manusia. Tapi orang halus, Pak”.
“Kita jangan tidur, Bu. Bau menyan
dan kembang semakin menyengat”, kata suaminya. Ketika
keduanya merinding ngeri, mendadak
mereka saling bertatapan muka.
Keduanya melotot ngeri! Mereka
mendengar ada orang melangkah dibelakang dapur.
“Wah, itu dia rupanya, Bu. Kini
giliran bayi kita”, ujar Pak Kabulono, mulai mencucurkan air mata!
SUAMI isteri itu saling berdekapan
sembari mendekapi sang bayi. Tiba-tiba terdengar ketukan
pintu dibelakang.
“Aduh, Bu! Itu dia”, ujar sang suami,
yang lebih ngeri dan merinding. Tapi isterinya berkata lebih
sabar: “Tapi mungkin saja itu bukan
penculik. Mungkin itu tetangga kita”.
Pintu itu diketuk lagi. Bu Kabulono
memberanikan diri bertanya: “Siapa yang ngetok pintu itu?”
Kali ini belum kedengaran sahutan.
Dan sang suami berkata: “Jangan tanya lagil Itu pasti
pendekar edan penculik!”
Keduanya tegang. Pintu itu
diketuk-ketuk lagi, sampai Bu Kabulono memberanikan diri bertanya:
“Siapa ngetok itu!”
“Saya”.
“Siapa?”
“Harwati, Saya haus. Saya lapar”,
terdengar sahutan.
Bu Kabulono segera mendekapi bayinya,
“Aduh, nak, kau akan celaka, nak”.
Menjeritlah, Bu supaya ketahuan
orang”, kata sang suami.
“Kaulah, Pak”.
“Suaraku tak mau keluar...”, ujar
Kabulono.
“Aku lapar... Buka... Buka,..”,
terdengar suara. Pak Kabulono gemetaran, juga isterinya. Dan
karena mereka tak mau membuka,
rupanya pintu itu tak dikunci. Pintu itu terbuka,...
Satu sosok wanita dengan rambut
terurai, bertongkat melangkah masuk. Bu Kabulono biarpun
ngeri mendekapi anaknya, memang yakin
itu tentunya Harwati anak Ki Karat. Juga sang suami
masih sempat mengingat wajah itu.
Suami isteri yang ketakutan itu
merengek.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
8
“Jangan ambil anak kami...
jangan..,.”.
“Aku lapar”, ujar Harwati yang
rambutnya kusut masai, bertongkat. Harwati semakin maju. Ada
keinginan menjerit. Tapi Bu Kabulono
tak kuasa. Suaranya tercekik sendiri si kerongkongan. Pak
Kabulono sudah pasrah. Tubuhnya basah
bermandi keringat. Namun dia mencoba memperkuat
batin denga memperhatikan gerak-gerik
Harwati. Harwati berdiri di ambang pintu kamar dengan
bola mata mengerikan. Dia
menyeringai. Rasanya seperti mengintip bayi yang didekap bu
Kabulono.
Dalam ketegangan begitu, Harwati masih
saja berdiri, menyeringai mengerikan.
“Itu apa yang didekap ? makanan?”
tanya Harwati.
“Aduh jangan…jangan…dia…kalau kau
lapar, ambil apa saja makanan di meja itu!” Harwati
melihat tunjuk bu Kabulono. Lalu dia
keheranan mundar-mandir mengelilingi meja. Begitu tutup
nasi dia buka, langsung saja dia
angkat bakul nasi dan dia lahap makan nasi itu tanpa menyuap,
mulutnya seperti mulut babi yang
makan ampas dedak.” Dan dalam sekejap mata nasi sebakul
itu habis. Sisa nasi itu masih ada di
pinggir bibir.
Suami isteri itu masih tegang, tak
menyaksikan perbuatan Harwati. Lallu mereka berdekapan lagi
melihat Harwati melintas pintu. Tapi
dia terus melangkah sampai keluar rumah.
Dan senyaplah!
Legalah hati suami isteri itu. Sang
isteri berkata : “Ayoh segera tutup pintu belakang itu, pak!”
Aku belum pasti dia sudah pergi”,
ujar sang suami.
“Kalau begitu dekapi bayi ini, Pak”,
kata sang isteri.
Kabulono menggantikan posisi
isterinya. Dia mendekapi bayi. Dan wanita itu menjadi berani
turun dari tempat tidur lalu ke
belakang. Memang dengan nafas yang megap-megap dia
melangkah menuju pintu.
Lalu ditutupnya dengan kemampuan
kilat. Dan lalu dia lari ngacir masuk kamar dan menghempas
dengan nafas terhempas pula. Keesokan
paginya, didepan kantor polisi bertekuk lututlah Pak
Mujabir dengan meratap: “Pak,
tolonglah! Anak kami diculik wanita gila itu subuh tadi dan belum
ketemu”.
Tiga polisi mengikuti Pak Mujabir
setelah mencatat proses verbal. Dan bayi yang terculik itu
ternyata ditaruh dibalik pagar bambu
sumur ditutupi karung. Kepalanya kerowak, bolong.
Otaknya sudah disadap sang penyadap.
“Kami tadi malam kebetulan melihat
wanita edan itu”, ujar seorang anak muda.
“Bagaimana rupanya?”
“Rambutnya kusut. Bertongkat. Dan
memang mirip Kak Harwati anaknya Ki Karat”, kata anak
muda itu.
“Kita harus minta bantuan Guru
Gumara”, kata letnan polisi Jarusi.
“Dia sedang bertapa di guha”, ujar Ki
Putih Kelabu yang dimintai mengangkat bayi ke dalam
Grafity, http://admingroup.vndv.com
9
rumah. Dalam kebingungan begitu, Ki
Putih Kelabu berkata pada suami isteri yang berduka: “Biar
aku jemput Gumara nanti malam!”
Ki PUTIH KELABU tiba-tiba menyadari,
bahwa tidak ada gunaya menemui Gumara. Yang lebih
penting lagi menemukan putrinya
sendiri, Pita Loka. Dia akan berpegang pada ucapan Ki Jengger
bahwa saat ini dia lah satu-satunya
di Kumayan sebagai Harimau tertua. Dan karena itu harus
memikul tanggung jawab apabila
kekacauan terjadi akibat kejadian yang menyeret-nyeret nama
dunia kependekaran.
Malam ini dia rembug dengan Dasa
Laksana, muridnya.
“Siapkan kuda dua ekor untuk kau dan
untuk saya. Kit aharus menemukan Pita Loka dengan cara
apapun. Sebab beberapa bukti sudah
jelas bahwa Harwati dengan ilmu setan yang membuat dia
gila ini sudah ngawur. Tidak boleh
terjadi lagi dia menyedot otak bayi di Kumayan ini. Karena
Cuma Pita Loka yang bisa
menyembuhkannya maka kita harus cari Pita Loka sampai ketemu”
demikian ujar Ki Putih Kelabu.
Dengan patuh Dasa Laksana pergi ke
rumah Lurah. Lurah tentu saja dengan senang hati
meminjamkan dua ekor kudanya, kuda
jenis Sumbawa yang tegap.
Harusnya keberangkatan itu di
rencanakan lewat tengah malam.
Tetapi di rumah keluarga Ayoman
Burawa sedang terjadi kegaduhan. Seorang wanita dengan
rambut kusut masai memasuki rumahnya
untuk menculik bayi. Dan ternyata Ayoman berani
melakukan perlawanan. Wanita mendadak
mau membunuh Ayoman sehingga Ayoman berteriak.
Ketika itu masuklah satu wanita lagi
yang keadaan rambutnya lebih mengerikan. Wanita ini dikira
Ayoman adalah komplotan wanita
pertama. Tetapi mendadak wanita yang muncul itu
menggetarkan suaranya mirip auman
harimau.
“Ayoh pulangkan bayi itu, kalau tidak
turunan Ki Karat akan menerkammu!”
Wanita penculik itu memulangkan bayi
pada Ayoman Burawa yang sedang keheranan.
“Siapa kamu?” tanya wanita penculik.
“Aku Ki Harwati, putri Ki Lebai Karat
yang selalu menguntit kamu menculik dan memakan bayibayi
disini.
Kurang ajar! Keluar kau, perlihatkan
padaku ilmu kau!”
Ayoman Burawa ternganga heran.
Dan lebih heran lagi ketika
dilihatnya orang kusut masai yang mengaku Ki Harwati itu, menyeret
wanita penculik keluar rumah Ayoman
Burawa. Ayoman Burawa terkesima lalu menyerahkan
bayinya pada isterinya.
Ayoman keluar rumah melihat kejadian
yang mentakjubkan!
Dua pendekar wanita sedang adu
kekuatan dalam kegelapan malam. Tidak jelas baginya lagi
mana yang Ki Harwati maupun lawannya.
Ki Putih Kelabu maupun Dasa Laksana
sudah berada ditempat kejadian karena ada orang yang
melaporkan padanya. Tapi baginya
belum jelas siapakah dua pendekar wanita itu. la kuatir, salah
Grafity, http://admingroup.vndv.com
10
seorang diantara yang dua itu adalah
Pita Loka putrinya sendiri. Maka dia segera berteriak: “Pita
Loka Hati-hati menghadapi lawan!”
Ki Harwati barusan saja melakukan
tendangan berbalik sehingga wanita penculik itu tersungkur.
Mungkin pingsan.Harwati lalu berdiri
tegap dan berkata ke arah Ki Putih Kelabu: “Saya bukan
Pita Loka! Saya Harwati! Saya tidak
menculik bayi”.
Ki Putih Kelabu tercengang. Lebih
tercengang lagi dia melihat betapa cekatannya Harwati
menangkis serangan mendadak dari
wanita tak dikenal yang jadi lawannya itu.
Sementara terjadi pergumulan seru,
Ayoman Burawa mendekati Ki Putih Kelabu dan berkata:
“Tuan guru, kita sudah salah tuduh.
Lawan Harwati itulah penculik bayi yang sebenarnya. Bayi
saya hampir saja berhasil
dirampasnya, untung dibela oleh Harwati!”
“Ha?”
“Saya tidak berdusta”, ujar Ayoman
Burawa.
Ki Putih Kelabu langsung terjun ke
arena, setelah dapat membedakan mana yang Harwati dan
mana yang bukan.
Bedanya cuma pada ikat kepala. Yang
pakai ikat kepala itu lawannya Harwati.
Ki Putih Kelabu langsung memulai
dengan jurus harimau mengitari lawan. Dia kemudian
menghambur dengan cakar tertuju pada
sasaran yang kebetulan sedang mundur mengambil
kuda-kuda untuk menyerang Harwati.
Sergapan itu mengenai kedua bahu lawannya, yang liat
tangguh memutar badan dan
menjungkirkan Ki Putih Kelabu, Tetapi dengan berkelebat Ki Putih
Kelabu sudah menjelma jadi harimau,
ini ketahuan ketika ekor harimau itu mengibas dan
membelit leher wanita penculik itu.
Wanita penculik itu menjerit lantang.
Sang harimau tidak memberi ampunan
lagi. Dia mencekiknya terus kendati dengan ligat sekali
wanita penculik berjungkiran. Tampak
pergumulan itu makin melemah dan melemah. Lalu
mengaumlah suara dahsyat. Tapi
kemudian orang melihat Ki Putih Kelabu yang sudah berdiri.
“Dimana Ki harwati ?”, tanya Ki Putih
Kelabu.
Barulah orang menjadi sadar dan
mencari dimana Harwati. Ternyata Harwati tidak tampak lagi.
Tapi tidak ada yang tahu, bahwa Harwati
barusan saja bicara dengan istri Ayoman Burawa.
Katanya : “Untunglah bayimu selamat,
Bu. Yang selama ini menculik adalah murid-murid Ki
Kembar saja. Dia barusan muncul
mencari mangsa karena mengetahui kepala anak ibu kucirnya
tiga. Nah, selamat tinggal.”
“Kemana kau , Harwati?”
“saya akan melanjutkan perjalanan,
Bu.”
“Apa kamu perlu pakaian yang baik?”
“Ini cukup”, kata Harwati
Lalu ia menghambur bagai roket dan
meloncat dari pohon ke pohon tanpa diketahui orang.
Di lapangan, Ki Putih Kelabu masih
bertanya lagi pada Dasa Laksana : “Sudah kamu temukan
Grafity, http://admingroup.vndv.com
11
Harwati Ki Dasa?”
“Belum”, ujar Dasa Laksana, “Tapi
barusan saya baru diberitahu seseorang bahwa ada wanita
yang meloncat dari pohon ke pohon ,
terus ke arah selatan.”
“Ah, sayang dia begitu berjasa tapi
terlepas begitu saja.”, ujar Ki Putih Kelabu.
Siang itu banyak orang yang menontoni
mayat yang masih terkapar di lapangan itu. Sebagian
besar mukanya babak belur. Memar.
Tapi bahu dan dadanya koyak berbekas cakaran. Nama Ki
Putih Kelabu dibicarakan seharian
itu. Dan muncullah Ayoman Burawa membawa berita. Dia
menceritakan Harwati mengucapkan
selamat tinggal kepada isterinya.
“Yang terpenting, isteri saya punya
kesan Harwati tidak gila”, ujar Ayoman Burawa.
“Memang begitu adat persilatan.
Pengertian edan dalam diri pendekar yang sedang menuntut
ilmu berbeda dengan orang-orang gila
biasa. Kini terbukti bahwa Ki Jengger benar. Itu dibacanya
pada Kitab Tujuh yang aseli, yaitu ,
ada diantara turunan Ki Karat harus melakukan rimba edan
bagai salah satu godokan kawah
candradimuka. Tapi yang lebih penting lagi adalah kesaksian
saya mengenai bajingan persilatan
yang baru kubunuh , Ayoman!”
“Kesaksian apa yang tuan guru lihat?”
“Yang telah kubunuh itu adalah Nyi
Kembar.”
“Nyi Kembar itu siapa, tuan guru?”
tanya Ayoman Burawa.
“Isteri Ki Kembar. Ki Kembar adalah
dua orang guru ilmu iblis yang padepokannya ada di Bukit
Kembar. Ilmu itu aneh. Dua anak kembar
yang kemudian disebut Ki Kembar, menuntut ilmu tapi
dia harus mencari isteri yang terdiri
dari dua bayi kembar wanita………………. Lalu
mengembaralah dia kemana-mana melihat
ibu-ibu yang baru melahirkan bayi. Tiap ibu yang baru
melahirkan bayi satu bukan kembar
lalu diculik dan dimakannya benaknya. Sampai kemudian
ditemukan ibu yang melahirkan bayi
kembar. Lalu Ki Kembar menyerahkan bayi kembar itu
kepada sang guru. Menjelang bayi-bayi
itu menjadi anak perawan, waktu itulah dua pemuda
kembar itu memperdalam ilmu iblisnya.
Setelah dua bayi kembar tadi jadi perawan, lalu dikawini.
Tapi dua-duanya mandul. Ki Kembar
mati, yang tinggal adalah Nyi Kembar. Dua penganut ilmu
iblis ini akhirnya menamakan dirinya
juga Ki Kembar. Itulah cerita yang kudengar. Tapi sekarang
sudah menjadi kenyataan bahwa satu
dari pendekar yang kejam ini sudah mati. Kukira Harwati,
pergi untuk mencari Ki Kembar yang
satu lagi. Mudah-mudahan begitu. Namun kasihan, dia
masih dalam keadaan gila. Karena itu
kita tetap perlu mencari Pita Loka”.
“Saya akan mengawal tuan”, ujar Dasa
Laksana.
“Tentu. Ini bagian dari mata
pelajaranmu dariku!” kata Ki Putih Kelabu.
Keberangkatan Ki Putih Kelabu kali
ini tanpa rahasia.
Sebab Lurah sudah memerintahkan
penduduk Kumayan untuk melepas beliau. Beliau dianggap
berjasa sekali. Memang selama ini
nama beliau kurang kesohor sebab terhimpit oleh ketenaran
almarhum Ki Lebai Karat.
Dua ekor kuda meringkik. Lalu Ki
Putih Kelabu berkata: “Aku jamin, selama aku mengembara.
tidak ada pendekar busuk yang bisa
mengacau Kumayan. Ludahku akan kutinggalkan dibumi
desa ini...”. beliau meludah ke empat
jurusan, kemudian mengatakan “Selamat tinggal!”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
12
“Selamat jalan, tuan Gurul” suara
penduduk gegap gempita.
Suara derap kaki kuda itu kemudian
menjauh ke arah selatan, Kuda-kuda itu menerobos semak
belukar, dan ketika tiba diperbatasan
beliau berkata pada Dasa Laksana: “Kita ke Bukit Api”.
“Dimana dan siapa disana, Ki Guru?”
“Aku telah puluhan tahun tidak jumpa dengan
Ki Surya Pinanti di Bukit Api. Agaknya Pita Loka
memperdalam ilmunya disana”, ujar Ki
Putih Kelabu.
KUDA—kuda itu menyeberangi sungai dan
membelah sungai itu dengan belahan yang
mengagumkan seperti ketika Nabi Musa
membelah Laut Merah.
Tepat ketika dua ekor kuda yang
ditunggangi Ki Putih Kelabu dan Dasa Laksana itu mendaki
Bukit Merah itu, maka muncullah di
sore itu seekor harimau tua, sehingga Ki Putih Kelabu segera
berkata pada Dasa Laksana: “Dasa,
ayoh cepat turun. Kita disambut oleh seorang Guru Besar”.
Mereka turun dari kuda. Lalu Ki Putih
Kelabu berkata pada Dasa Laksana dengan tegas:
“Tuntunlah kudaku keatas”.
Dasa Laksana dengan cekatan menuntun
kuda menaiki bukit, Ki Putih Kelabu menggeram, lalu
menjelma menjadi seekor harimau. Dua
harimau saling berhadapan. Dan kemudian saling
bergulat-gulatan jungkir balik!
Tapi...tentu tidak ada yang kalah dan
yang menang. Itulah upacara rindu antara seperguruan.
Dan kemudian, kemudian sekali,
kedua-dua harimau yang sudah saling kangen itu sudah
menjelma kembali sebagai dua pendekar
Ki Buaya Pinanti dan Ki Putih Kelabu!
“Anakmu sudah kulatih baik!” kata Ki
Surya Pinanti.
“Dia ada disini sekarang ini!”
“Ha?”
“Dia ada disini?”
“Kau jangan mengigau. Aku hanya
melatihnya sampai Ilmu Api. Selanjutnya ia harus mencarinya
sendiri. Jadi kedatanganmu ke
padepokan Bukit Api ada kaitannya dengan Pita Loka?”
“Ya, Ki Surya Pinanti”
“Tentu ada sesuatu yang penting”,
kata Ki Surya Pinanti.
Lalu Ki Putih Kelabu diajak memasuki
padepokan. Nyi Surya Pinanti muncul membawa minuman.
Minuman madu.
“Ada berita sedih dari salah satu
saudara kita yang sudah almarhum”.
“Harwati puteri Ki Karat?” tanya Ki
Surya Pinanti.
“Betul. Dia dalam keadaan gila”.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
13
“Memang begitu yang aku dengar dari
Ki Jengger”, ujar Ki Surya Pinanti.
“Anakku itu memang keras kepala”.
kata Ki Putih Kelabu.
“Bukan dia yang keras kepala, Ki
Putih Kelabu. Tetapi setiap pendekar yang akan mencapai
kematangan setingkat Guru, perlu
melalui berbagai cobaan. Apa bedanya dengan keadaan kita
dulu. sebelum kita disyahkan Jadi
harimau. Bukan begitu?”
Ki Putih Kelabu meminum madu itu
lagi. Beliau lalu berkata: “Betapapun juga, setidaknya
kedatangan saya in untuk mengucapkan
terimakasih. Kalau Pita Loka tidak bermukim disini
sekarang, itu memang sudah suratan!”
“Bahkan dia menolak mengobati
kegilaan Harwati adalah suratan. Semua sudah saya baca
kembali dalam Kitab Tujuh. Kegilaan
Harwati ini pun sudah suratan. Mereka mewarisi Kitab Tujuh
hanya sebagai suatu lompatan ke jurus
depan. Didepan mereka itu sedang menunggu suatu
Kitab yang lebih hebat dari Kitab
yang kita warisi. Yaitu Kitab Harimau Putih. Semoga anak
turunan yang mewarisi kitab itu kelak
cukup tabah dan bukannya bercerai berai!”
Ki Putih Kelabu menunggu habisnya
wejangan Ki Surya Pinanti. Baru dia kemudian berkata: “Jadi
dunia persilatan ini masih akan
berlanjut?”
“Akan berlanjut terus. seirama dengan
persenjataan nuklir dan roket. Bedanya, roket tidak punya
rohani. Tapi seorang pendekar
memiliki rohani. Memiliki ruh. Coba tuan pikirkan, siapa yang
mendorong tuan ke Bukit Api ini jika
bukan ruh pendekar? Hanyamembuang waktu”.
“Karena ikatan batinku dengan Ki
Karat”, ujar Ki Putih Kelabu, “Aku kasihan melihat Harwati
mengembara dalam kegilaan. Sedangkan
kunci obatnya ada ditangan anakku, yang sebenarnya
mampu menyembuhkan Harwati”.
“Kini Ki Guru tak perlu risau lagi”,
ujar Ki Surya Pinanti, “Semua soal sudah ada tatanannya dan
ada yang Menata. Jadi bukan tidak
mungkin bahwa gilanya Harwati tanpa suatu keperluan”.
Kata-kata orang bijaksana dan arif
memang selalu terbukti kebenarannya. Dalam perjalanan mau
pulang ke Kumayan, Ki Putih Kelabu
dan Dasa Laksana harus berbelok ke desa Serunai karena
tebing kulon runtuh.
Desa Serunai dalam keadaan tegang!
Seorang pendekar wanita sedang mengobrak-abrik desa itu
dan telah menewaskan sebelas orang
penduduk. Padahal, desa ini pernah mengalami bencana
hebat ketika kehilangan seratus orang
yang terbaik sebagai tumbal dan mangsa ilmu iblis.
Penduduk ketakutan, meratap, menjerit
dan menangis!
Ki Putih Kelabu berkata pada Dasa
Laksana: “Kau awasi keadaanku disini! Ini tentu pendekar gila
yang bikin gara-gara!”
“Baik, tuan. Tuan akan saya awasi
terus!”
Lalu menghamburlah Ki Putih Kelabu
keudara dengan suara auman yang seram. Dia sudah
sekelebatan tahu, bahwa satu
perguruan sifat iblis sedang melakukan kezaliman di desa Serunai.
Harimau tua itu segera mencakar
seorang pendekar yang mau menelanjangi seorang gadis yang
diseretnya dari dalam rumah.
DENGAN cakarnya dikoyaknya pendekar
sinting itu sehingga tubuhnya benar-benar terbelah dua,
Grafity, http://admingroup.vndv.com
14
kecuali kepalanya!
Seketika itu juga terdengarlah suara
gemuruh kaki kuda menghilang menuju ke tenggara.
“Sekarang aku tahu”. ujar Ki Putih
Kelabu, “Bahwa yang melakukan kejahatan ini sama dengan
yang di Kumayan. Kembarannya Nyi
Kembar. Terbukti mereka menuju ke Bukit Kembar itu”
“Saya akan memeriksa yang tinggal”.
ujar Dasa Laksana.
“Yang tinggal cuma satu itulah. Yang
sudah mampus saya koyak tadi dan itu cukup menjadi mata
pelajaran bagi Kembaran lblis itu”.
“Kita pulang sekarang, tuan Guru!?”
“Kita minum tuak dulu disini. Tuak
disini sangat enak karena dicampur sari madu”,
Tapi di awal malam itu. warung sudah
tutup sejak munculnya teror Nyi Kembar. Rumah–rumah
pun sudah terkunci.
Ki Putih Kelabu mengetuk pintu sebuah
warung yang tutup. Pemiliknya, Tola ketakutan.
“Saya Ki Putih Kelabu bukan orang
jahat. Sayalah yang sudah mengusir penjahat dari Bukit
Kembar tadi”. Ki Putih Kelabu
menjelaskan. Lalu agar lebih meyakinkan pemilik warung, beliau
menambahi; “Saya sudah lama
merindukan minuman tuak Serunai yang nikmat”.
Tola menoleh pada isterinya.
Isterinya mengangguk.
Lalu Tola membuka pintu. Ki Putih
Kelabu membungkuk diikuti oleh Dasa Laksana.
“Ini muridku. Kami kebetulan lewat ke
sini ketika kami mendengar desa ini dilanda ketakutan.
Tapi percayalah, mereka tak berani
kembali ke sini lagi. Boleh kami duduk?”
“Silahkan tuan Guru”, ujar Tola.
Ki Putih Kelabu bersama Dasa Laksana
duduk dengan sopan.
“Tuak panas ya!?” ujar sang Guru.
“Baik, tuan”.
Sembari menikmati minuman tuak panas
yang sedap itu,
Ki Putih Kelabu bertanya: “Sudah
berapa kali Nyi Kembar menyerang desa kalian?”
“Ini yang kedua. Tapi untunglah yang
pertama mereka dapat di usir oleh pendekar sinting yang
mengamuk”.
“Kenalkah kalian pendekar edan itu?”
tanya Ki Putih Kelabu.
“Kami mengenalnya. Setahu kami dulu
dia melatih silat disini, cuma saja silat itu mungkin silat
sesat. Seratus penduduk semuanya mati
ketika diajaknya menyerbu Desa Surya Mulih, begitupun
kuda-kuda semua mati. Dan lima
pengawalnya hasil culikan dari desa Tulus pun mati. Mereka
menyerbu bersama Ki Rotan”.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
15
“Sebentar nak”, ujar Ki Putih Kelabu
seraya menghirup tuak, “Kamu katakan Ki Rotan terlibat
bersama Harwati?”
“Ya. Kami selalu akan mengenang
dukacita itu. Tapi ketika Ki Kembar mengobrak-abrik desa
Serunai, justru Ki Harwati, dalam
keadaan sinting, muncul membela kami dan telah diusirnya
para penjahat itu ke tenggara”.
“Jangan ingat segala yang buruk
mengenai Ki Harwati. Ingatlah yang baik-baik saja yang pernah
dia sumbangkan untuk menentramkan
hati kalian. Tanpa bantuannya, tentu sudah dihabisi desa
kalian ini!”
“Bahkan mereka sudah membakar dua
rumah”, ujar Tola.
“Sungguh jahat ilmu iblis Ki Kembar.
Tapi jika kami nanti melanjutkan perjalanan, aku ada pesan
untuk Harwati.”
“Melanjutkan perjalanan ,tuan Guru?,
tanya Tola.
“Tuan jangan meninggalkan desa kami
dulu, tuan Guru! Kami mohon sangat, karena kami takut
dan sudah tidak bisa tidur sejak
serangan pertama. Mereka kejam dan beringas”, ujar isteri Tola.
“Tapi aku tak bisa menunda.”, ujar Ki
Putih Kelabu. “Sebab akupun sedang mencari puteriku.”
“Ah, tuan Guru. Kami kira tuan Guru
mau bermukim di desa kami agak lebih lama”, ujar Tola.
“Kami butuh ada pendekar yang
melindungi kami”, kata isteri Tola. Lalu Ki Putih Kelabu menoleh
pada Dasa Laksana.
“Pahamkah kau mengapa aku melihat
wajahmu, Dasa?” tanya sang Guru.
“Saya paham, tuan”.
“Kalau begitu siapkan kudaku. Biar
aku sendiri yang pergi. Dan kau kutitipkan amanat, agar
menjadi anak panah pertama jika para
pengacau itu datang ke sini.”, ujar Ki Putih Kelabu dengan
nada takzim.
Dasa Laksana berdiam sejenak. Tola
bertanya :”Jadi pendekar muda inikah yang akan membela
kami?”
“Kuulangi :Dia akan menjadi anak
panah pertama yang melesat untuk menangkis serangan Nyi
Kembar. Jelas?”
“Ribuan terima kasih, tuan”, ujar
Tola yang langsung memeluk dengkul Ki Putih Kelabu.
Dan dalam perjalanan berkuda
meninggalkan desa serunai di lembah bawah sana yang selama
ini tak dikenalnya, terdengar suara
jerit pekik manusia. Suara itu dibawa oleh angin dari lembah
bawah sana itu. Tapi Ki Putih Kel;abu
mengalami kesulitan dengan kudanya.
Beliau melihat tebing ini terlalu
curam. Namun beliau sudah menduga, pastilah jerit pekik
manusia di bawah itu tentunya karena
munculnya sang pengacau lagi. Jangan-jangan Nyi
Kembar lagi!
Grafity, http://admingroup.vndv.com
16
Padahal yang membuat penduduk desa
kecil itu menjerit bukanlah karena mereka yang
terancam. Tetapi mereka belum pernah
menyaksikan suatu perkelahian yang begitu seru
semacam sekarang ini.
Ketika itu matahari akan terbit.
Gerombolan Nyi Kembar baru akan memasuki desa itu, namun
sudah dicegat oleh seorang pendekar
wanita compang-camping dengan sepasang pedang
ditangannya.
Lima belas ekor kuda meringkik.
Ketika itulah Harwati mencegat para pengacau itu, yang
menurut par asaksi mata di desa itu,
semula tidak menggunakan pedangnya. Pendekar wanita itu
langsung meloncat ke udara, dengan
bunyi auman harimau, namun dia bukan harimau! Dia
tanpa pedang, tapi melayani lawan
dengan tangan kosong!
Mereka juga heran sejak kapan
pendekar wanita itu mendapatkan pedang. Sebenarnya hal itu
terjadi dalam sekelebatan. Denagn
jurus kesintingan, dia mengamuk menerkam, tapi kemudian
dikibaskan oleh Nyi Kembar, dan
terjungkirlah dia ke semak dalam keadaan tak berdaya.
Mendadak dia mendengar suara berseru:
Harwati! Surandar!”
Dua pedang melayang bagai kilatan di
subuh hari itu………..langsung ditangkap gagangnya oleh
Harwati. Dengan dua pedang itulah
pertempuran itu dilayani oleh pendekar sinting yang
numpang menginap di desa kecil itu.
Mereka semua terkagum-kagum. Orang
yang numpang menginap selama tiga malam tanpa
makan itu ternyata seorang pendekar
yang luar biasa, Mereka intip dari celah rumah bambu
mereka betapa dua pedang itu melayani
tombak-tombak yang melayang dan meleset tak jadi
mengenai tubuhnya.
Nyi Kembar penasaran. Dia menghambur
keudara, dan dengan kayu bulat lima hasta itu sebagai
senjatanya... dia menjatuhkan diri ke
bumi lalu memutar tubuhnya. Ki Harwati justru masuk
diantara putaran kayu bulat itu agar
dua pedangnya berhasil membacok tubuh lawannya. Tapi
tiap pedang itu mengenai, lalu
membal. Dan membal terus sehingga Harwati cepat meloncat ke
luar dari putaran kayu bulat di
tangan Nyi Kembar. Pedang itu kini digunakannya untuk
membacok kayu bulat itu, Mata pedang
Surandar itu langsung masuk ke kayu bulat itu, dan
disinilah teruji ketrampilan
pendekar. Kayu bulat yang dipegang Nyi Kembar, dan pedang yang
sudah berkait dengan kayu bundar itu,
yang gagangnya dipegang erat oleh Harwati, membuat
keduanya harus saling “membantu
keseimbangan” agar jangan terkena celaka.
Rupanya mata pedang Surandar itu
masuk begitu dalam ke kayu bulat itu sehingga dua
pendekar yang sama kuat itu saling
membantingkan diri ke tanah agar senjatanya tidak lepas.
Harwati mengibaskan Pedang Surandar
yang satu lagi, yang di tangan kiri agar mengenai kepala
Nyi Kembar.
Begitu pedang itu mengenai kening Nyi
Kembar, ternyata hanya bunyi logam melenting saja
yang kedengaran.
Makin lama kegesitan dua pendekar
yang bertahan memegangi senjata seraya menyeimbangkan
diri dalam jumpalitan itu... semakin
kuat, sehingga yang justru terbongkar adalah tanah-tanah
sekitar. Bahkan bekas telapak kaki
kedua pendekar itu membuat bolongan bekas di tanah.
Anak buah Nyi Kembar ada yang tidak
bisa menahan diri. Dia terjun dengan keberanian habis
memasuki pertempuran seru itu,
sebagai orang ketiga. Tapi pukulan tongkat bulat anak buah ini
ditangkis oleh pedang di tangan kiri
Harwati! Pedang itu melengket memasuki tongkat bulat
itu.,..
Grafity, http://admingroup.vndv.com
17
Anak buah Nyi Kembar ini sial. Dia
lumat terinjak jumpalitan kaki Ki Harwati dan kaki Nyi Kembar
sendiri.
Tubuhnya hancur. Ketika itu pulalah
seekor kuda menyeruduk dari arah kulon Ki Putih Kelabu
mengaum seraya menghamburkan diri ke
udara, dan dia telah menjelma menjadi harimau lapar.
Dua cakarannya langsung menyergap dua
anak buah Nyi Kembar yang terlambat naik ke kuda,
lalu kedua-duanya jatuh dibanting
oleh harimau tua yang muncul mendadak.
Harimau tua itu menghambur memasuki
pergulatan Ki Harwati lawan Nyi Kembar! Tapi ini
pulalah yang membuat mata pedang
Harwati lepas dari kayu bulat di tangan Nyi Kembar, dan
dalam sekelebatan, lebih cepat dari
kilat, Nyi Kembar menghambur ke punggung kudanya dan
menghilang. Tapi anak buahnya yang
kebingungan menjadi mangsa cakaran Ki Putih Kelabu
yang mengamuk!
Ketika sudah tak ada lawan lagi, Ki
Putih Kelabu berseru: “Ki Harwatil” Harwati muncul dengan
senyum menyeringai. Dia sudah mirip
orang gila kembali dan... tanpa memegang pedang, Dia
duduk disebuah bangku panjang, lalu
tiduran di sana, seperti dia tidur di sana tiga hari yang lalu
tanpa makan.
KI PUTIH KELABU merasa hiba melihat
keadaan Harwati. Pakaiannya compang camping.
Sebahagian rambutnva sudah menyatu
satu dengan lainnya. Rambut itu sudah mirip sarang
burung! Dan karena kehibaan hati itu
Ki Putih Kelabu ingin sekali membawanya ke Kumayan.
Diperhatikannya calon pendekar besar
itu menggeletak dl atas bale bambu tanpa mempedulikan
siapapun. Dihampirinya puteri
almarhum pendekar besar Ki Karat itu....
“Nak Harwati”, ujarnya, dengan
lembut. Tapi Harwati diam saja.
“Nah, kenalkah kamu pada saya nak?”
Harwati menatap Ki Guru itu. Mata itu cuma menatap
kosong. Kosong bagai bola kaca.
Seakan tidak mengenalnya!
“Maukah kau pulang ke Kumayan?” tanya
Ki Putih Kelabu Harwati menggeletak saja. Ki Putih
Kelabu putus asa. Lalu dia berkata
pada beberapa orang desa kecil itu:
“Saya akan pergi. Saya akan
mengucapkan terimakasih kepada kalian. Totonglah urus dia. Dia ini
calon pendekar besar. Dan dia ini
puteri pendekar besar yang saya sudah anggap saudara saya
sendiri!”
Ki Putih Kelabu lalu mencari kudanya.
Setelah beliau naik ke punggung kuda, beliau bertanya
pada penduduk desa itu: “Apa nama
desa kalian ini?”
“Desa Meranti, tuan Guru”, ujar
seorang lelaki tua.
“Baikiah. Saya titipkan orang ini.
Sebenarnya gadis ini bukan orang gila. Dia dalam keadaan
ngelmu. Dia orang baik”, kata Ki
Putih Kelabu.
“Memang dia baik, tuan Guru, Dia telah
dua kali mem bantu kami untuk membela diri atas
kebiadaban gerombolan Nyi Kembar”,
ujar lelaki tua desa itu.
“Maaf. Saya datang kesini sudah
meninggalkan sampah-sampah. Mayat-mayat gerombolan Nyi
Kembar itu yang saya maksudkan dengan
sampah. Dan seperti juga sampah, dia mengotori
desa. Karena itu buanglah
sampah-sampah itu”, lalu Ki Putih Kelabu menendang ujung tumitnya
Grafity, http://admingroup.vndv.com
18
pada paha kudanya, dan kuda itu
meringkik seraya mengangkat kedua kaki depannya, dan
kemudian menghambur ke depan dipacu
oleh pendekar tua itu.
Mendadak Harwati bagai tersintak dari
tidur, padahal ia tak tidur. Lalu dia ketawa sendiri! Orangorang
desa yang awam itu hanya
menontoninya. Ketua desa itu lalu berkata pada penduduk:
“Marilah kita biarkan dia dengan
dunianya. Kita kembali ke rumah masing-masing. Mayat-mayat
itu lemparkan saja ke hutan supaya
dimakan oleh srigala-srigala”.
“Kita coba membujuknya supaya dia mau
makan, Pak”, ujar seorang perempuan tua.
“Ya, sudah tiga hari tiga malam dia
tidak makan”, kata perempuan lain lagi. Tetapi tetua desa itu
berkata: “Orang yang ilmunya tinggi,
sudah tak membutuhkan makanan lagi. Dia makan dengan
udara dari langit itu”.
Tetapi secara mendadak Harwati
melangkah menghampiri seorang perempuan tua. Mulanya
perempuan tua tadi ketakutan. Harwati
berkata padanya: “Aku lapar, Bu!”
“Oh ya? Mari, mari ke rumahku, biar
kau kujamu makan”, kata perempuan tua itu. la mendadak
seperti manusia normal kembali. lbu
itu menjamu Harwati makan di rumahnya. Tapi dia tidak
menyentuh piring aluminium itu,
melainkan langsung mengambil bakul berisi nasi. Dan
dilahapnya nasi sebakul itu sampai
habis.
“Kau tidur di sini, ya Nak?” bujuk
perempuan tua itu.
Harwati diam saja. Lalu dia seperti
tergoda oleh satu nada yang mendenging di telinganya!
Dia melompat dengan cekatan ke luar
rumah. Dan sebelum perempuan tua itu bertanya,
dilihatnya Harwati sudah menghambur
ke udara lalu hinggap dipohon sawo dan meloncat lagi ke
pohon nangka dan kemudian dia hanya
kelihatan bagai lompatan bola api dan pohon ke pohon,
terus ke atas tebing.
“Sungguh ajaib”, ujar perempuan tua
yang menyaksikan keanehan itu, Dan memanglah sungguh
ajaib. Bagai angin membubu Harwati
berlari terus ke satu arah, arah kuIon, sampai kemudian dia
sudah berdiri di pintu gerbang desa
Serunai.
Dia menyandar saja di bawah pohon
beringin. Padahal seharusnya dia ikut terlibat dengan
kejadian yang disaksikannya! Ya,
sambil terkekeh-kekeh Harwati melihat seorang lelaki muda,
pendekar Dasa Laksana, sedang
menangkis pukulan-pukulan kayu bulat Nyi Kembar.
Ketika satu sabetan melintang kayu
bulat itu mengenai punggung Dasa Laksana, pendekar muda
itu tersungkur. Namun dia masih
sempat menangkis pukulan Nyi Kembar dengan kakinya,
sebelum kayu bulat itu menghantam
kepalanya. Dasa Laksana bangkit, dan dengan berdiri tegak
kini dia menangkis hantaman kayu
bulat dengan kuakan kedua tangan. Itulah kuak tangkisan
api.
Tiap kayu bulat itu menghantam, kedua
tangan Dasa Laksana menguakkannya lagi. Dan
membersitlah percikan api!
Harwati tertarik oleh apa yang dia
saksikan. Dia melangkah meninggalkan pohon beringin itu,
lalu mendekati tempat perkelahian.
Mendadak tiga orang anak buah Nyi Kembar berlarian
mencari kudanya, lalu melompat ke
punggung kuda masing-masing. .
Padahal Harwati tidak melibatkan diri
dalam persilatan yang dia kagumi itu. Dia terkekeh-kekeh
apabila dilihatnya Nyi Kembar
menghantamkan senjatanya lalu dia sendiri terbanting berguliran
Grafity, http://admingroup.vndv.com
19
di tanah berkat tangkisan Dasa
Laksana. Nyi Kembar kesal melihat ada orang terkekeh-kekeh.
Tapi ketika dilihatnya yang terkekeh
itu adalah Harwati, dia langsung berbalik menghantamkan
senjatanya ke arah tubuh Harwati.
Tapi yang terkena adalah punggung Dasa Laksana, yang
mencegat hantaman itu dengan tubuhnya
sendiri. Dan ketika hantaman berikutnya, kayu bulat
itu justru terpegang oleh genggaman
Harwati dan dia langsung balikkan badan sehingga Nyi
Kembar terlempar. Senjatanya kini
berada di tangan Harwati. Nyi Kembar kebingungan. Dia kini
merasa satu lawan dua. Ketika dia mau
panggil anak buahnya, anak buahnya justru melarikan
diri tertebih dahulu. Nyi Kembar
putus asa seketika itu juga. Setelah tengak-tengok kiri kanan
maka dia berlagak mau menyerang Dasa
Laksana yang tetap berdiri tegak. Tapi seketika itu Juga
Nyi Kembar melarikan diri dan naik ke
punggung kudanya. Harwati melemparkan kayu bulat itu
kearah Nyi Kembar. Nyi Kembar
menyanggep senjatanya. Ketika itu berhamburan pulalah tawa
terkekeh Harwati.
Nyi Kembar geram, lalu meludah. Dan
kemudian memacu kudanya meninggalkan desa Serunai.
Harwati menoleh pada Dasa Laksana.
Matanya berbinar pada lelaki perkasa itu, seakan batinnya
tergoncang. Dasa Laksana bertanya
padanya: “Kaukah puteri Ki Lebai Karat yang termashur itu?”
“Ya. Mari mandi”, ujar Harwati.
“Mandi?” tanya Dasa Laksana
keheranan.
“Mari kita mandi di Pancuran Burung
lblis, di bukit Sana itu”, ajak Harwati.
“Tidak. Ilmu kami bukan ilmu iblis”,
ujar Dasa Laksana.
“Kamu tentu murid Ki Putih Kelabu”,
ujar Harwati.
“Benar”.
“Kau mesti diberi hadiah. Di sini ada
tuak yang enak, karena penyadunya tukang tuak yang
ulung. Mari ikut aku”, kata Harwati.
Dasa Laksana kali ini mengikuti Harwati. Dia cuma heran,
tingkah lakunya kali ini bukan
tingkah orang edan.
Ketika memasuki warung, dia heran
karena tak ada lagi bambu-bambu buluh yang biasanya
digantungkan ditepi warung. Bambu itu
biasanya ada, dan berisi tuak. Dengan kesal Harwati
menggebrak meja dan berseru: “Ajang
Batur! Hai Ajang Baturl Keluar! Beri aku tuakmu yang
enak!”
Seorang perempuan cantik keluar.
Harwati membentaknya: “Mana Ajang Batur! Aku mau minum
tuak!”
“Ki Kobra...”, ujar perempuan cantik
itu.
“Aku bukan Ki Kobral Aku Ki Harwati!
Mana Ajang Batur suamimu!”
“Apakah tuan lupa... bahwa suamiku
tewas bersama 100 pasukan yang menyerbu Lembah Surya
Mulih? Dia tewas bersama kudanya”,
kata perempuan itu.
Mendengar keterangan itu, Harwati
terbelalak kaget. Tiba-tiba dia ingat pasukan berkuda yang
kocar-kacir karena serang Nenek Tua
dengan senjatanya cambuk asap itu.
Kuda dan manusia saling tabrakan, ada
yang berhamburan masuk jurang tebing.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
20
“Bukan seratus orang yang tewas...
Tapi 105 orang. Yang selamat cuma dua orang. Rupanya
diantara anak buahku itu ada Ajang
Batur, Oh...”, lalu dia merasa pusing.
Dia jatuh di tanah dan menggelepar
seperti orang ayan. Dan ketika Dasa Laksana mau
mengangkatnya, sebuah tenaga dalam
yang dahsyat melemparkan pendekar muda itu keluar.
Harwati mengamuk. Kegilaannya
mengerikan! Dan kemudian dia berlompatan dari pohon ke
pohon, turun ke lembah bawah dan
kemudian tiba kembali ke desa Meranti dalam keadaan lelah
terhuyung. Dia menggeletak kembali di
atas bale bambu di depan rumah tetua. Begitu dia tibatiba
tersentak setelah tidur beberapa jam,
dia berkata: “Aku laparl Beri aku makan!”
“Mari ikut lbu”, ujar perempuan tua
diantara yang menonton, “Bukankah kau sebelum ini juga
makan di rumahku?” Tubuh Harwati
bagaikan tidak berdaya. Dia dipapah perempuan tua itu,
dibantu oteh Pak Tetua desa. Kali ini
dia tak menunggu hidangan. Dia langsung menuju tungku.
Nasi yang berada dikerucut kukusan
itu dimakannya seketika itu juga dengan lahap dan tuntas.”
SEMENTARA itu, Ki Putih Kelabu sudah
tiba di Kumayan. la langsung ke rumah Lurah
memulangkan kuda. Kemudian bertanya:
“Ada berita penting selama saya meninggalkan
Kumayan, Pak Lurah?”
“Ada ”, sahut Pak Lurah.
“Beritahu saya”.
“Guru Gumara sudah kembali. Bahkan
sudah mengajar di SMP dan SMA kembali”, ujar sang
Lurah.
Ki Putih Kelabu sengaja lewat di
sekolah tempat Gumara sedang mengajar. Tapi beliau tidak
mampir. Setiba dirumah, Ki Putih
Kelabu menghempaskan tubuhnya di bale. Dia lelah sekali.
Tetapi seraya menelentang begitu
beliau membayangkan putri yang dia sayangi. Di mana Pita
Loka sekarang? Mengapa aku mengikuti
nasehat Ki Surya Pinanti agar membiarkannya
mengembara? Ternyata sudah menjelang
sore ketika Ki Putih Kelabu masih gelisah memikirkan
nasib Pita Loka, dan kedengaran
ketukan pintu.
“Siapa?”
“Gumara”.
“Oh, kaul Masuk, masuk!”
Ketika Gumara sudah dipersilakan
duduk, Ki Putih Kelabu berkata ; “Di samping aku gembira kau
sudah mengajar, perlu kuberitahukan
padamu, bahwa adik tirimu Harwati sekarang ini berada di
desa kecil Meranti. Tak jauh letaknya
dari desa Serunai. Keadaannya compang-camping dan
menyedihkan. Aku sudah membujuknya
agar dia mau dibawa pulang ke sini, tapi dia hanya
diam”, Gumara hanya berdiam diri.
Kelihatannya dia tak hirau dengan
cerita Ki Putih Kelabu. Lalu pendekar tua itu bertanya : “Tentu
anda ke sini ada satu maksud”,
“Ya”.
“Ada yang ingin tuan tanyakan, Guru?”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
21
“Saya ingin menanyakan Pita Loka.
Saya kira Ki Guru membawa pulang Pita Loka. Tampaknya
tidak ada”, lalu terdengarlah nafas panjang
Gumara dan kemudian ia berdiri.
“Dudukiah”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Cuma sekedar itu saya ke sini”, ujar
Gumara, kemudian dia pamitan. Dan tak ada alasan
pendekar tua itu untuk mencegahnya
pergi. Setiba di rumahnya dia bertanya pada Alif : “Sudah
kau antar sari daun sirih itu ke
rumah Ki Lading Ganda?”
“Sudah. Tapi ia tetap saja tak sudi
meminumnya”, kata Alif.
“Mungkin ruhku dalam keadaan kotor,
Alif. Biasanya setiap mimpi berujud kenyataan. Kali ini
gagal. Aku pernah bermimpi di guha
Surilam, bahwa Harwati sedang bermukim di desa Meranti.
Ketika aku ke sana , dia tak ada.
Lalu aku bermimpi lagi mengenai daun sirih untuk pengobat
sakit gila Ki Lading Ganda. Ternyata
tak ada perubahan. Mungkin aku perlu membersihkan diri
lagi untuk satu jangka waktu yang
agak lama”.
“Kasihan anak-anak SMP dan SMA akan
terlantar jika tuan Guru bolos lagi mengajar. Tuan Guru
Kepala sudah berkeluh kesah pada saya
karena tuan amat sering membolos. Di sini, mana ada
lagi tenaga pengajar, tuan?”
“Itu aku pahami, Bahkan aku pernah
meminta dipecat saja. Tapi celakanya dia menganggap aku
ini bukan sekedar Guru SMP dan SMA.
Dia menganggap aku ini seorang superman. Aku pendekar
hebat. Padahal aku hanya manusia
biasa, yang memiliki kelebihan tapi juga kekurangan. Inilah
susahnya jadi orang kampung”.
“Sekarang apa yang tuan Guru
pikirkan?” tanya Alif.
“Aku merasa perlu bertapa. Aku ingin
mendapatkan ilham, di mana kini Pita Loka berada”.
“Tuan tentu amat mencintainya”, kata
Alif.
“Memang saya mencintainya. Keadaan
ini sejak semula sudah tidak menjadi cerita baru lagi jika
sekiranya tidak ada Harwati. Sungguh
aneh, dia, adik tiri sendiri, bisa mencintaiku!”
“Saya dengar itu tidak betul. Dia
bukan sedarah dengan tuan, karena tuan sebetulnya cuma anak
angkat Ki Karat”, ujar Alif.
Gumara melongo ! Dia heran,
belakangan ini banyak dia dengar cerita demikian. Ketika la pernah
tersesat ke padepokan Ki Kembar, juga
Ki Kembar menceritakan hal ini!
Tanpa ia sadari ia mengaum bagai
harimau, sehingga Alif melompat ketakutan. Alif mandi
keringat. Dengan gemetar dia berkata
: “Maafkan saya, tuan Guru. Saya takut tuan jadi marah”,
Gumara hanya berdiam diri. Ketika
hidangan makan malam disediakan oleh Alif, Gumara berkata:
“Lupakah kau, aku masih menjalani
puasa putih, siang malam?”
“Mana ada orang berpuasa siang malam,
tuan Guru?”
“Orang mati puasa siang malam. Aku
sekarang ini sedang menjalani mati”, Ucapan itu membuat
Alif melongo.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
22
DAN pagi ini, pagi yang cemerlang
ini, ketika Gumara bangun tidur didengarnya bisikan halus.
Gumara bukan bermimpi! Ini adalah
wisik.
“Guru. Ke mana pun saya pergi, engkau
adalah Guru”, suara bisikan ini jelas adalah suara
wanita.
“Siapa anda?” tanya Gumara.
“Aku, Pita Loka”.
“Pita Loka?” Gumara terperanjat,
hampir saja tak bisa menguasai diri.
“Jangan bimbang. Jangan heran.
Betapapun Guru adalah Guru. Saya sekarang ini sudah sampai
pada tingkatan mengirimkan wisik.
Saya dapat menghubungi ruh anda dalam jarak tak terbatas
dengan bisikan”.
“Pita Lokal Di mana kau sekarang
ini?”
“Aku berada di dukuh salah seorang
pendekar harimau yang tertinggi. Aku berada di dukuh Ki Ca
Hya”.
“Ki Ca Hya?”
“Ya. Kenapa harus kaget?”
“Ki Ca Hya adalah Guru dengan ilmu
tertinggi, Beliau tidak bisa kita jumpai secara berhadapan
muka. Karena dia hanya memperlihatkan
cahayanya saja. Jadi kau sudah mendapatkan ilmu
Cahaya?” tanya Gumara bersemangat.
Lalu tak ada suara wisik lagi.
“Pita Loka!” seru Gumara. Tak ada
wisik lagi dan tak ada wisik lagi.
Ketika itu, di Dukuh Ki Ca Hya, Pita
Loka sedang memejamkan mata dengan hening. Sedangkan
di hadapannya Ki Ca Hya mengawasi,
dua-duanya dalam keadaan bersila.
Lalu sang Guru membuka mata. Dengan
suara perlahan dia bertanya : “Sampaikah getaran
suaramu padanya?”
“Sampai. Dia bercakap-cakap dengan
bibirnya, tapi saya berbicara dengan getaran roh”, kata Pita
Loka.
“Bagus”.
“Bagaimana dengan mata saya yang
buta, Ki Guru?”
“Kau masih akan tetap dalam keadaan
buta, anakkul Pekerjaan besarmu menunggu di depan.
Kau harus terus melatih getaran roh
sampai bisa menggetarkan rohmu itu semakin tajam.
Ketajaman adalah rahasia semua ilmu
putih. Tapi seputih-putih ilmu adalah ilmu yang tercantum
dalam Kitab Harimau Putih”.
“Adakah harimau putih itu?”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
23
“Ada bulunya putih seperti halusnya
bulu kelinci. Tapi ilmu yang setinggi itu mungkin tidak akan
pernah dimiliki oleh generasi Tujuh
Harimau. Mungkin keturunannya kelak. Siapa tahu itu
keturunan kau nanti, Pita Loka?”
“Saya? Si buta jelek ini akan punya
turunan?” tanya Pita Loka.
“Aku bilang siapa tahu. Rahasia itu
semuanya ada dalam Kitab Tujuh, tapi orang yang satusatunya
memiliki dan memahami isinya sudah
mati, Ki Tunggal Surya Mulih. Pewarisnya kelak
akan mengetahui soal itu, sedangkan
saya tidak tahu siapa pewaris ilmu Ki Tunggal yang
sebenarnya”.
Pita Loka terdiam beberapa saat. Ada
satu soal yang masih dirisaukannya, tentu. Siapapun yang
bernasib seperti dia akan risau
semacamnya pula. Yaitu kebutaan mata. “Kenapa kau menangis,
nak?” tanya Ki Ca Hya setelah melihat
tetesan airmata Pita Loka berhamburan.
“Ki Guru telah mengetahui”.
“Memang jika seorang pendekar wanita
jatuh cinta, berbeda dengan pendekar pria, Saya yakin,
babwa sebenarnya Gumara itu
mencintaimu juga”, ujar Ki Ca Hya,
Aduh, inilah yang diharapkan Pita
Loka. Kepastian ini.
Seorang pendekar besar seperti Ki Ca
Hya, jika sudah bicara soal yakin, itu pertanda ucapannya
bisa dipegang.
“Cuma, anakku, untuk sampai ke sana ,
dibutuhkan berbagai pengalaman matang. Perkataan Ki
tidaklah semudah mengucapkannva.
Semua pendekar yang sudah merasa pandai bersilat, lalu
merasa dirinya Ki. Ki itu Suhu dalam
ilmu orang Cina. Suhu itu Guru. Dan setiap Guru sebetuinya
harus sudah siap mewariskan ilmu.
Selagi pewarisnya belum tersedia, dia belum berhak dianggap
Ki, atau, Guru, atau, Suhu. Jelas?”
“Jadi Ki Guru sudah yakin jodohku ini
Gumara?” tanya Pita Loka.
“Aku cuma yakin bahwa dia
mencintaimu. Soal jodoh, itu bukan bagian saya maupun Gumara.
Sekarang, kuharap kau bersabar,
Tinggal saja di ruang pertapa ini untuk beberapa lama. Untuk
mempertajam ilmu getaran. Ilmu
getaran ini kunci semua cabang persilatan, nak”. Lalu sang
Guru meninggalkan muridnya di ruang
pertapa itu. Dan Pita Loka mencoba mempertajam
getaran. Getaran itu harus dimulai
dengan gerak duduk. Dalam duduk ada gerak yang bukan
digerakkan otot, melainkan oleh
getaran. Tubuh sang murid akan menggeletar. Lalu posisi
kembali ke semula.
KI PUTIH KELABU barusan saja mandi
bunga di malam Jum”at Kliwon itu. Beliau ingin
mendapatkan ketenangan. Beliau sudah
tak hendak memikirkan putrinya Pita Loka, maupun
nasib muridnya Dasa Laksana. Ketika
ia merebahkan diri di bale bambu dalam rumahnya, dia
tiba-tiba mendengar desir suara nging
yang panjang di telinga kanannya. Menurut Guru beliau
dahulu, suara nging di telinga kanan
bagi seorang pesilat haruslah dipertanyakan. Maka dengan
agak gemetar, bibir Ki Putih Kelabu
bertanya:
“Roh siapa yang bergetar pada
telingaku sekarang?”
“Pita Loka”, terdengar suara wisik.
“Ha? Pita Loka?”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
24
“Aku. Putri bapak”.
“Oh, anakku. Rupanya kau dalam
keadaan sejahlera. Di mana kau sekarang anakku?”
“Saya sedang meguru dengan teman
ayahanda”, suara wisik menjelaskan.
“Ini tidak ada lain dari Ki Ca Hya.
Hanya murid Ki Ca Hya yang pandai menyampaikan getaran
roh. Jadi kau berada di pedukuhan Ki
Ca Hya?”
“Benar, ayahanda”. Air mata Ki Putih
Kelabu seketika itu juga bercucuran.
“O, nak. Aku bersyukur kau sampai
pada beliau, Semua harimau menyegani Harimau Tua itu.
Berapa lama kau akan meguru di sana ,
nak?” Lalu lenyaplah wisik itu, Pita Loka tak
diperkenankan menceritakannya. Dan
kegembiraan yang meluap-luap itu membuat Ki Putih
Kelabu mengenakan pakaian kupluk sebo
nya, lalu melangkah tegar menuju rumah Guru
Gumara.
Hanya Alif yang ada di rumah.
“Di mana Guru Gumara?” tanya Ki Putih
Kelabu.
“Beliau hanya meninggalkan selembar
surat ini untuk Guru Kepala SMP dan SMA yang mesti saya
sampaikan besok pagi, tuan Guru”.
“Tidakkah kamu mendengar pesannya
bahwa dia ke Pedukuhan tertentu?”
“Ya, ya, Ke pedukuhan. Guru Gumara
cuma bilang akan meminjam kuda Ki Lading Ganda yang
nganggur sejak guru itu gila. Lalu
dibilangnya, akan pergi jauh. Ya, ya, disebutnya ke
Pedukuhan”.
Ki Putih Kelabu terharu: “O, begitu
besarnya cintanya kepada putriku, Tidak aku sangka ada
lelaki yang cintanya sebesar cinta
Guru Gumara”. Lagi-lagi, Ki Guru yang tua itu harus
mencucurkan airmatanya. Dia memegang
bahu Alif seraya berkata : “Alif. Jika dua orang awam,
pria dan wanita, yang saling
mencintai, mungkin tidak banyak ujian dan cobaannya, maka
ujiannya akan berlipat ganda.
lblis-iblis membenci mereka. Halangannya adalah raja-raja iblis
yang mewariskan ilmunya kepada
pendekar-pendekar ilmu hitam!”
“Saya tak mengerti, tuan Guru”, ujar
Alif.
“Ya, tak apalah. Karena kau orang
awam”, ujar Ki Putih Kelabu, lalu pamitan.
Beliau mendatangi rumah Ki Lading
Ganda. Didapatinya Ki Lading Ganda dalam keadaan mirip
orang tolol.
“Sayang, setelah aku ketahui dari Ki
Jengger, temyata dia bukan seorang pewaris harimau yang
tujuh, Nyi Lading Ganda. Tiap orang
yang tidak berhak pada sesuatu secara syah, menanggung
beban. Tapi inilah suratan nasibnya.
Memang berat”.
Dibelainya kepala orang yang mengira
dirinya Harimau Kumayan itu, yang temyata Cuma tertipu
oleh Kitab Tujuh yang palsu.
Kependekaran yang didapatkannya selama ini ternyata disodorkan
oleh iblis yang sengaja menggoda
dirinya sehingga merasa salah seorang Harimau Kumayan.
“Jika anakku kembali, semoga dia sudi
menyembuhkan Lading Ganda. Tapi kemampuan
Grafity, http://admingroup.vndv.com
25
menyembuhkan itu berdasarkan ilham.
Jika ilham tidak bersetuju, dia takkan mengobati, Tapi
jika setuju, tentu dia mau. Contohnya
Harwati. Bahkan Ki Jengger sendiri yang memintanya, ia
menolak menyembuhkan kegilaan
Harwatil”, ujar pendekar tua itu.
Nyi Lading Ganda terisak-isak :
“Kapankah putri tuan guru itu kembali? Kami pun selalu berharap
la cepat kembali”.
“Langkah, jodoh, rejeki dan maut,
bukan manusia yang bisa menentukannya. Hanya Tuhan Maha
Pemilik Nasib yang menentukannya.
Kita sekedar berusaha”.
“Tapi masih untung nasib suamiku
ketimbang nasib Harwati. Kasihan anak Ki Karat itu, harus
mengembara dengan segala cobaan”,
kata Nyi Ganda.
“Bahkan kini pun dia masih menghadapi
bahaya. Tapi itu semua perjalanan nasib seorang calon
pendekar ulung. Karena ia turunan Ki
Lebai Karat tidaklah mungkin ia akan menderita terus.
Penderitaan seorang pendekar dengan
landasan ilmu putih adalah mengusir iblis yang hinggap
dalam tubuhnya. Kurasa kini Harwati
mengalami perjuangan lebih berat!”
Dugaan Ki Putih Kelabu itu betul.
Harwati kini jadi tontonan.
PENDUDUK desa Serunai rupanya sedang
dibantai.Mayat-mayat bergelimpangan. Harwati
kelabakan. Dan, yang lebih kelabakan
lagi adalah Dasa Laksana. Karena itulah Nyi Kembar
semakin merajalela. Dia berputar
dengan kudanya, dan dia sabet punggung pendekar muda itu
hingga tersungkur tak bergerak lagi.
Melihat Dasa Laksana tersungkur, Harwati mengamuk.
Bagaikan terbang ketika satu jurus
angin ribut melontarkan tubuhnya menghajar punggung Nyi
Kembar. Dua kaki Harwati menjepit
pinggang Nyi Kembar, Kuda meringkik seketika! Dua kaki
Harwati tetap menjepit, dan gebrakan
telapak tangannya melakukan jurus bacokan ke leher Nyi
Kembar yang merasa semakin lemah,
urat darahnya di leher seperti membeku, lalu dia jatuh ke
tanah dalam keadaan tertelungkup,
terhimpit oleh Harwati ... dan kuda yang ditunggangi itu
meringkik dengan dua kaki ke atas.
Kuda itu bagai menjerit melihat keadaan Nyi Kembar.
Harwati melihat lagi seorang penduduk
Serunai, ibu tua renta, dibantai kepalanya dengan kayu
bulat, senjata khas pasukan Nyi
Kembar. Harwati jadi geram dan buas melihat keganasan itu. Dia
berputar bagai gasing terbang
menyergap si pembantai. Lima jarinya menembus dada anak buah
Nyi Kembar dan ketika pengganas itu
jatuh ke tanah, lima pancuran darah muncrat dari dada
orang itu.
Anak buah Nyi Kembar semuanya larl.
Tinggal seekor kuda saja yang meringkik memutari Nyi
Kembar yang masih tertelungkup.
Harwati melihat sekeliling. Pasukan
pengacau sudah berlalu semuanya. Tapi mayat-mayat
bergelimpangan dalam posisi
mengerikan. Seakan-akan seluruh bumi Serunai tertimbun mayat.
Ketika Harwati lengah dalam batin
terharu, ketika itu pulalah Nyi Kembar bangkit, lalu cepat
berdiri dan cepat pula menyambar
tubuh Dasa Laksana lalu membawanya naik ke punggung
kuda. Melihat Dasa Laksana kena
culik, Harwati jadi kaget. Dia terkesima sesaat karena
menyangka Nyi Kembar tadi sudah
mampus. Terkesima inilah yang membuat dia terlambat
melompat untuk menerjunkan diri dari
udara menghajar kepala Nyi Kembar yang dilarikan
kudanya dan menggendong Dasa Laksana
itu. Namun tetap meleset beberapa jari saja, sehingga
terjangan Harwati tak mengenai. Malah
tubuhnya menabrak pohon Serunai dan robohlah pohon
Serunai itu terbongkar dari tanah
bersama akar-akamya yang tercerabut.
Nafas Harwati Jadi sesak. Tetapi
waktu untuk mengejar sudah tidak ada lagi. la sedih melihat
Grafity, http://admingroup.vndv.com
26
keadaan desa Serunai yang punah oleh
serbuan kejam Nyi Kembar yang sepertinya membalas
dendam.
Waktu Harwati bersedih melihat
duka-cita abadi begini, dia sepertinya tidak dalam keadaan edan.
Dia menangis terisak-isak. Lalu dia
mendengar suara seorang tua, rupanya satu-satunya lelaki
yang masih hidup.
Harwati cepat mendekati tubuh tua
yang menggelepar dalam keadaan sekarat itu.
“Pak Bisu!” seru Harwati. Dia mencoba
mengangkat lelaki tua itu, Lelaki tua yang selama ini
dikenal bisu itu berkata ; “Tak perlu
ditolong lagi, nak. Aku menepati janji turunan penduduk
Serunai, Aku bukan bisu selama ini,
nak. Aku hanya membisu. Aku mencoba memendam sejarah
masa silam desa ini. Aku melarikan
diri dari pedukuhan Kembar di bukit sebelah sana itu, karena
ingkar pada ilmu dari dua lelaki
kembar yang melamar dua adik kembarku. Sepuluh tahun
lamanya aku mencoba menghancurkan
ilmu busuk itu. Sampai dua lelaki kembar itu tewas lalu
aku melarikan diri ke sini. Aku
menyamar di sini sebagai orang bisu yang dikasihani. Tapi
rupanya, setetah matinya Ki Kembar,
maka dua adik kembarku masih melanjutkan warisan ilmu
iblis itu ... dan inilah akhirnya.
Aku mati. Cuma sebelum aku mati aku ingin berpesan karena aku
salah seorang yang pernah membaca
Rahasia Kitab Tujuh. Yaitu bahwa kau sebagai turunan Ki
Karat akan mewarisi kerja keras untuk
memusnahkan semua ilmu hitam dan kotor di kawasan
Tujuh Bukit. Dan tentang lelaki yang
diculik tadi, adalah tugasmu untuk menyelamatkan dia,
sebab dia pewaris ilmu Ki Putih
Kelabu. Sekarang, babakan baru akan kau mulai lagi. lkuti terus
sampai ke mana pun salah seorang dari
adik kembarku yang masih hidup. Namanya yang indah.
Sari Mawar, serukanlah ... agar dia
insyaf, nak. Kini aku hanya bisa menyatakan bahwa ...”, lalu
tercerabutlah nyawa lelaki tua yang
selama ini- disangka bisu.
Harwati menghela nafas. Inilah akhir
sejarah desa Serunai setelah sebelumnya sudah
menyerahkan 100 nyawa penduduknya di
Lembah Kulon.
Sepi dan hening.
Harwati masih berdiri terpaku bagai
patung. Dia mencucurkan airmata. Namun kemudian
dadanya sesak. Dan dia lantas berubah
seperti orang edan kembali. Dia berputar-putar ibarat
bangau putih yang mengitari sarang,
Tiap benda dan pohon yang terkena putarannya tumbang.
DAN KETIKA dia dalam putarannya yang
penuh keedanan itu, yang menumbangkan rumahrumah
yang tak ada gunanya lagi itu ....
Harwati berteriak senyaring-nyaringnya. Teriakan itu
terdengar oleh Pita Loka yang sedang
menyusuri sisi desa Serunai. Makin bergegas dia
melangkah. Makin jelas teriak edan
itu. Sampai di gerbang dilihatnya sosok yang menggila itu.
Sungguh mengerikan ketika pesilat itu
merubuhkan sebuah rumah dengan tenaga yang sangat
luar biasa.
“Apa yang sedang diperbuatnya?” tanya
Pita Loka heran.
“Dia sedang menjalani masa edan dari
suatu gemblengan ilmu persilatan yang tinggi”,
kedengaran wisik. Pita Loka tidak
lagi melakukan komunikasi dengan Ki Ca Hya, gurunya.
Tapi dia harus mendengar wisik
hatinya sendiri, berupa suara. Suara yang konkrit. Ini justru lebih
sulit. Sebab tidak setiap wisik bisa
dipercaya. Jika batin kotor, wisik itu bukan berarti suaranya
sendiri. Melainkan suara raja iblis.
Dan bila salah tangkap telinganya yang mendengar itu bisa
mendapat petunjuk yang sesat!
“Bukankah dia Harwati?” ucap Pita
Loka.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
27
“Memang dia Harwati. Dia menjadi gila
dan akan terus gila karena kau tidak sudi mengobatinya”,
terdesak wisik.
Lalu, roboh lagilah sebuah rumah.
Rumah terakhir yang dirobohkan oleh tenaga edan Harwati.
Debu mengepul ke udara, disertai
teriak Harwati.
Desa Serunai sudah rata. Dan Harwati
secara tiba-tiba melihat sosok-sosok manusia berdiri dekat
gerbang. Harwati menyeringai
menghampiri orang yang berdiri itu.Sebelum tiba dia bertanya :
“Siapa kau? Siapa?”
“Aku. Pita Loka”, sahut Pita Loka.
“Siapa Pita Loka?”
“Aku pendekar buta bermata satu”.
Harwati melompat cekatan dan kemudian memegang bahu
Pita Loka : “Aku bisa mengobati orang
buta!”
“Tapi aku tidak bisa mengobati orang
gila”, kata Pita Loka.
“Siapa kamu?” tanya Harwati
keheranan.
“Aku sainganmu”.
“Apa itu saingan?”
“Aku musuhmu”, kata Pita Loka.
Harwati melompat mundur dan mulai memasang kuda-kuda.
Harwati berteriak dalam jarak 10 depa
dan menantang : “Ayoh serang aku!”
Pita Loka mendengar wisik : “Jangan
serang dia. Obati dia agar dia berhutang budi kepadamu”.
Wisik itu ditertawakan Pita Loka :
“Aku tahu engkau Raja lblis yang menggodaku. Dalam ilmu
persilatan, tidak ada istilah hutang
budi. Yang mempunyai istilah itu Cuma iblis, Aku tahu, nenek
moyang desa Serunai ini dulu
mengikuti ilmu iblis, berguru pada Burung lblis bermandikan
pancuran iblis dan menyembahnya.
Jangan goda aku”.
Harwati secara mendadak melakukan
persiapan tempur. Dia mengitari Pita Loka dengan jurus
bangau putib mengitari sarang. Pita
Loka tidak merubah tegak. Begitu dia mendengar wisik:
“Kanan!”, seketika dia melakukan
tangkisan dari serangan arah kanan, dan dia tangkap kaki
Harwati yang hampir menerjang
lehernya. Seketika ditangkap dipelintir dan dihamburkannya
tubuh Harwati dan Harwati dalam
keadaan tegak, namun tak bisa bergerak lagi karena dua
telapak kaki Harwati terbenam. Tapi
Harwati mengamuk cepat hingga terbongkarlah tanah itu.
Bagaikan bangau dia terbang ke udara.
Tapi bagai harimau Pita Loka melompat ke udara dan
bertabrakanlah keduanya di udara
dengan pukulan dan tangkisan sampai keduanya jatuh ke
tanah.
Dua pendekar itu sama merasa.telapak
kakinya terbenam ke tanah. Dan sama menghambur lagi
sampai tanah yang tadi terinjak
meninggalkan bekas dan tanah yang menghambur.
Keduanya kini malah bagaikan dua ekor
harimau kumbang yang bertarung di udara. Ketika
tabrakan tubuh mereka terjadi,
dua-duanya saling buyar tersebab benturan masing-masing. Dan
sama hinggap di pohonan, lalu
menghambur lagi ke udara dan berbenturan lagi dengan dahsyat.
Dua-duanya hingga lagi di dahan, lalu
sama menghambur lagi ke udara yang kali ini saling
Grafity, http://admingroup.vndv.com
28
menyergap dan sama-sama jatuh.
Di tanah keduanya berdiri berhadapan.
Dalam jarak dekat dua-duanya melakukan pukulanpukulan
lamban karena sama menggunakan tenaga
dalam. Ketika keduanya menguji telapak
tangan masing-masing, telapak tangan
itu saling menempel dan geser menggeser. Pada mulanya
keringat. Kemudian telapak tangan
mereka seperti sama hangus. Sedikit demi sedikit asap keluar
dari telapak-telapak tangan yang
bergesekan itu. Mata Harwati tampak melotot. Mata Pita Loka
juga melotot. Telapak tangan mereka
melepuh. Sama melepuh! Sebagian kulit yang hangus
bahkan lepas dan berjatuhan. Tapi
dua-duanya sama tangguh.Tapi tak seorangpun di antara dua
pendekar ini yang mau menyerah.
BIARPUN dua-duanya sama-sama bertahan
dengan menahan pernafasan, namun tenaga mereka
belum tenaga seorang suhu. Tenaga itu
habis. Dan dua-duanya jatuh ditanam dalam keadaan
tak sadarkan diri.
Dan sampai malam menjadi gulita,
Harwati dan Pita Loka masih sama-sama menggeletak,
Namun Pita Loka yang lebih dahulu
sadarkan diri. Dia kaget karena di tubuhnya ada dua buah
pedang. Pedang itu tidak dikenalnya
sebelumnya. Sebetulnya, pedang itu adalah pedang kembar
Surandar.
Pita Loka tegak. Akan dipungutnya
pedang itu karena mengira itu pedang hadiah secara ghaib.
Tapi didengarnya wisik : “Jangan
ambil. Itu senjata milik Harwati”.
Pita Loka mundur. Mundur. Kemudian
berlalu. Belum sempat sampai ke gerbang desa, Pita Loka
mendengar seruan : “Hai, jangan
lari!”
Pita Loka membalik. Dilihatnya
Harwati sudah sadarkan diri. Malahan sudah tegak dengan gagah
memegang dua pedang di tangannya.
“Jangan lari sebelum aku pisahkan
kepalamu dengan badanmu, ayoh!” teriak Harwati.
“Musuh pantang dicari, tapi kalau
menantang jangan dielakkan”, ujar wisik di telinganya.
Namun Pita Loka hanya tegak dengan
tegap, menanti,menanti, sembari mengatur
pernafasannya. Dan ini membuat
pendekar edan itu semakin keedanan. Dia hanya meloncatloncat
mengelilingi Pita Loka dengan
permainan pedangnya. Namun Pita Loka siap siaga.
Sementara itu, Nyi Kembar sedang
meniup kepala Dasa Laksana. Tiupan sihir itu berhasil. Nyi
Kembar berseru:
“Ayoh berangkat ke Serunai untuk
menyergap dua pendekar Kumayan. Tapi kamu harus memulai
dulu menghancurkan mereka, Dasa
Laksana! Kami di belakangmu!”
“Baik, Nyi Kembar! Saya akan
hancurkan mereka”, kata Dasa Laksana.
“Ayoh sekarang! Kita harus di sana
sebelum fajar. Mata-matamu sudah meyakinkanku, bahwa
dua pendekar itu sedang siap
bertempur.... kita masuk dalam keadaan mereka sedang
bertempur, karena kita akan memancing
di air keruh dan musti merebut selendang Pita Loka dan
pedang Harwati .... Dan, ingat, Dasa
Laksana, kamu harus mengutamakan kehancuran Harwati,
sebab pedang Surandar itu lebih
kuinginkan daripada selendang hijau Pita Loka!”
“Siap, tuan Gurul” dan Dasa Laksana
meloncat ke punggung kudanya. Dan ketika fajar
menyingsing, Harwati masih saja
mengitari Pita Loka dengan jurus bangau putih mengkitari
Grafity, http://admingroup.vndv.com
29
sarang. Pita Loka waspada terus,
menunggu kemungkinan serangan curian. Mata dua pedang
Surandar berkilat-kilat yang
dikibas-kibaskan Harwati dalam mengitari Pita Loka itu. Dan, seperti
sudah ditebaknya, Pita Loka berkelit
ketika Harwati menghambur untuk menebas lehernya, Mata
pedang itu terpeleset ketika mengenai
bahu kanan Pita Loka, dan Harwati terhambur ke udara
oleh tendangan balasan. Harwati
merubah jurusnya menjadi jurus bangau kawin agar dia dapat
menebas dada lawannya, tetapi Pita
Loka menangkisnya dengan menyergap pergelangan
Harwati, lalu membantingnya seketika.
Harwati membal ke udara karena dua pedang itu
menghantam tanah. Ketika ini pulalah
Harwati seperti sadar beberapa saat! Dia ingat, kelebihan
pedang Surandar adalah bila dia
dihentakkan ke bumi lalu membuat pemegangnya membal.
Begitulah ketika Pita Loka sudah
ketemu cara penyergapan, dia meloncat dengan kaki keatas lalu
menyergap Harwati yang cepat
menghantam mata pedang ke bumi. Sehingga dalam keadaan
tubuhnya dicengkeram Pita Loka, maka
Pita Loka ikut terseret ke udara.
Keduanya jatuh di bumi, dan menjelang
jatuh pedang sudah dihantamkan ke bumi, sehingga
dalam keadaan terkena sergap
cengkeraman itu Pita Loka ikut bersama tubuh Harwati terbang
ke udara. Matahari mulai menerangi
bumi.
Harwati berhasil lepas dari
cengkeraman Pita Loka, Ketika dia mengayunkan pedang Surandar
kanan dan kiri...ketika itulah
terdengar derap telapak kaki kuda yang banyak sekali.
“Kita kena serbu!” seru Pita Loka.
Musuh pun sudah mengepung dari segala
penjuru. Tetapi Harwati masih melakukan serangan
pada Pita Loka yang cuma menangkis
dan menangkis karena dilihatnya seorang pendekar muda
melompat dari kuda dan memegang
senjata kayu -bulat - toya yang dengan serta merta
menyerang Harwati. Harwati berteriak:
“Hai Dasa Laksana kamu ya!” tetapi toya itu diayunkan ke
arah kepala Harwati, namunsudah
dijepit oleh ketiak Pita Loka menjelang kepala Harwati remuk.
Dasa Laksana ikut bersama Pita Loka
yang mengepit toya itu dan dengan jungkiran salto maka
terlepaskan kayu bulat itu dari
tangan Dasa Laksana yang terlempar jumpalitan.
Pita Loka hampir membuang toya yang
dianggapnya senjata murahan itu, tapi kemudian
didengarnya wisik: “Jangan. Awas
kiri!”.
Dia memutar tubuh ke kiri dan
melakukan tangkisan ketika mendadak Nyi Kembar
menghantamkan kayu bulat ke kepala
Pita Loka dan gagal...
DASA Laksana kebingungan karena
tiba-tiba sadar bahwa dia sudah terkena sihir Nyi Kembar.
Ketika dia melihat Nyi Kembar
menyerang Harwati dengan ilmu setan kawin, maka dihantamnya
kepala Nyi Kembar sebelum beberapa
kali tendangannya sulit ditangkis oleh pedang Harwati.
Ilmu kebal Nyi Kembar cukup ampuh.
Sehingga pedang Surandar terlepas dari tangan Harwati,
jatuh ke tanah, membal lagi ke udara,
dan Nyi Kembar ingin melompat untuk mengambil pedang
itu.
Ketika itulah toya ditangan Dasa
Laksana menyabet tulang kering kaki Nyi Kembar, dan Nyi
Kembar Jatuh jumpalitan. Ketika itu
Pita Loka hanya berdiri tegak. la cuma menonton
pertempuran seru dua lawan satu. Nyi
Kembar memang cukup kebal menghadapi pedang
Surandar yang dihantamkan
berkali-kali oleh Harwati. Harwati lega karena pedang yang sebuah
lagi sudah ditangan Dasa Laksana.
Betapapun kebalnya Nyi Kembar
menahankan mata pedang dari sabetan Harwati dan Dasa
Laksana, dia akhirnya kualahan juga.
Dia lari secepat kilat menuju kudanya lalu melompat ke
punggung kuda.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
30
Harwati mengejarnya dengan
berlompatan dari dahan ke dahan pohonan terus menyusul Nyi
Kembar dengan pasukannya ke arah
tenggara. Dasa Laksana berhasil membacok anak buah Nyi
Kembar. Dan kudanya dia rebut dan
dengan tenaga mudanya dia pacu kudanya menyusul
Harwati. Tampak jelas Harwati
melompat dari pohon ke pohon. Dan ketika kuda yang
ditungganginya sudah sejajar dengan
Harwati; Dasa Laksana berseru: “Melompat ke sini, Ki
Harwati!”
Harwati melompat dari pucuk pohon pucung,
melayang dan kemudian pantatnya sudah
menemplok dibelakang tubuh Dasa
Laksana. Dasa memacu kudanya lebih cekatan, turun naik
bukit.
Setiba di kaki Bukit Kembar, Harwati
berkata: “Kita berhenti disini supaya dia mengira kita tidak
mengejamya lagi”.
Dasa Laksana turun dari kuda. Harwati
masih di punggung kuda. Dengan suara manja dia
berkata: “Gendonglah aku supaya aku
bisa turun”.
“Kau bisa molompat sendiri kebawah”,
ujar Dasa Laksana.
“Aku ingin supaya kau menggendong
saya”, kata Harwati.
Perasaan pendekar muda itu mendadak
tahu apa yang dikehendaki Harwati. Tapi karena merasa
berhutang budi bisa lepas dari sihir
pendekar Nyi Kembar, dia menuruti keinginan Harwati. Ketika
itu ia cuma merasa terpaksa
menggendong Harwati, lantas berkata: “Sebenarnya ilmuku pantang
menyentuh wanita”.
“memang itu pantangan jika wanitanya
tidak suka. Beda dengan Jika kau gendong wanita yang
menolakmu”.
Harwati menggeletak diatas rumput.
Matahari akan tenggelam ketika itu. Sinarnya yang
kekuningan, membuat dua paha Harwati
tampak bagai tembaga yang menggiurkan.
“Aku letih. Tulang-tulangku merasa
ngilu. Maukah kau menguruti saya! Cuma memijat-mijat
saja!”
“Itu pantang dalam ilmuku. Heran
sekali memang, orang semua menganggap kamu pendekar
edan. Tapi berhadapan dengan saya
kamu sepertinya wajar dan sehat”.
“Aku gila tanpa pria. Tapi aku segar
dan sehat karena bersama kau”, kata Harwati.
Ketika itu pikiran Dasa Laksana
kacau. Dan sesungguhnya dia tergoda ketika paha itu dilihatnya
sampai dua kali.
Cepat Dasa Laksana membuang muka.
Lalu berkata:
“Aku jangan sampai kau goda hingga
melanggar pantangan yang diwejang oleh Guruku”.
“Hei, itu sungai!” seru Harwati lagi.
“Kalau sungai, kenapa?”
“Aku ingin mandi!” kata Harwati.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
31
“Mandilah sendiri kesana!”
“Tidak, aku ingin mandi bersamamu
Dasa Laksana!”
“Itu lebih pantangan lagi! Seluruh
pelajaranku akan kembali pada Guru jika aku melakukan
pelanggaran”, kata Dasa Laksana.
“Baik, aku akan mandi sendiri”, ujar
Harwati.
Dasa Laksana langsung menghempaskan
tubuhnya di rumputan. Terdengar suara tubuh Harwati
yang mencebur masuk ke sungai.
Dasa Laksana belum habis heran.
Mengapa dia yang sudah dikenal edan sepertinya berubah jadi
manusia wajar? Diambilnya dua pedang
Surandar. Dia mencoba meneliti huruf gundul yang
tertera di pedang itu. Tapi ia tak
dapat membacanya. Lalu terdengarlah suara: “Tolooong!”
Dasa Laksana berdiri, dan melihat
Harwati sedang menggapai-gapai di sungai.
“Tolong...!”
“Apa!”
“Ambilkan pakaianku!” seru Harwati.
DASA LAKSANA hampir saja tergoda.
Jika saja dia sempat melihat Harwati dalam keadaan
telanjang bulat, ia akan merana.
Kesaktian kependekarannya yang sudah dia dapat dari Ki Putih
Kelabu akan copot dengan serta merta.
Dia akan jadi orang awam menghadapi belantara yang
mengerikan ini. Lalu dia anggap saja
teriakan Harwati tidak ada. Dia langsung melompat ke kuda
dan memacu kudanya kembali ke arah
desa Serunai. Dia ingin berjasa pada gurunya dengan
jalan membujuk Pita Loka agar kembali
ke Kumayan. Dia butuh agar disayang oleh Ki Putih
Kelabu jika berhasil membujuk Pita
Loka!
Tapi Harwati yang melihat Dasa
Laksana mendadak meninggalkannya, seketika itu juga bagai
orang edan memaki-maki dengan
ucapan-ucapan kutukan yang kotor. Dengan bertelanjang bulat
dia melompat dari dalam sungai, lalu
berpakaian dsngan menggerutu!
Dipegangnya pedang Surandar dengan
dua tangannya!
Dia mengamuk dengan membabi buta
sehingga pedang yang saling beradu itu bagai kilat dan
petir ketika malam mulai tiba. Dengan
penuh kegilaan Harwati melompat ke atas pohon, lalu
melompat lagi dan melompat lagi.
Barulah ketika matahari terbit,
lompatan edan itu akhirnya sampai bertepatan ketika Dasa
Laksana selesai menguburkan mayat
penduduk Serunai dengan penguburan satu lobang. Harwati
muncul diam-diam. Dua pedang di
tangannya. Dia melihat Dasa Laksana bicara dengan Pita Loka
yang baru membuang pacul. .
“Katakan pada ayahku, bahwa
pengembaraan ilmuku masih jauh”, ucap Pita Loka.
“Aku berharap, jika aku sudah naik ke
punggung kuda, hendaknya kau ikut bersamaku ke
Kumayan”, ujar Dasa Laksana.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
32
Tiba-tiba Pita Loka dan Dasa Laksana
mendengar bunyi pedang beradu. Keduanya sama
serentak menoleh kearah suara itu.
Tampaklah Harwati dengan gerak edan berteriak dahsyat:
“Bajingaaaaaaaaaaan!”
Dalam sekejap mata mata pedang itu
berkelebatan hampir menebas leher Dasa Laksana jika
tidak segera dipintasi oleh Pita Loka
yang menghadang pedang itu dengan gerak jurus diam.
Jurus diam itu adalah yang tersulit
dari semua ilmu persilatan jasad wadag. Seluruh pernfasan
dengan hidung itulah yang membuat
pedang Surandar itu membal kembali sebelum menyentuh
bagian tubuh Pita Loka. Harwati
semakin edan dan dengan membabi buta serta penasaran
pedang Surandar itu berkali-kali
disabetkannya ke tubuh lawannya. Terakhir, Pita Loka
mendengar wisik: “Hantam bahunya
dengan sisi tetapak tangan kirimu!”
Sisi telapak tangan kiri Pita Loka
mendarat cermat pada bahu Harwati. Pedang ditangan kanan
Harwati lepas. Harwati ambrol
tersungkur dan tidak sadarkan diri.
Pita Loka masih tegak. Dia butuh
wisik lagi. Lalu didengarlah wisik itu: “Berjalanlah ke timur.
Sekarang juga”.
Pita Loka tanpa mengucap sepatah kata
meninggalkan Dasa Laksana yang terpelongo
menyaksikan dahsyatnya perang tanding
yang barusan terjadi. la masih terpelongo menyaksikan
perginya Pita Loka. Lalu Dasa Laksana
melangkah mendekati tubuh Harwati yang masih
menggeletak. Lalu perasaan kasihannya
bangkit, Dia menyaksikan seorang pendekar yang
menderita penyakit edan ini haruslah
melewati kesengsaraan.
Dasa Laksana mulai bimbang. Dia tidak
tahu apa kewajiban yang mesti dilakukan selanjutnya.
Jika Harwati sadarkan diri nanti, ada
dua kemungkinan akan terjadi. Kedua-duanya merugikan
bagi dirinya.
Pertama, jika Harwati sadar lalu
masih marah dengan gila seperti tadi, bisa saja kepala terpisah
dari tubuh karena ditebas pendekar
edan itu.
Kedua, jika dia sadarkan diri lalu
kembali menggoda dengan rayuan birahi, mungkin saja godaan
itu mempan. Lalu seluruh ilmu
pewarisan Ki Putih Kelabu akan menjadi abu. Musnah!
Cuma, mengapa Harwati begitu marah?
Apa karena ditinggalkan? Atau karena salah duga lalu
cemburu?
Dasa Laksana masih dibekali perasaan
halus manusiawi, rasanya tak layak meninggalkan Harwati
yang masih hidup. Sedang mayit
penduduk Serunai saja pun dikuburkan!
Tapi kebimbangan adalah bagian dari
bakat kependekaran. Kebimbangan dalam melakukan
tindakan yang belum terwujud, menjadi
pendekar berjiwa besar. Itulah pesan Ki Putih Kelabu.
Maka dia putuskan pergi dari situ,
Entah kemana, terserahlah. Yang terang dia melompat ke
punggung kuda. Tapi menjelang kuda
itu dipacunya, kedengaran suara berhiba-hiba: “Tolong
aku...tolong aku!”
Dasa Laksana hampir saja memacu
kudanya kalau tidak segera dia mendengar jeritan
memilukan: “Kasihani aku....!”
Dasa Laksana loncat turun dari
kudanya. Dia hampiri Harwati. Harwati dalam keadaan lemah dan
berkata: “Beri aku makan dan minum.
Aku lapar dan haus.”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
33
SIFAT mudah kasihannya Dasa Laksana
menonjol sekali, Segala perbuatan manusia, kebaikan
dan keburukannya memang tergantung
dari niatnya. Dan niat Dasa Laksana bukanlah untuk
mencari kenikmatan sewaktu dia
menyuapi Harwati yang makan dengan lahap. Nasi dan
makanan itu hampir basi, diperdapat
dari puing-puing rumah yang roboh di Serunai itu.
Harwati makan dan minum dengan lahap.
Untunglah masih ada sisa tuak yang belum hancur
tabung bambunya. Tuak adalah minuman
pokok desa ini.
“Aku kedinginan”, ujar Harwati.
“Ya, aku tahu. Desa ini memang desa
yang tinggi, bukan? Jadi udara disini dingin. Kau pendekar.
Harus mampu menahan dingin bukan?”
“Kamu baik sekali, Dasa Laksana”,
ujar Harwati.
“Aku berbuat baik bukan sembarangan.
Aku tahu kepada siapa aku musti berbuat baik. Aku tahu
turunan siapa kau”, kata Dasa
Laksana.
“Aku putri pendekar Lebai Karat”,
kata Harwati.
“Aku sudah tahu. Dan kelihatannya kau
sehat-sehat saja”, (Padahal maksud ucapan itu adalah:
Kamu kelihatannya tidak gila.
“Aku lapar lagi”, ujar Harwati.
“Baiklah, Kau tunggu disini”.
“Nanti dulu!” ujar Harwati mencegah
sebelum Dasa Laksana berlari.
“Ada apa?”
Duduklah dulu. Aku mau tanya sesuatu.
Rasa-rasanya, kau meninggalkan saya ketika saya mandi
disungai. Ternyata kau sengaja
menemui Pita Loka. Untuk apa kau menemuinya?”
“Aku menemui Pita Loka karena dua
niat. Pertama ingin melihat keadaannya lalu membujuknya
pulang ke Kumayan. Sebab aku ini
murid ayahnya. Jika aku membawanya ke Kumayan, tentu
sang Guru akan senang atas jasa
baikku. Kau tahu, setiap murid ingin menanamkan jasa baik
pada Guru. Baru dia tidak dilupakan
Guru. Bukan begitu?”
“Yang kedua?” tanya Harwati.
“Teringat olehku mayat
bergelimpangan. Belum dikubur, Lalu aku mengajak Pita Loka untuk
menguburkan mayat itu dalam satu
lobang, dan waktu itulah engkau datang, bukan?”
“Ya. Aku datang dengan amat kesal”,
kata Harwati.
“Kau tentu curiga juga”, kata Dasa
Laksana.
“Aku bukan saja curiga. Tapi aku
benci! Benci!”
Dasa Laksana dilirik oleh Harwati,
lalu tampaklah matanya berbinar-binar menyinarkan kebirahian
seseorang yang butuh kasih.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
34
“Sebentar aku akan mencari makanan
untukmu.”, kata Dasa Laksana.
“Tapi sekarang ini aku tidak lapar lagi”,
kata Harwati.
“Ha? Koq bisa gitu?”
“Aku sekarang kenyang. Aku jadi
kenyang karena kamu temani aku berbicara, Maukah kau
menemani saya bicara sampai malam?”
“Tentu”.
“Aku ingin membicarakan tentang
diriku yang malang ”.
“Silahkan”.
“Maka jawablah pribahasaku ini. Dalam
ilmu silat pribahasa adalah bagian dari jurus hati.
Pernahkan kau dapat wejangan ini dari
Gurumu?”
“Ya. Dalam persilatan, salah bicara,
nyawa melayang”.
“Nah, kalau begitu kau pernah tahu
apa itu kembang”, kata Harwati.
“Kembang itu bunga”, kata Dasa
Laksana.
“Bunga itu wangi”.
“Tentu. Putik bunga itu wangi”, kata
Dasa Laksana,
“Lalu pernah pula kamu mengetahui
kumbang?”
“Tentu. Kumbang itu nama binatang”.
“Jika aku kembang, tentu kau
kumbang”, kata Harwati.
Mendengar itu bulu roma Dasa Laksana
merinding. Tapidia lebih merinding sewaktu melihat
mata Harwati yang menyorotkan binar
birahinya yang kelihatannya bagai kilat di malam gelap.
“Sebaiknya aku pergi mencari
makanan”, kata Dasa Laksana.
“Kalau begitu aku tahu isi hatimu”,
kata Harwati.
“Janganlah kita bicara hal Itu”, kata
Dasa Laksana.
“Kau mengelak. Tanda ada gadis yang
kau cintai!” tuding Harwati.
“Aku hanya memegang amanat”, kata
Dasa Laksana.
“Siapa yang memberimu amanat?”
“Guruku. Amanat itu berat”, kata Dasa
Laksana.
“Sekarang aku tahu. Bukankah Gurumu
adalah Ki Putih Kelabu?”, dan Harwati langsung berubah
Grafity, http://admingroup.vndv.com
35
jadi buas, berdiri tegap memegang dua
pedang Surandar ditangannya.
“Akan kutebas siapa yang
menghalangikul”, lalu pedang itu diadunya sehingga terdengar bunyi
gemerincing yang dahsyat. Bahkan
kilatan api.
DASA LAKSANA ketakutan! Tetapi dia
tidak boleh menyerah, menipu, ataupun munafik oleh
gertakan itu.
Seorang pendekar pantang bertekuk
lutut dengan gertakan. Dan sekiranya dia mau memilih jalan
yang gampang, dia tentu bisa. Main
gombal saja! Tetapi pantangan seorang pendekar justru
bermain gombal. Karena itu ketika dua
mata pedang bergemerincing mengancam lehernya, dia
tetap Harwati dengan mata beringas.
“Kamu mempunyai ilmu. Saya pun
mempunyai ilmu!” kata Dasa Laksana.
“Ayo keluarkan ilmumu”, ujar Harwati.
“Saya tidak akan menyerangmu!”
“Ayoh serang! Mana ilmumu!”
“Ilmu kami dimulai dengan perkataan.
Aku hanya akan memperingatkanmu! Tapi ingat, jika kau
mulai menyerangku, ilmuku adalah
tindakan. Kau bertindak, akupun akan bertindak”.
Sesungguhnva mereka bukan berdua. Ada
seorang saksi yang baru turun dari punggung kuda
melihat pertengkaran itu. Tiba-tiba
sang saksi ini menyaksikan gemerincing pedang itu. Dan
Harwati yang semula tegak lalu
berubah bagai putaran roda pedati! Tubuhnya yang berputar
bagai roda pedati itu bagai
menggelinding menuju sasarannya, Dasa Laksana sudah mengatur
nafas dengan dua tangan terjulur
kedepan dengan telapak tangannya yang meratap. Gelindingan
itu disambut oleh dua telapak tangan
Dasa Laksana, sehingga memballah sang penggelindingi
Dasa Laksana sendiri tercengang
dengan keampuhannya mencobakan tangkisan tenaga
dalamnya. Lalu dia berkelebat memutar
arah, sehingga dia berada disamping ketika Harwati
sekali lagi menyerang dengan tubuhnya
yang menggelinding. Dari samping itulah Dasa Laksana
mengeluarkan jurus harimau
mengibaskan ekor. Harwati berhasil menjebak jurus itu sehingga
kaki Dasa Laksana dengan tendangan
kibasan ekor berhasil terkena jepitan kedua kaki Harwati.
Sebelum Dasa jatuh terjungkal
kebelakang, pedang di tangan kanan Harwati menebas kearah
leher, tetapi untung Dasa segera
menundukkan kepala. Saksi yang menonton tegang, cepat
membuang nafas karena dia kira leher
Dasa Laksana akan terpenggal. Dia sebagai penonton
sudah tak sabaran lagi untuk ikut
terlibat.
Tetapi kini dilihatnya Dasa Laksana
sudah merebut pedang Surandar di tangan kiri Harwati.
Tanpa ragu pedang Surandar itu berbalik
mau menghantam ke kepala Harwati. Tapi ajaib!
Pedang itu rupanya tak sudi menyakiti
pemiliknya. Begitu mata pedang itu menghantam jidat
Harwati, terdengariah bunyi nyaring
disertai api berkilat. Malah terlepas dari tangan Dasa
Laksana.
Keadaan Dasa Laksana berubah dalam
situasi terancam. Dia mundur, dan mundurnya itu
membuat Harwati cepat membabatnya,
apalagi pedang tadi sudah kembali ke tangannya. Dua
babatan kiri kanan yang ditangkis
oleh Dasa Laksana dengan lompatan-lompatan keatas itu
adalah membahayakan.
Sang saksi yang nonton dibalik
kudanya itu semakin tegang. Tiap Harwati membabat dilayani
Grafity, http://admingroup.vndv.com
36
Dasa Laksana dengan melompat, hingga
tebasan itu cuma mengenai angin di bawah telapak
kaki. Tapi si penyaksi dibalik kuda
itu kuatir, apabila Dasa Laksana terus melakukan hati itu, daya
lompatnya akan berkurang, dan pedang
itu bisa membuntungkan kakinya. Maka dengan
kekuatiran yang amat besar, sang
penonton, dengan tak bisa sabar lagi menyaksikan bahaya itu,
lalu berseru: “Rubah dengan jurus
harimau terkepung! Jurus harimau terkepung!”
Seruan ini didengar oleh Dasa
Laksana. Semangatnya bergelora. Harwati juga mendengar.
Beringasnya tambah buas. Dia sabetkan
pedangnya untuk menebas kaki Dasa Laksana sebelum
Dasa merubah jurus.dan ketika itu
dengan tidak diduganya dia merasakan pedih pinggangnya
diserang lawan lain dari belakang.
Seperti kena kibasan ekor harimau.
Harwati sempat berkelit menjungkir
terkena sabetan lawan lainnya. Begitu dia bangkit berdiri
untuk melayani dua lawan, dia merubah
permainan. Dia cuma berdiri tegak tetapi
mempermainkan jurus permainan pedang
sebagai dinding berputar. Jurus ini berat bagi lawan,
karena sifatnya tidak menyerang
melainkan menjebak.
“Kau minggir Dasa!”
“Baik, Guru!” sahut Dasa Laksana
minggir menuju kuda. Ya memang betul, penonton tadi
memanglah Guru, Ki Putih Kelabu, yang
tak akan tega melihat muridnya terancam mati konyol.
Kini dengan melibatkan diri, pada
sebenarnya dia bukan mau menghancurkan Harwati. Dia justru
ingin menyumbangkan Ilmu kepada putri
almarhum sahabatnya ini!
Dengan suara mengaum dia menerjang
dinding pedang berputar itu, tetapi harimau itu justru
terjungkal ke belakang. Dia mengaum
dan menerjang lagi dengan berhasil kali ini karena keduadua
pedang itu terlempar ke udara.
Harwati cepat melompat ke udara merebut dua pedangnya,
lalu mendarat di tanah dengan
hantaman dua mata pedangnya kepunggung harimau.
BUKAN punggung harimau itu yang
terkena, melainkan tanah yang langsung berhamburan
sementara tetakan dua pedang pada
tanah itu membuat dua pedang itu membal ke udara
bersama Harwati yang memegang dua
gagangnya. Di udara Harwati mengadu dua mata pedang
itu sehingga arah iatuhnya ke bumi
menjauhkan jarak. Maka setiba di tanah, dengan dua kaki
terbelesek masuk tanah hingga mata
kaki, Harwati berdiri tegak kokoh dan berkata: “Baru aku
tahu kamu itu Ki Putih Kelabu!” ...
ini diucapkan setelah Ki Putih Kelabu menjelma jadi manusia
kembali.
“Betul, nak”.
“Aku bangga melawan tuan”.
“Aku bukan mau menghabisi kamu. Cuma
mau mengajarmu”.
“Yang penting aku tahu, bahwa kau
begitu getol membayangi pertarungan saya melawan Dasa
Laksana agar dia bisa kau pungut
mantu! “
“Jangan bertengkar denganku. Ayahmu
dulu tidak pernah bertengkar denganku”.
Lalu tampak tanah menghambur ketika
dua kaki Harwati mencuat keatas, dan dalam sekebatan
dua mata pedang menggedor bahu kiri
dan bahu kanan Ki Putih Ketabu. Begitu berkelebat,
sehingga Dasa Laksana kuatir gurunya
akan tewas, Padahal tidak. Gedoran mata pedang itu
Justru membuat Ki Putih Kelabu
seketika itu pula menjelma jadi harimau dan mengeluarkan jurus
harimau melihat bangkai. Jurus ini
berbahaya. Karena apabila sang Guru kurang mengatur
perasaan, kepala Harwati bisa kena
terkamnya. Maka dia cuma mengembangkan bungaGrafity,
http://admingroup.vndv.com
37
bunganya saja sekedar mengelak pedang
itu sampai ke sasaran berbahaya, yaitu pada bagian
nyali. Perkelahian itu boleh
dikatakan ibarat Kucing mempermainkan Tikus. Ini membuat Harwati
geram karena dirinya cuma dijadikan
tikusnya, dan tidak memungkinkan dia mengambil inisiatip.
Dia sadar, Ki Putih Kelabu hanya
menginginkan dia jadi lelah. Karena itu Harwati mengadu lagi
mata pedangnya dengan semangat edan.
Tapi dia sudah lelah. Kesempatan
terakhir hanyalah dengan cara menetakkan dua mata pedang
ke bumi, agar dia membal ke udara.
Dia membal ke udara, lalu mengayunkan dua kakinya ketika
di udara itu, agar dia dapat melayang
jauh dan jatuhnya di atas pohon. Harwati hinggap di
pohon. Dari atas pohon itu
terdengarlah ketawa edannya yang berderai-derai. Ketawa itulah
yang membuat Ki Putih Kelabu
menyingkir mendekati Dasa Laksana. Lalu berkata: “Kasihan dia.
Sungguh aku mengasihani dia melebihi
kasihanku pada Pita Loka”.
“Aku tak butuh dikasihani. Hayo jamah
tubuhku ke sini!”... rupanya ucapan Ki Putih Kelabu itu
kedengaran sampai ke atas pohon itu.
“Kalau kau tidak ke sini, aku yang ke
sana !” teriak Harwati lagi dan kedengaranlah suara
tertawanya yang berderai.
“Anakmu sudah membela Dasa Laksana.
Kini kamu pun membela Dasa Laksana sehingga aku
makin tahu bahwa kalian semua itu
menjadi penghalang seluruh tujuan hidupku!”
“Aku tak menghalangi tujuan
hidupmu„nak. Aku Cuma menghalangi agar muridku tidak mati
konyol oleh pedang saktimu. Kuharap
kau turun, supaya kau sudi mendengar wejanganku. Kau
tidak berbapak lagi, aku ingin
menggantikan kedudukan ayahmu untuk menasehatimu!”
“Aku edaaaan! Pergiiiiiil” Teriakan
itu bukan menimbulkan benci. Tapi menimbulkan belas
kasihan. Sebab setelah berteriak
begitu Harwati kedengaran menangis dengan isakan yang
menghibakan hati.
Ki Putih Ketabu menatap pada Dasa
Laksana. Katanya: “Kau sudah tabah memegang teguh
amanat guru. Bagaimana jika aku
pertanyakan padamu, apakah kau bersimpati kepada dia?”
“Maksud tuan Guru, agar saya
mencintai dia?” tanya Dasa Laksana.
“Begitulah. Tapi itu bukan amanat.
Itu hanya buah pikiran”.
“Tidak, tuan Guru. Saya akan memilih
amanat tuan yang pertama. Yaitu melanjutkan turunan
tuan agar tercipta bibit unggul yang
kuat dan baik. Jika saya mencintai dia, turunan saya akan
kurang waras”.
“Tapi Pita Loka juga buta!”
“Bedanya lain, Tuan Guru. Saya
mencintai Pita Loka karena saya patuh dari awal. Tapi jika tuan
Guru punya buah pikiran agar saya
mencintai Harwati, itu anda temukan di tengah jalan. Padahal
perjalanan batin saya ini sudah agak
jauh. Karena tadi itu cuma buah pikiran, bukannya amanat,
saya hanya akan tunduk pada amanat”.
Sang Guru menguji dengan pertanyaan:
“Tidak kau dengar isak tangisnya di atas itu?”
“Saya mendengar. Tapi tidak tergoda.
Dia edan”, kata Dasa Laksana.
“itu bukan edan yang sesungguhnya.
Dia edan karena itu bagian dari perjalanan tuntutan
Grafity, http://admingroup.vndv.com
38
ilmunya”, kata sang Guru, menguji
lagi.
KARENA KEASYIKAN memberi wejangan
pada muridnya, Ki Putih Kelabu tercengang melihat
pancaran api kuat bagai bola api
menghambur dari pohon ke pohon lain dan pohon lain menuju
tenggara.
“Kasihan. la harus mengembara lagi”,
kata Ki Putih Kelabu.
“Mungkin dia ke desa Meranti”, kata
Dasa Laksana.
“Bagaimana dengan Pita Loka?” tanya
Ki Dasa Laksana.
“Saya kira dia masih akan mengembara
lebih lama lagi”.
"Saya mengucapkan selamat atas
permainanmu. Tapi ingat, seorang pendekar tak boleh asyik
dengan satu jurus permainan saja. Itu
akan menguras tenaga, Setiap lompatan ke udara akan
lebih menguras daya tahanmu ketimbang
kau melakukan permainan bawah".
“Lain kali akan saya ingat pesan Tuan
Guru”, ujar Dasa Laksana.
“Kukira ada baiknya kau menemani
perjalanan saya. Saya barusan saja menemui Nyi Tunggal
Surya Mulih di padepokannya, Beliau
tidak mewarisi ilmu suaminya. Tapi anjurannya sangat baik.
Aku mesti menemukan beberapa harimau
asal, pewaris syah tujuh harimau. Menurut Nyi
Tunggal, tujuh manusia harimau harus
mengadakan pertemuan. Banyak hal besar yang mesti
dirembugkan”.
“Boleh saya mengetahui nama Tujuh
Manusia Harimau itu, tuan guru?” tanya Dasa Laksana.
“Boleh saja. Aku hanya akan
menyebutkan nama yang aku ketahui. Sebab jumlah tujuh itu, yang
hanya mengetahui cumalah Ki Tunggal
dan pewarisnya. Pewarisnya inilah yang masih gelap bagi
kami. Tapi beberapa nama seperti
namaku, Ki Jengger, Ki Surya Pinanti, Ki Madu Prakasa, Ki Ca
Hya, setidaknya merupakan lima
harimau yang syah berdasar Kitab Tujuh yang aseli”.
“Ki Lading Ganda bukan salah seorang
tujuh harimau?”
“Ternyata ia bukan. Setelah jadi
harimau syah, la suhu. Tak pernah terjadi seorang Suhu menjadi
gila seperti beliau. Tapi ia tabah”,
kata Ki Putih Kelabu.
Lalu dia melompat ke punggung kuda.
“Aku sebetulnya amat rindu bertemu
muka dengan puteriku”, ujar sang Guru ketika mereka
mulai memacu kudanya.
“Kita menuju ke pesanggerahan”, ujar
Ki Putih Kelabu.
“Apa itu pesanggerahan?” tanya Dasa
Laksana.
“Pesanggerahan adalah tempat
istirahat seorang suhu”, ujar Ki Putih Kelabu, “Tapi penamaan itu
cuma aku yang menggunakan. Kuberikan
khusus pada Ki Ca Hya. Aku mendapat wangsit, bahwa
puteriku Pita Loka sedang berguru
pada beliau”.
Kuda itu semakin dipacu kencang.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
39
Ketika kuda itu melintas desa
Meranti, Dasa Laksana sempat menoleh ke desa itu, siapa tahu ia
mengetahui Harwati ada disitu.
Ketika Dasa menoleh, Ki Putih Kelabu
tahu. Beliau barkata: “Rupanya kau masih menaruh
perhatian menengok desa itu”.
“Saya kuatir kalau kita kena jegal
lagi oleh Harwati, tuan”.
“Maksudmu bukannya kau
mengkhawatirkan nasib pendekar edan itu?” tanya sang guru
menjebak.Dasa Laksana hanya
membungkam mulut, karena jika dia salah menjawab maka
nilainya bisa dianggap rendah oleh Ki
Guru. Memang Harwati terjaga dari tidurnya di ambin
bambu ketika dia mendengar derap kaki
kuda di lembah bawah.
Dia duduk, mengusutkan rambutnya
lebih kusut lagi lalu ketawa menyeringai. Dia lalu berkata
dengan hiba dengan air matanya yang
bercucuran: “Akan beginikah nasibku selalu? Tidak akan
pemah ada orang yang mencintaiku!”
Airmatanya bercucuran, Lalu dia
memegang dua pedangnya, dan mengadu mata dua pedang itu
hingga bergemerincingan, Lalu
berkumpullah penduduk Meranti itu seraya berseru: “Ayoh,
pendekar! Mainkan ilmu edanmu lagil”
“Ini edan! Ini edan!” kata Harwati
mulai meloncat.
Tingkah lakunya membuat penduduk
Meranti terhibur dan tertawa. Tetapi setiap dia
mengeluarkan jurus-jurus yang
diminta, penduduk tak tahu airmatanya semakin banyak
berhamburan. Dan itu membuatnya
lemas. Dia menangis merengek macam anak kecil, lalu
berjalan sempoyongan menuju nenek tua
dan berkata: “Aku lapar, bu, Aku haus dan lapar.
Kasihani aku, aku lapar, lapar,
laparrrr”.
“Mari ke rumahku”, ujar sang nenek.
Tapi Harwati sudah meloncat lebih dahulu dan masuk ke
rumah perempuan tua itu dan mengambil
nasi yang sedang dijarang dalam kukusan. Asap
mengepul, nasi itu hampir masak,
tetapi sudah dikerumas oleh jari tangan pendekar edan itu,
dengan lahap masuk ke mulutnya.
Kemudian dia mengangkat gentong kecil
berisi air. Mulut gentong yang lebar itu mengucurkan air
ke mulut Harwati, tapi sekalian pula
dengan itu pendekar edan sudah mandi....
SEMENTARA itu, ditempat pertapaannya,
di Lembah Tujuh Bidadari, Guru Gumara malam itu
melihat tumpukan cahaya melingkar di
sekitarnya. Lingkaran itu bundar sekali dengan garis
tengah sekitar sepuluh meter. Ketika
ia melihat ke langit, rupanya sinar cahaya itu tegak lurus ke
atas, bertepatan dengan bintang Venus.
Gumara memejamkan mata. Antara tidur
dan tidak, dia menyaksikan dua ekor kuda dipacu
penuh menuju ke satu padepokan yang
rumah-rumahnya bersih dengan cat putih. la metihat
seorang pendekar tua menyambut dua
pendekar berkuda itu, Namun ia tidak jelas siapa mereka
bertiga itu. Mereka tampak saling
beramah tamah.
Gumara lalu membuka mata. la belum
puas. Tetapi sebelum dia mendapat jawaban firasat,
terdengarlah suara hiruk pikuk. Ada
suara teriakan minta tolong dari arah selatan. Gumara berdiri
dengan sigap. Tampaknya suara
teriakan itu semakin dahsyat. Lalu pendekar pendiam ini
melompat sigap meninggalkan Lembah
Tujuh Bidadari kearah pedukuhan.
Sesungguhnya pedukuhan itu jauh
letaknya. Tetapi karena lembah ini menampung suara,
Grafity, http://admingroup.vndv.com
40
kedengarannya amat dekat. Gumara
menempuh jarak itu dengan jurus lompatan demi lompatan
harimau api.
Bagai harimau api ia langsung mengaum
ketika dia dapati enam orang anak-anak muda buntung
sedang dicambuk oleh Dasa Laksana
Buntung. Pakaian mereka aneh. Semua anak remaja itu
mampu menangkis cambukan itu. Dasa
Laksana Buntung tampaknya gawat juga oleh
perlawanan mereka. Gumara hanya
menonton sejenak membiarkan penduduk pedukuhan itu
masih menjerit.
Ketika Dasa Laksana Buntung akan
mencambuk anak paling remaja yang dikenal Gumara di
Kumayan bernama Caruk Putih itu,
Gumara berseru tegas :
“Hentikan!” Dasa Laksana Buntung
membalik, Begitu dia melihat Gumara, dia arahkan
cambuknya dan sekelebatan cambuk itu
memecut ke arah Gumara. Gumara memegang cambuk
itu sebelum mengenai tubuhnya, lalu
dalam sekebatan cambuk itu berbalik membuat Dasa
Laksana Buntung terlempar ke udara.
Caruk Putih berseru : “Pak Guru!”
Lalu dia berlari memeluk Gumara. Anak-anak remaja buntung
yang lainpun memeluk Gumara : Talago
Biru, Agung Kifli, Abang Ijo, Aria Kuning, Sura Jingga
yang kelihatannya mereka semua merasa
rindu.
Dasa Laksana Buntung bangkit, lalu
berteriak: “Nyi Kembar! Tolong aku!” Nyi Kembar masih
berpelukan dengan anak-anak buahnya,
lelaki-lelaki tegap yang kesemuanya ketiduran karena
bermabuk-mabuk semalam suntuk.
Gumara masih memegang ujung tali
cambuk. Anak-anak remaja buntung itu merasa heran
mengapa Dasa Laksana Buntung
dibiarkan saja berteriak-teriak.
“Hajar dia. tuan Guru!” seru Agung
Kifli.
“Aku ke sini cuma untuk menyelamatkan
kalian. Hei, Pendekar Buntung. Sebaiknya tingkatkan
dulu ilmu kau sebelum melawanku. Aku
perintahkan sampai sepuluh hitungan agar kau pergi dari
sini bersama sekutu setanmu!”
“Nanti dulu! Aku mohon satu jawaban!”
“Katakan padaku, di mana sekarang
orang muda yang nenyamar memakai namaku?”
“Dasa Laksana?” tanya Gumara.
“Ya”.
“Apa perlunya denganku?”
“Ada perlunya untukku. Dia pernah
berguru kepadaku! Kuperintahkan agar dia menyamar belajar
pada Ki Putih Kelabu. Tapi sepertinya
dia berkhianat karena tidak kembali lagi”.
“Sungguh licik, kau! Kau suruh
menyamar belajar pada Ki Putih Kelabu untuk apa?”
“Untuk menculik Pita Loka dikemudian
hari. Kau tahu, aku mencintai Pita Loka. Aku ingin
ilmunya. Bukankah Pita Loka itu
sainganmu? Musuhmu?”
Gumara tersenyum. Katanya seraya
menoleh pada Agung Kifli : “Ini, si pemain gitar dari
Grafity, http://admingroup.vndv.com
41
Kumayan, sepupunya, akan lebih tahu”.
Agung Kifli berkata : “Guru Gumara
... saya pernah menjelaskan pada Ki Dasa Laksana Buntung
ini ... bahwa tuanlah yang punya hak
untuk jadi suami Ki Pita Loka. Bukan dia! Tapi kami selalu
kena siksa bila menjelaskannya.
Kenapa tuan tidak bunuh saja dia sekarang? Atau kami
membunuhnya?”
Mendengar itu Dasa Laksana Buntung
menyembah-nyembah. Dia berlutut di tanah.
“Aku akan hitung sampai sepuluh. Lalu
kau dan sekutumu enyah dari pedukuhan ini. Ini dukuh
suci, penduduknya awam tak sudi
melawan. Jangan kalian peras orang-orang awam, karena
do”a mereka akan langsung dikabulkan
apabila kau berbuat kejam pada mereka. Satu .... Dua
....”
RUPANYA Nyi Kembar dan anak buahnya
pun akhirnya mendengar ancaman itu. Sehingga, ketika
Gumara sudah menghitung : “Tujuh ...
delapan ,..”, dia segera memberi isyarat pada anak
buahnya untuk segera kabur.
“... Sembilan ... sepuluh!”, seru
Gumara dan membalik cambuk lalu melecut Dasa Laksana
Buntung. Pendekar buntung itu
melolong kesakitan. Gumara melemparkan kembali pecut
cambuk itu pada Dasa Laksana.
Sehingga Agung Kifli bertanya : “Kenapa Guru kembalikan?”
“Itu senjatanya. Sebaiknya kita
jangan memakai senjata lawan”, ujar Gumara menjelaskan. Tak
lama kemudian, hanya gumpalan debu
yang beterbangan karena kuda-kuda pendekar bajingan
itu berlomba cepat meninggalkan
pedukuhan itu.
Setelah mereka pergi, Gumara berkata
pada rejama-remaja bertangan buntung itu : “Jangan
kecil hati karena tangan kalian yang
cacad. Juga jangan menganggap bersalah karena kalian
pernah ikut jadi anak buah Dasa
Laksana Buntung. Jangan! Semua pengalaman ada gunanya.
Asal tahu batasnya. Aku pernah
bermimpi, pada suatu malam kalian berkumpul di Lembah
Bidadari untuk memulai ilmu
Persilatan Sejati bersama Ki Pita Loka. Salahkah mimpi saya itu?”
“Mimpi itu betul, Guru!” ujar Caruk
Putih.
“Dalam mimpi itu, Ki Pita Loka
berkata, bahwa kalian semuanya kelak akan dikenal di kawasan
persilatan sebagai ENAM PENDEKAR
BUNTUNG. Salahkah mimpiku itu?”
“Mimpi anda betul, Tuan Guru!”
“Nah, kalau itu betul, apa yang sudah
kalian jalani selama ini adalah bagian dari
penggemblengan ilmu seperti yang
tertera dalam Kitab Tujuh. Tapi harus kalian ingat. Banyak
pendekar sesat sekarang ini, yang
menggunakan anak-anak semuda kalian. Seperti halnya Dasa
Laksana Buntung yang berdalih akan
mendapatkan Kitab Tuiuh dengan menggunakan kalian
sebagai tameng. Masih kalian ingat,
dulu pernah menyerbu dan bikin kacau di Kumayan? Nah,
sekarang aku ingin meluruskan jalan
kalian atas kesesatan yang dibuat oleh Dasa Laksana
Buntung. Mari ke Lembah Bidadari agar
kalian bisa kulatih melanjutkan latihan yang diberi oleh
Ki Pita Loka”.
“Di mana Ki Pita Loka sekarang ini,
Guru?”
“Aku tidak tahu. Yang pasti, dia
sedang memperdalam ilmunya. Tentu dia akan berjumpa suatu
kali dengan Nyi Kembar yang sudah
bergabung dengan Dasa Laksana Buntung”, ujar Guru
Gumara.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
42
Lalu berangkatlah anak-anak muda itu
mengikuti Guru Gumara menuju Lembah Bidadari untuk
mendapatkan gemblengan baru.
Setiba di Lembah Bidadari, Agung
Kifli bertanya pada Guru Gumara : “Tuan Guru, kenapa anda
tidak bergabung saja dengan Ki Pita
Loka?”
“Sulit sekali. Saudari sepupumu itu
seorang keras kepala. Dia tak sudi menyembuhkan penyakit
gila adik tiriku Harwati. Hanya
karena menduga-duga bahwa aku akan mencintai Harwati. Apa
masuk akal saudara sedarah bisa jadi
suami-istri?”
“Tapi kami dengar Tuan Guru memang
bukannya putra Ki Karat”, kata Agung Kifli.
“Darimana kau dengar?”
“Ketika kami diperkenalkan dengan Ki
Kembar. Aku menyebut nama Ki Pita Loka untuk
men”elaskan dia sebagai saudara
sepupuku. Lalu Dasa Laksana Buntung diberikan keterangan
oleh Ki Kembar bahwa anda, Tuan Guru
...maaf, anda dikatakannya bukan kakak-beradik dengan
Harwati. Malahan dia ramalkan anda
akan menjadi suami Ki Harwati. Mana yang benar?” tanya
Agung Kifli.
“Yang benar adalah Harwati mencintaiku.
la sulit melepaskan cintanya. la mencintaiku setengah
mati. Aku adalah titisan darah Ki
Karat. Dia pun titisan darah Ki Karat. Kalian sudah ditipu oleh
rangkaian cerita palsu. Untuk
membedakan yang benar dan yang palsu mudah saja. Kalian
pernah ikut dengan gerombolan setan
Dasa Laksana Buntung. Itu pengalaman hebat. Tapi
apakah pengalaman itu tak lebih dari
pengalaman merampok dan memperkosa wanita? Begitu
juga dengan Nyi Kembar, istri Ki
Kembar! Bukankah pendekar wanita ini menyukal berhubungan
dengan anak-anak lelaki berusia muda?
Ini suatu bukti bahwa ilmu Ki Kembar diwariskan secara
sesat. Semua pengikutnya sesat. Dan
karena itu semua ceritanya sesat dan palsu pula. la
sengaja menyebar kisah palsu
mengenaiku agar aku kawin dengan Hanwati dan tidak jadi
memperistri Pita Loka. Tahu kalian,
bahwa para pendekar sesat ketakutan apabila aku mengawini
Pita Loka kelak akan melahirkan bibit
turunan pendekar unggul? Itulah soalnya. Karena cerita
persilatan tidak akan musnah
dari,bumi ini. Begitu pun turunan darahnya, Demi guru-guru
terhormat sebelumku, ceritaku tak
bohong”, ujar Guru Gumara.
MENDENGAR penjelasan itu, Agung Kifli
maupun Caruk Putih terpana. Kedua anak remaja ini
sering membicarakan kisah segitiga
Guru Gumara, Ki Pita Loka maupun Ki Harwati.
Caruk Putih bertanya pada Guru Gumara
: “Jadi Ki Harwati tidak akan sembuh gilanya jika tidak
diobati oleh Ki Pita Loka?”
“Menurut Ki Jengger, salah seorang
dari Harimau Tujuh memang begitulah. Sedangkan benda
sakti pengobatnya adalah Intan
Solaiman Permata Hijau. Ketika Pita Loka menolak mengobati
kegilaan Harwati, dia buktikan
penolakan itu dengan membuang intan sakti itu. Ke udara!”
“Alangkah sayangnya”, ujar Caruk
Putih.
“Tapi itu tak bisa disalahkan.
Peperangan ada dua macam. Peperangan dengan senjata. Dan
peperangan dengan mulut, yaitu
fitnah. Kadangkala peperangan dengan fitnah ini justru bisa
membunuh. Dia mempengaruhi akal
manusia, sehingga kawan pun jadi lawan. Ki Kembar sudah
mewarisi perang fitnah ini turun
temurun. Mungkin yang terkena pengaruh kisah fitnah itu adalah
Pita Loka sendiri. Sehingga dia yakin
aku ini bukan anak Ki Karat dan bisa kawin dengan Harwati.
Maka dia buang intan sakti yang bisa
menyembuhkan orang gila”.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
43
“Kalau begitu bukankah Ki Pita Loka
bisa diluruskan? Tangkap dia, lalu paksa dia!” kata Caruk
Putih. Anjuran anak remaja itu
membuat Guru Gumara tertawa kecil.
“Tujuh Harimau harus bersatu! Saya
sendiri mendengar bisik-bisik Nyi Kembar dengan anak
buahnya beberapa hari yang lalu.
Bahwa anda, Guru Gumara adalah salah seorang dari Tujuh
Harimau. Dia juga mengatakan, Ki Pita
Loka lawan berat. Karena dia pewaris dari salah sebrang
Harimau Tujuh. Kalau Ki Pita Loka
menolak anda, itu berarti dia belum lagi afdol untuk disebut
salah satu Harimau Tujuh, bukan?
Bukan?”
“Dalam dunia persilatan, semua
kemungkinan adalah mungkin. Tapi mungkin juga, dia masih
dalam alam penggemblengan ilmu yang
lebih tinggi. Memang usulmu baik. Enam harimau
bersatu untuk menjinakkan Ki Pita
Loka. Itu usul hebat. Tapi mungkin Pita Loka punya jalan
sendiri karena dalam penggemblengan”,
kata Guru Gumara.
“Lalu tuan tentu tahu, dimana Ki Pita
Loka sekarang ini”, ujar Agung Kifli.
“Karena kamu mendesak untuk saya
jawab, akan saya Jawab sekarang: Dia sekarang berada
dalam bimbingan Ki Ca Hya, salah
seorang pendekar Harimau yang melawan musuhnya cuma
dengan cahaya!”
Anak-anak remaja itu tercengang.
Caruk Putih bertanya:
“Tuan Guru tidak memiliki ilmu itu?
Bisa kami diberi?”
“Itu ilmu tertinggi. Bahkan perang
dijaman moderen ini kelak bukan lagi menggunakan peluru.
Tapi perang cahaya”, ujar Guru
Gumara.
“Ki Pita Loka sekarang ini di
pedukuhan Ki Ca Hya?” tanya Agung Kifli dengan penuh semangat.
Guru Gumara memejamkan mata sejenak.
Dalam berpejam mata itu seakan-akan dia melihat
suatu kejadian dahsyat.
“Suatu kejadian dahsyat yang sulit
kuceritakan”, ujar Gumara. Kejadian dahsyat itu memanglah
sedang terjadi. Rupanya, Ki Putih
Kelabu menyuruh muridnya, Dasa Laksana, pulang ke
Kumayan naik kuda. Karena Ki Putih
Kelabu ingin menetap sementara di pedukuhan Ki Ca Hya
menanti kembalinya puteri beliau
tercinta, Pita Loka.
Tapi Dasa Laksana singgah dulu di
desa Meranti. Dia berharap bertemu dengan Harwati. Namun
desa Meranti yang penduduknya cuma 97
orang itu sedang mengalami malapetaka. Dasa
Laksana buntung bersama Nyi Kembar
sudah membantai 41 orang. Sedangkan Harwati cuma
berdiam diri saja, malahan dia
seperti tak punya perasaan, tidur mengaeletak, mendengar jerit
pekik penduduk yang panik itu.
Malahan dia tertawa sembari tiduran,
Ketika rumah nenek tua digeledah Nyi Kembar, lalu nenek
tua itu berteriak, barulah Harwati
dengan cekatan mengambil dua pedang Surandar dan
menghambur menghantam pinggang Nyi
Kembar. Dia mengamuk dahsyat. Nyi Kembar jungkir
balik sekeluar dari rumah. Harwati
mengejarnya dengan teriakan mengerikan. Dasa Laksana
Buntung mencegatnya. Cambuknya
menangkis pedang Surandar, dan membelit di gagang
pedang itu, dan dengan mudah membuat
Harwati terjungkir, Namun pedang itu tidak lepas,
sekali lagi dia harus hadapi dua
kepungan pendekar setan.
Harwati menjerit lantang sebelum dua
pedang diarahkan ke pada dua kepala lawan. Tetapi lawan
sudah menghambur ke udara. Harwati
menekankan pedang ke bumi, dan menyusul lawan ke
Grafity, http://admingroup.vndv.com
44
udara. Di udara dia terkena tubrukan
dan jatuh ke bumi, Begitu dahsyat jatuhnya sampai
tubuhnya memblesek masuk tanah hingga
dengkulnya.
Dan dia tak bisa berkutik dengan
pedangnya. Dua kali pedang itu dia tetakkan ke bumi, baru
kemudian tubuhnya keluar bagai air
muncrat bersama muncratnya tanah!
KETIKA itu keadaan Harwati tetap saja
sulit. Rupanya Dasa Laksana Buntung maupun Nyi
Kembar menginginkan pedang Surandar
yang sakti itu. Berkali-kali terjadi pergulatan di udara
dengan kemampuan ilmu masing-masing.
Yang beruntung adalah Nyi Kembar.
Dengan menipu Harwati agar lebih lama lagi bertempur di
udara, waktu Dasa Laksana Buntung
gagal merebut pedang, Nyi Kembarlah yang merebutnya.
Dia jatuh di bumi menanti jatuhnya
Harwati yang sudah siap akan ditebasnya. Namun ketika dia
akan ditebas sebuah keajaiban timbul.
Seekor kuda menyeruduk dan seorang pendekar muda
loncat dari kuda dan merebut pedang
di tangan Nyi Kembar.
Dasa Laksana Buntung berseru: “Hai,
dia muridku!”
Dasa Laksana menjawab: “Anda pendekar
buntung yang keji! Aku bukan muridmu Aku
musuhmu!”
“Pengkhianat!” teriak Dasa Laksana
Buntung yang melompati tubuh Dasa Laksana. Dasa Laksana
tanpa ragu menebas pedang Surandar
ditangannya. Si buntung berlumuran darah, dan ketika ia
berusaha mundur untuk lari, satu
tebasan lagi muncul dari belakang, kali ini dari Harwati.
Dasa Laksana Buntung tersungkur. Dia
sempat memaki: “Kamu mcngkhianati diriku”.
“Kamu mengotori kesucian persilatan!”
bantah Dasa Laksana, yang dengan cekatan berbalik
menguakkan kaki menangkis terjangan
Nyi Kembar.
Dasa Laksana yang buntung, yang
hampir sekarat, masih juga berusaha menangkap kaki Dasa
Laksana muda... dan pendekar muda ini
tersungkur lalu kepalanya ditendang oleh Nyi Kembar.
Tendangan itu jadi tidak ampuh sebab
pung gung Nyi Kembar dihantam pedang Surandar di
tangan Harwati. Dasa Laksana bangkit.
Dia melibat Dasa Laksana Buntung masih berusaha
berdiri, ialu disabetnya pedang itu
tepat mengenai leher. Kepala si buntung itu terpisah dari
badan, dan kepala itu menggelinding.
Harwati tertawa terbahak. Tapi Nyi
Kembar menyergap lengannya ketika itu, dan pedang
Surandar lepas karena cengkeraman
tadi. Dasa Laksana, sang pendekar muda yang berubah
beringas, menghantamkan pedangnya
pada Nyi Kembar, Pedang beradu pedang. Tapi Dasa
Laksana ingat keampuhan pedang itu,
Ialu dia tetakkan ke bumi, sehingga ketika Nyi Kembar
mengayunkan pedang mau menebas, Dasa Laksana
sudah mengudara. Ketika Nyi Kembar mau
menetakkan pedang ke bumi, sebuah
sergapan kepak bangau menerpa bahunya, sehingga Nyi
Kembar tersungkur, jumpalitan,
menabrak pohon rambutan dan pohon itu roboh bercerabut
bersama akarnya.
Makin seru terkena sergapan begitu,
semakin tangguh tenaga dalam Nyi Kembar. Tiba-tiba saja
muncul tiga pendekar lagi. Dua orang
Ki Kembar yang sudah mati, dan satu lagi Nyi Kembar
yang sudah mati!
Nyi Kembar dibantu oleh tiga sosok
roh halus! Nyi Kembar berteriak pada Harwati dan Dasa
Laksana: “Nyawa kalian tinggal
sejengkal. Serahkan pedang kembar Surandar itu! Itu milikku
yang syah, yang dirampas oleh Ki
Tunggal Surya Mulih!”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
45
“Kau berdusta”, ujar Harwati. Dasa
Laksana yang tadi sangat buas, kelihatan mulai bergidik.
Harwati juga kebingungan menghadapi
tambahan tiga sosok roh halus yang menjelma menjadi
raga mengerikan.
“Kalian berdua sudah diambang
kematian”, ancam Nyi Kembar, “Ilmuku dibantu oleh ruh
suamiku dan ruh saudara kembarku beserta
suaminya. Kini serahkan pedang Surandar itu
sebelum kalian mati konyo!”.
“Jangan!” tiba-tiba muncul suara dari
semak-semak.
Dan muncullah Pita Loka dengan sebuah
cambuk ditangannya. Ketika Nyi Kembar melompat,
sebelum melompat bahkan Pita Loka
sudah tahu bahwa dia akan menyerang Harwati. Cambuk
asap itu menciptakan asap seketika
itu juga, sebelum Nyi Kembar sampai ke sasaran, dan
Harwati sudah mengelak ke samping
sehingga Nyi Kembar tersungkur mencium tanah.
Langsung saja tiga kali cambukan asap
diarahkan Pita Loka pada tiga ruh pendekar setan, maka
terdengarlah teriakan disertai api
yang mengudara. Di udara tampak tiga bola api mengerikan,
semakin jauh dan semakin jauh. Nyi
Kembar tahu, bantuan ruh sudah gagal, dan dia buru-buru
melarikan diri memasuki semak dan
menemukan pasukannya di sana . Tak lama kemudian Nyi
Kembar sudah melarikan diri bersama
anak buahnya meninggalkan lembah itu. Bunyi telapak
kaki kuda semakin menjauh dan
menjauh.
Dasa Laksana, yang merasa berhutang
budi, menghampiri Pita Loka. Harwati melirik, lalu
meludah.
“Kepandaian anda melebihi Guru”, ujar
Dasa Laksana.
Mendadak sebuah terjangan menghantam
dada Pita Loka. Tapi Pita Loka cuma berdiri tegap, dan
Harwati yang menendang malah jungkir balik
ke belakang. Dasa Laksana heran dan berseru:
“Jangan turutkan hawa nafsu anda!”
Kini Harwati menerjang Dasa Laksana
dan merebut kembali pedangnya.
HARWATI sudah berdiri tegap dengan
dua pedang Surandar. Pita Loka masih berdiri saja
memegang cambuk asapnya. Dasa Laksana
kebingungan. Juga kuatir jika dua pendekar wanita
itu akan bertempur.
“Kuharap kalian berdua dapat menahan
diri”, kata Dasa Laksana. Perkataan itu dijawab Harwati
dengan mengadu dua mata pedang
Surandar yang menerbitkan kilatan api ketika pedang itu
bergerincing satu dengan lainnya.
Harwati ragu, pedangnya yang dia adu
satu sama lain kemudian dia kembangkan keatas dan
berteriak: “Aku tidak gila!”
“Kau memang tidak gila”, ujar Dasa
Laksana, “Kau cuma tidak bisa menggunakan akalmu”.
Hanya Pita Loka yang masih berdiam
diri. Batinnya kasihan melihat tingkah dan perkataan
Harwati. Dia tergoda untuk merubah
sikap. Dia ingat, bahwa alat penyembuh sakit gila Harwati
hanyalah Permata Hijau Solaiman. Tapi
permata itu sudah dia buang ke udara dulu.
“Harwati, aku akan menyembuhkanmu.
Tapi jangan ganggu perjalananku”, kata Pita Loka.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
46
“Aku akan ikut anda, Pita Loka!” ujar
Dasa Laksana.
“Tidak. Kau jagalah Harwati. Dia
perlu dikasihani!”
“Aku tak perlu dijaga! Aku tak perlu
dikasihanil” kata Harwati dan melihat Pita Loka berlalu.
Dengan beringas Harwati menatap ke
mata dua pedangnya.
Dan dengan sekuat tenaga dia
hantamkan dua mata pedangnva ke bumi. Dia mengudara, lalu
tiba lagi di bumi dalam keadaan
mencegat langkah Pita Loka.
Pita Loka tenang dengan cambuk
ditangannya. Lalu Dasa Laksana melompat cepat. Dia berdiri di
tengah-tengah. Dia berhadapan dengan
Harwati, lalu berhadapan lagi dengan Pita Loka. Kepada
Pita Loka dia berkata: “Cepatlah cari
obat penyembuh pendekar gila ini”.
Mendengar itu, dalam sekelebatan dua
kali hantaman pedang Surandar menggebuk punggung
Dasa Laksana, yang mengaum dua kali
terkena gebukan itu. Auman itu mirip auman harimau.
Hal ini membuat Harwati heran karena
pedangnya tak mempan.
Padahal, pada detik itu di pedukuhan
Ki Ca Hya, Ki Putih Kelabu juga mengaum dua kali karena
merasa terkena gebukan. Ki Ca Hya
berkata: “Murid anda tersungkur, namun tidak luka dan
mati”. Dan memanglah Dasa Laksana
tidak luka dan tidak mati. Tapi dia pingsan! Harwati sendiri
malah mengira pendekar muda itu mati.
Dia bertutut dan menangis: “Aku tak
bermaksud untuk membunuhmu...”, lalu dia menoleh lagi
mau melihat Pita Loka, tetapi Pita
Loka sudah tidak ada lagi.
“Kau tidak mati, kan ?” ujar Harwati
ketika tubuh Dasa Laksana ditelentangkannya.
“Hei, kau tidak mati kan ?”
“Aku masih hidup”, ujar Dasa Laksana,
seraya berdiri.
“Aku tidak gila, bukan?”
“Kau tidak gila. Kau begini cantik.
Kau dapat menjadi pendekar yang waras asal saja kau sudi
menyisiri rambutmu”, kata Dasa
Laksana.
Dengan mengucapkan kata-kata itu,
sebetulnya Dasa Laksana bukanlah jatuh cinta. Jatuh
cintanya pertama kali hanya kepada
Pita Loka, ketika dia melihat vvajah yang begitu jelita, sesuai
dengan yang diceritakan oleh guru
pertamanya yang kini sudah mati terbunuh.
Lalu dia menoleh kepada gurunya yang
menganut ilmu sesat itu. Punggung itu terbelah. Dan
kepalanya sudah tidak bersatu lagi
dengan lehernya. Dasa Laksana terharu sejenak saja, agar
tidak tergelincir pada sifat cengeng.
“Maukah kau membantuku?” tanya Dasa
Laksana pada Harwati.
“Untuk anda sebagai pujaan hati saya,
saya akan siap sedia”.
“Bantu aku menguburkan puluhan mayat
tak berdosa ini. Juga mayat bekas guruku yang
pertama”, ujar Dasa Laksana.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
47
Dan bersama penduduk desa Meranti,
dikuburlah 41 mayat penduduk dan juga mayat Dasa
Laksana Buntung. Saat 41 mayat
penduduk dimakamkan, tangis dan ratap kedengaran.
Sehabis pemakaman, nenek tertua
berkata: “Biarpun 41 jiwa sudah melayang, sebagai orang
tertua saya mengucapkan syukur pada
Tuhan dan kalian berdua. Kukira, orang jahat akan masih
mengganggu ketentraman orang baik
seperti kami. Kalian berdua orang baik. Apa salahnya
kalian berdua tinggal bermukim di
desa kami ini. Sebagai suami isteri. Menyambung keturunan.
Sebagai pengawal hati kami agar kami
tidak dikejar rasa takut”.
Harwati memandang pada Dasa Laksana.
Dia berharap senyum. Dia berharap Dasa Laksana
menjawab harapan penduduk desa
Meranti itu.
TAPI lain yang diharap, lain pula
kenyataan. Dasa Laksana berbicara sangat hati-hati: “Kalau
memang sudah jodoh, tentu harapan
Nenek menjadi kenvataan. Tetapi kami berdua sama-sama
pendekar. Kami berdua ibarat
bersaudara. Saya sendiri masih akan meneruskan perjalanan.
Sebab Guru saya, Ki Putih Kelabu,
memberi amanah agar saya kembali ke Kumayan. Kebetulan
memang saya akan mampir ke Meranti
sini, menengok keadaan dia apakah sehat. Rupanya
terjadi malapetaka. Sehingga saya
terlibat”.
“Jadi anda menolak permintaan Nenek?”
tanya Harwati.
“Saya hanya menjelaskan adanya saya
di sini”, kata Dasa Laksana.
“Kalau kau tidak cinta pada saya,
kenapa tidak berterus terang saja? Saya malu! Saya malu!”
Pertemuan yang mestinya terjaga oleh
keluhuran budi itu, lantas jadi berubah kacau. Harwati
meloncat ke tengah-tengah upacara itu
dengan membabi buta lalu mengacu-acukan dua pedang
Surandarnya. Dan berteriak
berkali-kali: “Aku benci padamu! Aku jijik padamu! Aku benci! Benci!
Benciiii!”
Dasa Laksana menghadap! hal ini
dengan tenang. Dia mendekati kudanya. Lalu memegang tali
kendali kuda itu, menuntunnya dan
berkata pada orang sedesa: “Maafkan saya. Karena saya
sekedar singgah. Selamat tinggal”.
Harwati geram, Dua pedang Surandar
ditangannya, seakan siap akan menebas kepala Dasa
Laksana. Dengan teriak lantang dia
ayunkan pedang itu ke kepala Dasa Laksana. Pedang itu
membal disertai suara aum harimau
yang keluar dari mulut Dasa Laksana.
Dasa Laksana tersungkur, Serentak
dengan itu, di pedukuhan Ki Ca Hya, Ki Putih Kelabu pun
tersungkur.
Dan Harwati semakin mengamuk! Dia
tetakkan pedang Surandar ke bumi, dan tubuhnya
menghambur ke udara bersama
pedangnya. Di udara dia mengadu dua mata pedangnya,
tampak cahaya api berkilat-kilat.
“Jika kamu pergi juga, nyawamu akan
melayang”.
“Aku memikul amanat guruku. Pendekar
takkan berubah pendirian”, kata Dasa Laksana. Bagai
kilat pedang Surandar dua-duanya akan
memenggal leher Dasa Laksana, yang segera
menundukkan kepala menghindari.
Tetapi, ketika itu pedang itu tetap memenggal leher, dan
leher itu putus... yaitu leher kuda
itu.
Tubuh kuda itu menggelepar ketika
leher itu putus. Dasa Laksana ingat pesan guru agar
Grafity, http://admingroup.vndv.com
48
menjaga nafsu amarah. Dia tekan rasa
dongkolnya, lain cepat menghambur melarikan diri
meninggalkan desa Meranti.
Dia terus berlari kencang menerobos
semak belukar, mengibas penghalang, kadangkala jatuh
jumpalitan. Namun dia merasa harus
lari dan harus lari. Makin jauh larinya, semakin kuat
tenaganya, kadang diseling oleh
tenaga dalam ketika dia menerjang pohon besar dan pohon itu
roboh.
Dalam pelarian itu, Dasa Laksana
mendadak berhenti, karena merasa tersesat. Dia mendengar
dua orang sedang berbicara. Satu
suara wanita, satu lagi suara pria.
“Ki Jengger. Saya ke sini untuk
meminta maaf karena saya pernah menghina hadiah sakti dari
anda. Tuan tentu berkecil hati karena
Intan Permata Hijau yang dapat menyembuhkan orang gila
itu saya buang”.
“Ananda Pita Loka jangan mengira itu
hadiah dari saya. Sesuai pesan Ki Tunggal Surya Mulih
sebelum matinya, barang sakti itu
memang milik anda,Anda membuangnya, itu hak anda!”
“Tapi Ki Jenger. Saya minta bantuan
anda untuk mencarinya!”
“Itu milik anda, anakku. Anda harus
mencarinya sendiri”. Lalu Ki Jengger bertanya: “Untuk apa
bagimu barang sakti itu lagi?”
“Untuk menyembuhkan Harwati”, kata
Pita Loka.
“Suatu niat yang luhur. Nah, silahkan
anda cari sendiri”, kata Ki Jengger.
“Saya sudah mencarinya di Tujuh Bukit
Sakti. Mungkin ia ada di sini”, kata Pita Loka.
“Sudah pasti tidak. Tidak di sini”,
kata Ki Jengger.
Pita Loka menarik nafas panjang. Dia
lalu menghatur sembah dan berlalu dari situ. Tiba-tiba
Dasa Laksana membuntutinya dari
belakang. Dasa Laksana berusaha mengejar lebih cepat,
namun sulit. Di tengah hutan
belantara barulah dia berhasil mencegat. Pita Loka heran: “Kenapa
anda di sini?”
“Untuk mengawal tuan. Saya kuatir
tuan dihalangi musuh. Ini sesuai dengan pesan ayahanda
tuan. Bahwa saya akan mendampingi
anda, sebab beliau berkeinginan kita berdua melanjutkan
keturunan beliau”.
Mata Pita Loka melotot. Dia berkata:
“Tidak kau lihat mataku cuma satu? Tak sadar kau bahwa
aku buta?”
MEMANG jika dilihat dengan sebelah
mata, tubuh Dasa Laksana gagah dan tegap sekali.
Ketegapan itu memang mirip Gumara.
Pita Loka lalu berkata dengan nada kasihan: “Aku hormati
kemauan kerasmu untuk mengawalku.
Tapi saya sekarang tidak membutuhkan pengawalanmu”.
“Anda memang keras hati”, kata Dasa
Laksana.
“Dunia kita sama. Mungkin ilmu kita
sumbernya sama. Tapi jalan kita berbeda”, ujar Pita Loka.
“Apa arti hidup ini bagi anda?
Pengasingan?” tanya Dasa Laksana.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
49
“Pengasingan atau bukan, itu urusanku
sendiri!”
“Tapi jawablah: Apa arti hidup ini
bagi anda? Jawablah!” Pita Loka melirik, lagi-lagi dia kasihan
melihat pendekar tegap dan gagah
sepertinya manusia lugu.
“Arti hidup ini bagi saya adalah
menyesuaikan gerak dengan hati. Dan menyesuaikan ucapan
dengan hati”, ujar Pita Loka.
“Sungguh tinggi ilmu anda”, kata Dasa
Laksana.
“Tidak ada ilmu yang tinggi bagi
siapa yang ingin menuntut ilmu. Tapi kamu sudah mencoba
mengalami, sebagaimana semua pendekar
mencoba mengalami. Sebaiknya kamu renungi”.
“Saya sudah merenungi. Keluh kesah
ayah anda, Ki Putih Kelabu tentang diri anda, pun sudah
saya dengar. Saya tambah tidak
mengerti, mengapa anda seperti orang yang mengasingkan diri?
Saya ingin mengawal anda, menemani,
membantu anda dalam keadaan bagaimanapun! Tapi
anda menghindar. Apakah anda merasa
saya ini lebih rendah?”
“Tak ada yang rendah dan tak ada yang
tinggi”, kata Pita Loka. Dasa Laksana merasa diberi
harapan. Lalu berkata: “Nah. semua
sudah sesuai”.
“Sesuai? Sesuai berarti berimbang!”
bantah Pita Loka.
“Maksud anda saya tidak dapat
mengimbangi anda?” tanya Dasa Laksana.
“Kamu salah faham. Yang saya maksud
seimbang adalah apabila apa yang dihati kamu, ada
dalam hati saya. Apa yang ada dihati
saya, ada dihati kamu? Nah kalau belum faham juga apa
yang ada dihati kamu, tidak ada dihati
saya. Mengerti kau?”
Mendengar itu Dasa Laksana
terperangah. Tapi dia juga bukan pendekar sembarangan. Karena
ketabahannya dan keras hati dia
bertekuk lutut, berguru pada Ki Putih Kelabu.
“Sebelum ayahanda tuan — Ki Putih
Kelabu — memberi bayangan bahwa saya digemblengnya
untuk menjadi menantunya, saya
sendiri sudah jatuh cinta pada tuan, pendekar Pita Loka yang
terhormat!”
“Cinta?” Pita Loka tersenyum geli.
“Ya”.
“Kamu mencintai saya?”
“Ya, saya mencintaimu, Pita Loka!”
“Apa kamu tidak salah alamat?”
“Tidak salah alamat, pendekar! “
“Mungkin salah...” Dasa Laksana
justru tambah bersemangat: “Jika Guru sudah memberikan
fatwa bahwa anaknya akan
dijodohkannya kepadaku, apa itu salah alamat?”
Pita Loka tertawa runyam. Lalu
berkata: “Darimana ayahku Ki putih Kelabu dapat menerka masa
depanku sedangkan beliau bukan ahli
ramal?”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
50
“Dari Kitab Tujuh”, ujar Dasa
Laksana.
“Apa kata ramalan itu?”
“Saya hanya diberi kesempatan membaca
sebagian. Dan disitu saya baca, satu kalimat samarsamar,
bahwa pendekar tempat menyan menyebar
bau sa”at matahari terbenam yang
janggutnya putih kelabu, suatu saat
akan mendapatkan puteri yang berguru pada ahli silsilah dan
sejarah, dan calon suaminya adalah
pendatang dari negeri jauh. Bukankah saya ini pendatang?”
“Pendatang itu ada dua. Sebagaimana
Kitab Tujuh pun ada dua, yang satu palsu. Pendatang
pertama adalah guru saya, Guru
Gumara, dan pendatang lainnya adalah kamu.Kamu tinggal
terka saja, hati saya pada kamu atau
pada Guru Gumara”.
Dasa Laksana terperanjak. Dia jadi
gugup. Dia heran dan bertanya: “Jadi anda masih mencintai
Gumara?”
“Cinta saya cuma satu kali”, kata
Pita Loka.
“Jika Guru Gumara tidak mencintai
anda?”
“Cinta saya tetap satu kali” kata
Pita Loka tegas.
“Itukah sebabnya anda tak membutuhkan
bantuan saya?”
“Sudah kamu jawab sendiri, bukan?
Nah, jangan buntuti saya lagi”, ujar Pita Loka yang dengan
lugas melangkah meninggalkan Dasa
Laksana.
Buyarlah perasaan dan pikiran Dasa
Laksana seketika itu juga. Dia yang dinilai jujur oleh
gurunya, mendadak ingin membelot.
TETAPI andaikata membelot ini dia
lakukan, ini berarti dia mengkhianati Guru. Pembelotan
adalah perbuatan keji. Yang terbaik
adalah menanam budi. Lalu dia putuskan akan membuntuti
terus perjalanan Pita Loka, kemana
pun!
Ketika perjalanan Pita Loka sampai ke
pancuran Guha Duri, terbitlah perasaan birahi Dasa
Laksana. Tapi lalu budi suci seorang
pendekar menerangi otaknya, dan segera dibuangnya muka
sewaktu Pita Loka menanggalkan
pakaian. Memang ada kolam yang membuat Pita Loka
menikmati air yang bersih itu santai
berenang. Sehingga ia lupa bahwa senjatanya, cambuk
asap, ditaruh begitu saja di atas
daunan pohon kaca piring.
Hati Dasa Laksana tergoda seketika.
Dia sudah lolos membuang muka agar ilmunya tak kotor,
tapi kini dia terperangkap lagi untuk
mencuri senjata sakti itu.
Untunglah sinar kesucian pendekar
menerangi lagi otaknya. Kemudian dia telungkupkan
tubuhnya diantara rumputan. Sampai
tak sadar, karena lelah, dia ketiduran.
Setelah Pita Loka berpakaian kembali,
dia merasa haus senja itu. Dia panjat pohon kelapa. Dia
ambil sebutir kelapa hijau. Lalu
dipukulkannya sisi telapak tangannya hingga kelapa itu terbelah.
Diminumnya airnya dan dinikmatinya
dagingnya.
Belahan kelapa itu kemudian dia buang
ke satu tempat. Dari tempat itu tampak sosok berdiri.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
51
“Hai, kau lagi!” seru Pita Loka
seraya ketawa.
“Aku membuntutimu”.
“O, apa kau tak punya pekerjaan
lain?”
“Memang ada pekerjaan lain. Tapi aku
kuatir anda diganggu dan membutuhkan bantuan”.
“Hah, sudahlah. Kau kerjakan
pekerjaan lain saja. Percuma kau buntuti aku terus”.
“Aku mencintai anda, Pendekar
Cantik”.
“Kau harus menyebutku Pendekar Buta”
“Biarpun anda buta dua-duanya, anda
tetap cantik!” ujar Dasa Laksana.
“Harusnya kau berteman dengan
Harwati. Sama-sama gilanya”, ujar Pita Loka.
Ditatapnya mata Dasa Laksana dengan
tatapan tegas lalu berkata; “Jangan kau buntuti
perjalananku lagi”.
Dasa Laksana gemetar. Dia berdiri
kaku kayak patung. Terpelongo sementara itu Pita Loka
melecutkan cambuknya. Asap menebar ke
sekeliling. Dan tidak tampak lagi kemana arah
perginya Pita Loka dimata Dasa
Laksana.
Kali ini Dasa Laksana terhempas. Dia
tidak putus asa, karena sikap putus asa adalah
pantangannya para pendekar. Dia kesal
dan jengkel. Karena itu dia terjang sebuah pohon jambu
mete yang rendah sehingga tumbang.
Dia belum puas lagi! Dia seruduk sebuah pohon karangani
yang berdaun lebat dan batangnya
ramping, Pohon itu roboh pula! Lalu karena kejengkelannya
belum habis, dia melakukan jurus
putar gasing sehingga semua pohonan kecil rebah dan roboh,
sedang yang ditujunya sasaran
terakhir adalah pohon pucung yang tinggi tegap itu: Bagai
harimau melompat mau menerjang
sasaran, Dasa Laksana mendaratnya serentak telapak kaki
maupun telapak tangannya.
Jelengurrr.... Pohon pucung itu
tumbang dengan akarnya tercerabut, bagai runtuhnya sebuah
tebing.
Tubuh Dasa Laksana sendiri terlempar
ke pucuk pohon pucung itu yang sudah mencium tanah.
Diantara daun-daunan pucuk yang agak
rimbun itu, tubuh Dasa Laksana tergeletak. Tergeletak
tak bergerak lagi. Ya, dia bukannya
mati. Tapi dia pingsan. Begitu meluap jengkelnya, sehingga
tenaga yang merobohkan pohon pucung
itu adalah puncak tenaga dari seluruh ilmu silat yang
dimilikinya. Tak lama kemudian, hujan
pun turun. Barulah Dasa Laksana sadar dari pingsannya
terkena hujan yang membasahi
tubuhnya. Tapi dia tidak menyingkir. Dia tergeletak
menelentang, dengan kedua tangan
melebar dan membiarkan tubuhnya basah kuyup
bermandikan hujan.
Setelah puas, baru dia berdiri. Dia
melangkah sempoyongan di tengah hujan lebat itu. Dia terus
melangkah tanpa peduli kearah timur.
Dia tembus hutan belantara yang lebat dalam hujan yang
lebat. Anehnya, binatang-binatang
buas bukan menerkamnya. Mereka malahan menyingkir
seakan-akan melihat “raja hutan”
sedang lewat basah kuyup.
Kemudian sampailah Dasa Laksana dalam
keadaan masih basah kuyup itu ke sebuah gerbang
desa. Gerbang itu putih bersih. Ini
pertanda bahwa desa ini dimukimi oleh orang baik-balk. la
Grafity, http://admingroup.vndv.com
52
melangkah terus, kemudian berteduh di
sebuah warung. Dibukanya cincin emasnya, dan dia
berkata pada penjaga warung: “Ini
kekayaanku. Tukarkan dengan makanan dan minuman tuak”.
CINCIN emas yang diberikan Dasa
Laksana itu ditolak. Ujar penjaga warung itu: “Kami di desa ini
tidak biasa menambah kesusahan orang
yang menderita”.
“Apa nama desa ini?” tanya Dasa
Laksana.
“Desa Tulus, tuan. Apa tuan pendekar
pengembara?” tanya penjaga warung itu.
“Ya. Saya sedang melacak jejak
seorang pendekar”.
“Pendekar jahat?” tanya penjaga
warung. la menuangkan tuak ke mangkuk batok kelapa yang
berukir. Dasa Laksana menenggak
minuman itu, lalu menjawab: “Dia pendekar baik. Seorang
gadis cantik dengan senjata cambuk”.
“O, dia itu. Saya melihatnya memasuki
Biara Putih”, ujarnya. Mendengar ujar itu, Dasa Laksana
tak jadi meneguk lagi.
“Engkau yakin?”
“Saya yakin. Karena kami disini
mengenalnya”, kata penjaga warung itu.
“Kalau kau memang mengenalnya, coba
sebutkan namanya”.
“Pendekar Pita Loka”, sahutnya. Lega rasanya
dada Dasa Laksana. Kalaulah dia tidak lapar dan
haus, kalaulah tidak pula hujan
lebat, mau rasanya dia ke Biara Putih itu.
Setelah menenggak tuak semangkok
lagi, dia bertanya:
“Siapa Ketua desa ini?”
“ Rama Yogi”, sahut orang itu.
“Nama itu pernah kudengar dari
Guruku. Beliau ahli tenaga dalam. Beliau menguasai ilmu Silat
Delapan Bayangan. Betul dia?” tanya
Dasa Laksana.
“Tuan betul. Tapi sekarang ini beliau
masih mati suri”.
“Mati suri?” Dasa Laksana ternganga.
Karena mati suri adalah bagian dari kelanjutan persilatan
tingkat tinggi. Artinya, seorang
pendekar yang baik akan selalu mengalaminya dan ketika setelah
mengalaminya seluruh gerak dan jurus
persilatannya hanyalah “diam”.
“Kalau begitu aku akan makan dan
menghabiskan minumanku dulu”, ujar Dasa Laksana, yang
langsung makan lahap dengan diseling
minum tuak. Dia kemudian sudah memasuki Biara Putih
itu. Sepi sekali. Cuma seorang pemuda
remaja berkepala botak yang menyambutnya.
“Tuan ingin menemui siapa?” tanya si
botak.
“Saya akan menemui tamu yang
menjenguk Ketua”, Kata Dasa Laksana.
“Maksud tuan menemui Pendekar Pita
Loka?” tanya si botak.
“Betul”.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
53
“Sayang beliau tidak dapat ditemui.
Beliau sedang bersemedhi, mengobati Ketua kami agar
segera hidup kembali.Maksud saya,
sadar dari mati surinya”.
“Lho, pendekar itu bisa mengobati?”
tanya Dasa Laksana.
“Dia sekedar mencoba mengobati.
Dengan arus tenaga dalamnya yang di pindahkan. Tiap beliau
lewat disini, usaha itu selalu
dicobanya”, kata si botak.
Makin jelas bagi Dasa Laksana, bahwa
ilmu Pita Loka sudah begitu tinggi. Kobaran asmara
semakin membakar diri pendekar muda
itu. Oleh gejolak itu pulalah dia masuk sewaktu si botak
berlalu. Dia masuk saja. Tapi rupanya
konsentrasi Pita Loka sudah demikian hebat, sehingga dia
tidak mendengar sedikitpun langkah
masuknya Dasa Laksana,
Dasa Laksana duduk bersila dibelakang
pendekar wanita itu. Mendadak sontak, perhatian Dasa
Laksana bercabang. Telinganya yang
tajam mendengar suara geduru telapak kaki kuda. Dia
tempelkan daun telinganya ke lantai
marmer ruangan itu. Makin jelas!
Mata Dasa Laksana segera terbumbuk
pada cambuk sakti yang ditaruh dilantai, diujung dengkul
Pita Loka.
Segera dia samber cambuk itu. Dia
menghambur meninggalkan ruangan itu, dan langsung keluar
Biara!
Konsentrasi Pita Loka secemilpun tak
berubah! Dasa Laksana meredakan penduduk desa yang
mulai kacau balau. Mereka mulai
menjerit ketakutan setelah mendengar suara teriak-teriak
pasukan penyerbu berkuda yang sudah
diambang pintu desa.
Melihat senjata kayu bulat sejenis
toya yang diacu-acukan pasukan berkuda itu, Dasa Laksana
tahu, ini adalah gerombolan pendekar
setan yang dipimpin oleh Nyi Kembar! Pasti!
Pasukan itu tak berani melewati pintu
gerbang setelah Dasa Laksana melecutkan cambuk sakti
ditangan kanannya. Asap mengepul. Dan
Dasa Laksana mengancam: “Ini baru senjatanya yang
menghadang kalian. Belum lagi
orangnya. Sebaiknya kalian pergi”.
“Bunuh dia!” teriak Nyi Kembar dari
atas kudanya,
“Rebut senjatanya”.
Lima pendekar setan dengan tongkat
bulat langsung meloncat mengepung Dasa Laksana. Dasa
Laksana menggunakan
tangkisan-tangkisan, dan sekali-sekali melecut cambuk dan asap pun
mengepul. Namun dia kuwalahan.
DASA LAKSANA tambah terdesak. Dalam
keadaan terdesak itu, satu sabetan toya dari atas kuda
tepat mengenai siku tangan kanan Dasa
sehingga cambuk sakti itu terlepas. Begitu melihat
cambuk itu terlepas, Nyi Kembar
meloncat dari punggung kuda, bagai terbang, menyambar
cambuk itu, Cambuk itu sudah berada
di tangan Nyi Kembar sekarang. Ditangan kirinya kini
senjata toya!
Ketika itulah Pita Loka tersentak
dari semedhinya pula! Dasa Laksana mengamuk untuk merebut
kembali cambuk itu. Satu tendangan
kaki disertai pukulan toya tangan kiri Nyi Kembar, membuat
Dasa Laksana terpelanting dan
berputar bagai gasing. Dia sempat memanfaatkan putarannya
untuk menerjang empat anak buah Nyi
Kembar hingga keempat-empatnya menggelepar
Grafity, http://admingroup.vndv.com
54
berpusing debu.
Tapi Nyi Kembar lalu berseru: “Cepat
pergi dari sini! Senjata ini lebih utama dari nyawa Dasa
Laksana!”
Ketika Nyi Kembar memutar kudanya
untuk meninggalkan pintu gerbang Desa Tulus, sebanyak
23 orang anak buahnya yang selamat
pun memutar haluan kudanya. Kuda-kuda itu meringkik
karena dipaksa putar haluan.
Kaki-kaki depan kuda itu mencuat terangkat keatas.
Tiba-tiba ketika kuda siap dipacu dan
komando akan diucapkan, terdengar bagai guntur suara
menghadang:
“Lewati dulu mayatku sebelum kalian
kembali ke Bukit Kembar”.
“Ki Harwati„.l” Nyi Kembar berkata
gugup. Nyi Kembar melecutkan cambuk sakti itu agar dia
dilindungi tabir asap. Tapi cambuk
itu berbunyi bagai petir namun tidak mengeluarkan asap.
Dalam kegugupan itu Harwati
menghambur ke udara dengan dua pedang Surandar berkilat.
Pedang itu memenggal leher satu demi
satu anak buah Nyi Kembar. Kepala-kepala itu secara
fantastis bergelindingan ditanah
disaput debu. Dan Nyi Kembar tambah kebingungan. Lebih
bingung lagi setelah dia mau
menghindar pedang malahan jatuh dari kuda. Cambuk itu
dipecutnya lagi! Tapi asap tidak
keluar.
Dia tak tahu, dipintu gerbang dengan
tegak tegap Pita Loka mengirimkan arus dingin ke cambuk
miliknya agar asap tak muncul. Harwati
cepat melompat jumpalitan seraya menebas satu demi
satu leher lawannya, dengan tebasan
tangan kiri dan tangan kanan, Darah mancur dari-tiap leher
yang terpenggal. Nyi Kembar mendengar
teriakan dari sisa anak buahnya yang menjadi panik:
“lbu...tolong saya!”
Nyi Kembar melihat anaknya yang
remaja, dua orang, Putera Puteri Kembar dalam keadaan
gawat disiksa oleh Dasa Laksana
dengan tendangan jurus gasingnya. Melihat anaknya kejepit
dan terancam gawat, Nyi Kembar
menghambur ke udara seraya memecutkan cambuknya. Ketika
itu Harwati nrenetakkan dua mata
pedang Surandarnya ke bumi, dan dia menyusul menghambur
di udara dan ketika itu pulalah dua
tangan Nyi Kembar disabet oleh dua pedang Surandar itu,
pontong seketika! Cambuk sakti itu
jatuh ke bumi, dan terciptalah asap tebal yang sebelumnya
didahului bunyi macam petir.
Kini Harwati harus bertempur dengan
Nyi Kembar dalam gelap asap. Dia berhati-hati memasang
telinga. Disinilah terjadi puncak adu
tajam rasa, Nyi Kembar dengan dua tangannya yang
buntung terpenggal, tentulah berusaha
menyelamatkan diri.
Ketika tiba-tiba dia dengar: “Jangan
lari!”, tau-tau Harwati sudah berdiri dihadapannya. Harwati
dengan geram diantara tabir asap
berkata: “Kini giliranmu dibunuh setelah kamu puas
membunuh”, dan dengan dua kelebatan
kilat pedang, kepala Nyi Kembar lepas dari lehernya,
lantas dia roboh...
“Jangan bunuh anak-anak remaja itu”,
kata Harwati kepada Dasa Laksana yang siap
mengayunkan dua gebrakan pukulan sisi
lengan pada leher dua putera puteri remaja itu.
“Pendekar yang membunuh remaja
dikutuk Kerajaan Langit!” seru Harwati lagi.
Lalu Harwati menuntun kuda dan
menghampiri Putera Puteri Kembar, anak kandung Nyi Kembar
dan Nyi Kembar.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
55
Dua remaja itu naik ke punggung kuda
itu. Lalu Harwati menyepak pantat kuda itu dan dua
remaja putera puteri itu pun hilang
dalam kekaburan tirai asap yang belum sirna.
Tak ada lagi yang bersisa.
Seluruhnya mati, kecuali dua remaja
yang diperkenankan pergi itu. Dasa Laksana menghela
nafas dalam-dalam. Dia mencari-cari
cambuk yang tadi jatuh, Tetapi cambuk itu sudah ditangan
Pita Loka yang masih berdiri tegak.
Harwati menatap Pita Loka. Pita Loka pun menatap Harwati.
Harwati melakukan permainan dua
pedang dengan bunyi gemerincing yang menimbulkan api.
Tiba-tiba dia mendengar suara pekik
Pita Loka: “Berhenti main silat gila itu!”
MENDENGAR teriak itu, Harwati
berhenti bermain pedang. Dia berdiri tegak dengan sikap
berang.
“Siapa kau sebenarnya yang
berani-berani mencegah sukacitaku?”
“Kesini kau!”
“Untuk apa?” tanya Harwati angkuh
seraya mengadu dua pedangnya.
“Aku akan menyembuhkan sakit gilamu!”
seru Pita Loka.
“Aku tidak butuh pertolonganmu! Aku
lebih unggul dari kau!” Harwati menetakkan dua
pedangnya ke bumi, sehingga dia
membal ke udara dan ingin mendarat di bahu Pita Loka. Pita
Loka cuma memutar badan sedikit agar
tak terkena sentuhan kaki lawannya.
Mereka berhadapan dalam jarak dekat.
Harwati melempar pandang menghina:
“Mukamu buruk! Matamu buta satu!” Pita Loka tetap
tenang seraya semakin mengatur nafas
longgar, longgar, dan longgar. Hal ini dirasakan arusnya
oleh Harwati, Sehingga dia seperti
merasa terkena arus listrik dalam jarak dekat itu, maka dia
menjauh dan menjauh, Dalam jarak lima
meter dia memaki: “Ayoh serang aku dengan cambuk
asapmu itu!”
Pita Loka diam. Harwati tambah
sesumbar berteriak:
“Ayohhhh!” Pita Loka tetap tegak
berdiri. Dan Dasa Laksana, dalam keadaan ngeri, mulai
mengangsur langkah mendekati Pita
Loka.
“Lelaki gagah! Kau tolol mencintai
orang buta sebelah!” hina Harwati setelah melihat Dasa
Laksana berdiri didekat Pita Loka.
Harwati memperlihatkan permainan
silat gila kembali. Dia menghambur ke udara, menebas
pucuk-pucuk pohon kelapa dengan
pedangnya, mendarat ditanah dan menetakkan dua mata
pedangnya sehingga dia membal lagi,
Pita Loka hanya berdiri tegak.
“Biarkan dia, Ki Pita Loka”, ujar
Dasa Laksana.
“Kau tak punya belas kasihan. Kau
cegahlah dia main gila terus begitu! Mana sifat ksatria
jantanmu, he murid ayahku?” tanya
Pita Loka.
Dasa Laksana menjawab: “Kalau aku
mencegahnya berarti aku kasihan padanya. Aku kuatir dia
mengira aku mencintainya!”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
56
“Jadi siapa lagi yang bisa kau
cintai, pendekar muda?” tanya Pita Loka.
“Saya hanya mencintai tuan”, ujar
Dasa Laksana.
“Cis, aku benci mendengarnya”, lalu
Pita Loka berbalik masuk gerbang menuju Kuil Putih.
Dasa Laksana terpengaruh oleh anjuran
Pita Loka tadi. Dia jengkel melihat tingkah polah Harwati
yang tambah edan itu. Banyak pucuk
pohon kepala menjadi gundul karena tebasan pedangnya.
“Berhentiiiii!” teriak Dasa Laksana.
Dalam kegilaannya diudara itu, mendengar suara Dasa
Laksana menyuruhnya berhenti, Harwati
melayang ke arah Dasa Laksana berdiri, lalu jatuh
ditanah dihadapannya!
Bukan jatuh. Tapi ambruk. Kehabisan
tenaga. Dengan nafas terengah-engah Harwati berkata:
“Itulah sukacita yang kunantikan.
Tolonglah aku! Gendonglah aku!”
“Kau bisa jalan!”
“Gendonglah aku! Beri aku minum! Aku
Haus! Beri aku makan! Aku lapar. Kasihanilah aku!
Cintailah aku!”, suaranya serak.
Keringatnya berleleran. Dasa Laksana menoleh pada tubuh yang
menggeletak diujung kakinya. Tampak
Harwati mendongak minta dikasihani. Airmatanya
mengalir. Nafasnya sesak. Namun Dasa
Laksana bertahan untuk tidak sudi menggendongnya.
“Pita Lokaaaaaa!” teriak Harwati
serak. Namun suaranya tak terdengar. Pita Loka sudah kembali
bersila didepan tubuh Rama Yogi yang
telentang diatas ranjang berukir dalam keadaan mati suri
itu.
“Sampai hati kamu dua kali menyakiti
hatiku, Pita Lokaaaa!” dia berteriak serak dihadapan Dasa
Laksana.
“Dua kali...”, suaranya tambah serak,
nafasnya semakin sesak dan Dasa Laksana yang tetap
tegak tiba-tiba kaget melihat Harwati
terjengkang menggeletak.
Dia dalam keadaan pingsan. Barulah
Dasa Laksana menggendong pendekar gila yang pingsan
itu. Barulah dia bawa tubuh merana
itu ke warung. Dan berkata pada pemilik warung: “Ini cincin
emasku. Sirami kepalanya dengan air
dingin yang bersih. Kalau dia sadar, beri dia minum air
kendi lebih dulu. Kalau dia minta
tuak, baru beri. Kemudian beri dia makan. Aku akan
menguburkan mayat-mayat itu!”
“Tuan pendekar lupa. Ini cincin tuan,
karena kami lebih suka menolong daripada menodong,
Untuk itu tak perlu uang dan cincin
emas”, ujar si pemilik warung. Dasa Laksana malu, minta
maaf, lalu mengubur mayat-mayat.
KETIKA Dasa Laksana selesai
menguburkan mayat-mayat itu, dia kembali ke warung bersama
penduduk Desa Tulus yang membantunya.
Didapatinya Harwati masih dalam keadaan pingsan.
Dia sendiri disuguhi minuman tuak
bersama beberapa orang tadi.
Belum selesai dia minum tuak dua
mangkok, Harwati sadarkan dirinya. Dia kelihatan begitu Ietih
dengan nada suara minta dikasihani:
“Aku lapar dan aku haus. Beri aku makanan. Beri aku
minuman”.
Harwati duduk, dan seketika itu juga
mangkok-mangkok batok yang belum diminum bahkan
yang bersisa milik orang lain dalam
sekelebatan disamber oleh Harwati dan dia menegak
minuman itu semuanya, termasuk yang
punya Dasa Laksana, sampai tetesan terakhir.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
57
“Tak ada makanan?” tanya Harwati,
“Aku lapar! Laparl” Lalu Harwati melihat dengan jelalatan
pemilik warung memindahkan nasi dari
kukusan ke cembung nesi.
Dia tidak sabaran lagi. Dia langsung
melompat dan merebut kukusan dan cembung nasi. Dan dia
sikat habis nasi yang dicembung
maupun yang dikukusan.
“Kau telah membuat malu para
pendekar”, kata Dasa Laksana.
“Aku?” Harwati keheranan.
“Mestinya kau bertindak sopan santun.
Penduduk desa Tulus ini punya kehalusan budi”.
“Aku haus. Aku lapar. Kamu marah?
Kamu tidak senang? Kalau tidak senang mari keluar dan
tunjukkan ilmumu!” suaranya lantang,
menggentarkan.
“llmumu tinggi! Tapi kesopananmu
rendah”, ujar Dasa Laksana.
“Itu karena anda sudah memiliki gadis
manis perkasa Pita loka itu. Apa kurangku dari pendekar
buta itu, ha? Apa kurangku?” tantang
Harwati.
“Bedanya dia memiliki sifat
kewanitaan. Dan kau lebih jantan dari pendekar pria. Perbedaan
kecil, namun menentukan”, kata Dasa
Laksana. Karena terhina begitu, Harwati anehnya bukan
marah kepada Dasa Laksana, tapi
kejengkelannya larut lagi kepada Pita Loka.
Dia gebrak meja! Dia bentak penjaga
warung: “Hai! Kamu jadi saksi! Panggil pendekar Pita Loka
sekarangjuga! Aku akan mengamuk!”
Penjaga warung itu ketakutan. Harwati menggebrak meja
lagi! Penjaga warung makin menggigil.
Harwati membentak: “Mana dia! Mana
dia, kataku! Kamu tidak melihat dia, ha? Kamu mau
menyembunyikan dia? Apa kamu akan
saya tebas dengan pedang ini, ha?”
Harwati mengacukan pedangnya. Karena
orang itu semakin ketakutan, seakan-akan
menyembunyikan sesuatu, Harwati
menempelkan pedang itu ke leher penjaga warung itu:
“Ayoh, katakan dimana dia!”
“Dia....dia...di Kuil Putih!” kata
orang itu dengan napas sesak.
“O, disana dia ya?” kata Harwati
dengan senyum sinis.
Lirikan matanya yang liar itu
kemudian menatapi seorang demi seorang yang ketakutan di
warung itu, termasuk Dasa Laksana.
Dasa Laksana bukannya takut pada Harwati. Tapi dia kuatir
kalau pedang itu menggesek leher
orang itu si leher bisa putus!
“Sabarlah!” kata Dasa Laksana.
“Apa? Sabar? Kamu kuatir aku akan
menebas leher kekasihmu itu, ha?” bentak Harwati dengan
nada beringas.
“Kau sudah merupakan pendekar besar.
Tak ada yang mengalahkanmu di kawasan manapun.
Kau sudah habisi pula nyawa pendekar
Nyi Kembar”, kata Dasa sengaja meneduhkan suasana.
“Memang nyawa Nyi Kembar sudah aku
habisi. Kini nyawa Pita Loka yang perlu aku habisi”, kata
Harwati garang.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
58
Dia gebrak meja itu lagi, sehingga
mangkok-mangkok jadi buyar. Dia bersuara lantang: “Ayoh,
panggil pendekar buta Pita Loka
sekarang juga! Aku sudah haus darah!Akan aku habisi
nyawanya!”
Justru ketika suara lantang itu
menggema, Pita Loka sedang lewat tak jauh dari warung itu,
barusan keluar dari Biara Putih.
Langkahnya terhenti. Dan dia dengar
lagi suara lantang dari warung itu: “Panggil Pita Loka
sekarang, kalau tidak leher kalian
akan aku tebas!”
Pita Loka dengan nada agung menjawab:
“Akulah Pita Loka”. Harwati meloncat keluar dari
warung dengan dua pedang ditangan
kiri dan kanan. Dia adu dua mata pedang itu dan
bersesumbar:
“Aku akan habisi nyawamu, Pita Loka!”
“Jangan terburu nafsu!”
“Aku kini amat bernafsu!” Pita Loka
tenang. Harwati maju beberapa langkah. Penduduk desa
bukannya menonton, tapi bertarian
masuk rumah dan mengunci pintu,
PITA LOKA menjaga jarak. Dia berdiri
tegak seakan-akan tidak akan melawan. Tetapi dengan
tenaga dalamnya, Pita Loka membakar
pemafasannya dengan perlahan, lalu melalui kedua liang
hidungnya dia kirim arus api suci
sampai jarak tempat berdirinya Harwati, Harwati merasakan
arus panas itu. Dia mundur selangkah,
tetapi tetap menggertak dengan dua pedang
Surandarnya. Bunyi gerincing pedang
memekakkan telinga ketika dua pedang itu diadu secara
mahir dan cepat.
“Ayo maju kau, bajingan!” teriak
Harwati.
“Sebaiknya kau yang maju karena kau
yang menantang!” Harwati jadi panas hati. Dia mainkan
pedangnya lagi, lalu dengan cekatan
dia hantamkan mata pedangnya ke bumi dan memballah
dia ke udara dengan suara teriakan
dahsyat.
Tetapi Pita Loka cuma mengikuti tubuh
perkasa yang ke udara itu dengan saluran arus api
sucinya, sehingga ketika Harwati
terjun dia berteriak: “Aduhhhhl” lalu mengalihkan loncatannya
mundur ke belakang. Tapi tanpa dia
ketahui sebagian dari bajunya sudah terkena api. Lalu dia
berlompatan kesakitan kian kemari
sampai api yang membakar pakaiannya itu padam.
la belum puas. la maju beberapa
langkah.
Pita Loka menyiapkan cambuknya. Kali
ini dia menghentikan saluran arus api sucinya. Dia biarkan
sampai Harwati mendekat sampai pada
jarak lima meter, baru dia sabet cambuknya yang
seketika mengeluarkan asap. Agaknya
sikapnya ini tidak ingin adu kekuatan secara langsung. Dia
sepertinya tahu kelebihan ilmunya
serta kelemahan ilmu Harwati. Mungkin dalam diri pendekar
ini ada sikap kasihan oleh ketinggian
budinya. Harwati seperti mencari-cari diantara gumpalan
asap itu dimana lawannya. Lalu dia
kesal dan melakukan amukan pedangnya secara membabi
buta. Pita Loka cuma berpindah-pindah
tempat sedikit-sedikit saja. Tapi pada satu saat secara
mendadak wajah Pita Loka sudah
berhadapan dengan wajah Harwati dalam beberapa inci saja.
Harwati melotot kaget. Pita Loka kini
perlahan mengirim arus api suci, sampai Harwati berteriak
lalu menetakkan dua pedang ke bumi
dan tubuhnya membal ke udara, dan pemandangan
sekeliling gelap karena muka merasa
terbakar, sampai kemudian dia ambruk diatas bubungan
Grafity, http://admingroup.vndv.com
59
atap kuil putih dan
berguling-gulingan diatap kuil itu kian kemari seraya menjerit-jerit. Pita Loka
cepat melompat keatas bubungan. Dia
usap muka Harwati seketika itu juga, sampai kemudian
Harwati merasa kehilangan rasa
sakitnya. Laki membuka mata. Tapi begitu matanya dia buka,
dia yang mengira Dasa Laksana yang
membelai mukanya tadi lalu melihat Pita Loka. Dua
pedangnya dia ayunkan, tertangkis
oleh cambuk yang mengeluarkan asap, dan Pita Loka sudah
jatuh dipermukaan tanah dengan
lompatan mundur.
Memang bagi Pita Loka, sabetan pedang
tadi merupakan kejutan. Hingga ketika dia jatuh dibumi
betul-betul dia kurang menguasai diri
dan posisinya tidak menguntungkan ketika itu untuk segera
bangun. Padahal Harwati dengan buas
sudah melompat ke bawah dengan acuan pedang
Surandar kiri kanan untuk memenggal
leher Pita Loka. Tapi reaksi Pita Loka justru menjelang
lehernya terkena pedang sudah
menelungkup sehingga punggungnya yang terkena. Ketika itulah
Pita Loka mengaum dahsyat bagai auman
harimau. Tapi cuma aumannya saja yang berbunyi
bagai aum harimau. Pita Loka sudah
berdiri tapi dia membuang cambuknya ke samping. Jari-jari
tangannya mulai mempersiapkan satu
jurus harimau siap menerkam. Kemudian dia melingkari
langkah bagai harimau siap mengepung
musuh. Harwati kebingungan dengan dua pedangnya.
Sehingga ketika dia kebingungan itu,
Pita Loka sudah menghambur menerkam bahu Harwati,
dua-duanya, yang...menyebabkan
Harwati pun mendadak mengaum dahsyat dengan suara
auman harimau pula. Pedang Surandar
dua-duanya entah kemana. Dia tidak menyadari diri lagi
bahwa dia melayani permainan silat
Pita Loka sebagai seekor harimau pula. Keduanya samasama
mengaum dan bergumulan. Keduanya
kadang saling terlepas satu dengan lainnya.
Keduanya saling melangkah dalam jurus
permainan yang hampir mirip. Yaitu lingkaran jurus
jarum jam, yang putarannya satu sama
lain berlawanan arah.
Penduduk Desa Tulus yang kecut cuma
dapat mengintip keheranan. Tapi Dasa Laksana malah
tegang lalu keluar warung dan
berteriak: “Jangan teruskan pertempuran! Kalian berdua satu
gurul”
Tetapi agaknva dua pendekar itu sudah
berkonsentrasi penuh, hingga tak mendengar suara
cegahan Dasa Laksana.
Dua pendekar dengan silat jurus
harimau itupun sama berhati-hati. Tetapi bagai dua jarum jam
yang bertentangan arah itupun pada
akhirnya sama ketemu arah dan dua-duanya melompat
dengan auman sama saling bertubrukan
tubuh tetapi cakar yang satu tak mengenai cakar yang
lain karena sudah terlempar
kebelakang waktu bertubrukan tubuh...
PERTARUNGAN tanpa senjata itu
berlangsung terus hingga matahari terbenam. Tenaga yang
betapapun ampuhnya selama berjam-jam
itu sudah terkuras. Sampai ketika hujan deras turun,
kedua pendekar itu masih saja
bertarung laksana dua ekor harimau lapar.
Ketika Harwati terhuyung-huyung man
melompati Pita Loka, dia terpeleset. Kesempatan ini mau
digunakan oleh Pita Loka untuk
menerkamnya. Tapi dia sendiri pun terpeleset. Gerak Harwati
untuk bangkit mulai lamban. Juga
gerak Pita Loka ketika akan bangkit kelihatan lamban.
Keduanya saling maju untuk bersiap
mencakar. Tetapi dua-duanya jatuh terpeleset dalam detik
yang bersamaan.
Lalu dua-duanya jatuh tertelungkup.
Dan sama-sama tak bergerak lagi. Dua-duanya diguyur oleh
hujan yang semakin deras membasahi
bumi desa Tulus.
Ternyata. hujan bukan hanya membasahi
desa Tulus, Seluruh bumi kawasan tujuh bukit
persilatan diguyur hujan lebat. Juga
di Lembah Tujuh Bidadari hujan semakin deras disaat malam
akan tiba itu. Ketika itu. Guru
Gumara yang sedang melatih enam remaja buntung tangan,
terpaksa berteriak: “Latihan
selesail”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
60
“Semua masuk ke guha asrama”, ujar
Guru Gumara lagi.
Anak-anak remaja buntung itu
berlarian memasuki guha asrama itu. Sedangkan Guru Gumara
memasuki guha yang khusus untuknya
sendiri.
Dalam basah kuyup. Guru Gumara
melanjutkan membuat tikar pandannya, yang sudah jadi
separoh. Anak-anak di guha asrama pun
menjalin tikar pandannya.
Gumara lelah melatih, lalu
menggeletakkan tubuhnya di bagian tikar yang sudah dia anyam.
Ternyata menjelang tidur dia
mengulangi bisikan batinnya: “Wahai Guru,masih kotorkah diriku
ini? Kenapa aku tidak diberi tamsil
mimpi itu? Hanya perasaan firasat saja yang aku dapati.
bahwa adik tiriku Harwati mungkin
sedang bertarung dengan gadis yang aku kasihi, Pita Loka!
Atau hatiku yang masih gelap?”
Matanya sambil menggeletak itu
menatap pelita kecil yang nyalanya tetap bagai tak bergerak.
Bertepatan dengan padamnya pelita
itu, mata Gumara tertutup. Dia sudah hanyut oleh tidur
pulas. Dalam tidur itu Guru Gumara
seperti merasakan hujan lebat yang belum berhenti.
Memang dia melihat satu desa yang
apik bersih, Sepertinya desa Tulus di kawasan Kuil Putih.
Mimpi menggambarkan dua pendekar yang
semakin lama semakin tegas dilihatnya mandi kuyup
disirami hujan lebat. Dua-duanya
makin tegas, bahwa itu adalah Pita Loka dan Harwati. Mereka
sedang mencari senjata masing-masing.
Bagi Gumara di mimpi ini sudah jelas, yang pertama
menemukan senjata dua pedangnya
sudahlah pasti Harwati. Juga yang kemudian menemukan
cambuknya, adalah Pita Loka. Anehnya,
mereka berdua seperti akan berduel!
Berhadapan dalam jarak sekitar enam
meter, kelihatannya mereka berdua muncul dengan
tenaga baru. Secara serentak pula,
dua-duanya langsung memulai senjatanya. Baik Pita Loka
maupun Harwati. Harwati mengadu
pedang serentak disertai bunyi petir, dan Pita Loka
melecutkan pecut serentak bunyi petir
pula, dan asap mengepul.
Dan dua-duanya keheranan, serentak
oleh susulan bunyi pedang cambuk, senjata-sentala
mereka sudah lepas dari tangan
mereka, berganti oleh suara mereka yang sama mengaum dan
serentak menghambur dengan cakaran.
Guru Gumara terjaga dari mimpinya
karena mendengar ada benda jatuh. Dia mengusap-usap
kelopak matanya, karena tak jauh dan
tikar anyamannya itu tampak dua pedang dan di dekatnya
sebuah cambuk.
“O, Guru. Kalbuku kini sudah bersih!”
dia gembira sekali karena mimpi itu langsung bertamsil.
Hampir saja dia samber pedang-pedang
Surandar dan cambuk asap sakti itu. Tak jadi. Karena
mendengar suara wisik: “Jangan
sentuh. Dua pedang itu untuk muridmu Caruk Putih dan Agung
Kifli. Dan satu cambuk itu untuk
remaia pendiamyang bernama Abang Ijo.”
“Lalu apa selanjutnya?” tanya Gumara.
“Latihlah tiga muridmu itu secara
khusus. Kelihatannya, pertempuran antara Pita Loka dan
Harwati ini tidak akan
habis-habisnya. Tapi sejak ini, engkau sendiri tidak diperkenankan
melibatkan diri dalam pertarungan
itu. Sebab jika engkau terlibat, salah satu diantara mereka
akan menemui kematian, atau
dua-duanya hancur lebur”, demikian ujar wisik itu.
“Tapi saya melatih Enam Pendekar
Buntung ini untuk mendamaikan mereka atau menumpas
salah satu dari mereka. Nama pendekar
Harimau Yang Tujuh akan tercemar gara-gara ulah
mereka”, kata Guru Gumara.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
61
“Jangan membantah. Dan patuhi
perintah”, ujar sang wisik.
“Boleh aku tahu, apa yang diperbuat
dua pendekar keras kepala itu di Desa Tulus sekarang?”
tanya Guru Gumara.
“Lanjutan dari mimpimu itu”, ujar
bisikan itu.
DAN memang penduduk Desa Tulus sedang
menyaksikan pertarungan hari, ke-2. Bekas becek
hujan semalam sepertinya ditakdirkan
untuk membuat dua pendekar berhati-hati dan tidak layak
terburu nafsu. Tiba-tiba, kendati
dengan sebelah mata, Pita Loka melihat adanya bekas cakaran
pada punggung Harwati sewaktu Harwati
mendapatkan jurus harimau balik menerkam.
“Punggungmu luka menganga, Harwati!”
ujar Pita Loka.
“Aku tak peduli”, kata Harwati geram.
“Itu akan membuat kamu mati
perlahan-lahan!”
“Persetan! Ayoh, mari kita lanjutkan
dan kamulah yang akan mati! Bukan aku, tapi kamu, kamu,
kamu!”, dengan serta merta dia
menggeram dan mengibaskan Jurus harimau menampar dengan
ekor. Yang menampar muka Pita Loka
adalah kaki Harwati sehingga Pita Loka terpelantingdan
bergulingan di lumpur... yang sekejap
tampak oleh Harwati. Ketika Pita Loka akan mencoba
berdiri, Harwati menggeledek ketawa:
“Kamupun terkena cakaran dipunggungmu!”
Pita Loka terdongak kaget. Kini dia
mSnyadari, bahwa tidak ada kelebihan dan ketinggian
ilmunya terhadap Harwati.
“Luka ini berbahaya, bagi kamu maupun
bagi saya”, ujar Pita Loka.
“Aku kehilangan pedang-pedangku!”,
ujar Harwati. ...
“Aku bahkan kehilangan cambuk
saktiku!” Tiba-tiba saja Harwati menyadari bahwa percakapan
itu tidak berguna.
“Kita berdua bisa sama-sama mati”,
kata Pita Loka memperingatkan.
“Tidak perduli! Aku tetap akan
menghabisi nyawamu terlebih dulu!” suara Harwati lantang,
menyintakkan Dasa Laksana yang masih
mengikuti buntut pertarungan yang ternyata belum juga
berakhir.
“Aku tetap akan mengamuk seperti macan
tutul yang terluka”, teriaknya lagi lalu menghambur
menyerang Pita Loka dengan jurus
serangan macan tutul dan ditangkis oleh Pita Loka dengan
aum harimau yang membalikkan tubuh
dan menangkis dengan kibasan ekor, yaitu kaki kirinya.
Tubuh itu berputar dalam posisi
berdiri di tanah yang licin, dan “ekor” yang mengibas itu
menangkis serangan Jurus macan tutul
Harwati.
“Kini aku bukan macan tutul lagi.
Akulah pewaris harimau Kumayan, ilmu ayahku yang syah!”
dan dia mengaum menghambur menerkam
dada Pita Loka, tetapi Pita Loka cukup kokoh kakinya
terbenam dilumpur, dan dia menerima
terkaman jari pita Loka dengan jarinya pula. Telapaktelapak
tangan kini beradu kuat. Jurus ini
adalah Jurus tenaga dalam harimau tua, yang
kebetulan mereka sama-sama menemukan
jurus ini secara tidak sengaja. Kekuatan jurus telapak
dan jari beradu begini tergantung
dari pernafasan. Ketika Pita Loka mencoba mengirimkan arus
Grafity, http://admingroup.vndv.com
62
api sucinya lewat kedua lubang
hidungnya, arus itu memang keluar dengan dahsyat, dalam jarak
dekat, namun... tidak membakar rambut
atau wajah Harwati.
Melihat hal itu Pita Loka ingin
mendengar wisik sang Guru. Tetapi lalu dia ingat, bahwa dia sudah
dilepas Ki Ca Hya untuk menemukan
bentuk ilmunya sendiri. Ilmu itu hanya ditemukan sendiri
lewat pengembaraan yang penuh
tantangan. Seorang pendekar harus sering terlibat dalam
berbagai pertarungan secara kongkret
untuk mendapatkan jurus-jurus penemuan.
Harwati mengaum dengan tekanan tenaga
dalam sembari menjaga keseimbangan agar tubuh
tidak jatuh di dasar telapak kaki
bertanah licin. Pita Loka memperkuat jari-jarinya yang meremas
jari-jari Pita Loka sembari menjaga
posisi berdiri agar telapak kaki terbenam baik dalam
pemukaan tanah.
“Kau jahanam!” gerutu Harwati.
“Kau edan”, sahut Pita Loka dengan
gerutu pula.
“Kau buta sebelah. Kau gadis cacat!”
“Betapapun hebat kita, kita berdua
terancam bahaya maut. Luka kita sama menganga di
punggung. Kau tentu letih dan lapar
dan haus”, kata Pita Loka.
Harwati tiba-tiba merasa lapar dan
haus. Memang itu betul dan mulai terasa menjalari tubuhnya.
Ketika konsentrasinya terbelah dua
itulah, dengan kekuatan remasan dan tenaga dalam serta
posisi berdirinya yang mantap, dia
banting tubuh Harwati hingga terjungkal ke tanah sedangkan
dia sendiri ikut terbanting ke tanah
masih dalam cengkeraman Harwati, tapi lepas oleh bantuan
licinnya lumpur.
Harwati menggelepar. Pita Loka
meninggalkan Harwati buru-buru untuk memasuki kuil putih.
Seluruh tubuhnya merasa seperti
terbakar api. Dia memasuki ruang dimana Rama Yogi terbaring
mati suri. Tetapi dia ingat sebuah
botol yang berisi minyak tulang punggung harimau milik Raya
Rama Yogi untuk mengobati luka
terkena taring harimau dan cakaran harimau yang
sesungguhnya berbisa. Pelayan botak
dipanggilnya: “Mari kau, Sakuntala!”
Si remaja botak mendekatinya dan
bertanya: “Apa saya bisa membantu?”
“Polesi luka dipunggungku dengan
minyak ini”, ujar Pita Loka. Remaja botak Sakuntala memoles
luka di punggung Pita Loka, lantas
bertanya pada Sakuntala: “Berapa lama kami berdua
bertarung, anak muda?”
“Sepuluh malam sembilan hari”, kata
Sakuntala, “Kami penduduk sini menghitungnya”.
“Ha?” Pita Loka tidak percaya, sebab
dia cuma merasa dua hari dua malam saja.
“Sepuluh malam sembilan hari”, kata
Sakuntala botak lagi. Pita Loka tersenyum.
“Tanpa dipoles minyak punggung
harimau ini, berapa lama seorang yang terluka oleh cakaran
harimau atau kena gigit taringnya?”
“Pendekar lebih tahu”, ujar
Sakuntala.
“Saya bukan pura-pura tidak tahu.
Kamu tentu lebih tahu”.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
63
“Yang terkena bisa cakar dan taring
harimau biasanya cuma bisa bertahan empatpuluh hari saja.
Saya rasa penderitaan anda sudah 9
hari”.
“Kalau begitu, daya tahan pendekar
Harwati cuma mampu 31 hari lagi. Saya kasihan dia akan
mati dalam kegilaan. Semua
cita-citanya tidak tercapai. Sedangkan saya harus melanjutkan
petualangan untuk meningkatkan ilmu
saya. Sebentar lagi saya akan pergi”, kata Pita Loka.
“Ah sayang. Rama Yogi belum lagi
sadar dari mati surinya, tuan pendekar akan meninggalkan
kami. Kami tentu akan diganggu lagi
oleh pendekar edan itu setelah dia sadarkan diril”
“Obati luka punggungnya itu dengan
minyak ini”, ujar Pita Loka.
“Obati? Setelah dia sembuh dia akan
bunuh kamil” kata remaja botak.
“Kalau begitu, budimu belum begitu
tinggi”, ujar Pita Loka, kemudian dia duduk bersila
dihadapan ranjang tempat berbaringnya
Rama Yogi.
“Engkau memang teladan kesabaran dan
kebaikan, Rama. Engkau masih lama akan beristirahat”,
kata Pita Loka.
Sakuntala botak, yang mendengar ucapan
itu lalu mencu curkan airmata. Dia masih mengharap
dengan ucapannya yang menggigilkan
rasa haru: “Tuan pendekar akan meninggalkan kami.
Kenapa tuan pergi?”
“Aku akan mencari permata hiiau Raja
Solaimanku yang hilang. Cuma itu yang dapat
menyembuhkan edannya Harwati. Tapi
andaikata dalam 31 hari ini permata itu tidak didapatkan,
dia akan mati”, kata Pita Loka
berlalu.
Rupanya, percakapan itu didengar dan
dilihat oleh Guru Gumara, kendati dalam jarak jauh antara
Desa Tulus dengan Lembah Tujuh
Bidadari. Seketika itu juga dia terkejut. Dia ingat, wisik yang
didengarnya sepuluh hari yang lalu.
Bahwa pertarungan antara Pita Loka dan Harwati akan
membawa korban: Salah satu mati, atau
dua-duanya!
Guru Gumara lupa, bahwa dia tak boleh
ikut campur. Dia lupa itu! Lalu dia berseru: “Hai para
pendekar buntung!Kalian perlu
mendengar wejanganku.”
Enam pendekar remaja yang setiap
orangnya bertangan satu itu, berkumpul dihadapan Sang
Guru. Lalu Sang Guru memberi
wejangan: “Baru saja aku menerima wangsit, bahwa
saudara.tiriku Ki Harwati sedang
dalam keadaan bahaya. Dia baru saja bertarung dengan Pita
Loka. Pita Loka sudah mendapat
kesembuhan diobati oleh minyak punggung harimau. Dia sudah
berlalu dari sana, meninggalkan
Harwati yang luka-luka dan diancam maut datam 31 hari ini. Jadi
sekarang ini aku putuskan: Kalian
akan kulatih siang malam selama 21 hari. Kita harus
mengamankan Harwati dari bahaya maut,
sebab aku dititipkan ayahku agar menjaga Harwati
setelah beliau wafat. Amanat ini
adalah bagian dari ilmuku, pendekar muda! Ayoh kita mulai
mendalami latihan sekarang.”
Lalu muncul beberapa orang berkuda.
Mereka menyapa anak-anak remaja yang sedang berlatih.
Pemimpin mereka menanyakan Guru Gumara.
Guru Gumara sedang bersemedi “Kalau begitu
kami tinggalkan tujuh ekor kuda ini
untuk kalian. Sebagai terima kasih dari Pedukuhan Bidadari
atas bantuan kalian yang lalu”, ujar
pemimpin mereka seraya meninggalkan tujuh ekor kuda itu.
Dan pamitan.
Gumara masih mengadakan kontak
wangsit melihat keadaan Desa Tulus. Dia melihat Harwati
Grafity, http://admingroup.vndv.com
64
bangkit. Lalu mengamuk bagai harimau
lapar. Dia masuk menerjang pintu setiap rumah lalu
makan dan minum dengan edan. Tubuhnya
merasa panas kena bisa cakaran kuku harimau Pita
Loka dalam pertarungan sepuluh malam
sembilan hari itu. Dia berteriak: “Mana Pita Loka!
Jangan kalian sembunyikan! Aku akan
membunuhnya dengan cakaran! Panas! Panas!”, dan dia
mengamuk terus dengan liar di desa
Tulus itu.
Penduduk mengkirik ketakutan. Mereka
berharap Ketua mereka, Rama Yogi, segera sadarkan
dirinya dari mati surinya. Mereka
ngeri melihat Pendekar Edan Harwati yang mengobrak-abrik
desanya dan berteriak: “Panas!
Tubuhku panas! Mana Pita Loka! Aku akan koyak perutnya
dengan cakaran kukuku ini!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment