Putri Rubiah dengan Saudaranya Sutan Hamzah
Karya Marah Rusli
Pada petang hari Ahad, tatkala
Samsu dengan sahabatnya pergi
berjalan-jalan ke Gunung Padang,
kelihatan putri Rubiah duduk
di serambi belakang rumahnya, di
atas sebuah tikar rumput,
sedang menjahit. Dekat putri itu
duduk saudaranya yang bungsu,
Sutan Hamzah, sedang
menggulung-gulung rokok daun nipah.
"Bagaimana pikiranmu tentang
kakakmu Mahmud,
Hamzah?" tanya putri Rubiah
dengan tiada menoleh dari
penjahitannya.
"Pada pikiran hamba,
kelakuannya sangat berubah, " jawab
Sutan Hamzah, sambil menoleh
kepada saudaranya.
"Pikiranku pun demikian
pula. Makin lama makin jarang ia
datang kemari kian hari kian
kurang diindahkannya aku dan
Rubiah, serta kaum keluarganya
yang lain-lain sebagai takut ia
datang kemari. Katanya karena
banyak kerja, dan ia takut kalaukalau
pekerjaannya kurang maju.
Benarkah itu?" tanya putri
Rubiah.
"Ah, bohong! Bukannya ia
sendiri yang menjadi Penghulu di
Padang ini dan berpangkat tinggi.
Apakah sebabnya Penghulu di
lain-lain tiada sebagai
dia?" jawab Sutan Hamzah.
"Pikiran yang sedemikian,
acap kali timbul pula dalam
hatiku. Memang pangkat itu aku
sukai dan harus dijaga benarbenar,
supaya jangan bercacat nama.
Tetapi janganlah hendaknya
karena itu, berubah kelakuan adat
dan pikiran. Coba kaupikir!
Aku dan Rukiah saudaranya dan
kemanakannya yang
perempuan, jadi tanggungannya.
Tetapi tiada dijaga, tiada
dikunjung-kunjunginya dan tiada
dilihat-lihatnya, apalagi dibelanjainya;
pendeknya tidak diindahkannya.
Hanya anak dan
istrinya sahaja yang dijaga
dipelihara dan dihiraukannya. Kalau
terjadi apa-apa pada malam atau
siang hari atau kami ditimpa
bahaya—sekali disebut seribu kali
dijauhkan Allah hendaknya,
bagaimana kami? Akan mati
seoranglah agaknya," kata Putri
Rabiah dengan sedih.
"Anaknya itu kabarnya akan
dikirimkannya pula ke Jakarta,
Sekolah Jawa. Yang bukan
tanggungannya ditanggungnya, yang
tanggungannya sendiri,
disia-siakan. Kalau anaknya itu tak ada
mamaknya yang akan memikul beban
ini, sudahlah; tolonglah
anak itu sebab kasihan Akan
tetapi kewajiban, jangan dilupakan;
bahkan itulah yang patut diingat
lebih dahulu."
"Si Samsu ke Jakarta?"
tanya Sutan Hamzah dengan takjub
"Ya tiga bulan lagi. Dan dari
sana, entah ke mana pula,
barangkali ke negeri Belanda.
Hendak dijadikannya apa anaknya
itu, tiada kuketahui," jawab
putri Rubiah.
"Akan dijadikannya jenderal,
agaknya," sahut Sutan Hamzah
dengan tersenyum.
"Bukankah sekalian itu
memakan uang saja? Itulah sebabnya
agaknya, maka tiap-tiap aku minta
duit kepadanya, jarang dapat;
biasanya tak ada duit, katanya.
Ke manakah gajinya yang
sebanyak itu? Tentulah habis
untuk anak dan istrinya saja. Apakah
perlunya anak itu dimajukan
sejauh itu? Sekolah Belanda ini
saja telah lebih daripada cukup.
Berapa orang yang tiada tahu
bahasa Belanda, tetapi dapat juga
mencapai pangkat yang tinggi.
Ayah kita, apa kepandaiannya?
Menulis pun hampir tak dapat.
Tetapi mengapakah dapat juga ia
menjabat pangkat Tuanku
Bendahara*). Siapakah di antara
Penghulu-Penghulu yang ada di
Padang ini, yang pandai bahasa
Belanda? Tak ada seorang pun.
Bukankah sekaliannya itu
bergantung kepada untung nasib satusatunya
orang? Jika baik untungnya, tak
pandai pun, ten¬tu akan
mendapat pangkat juga. Tetapi
apabila tak baik nasib, walaupun
melangit kepandaiannya, jatuhnya
ke pelimbahan juga."
"Pada pikiran hamba, anak
itu tak baik untungnya. Segala
usaha Kakanda Mahmud ini, niscaya
akan sia-sia belaka.
Cobalah lihat! Arang habis, besi
binasa," jawab Sutan Hamzah,
sambil mengisap sebatang rokok
yang dibuatnya.
"Mengapa engkau berkata
demikian?" tanya putri Rubiah.
*) Pangkat yang hampir sama
dengan patih
di tanah Jawa
"Ada suatu tanda padanya, ia
akan mati berdarah dan akan
menjadi musuh kita," jawab
Sutan Hamzah.
Putri Rubiah termenung sejurus
mendengar perkataan adiknya
ini. Kemudian ia berkata pula,
"Mauku sekolah Belanda ini
saja, cukuplah. Sudah itu
masukkan saja ia ke kantor, jadi juru
tuliskah atau apa saja. Biarpun
tak bergaji, tak mengapalah mulamula
ini. Kelak, tentulah akan naik
juga pangkatnya dan dapat
juga gaji yang besar, asal ada
untungnya. Bukankah sudah ada
pepatah kita yang mengiaskan hal
itu: Malang tak boleh ditolak,
mujur tak dapat diraih. Sesudah
diikhtiarkan, diserahkan! Ini
tidak; karena hendak memajukan
anak sampai berhabis-habisan.
Harta pusaka pun hampir
diganggunya pula."
"Harta pusaka kita?"
jawab Sutan Hamzah dengan mengangkat
kepalanya. "Hendak hamba
lihat, kalau benar ia berani
menghabiskan harta pusaka kita.
Walaupun hamba tak berpangkat,
tetapi tak takut
melawannya."
"Itulah yang menjadikan
bimbang hatiku siang-malam,
hingga acapkali aku tak dapat
tidur karena memikirkan hal ini.
Aku takut kalau-kalau benar
diperbuatnya sedemikian, menjadi
berbantah kita, antara saudara dengan
saudara. Bukan tak baik
saja, perbuatan yang sedemikian,
tetapi malu aku kepada orang
lain; sebab tak layak orang yang
berbangsa sebagai kita, berbuat
begitu," kata putri Rubiah
pula dengan mengeluh.
"Tetapi kalau tak dapat
dihindarkan, apa boleh buat! Janganlah
takut, Kanda! Hamba di muka
kelak," jawab Sutan Hamzah
dengan garangnya. "Tentu
saja ia selalu tiada beruang dan dirundung
susah sedemikian itu; sebab bodoh
dan gila. Apakah
sebabnya ditanggung, yang tak
perlu ditanggung dan disuruh
pula menuntut ilmu ke mana-mana.
Itulah yang dikatakan orang:
Tak beban, batu digalas. Siapa
yang mau berbuat sedemikian,
waktu ini? Hanya ia sendiri. Pada
sangkanya, akan dipuji orang
perbuatannya ini. Tidak
diketahuinya, bahwa ia dicerca dan
ditertawakan orang dari belakang.
Dan apakah sebabnya ia tak mau
menerima segala jemputan
orang dan tak suka beristri
banyak? Bukankah itu sekaliannya
duit saja! Apabila tiap-tiap
kawin, ia beroleh uang jemputan dua
ratus atau tiga ratus rupiah, tak
perlu ia makan gaji lagi? Kalau
habis duit, kawin lagi. Apakah
salahnya dan susahnya beristri
dan beranak banyak? Karena
laki-laki bangsawan tak perlu
memelihara dan membelanjai anak
istrinya. Sekaliannya itu
tanggungan orang lain. Apa
gunanya bangsa dan pangkat yang
tinggi, kalau tiada akan beroleh
hasil?
Coba lihat hamba! Walaupun tiada
mempunyai pekerjaan,
makan tak kurang, kocek pun tak
kosong. Apabila hamba datang
ke rumah istri hamba, makanan
yang lezat citarasanya telah
tersedia: pakaian yang bersihpun,
demikian pula. Jika berjalan,
kocek diisi: rokok dan segala
keperluan hamba yang lain, diberi.
Ingin hamba hendak berbendi pada
petang hari, bendi mentua
hamba telah tersedia; segala
kesukaan diadakan, segala kemauan
tiada dilarang. Apa lagi yang
dikehendaki? Bukankah bodoh,
laki-laki yang tak suka kepada
adat istiadat yang sedemikian?"
"Memang engkaulah saudaraku
yang sesungguh-sungguhnya,
membangkitkan batang terendam,
yang tahu adat istiadat dan
menjunjung tinggi pusaka nenek
moyang kita dan tahu menghargakan
ketinggian kebangsawanan kita dan
menjalankan
kewajiban kepada saudara dan
kemenakannya," kata putri
Rubiah, memuji-muji adiknya itu.
"Apa yang hamba
susahkan?" kata Sutan Hamzah pula.
"Biarpun berpuluh istri
hamba, beratus anak hamba, belanja tak
perlu hamba keluarkan dari kocek
hamba, sebab istri hamba ada
orang tua dan mamaknya. Demikian
pula anak hamba, bukan
tanggungan hamba. Apabila mentua
hamba tiada cakap atau
tiada sudi lagi membelanjai
hamba, hamba ceraikan anaknya dan
hamba kawini perempuan lain, yang
mampu; tentu dapat hamba
uang jemputan dua tiga ratus
rupiah dan berisilah pula kocek
hamba. Bukan sebagai kakanda
Mahmud; jangankan mendapat
uang, bahkan berugi dan berhabis
uang pula ia. Mengapakah tak
dipergunakan bangsa dan
pangkatnya yang tinggi itu? Sedang
sekarang, anaknya masih seorang
dan istrinya seorang pula,
sudah tak dapat ia berkata
apa-apa lagi. Bagaimanakah halnya
kelak, apabila anak dan istrinya
sebanyak anak dan istri hamba?
Jangan-jangan mati di jalan besar
sendiri saja ia. Karena hamba,
walaupun muda dari padanya,
tetapi telah sepuluh orang istri
hamba dan delapan belas orang
anak hamba. Sungguhpurt
demikian, hamba tiada susah,
tiada kekurangan uang, tiada
meminjam ke sana ke mari. Lebih
banyak anak, bukankah lebih
baik, lebih kembang biak dan
lebih banyak pula orang yang
berbangsa di Padang ini. Dalam
Quran pun diizinkan beristri
sampai empat orang sekali. Apakah
sebabnya tak diturutnya itu,
kalau benar ia orang Islam'?
Katanya ia cerdik pandai, sebab
bersekolah dan berpangkat tinggi;
tetapi kepandaiannya itu
menyusahkan dirinya sendiri.
Bukankah lebih baik bodoh
sebagai hamba ini, tetapi tak
pernah susah dan menyusahkan
orang.
Anaknya disuruhnya sekolah ini
dan sekolah itu, belajar ini
dan belajar itu, akhirnya ia akan
menjadi apa? Menjadi raja, tak
dapat. Walaupun berpangkat
setinggi apa sekalipun, jika masih
makan gaji masih di bawah
perintah orang; berbuat sekehendak
hati tak boleh. Segala perintah
dari atas, harus diturut. Biar
malam ataupun siang, biar sakit
ataupun senang, lamun
pekerjaan harus dikerjakan; tak
boleh mengatakan tidak. Kalau
enggan bekerja, tentu akan
diperhentikan dari pekerjaan atau
mendapat nama yang kurang baik.
Tetapi hamba, bebas sebagai
burung di udara; tak ada yang
melarang dan menyuruh, boleh
berbuat sekehendak hati: Beraja
di hati, bersutan di mata hamba
sendiri. Hendak pun tidur
selama-lamanya atau duduk bercakapcakap
saja atau bersuka-sukaan
sehari-hari, berjalan ke manamana,
tak ada yang membantah. Oleh
karena itu benarkah orang
yang berilmu dan berpangkat
tinggi itu lebih senang daripada
orang yang bodoh dan berpangkat
rendah? Di sini ada contohnya,
tak perlu mengambil misal jauh
jauh. Perbandingkanlah
Kakanda Mahmud dengan hamba.
Anaknya Samsu itu memang harus
disekolahkannya ke
mana-mana, untuk menuntut ilmu
yang tinggi-tinggi, sebab jika
tak demikian, tentulah anak itu
tiada akan menjadi orang kelak.
Orang yang sebagai dia, harus
membanting tulang, jika tak kaya;
sebab bangsanya kurang. Tetapi
pada pikiran hamba, walaupun
tak menjadi orang anak itu, apa
peduli kita? Bukan tanggungan
kita. Yang akan malu, mamaknya.
Oleh sebab itu tak habis pikir
hamba mengapa tidak mamaknya yang
memajukan anak itu?
Lagi pula kesalahan siapa, Kanda
Mahmud sampai beroleh anak
itu? Siapa yang menyuruh dia
kawin dengan perempuan biasa
itu? Kurangkah putri-putri yang
baik di Padang ini? Apa gunanya
memandang rupa saja, kalau bangsa
tak ada? Coba kalau ia
kawin dengan putri bangsawan,
niscaya anaknya takkan turun
bangsanya, tetap sutan. Sekarang
anaknya hanya marah."
"Itulah yang menjadikan heran
hatiku; tak dapat kupikirkan
bagaimana ingatannya sekarang
ini. Bukankah telah adat nenek
moyang kita, yang sebagai itu?
Mengapa tiada hendak diturutnya?
Malu aku rasanya mempunyai
saudara sedemikian ini.
Orang yang tak tahu niscaya akan
bersangka saudarakulah yang
tak laku kepada perempuan;
barangkali karena ada cacatnya.
Tatkala kunyatakan kepadanya
sesat pikirannya ini, jawabnya,
"Binatang yang beristri
banyak." Coba kaupikir! Adakah patut
jawaban yang seperti itu
dikeluarkannya di hadapanku?" kata
putri Rubiah pula.
"Demikian jawabnya?"
tanya Sutan Hamzah dengan merah
mukanya.
"Sungguh," jawab putri
Rubiah.
"Jadi binatanglah sekalian
laki-laki yang ada di Padang ini!
Sebab sekaliannya beristri
banyak. Hanya ia sendiri yang beristri
seorang. Jika demikian katanya,
sesungguhnyalah pikirannya
telah bertukar dan otaknya telah
miring. Barangkali telah
termakan perbuatan orang*),
sehingga lupalah ia akan dirinya
dan jalan yang benar," sahut
Sutan Hamzah, seraya menggelenggelengkan
kepalanya.
"Pikiranmu sesuai benar
dengan pikiranku. Rasa hatiku
memang telah "berudang di
balik batu," kata putri Rubiah pula,
* Kena ramuan guna-guna (pekasih)
sambil menoleh kepada saudaranya.
"Sekarang tahulah hamba, apa
sebabnya ia sebagai benci saja
melihat kita. Sedangkan pekerjaan
hamba sehari-hari dicelanya."
sahut Sutan Hamzah.
"Pekerjaan apa?" tanya
putri Rubiah pula.
"Katanya tak patut seorang
bangsawan berjudi dan
rnenyabung ayam. Bukankah itu
permainan anak raja dan
saudagar yang kaya-kaya? Yang tak
beruang dan tak berbangsa
itulah yang bekerja, menerima
upah dari orang lain; takut kalaukalau
mati kelaparan. Tetapi hamba,
masakan sedemikian?"
jawab Sutan Hamzah.
"Tentu," kata putri
Rubiah, "orang yang berbangsa tinggi, tak
perlu bekerja mencari
penghidupan, melainkan bersuka-sukaan
itulah kerjanya.
Tetapi sekarang marilah kita
bicarakan, apa akal kita tentang
hal si Mahmud ini. Bagaimanakah
baiknya pada pikiranmu,
supaya ia menjadi biasa kembali?
Karena walau bagaimana
sekalipun, ia saudara kita juga,
tak dapat kita tidakkan; sekalian
orang tahu. Apabila ada terjadi
apa-apa atas dirinya, tentu kita
akan terbawa-bawa juga dan nama
kita pun akan bercacatlah.
Jika kita bencanakan dia, menjadi
sebagai: menepuk air di
dulang pekerjaan kita itu; muka
kita sendiri juga yang akan
basah.
Kalau benar ia telah kena
"perbuatan" orang, seharusnya kitalah
yang akan mengobatinya. Itulah
kewajiban orang bersaudara.
Jangan kita musuhi dia, sebab
tentulah akan bertambah-tambah
penyakitnya, karena dari kanan
dan dari kiri, tak dapat
pertolongan. Kalau timbul sesuatu
kecelakaan atas dirinya, tetapi
hendaknya—malang tersebut, mujur
yang datang—, misalnya ia
meninggal dunia atau sakit, bukan
istrinya itu yang akan
bersusah payah melainkan kita.
juga. Sungguhpun demikian,
oleh si Penghulu tiada diingatnya
itu. Sekarang apa akalmu?"
tanya putri Rubiah.
"Baiklah kita cari dukun
yang pandai untuk mengobatinya."
"Tahukah engkau seorang
dukun yang pandai?"
"Tahu, rumahnya dekat di
sini, Juara Lintau gelarnya."
"Adakah ia sekarang di
rumahnya gerangan? Cobalah suruh
lihat oleh si Abu! Barangkali ada
di rumah. Biarlah kini kita
suruh datang ia kemari, supaya
bangat pekerjaan ini."
"Abu!" teriak Sutan
Hamzah.
Tatkala datang bujang Abu,
berkatalah Sutan Hamzah perlahan-
lahan kepadanya, sebagai takut ia
perkataannya akan terdengar
oleh orang lain, "Abu, coba
engkau pergi sebentar ke
rumah Juara Lintau! Kalau ia ada
di rumah, mintalah datang
sebentar kemari, sebab ada
keperluan yang hendak dibicarakan
dengan dia. Akan tetapi, apabila
ada orang lain di sana, tunggulah
sampai orang itu pulang, supaya
jangan ada orang yang tahu
engkau memanggil Juara ini."
"Baiklah, Engku Muda,"
jawab si Abu, lalu berangkat.
"Kalau ia datang, hendaklah
lebih dahulu kausuruh tenungkan
olehnya, benarkah si Penghulu
kena ilmu orang atau tidak.
Kalau benar, suruhlah obati,
supaya terlepas ia daripada perbuatan
orang itu. Kemudian hendaklah
kausuruh kerjakan pula,
supaya ia benci kepada
istrinya," kata putri Rubiah perlahanlahan.
"Tentu," jawab Sutan
Hamzah. "Apa gunanya perempuan
yang demikian? Baik rupa saja;
harta tidak, bangsa pun rendah.
Kalau untuk hamba, tak terpakai
perempuan semacam itu. Tentu
saja sudah diberinya ilmu,
Kakanda Mahmud. Kalau tiada,
masakan ia takluk kepadanya dan
suka menyuruh majukan
anaknya. Tentulah ia yang mengasut-asut
Kakanda Mahmud,
supaya benci kepada sekalian. Ia
takut Kakanda Mahmud beristri
pula, kalau-kalau ia tiada
terpakai lagi. Sungguh keras ilmu
perempuan jahat itu! Bukan takluk
saja laki-laki kepadanya,
tetapi pikirannya pun sampai
bertukar pula," kata Sutan Hamzah
seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kemudian berkata
pula ia, "Perkara Rukiah
sudahkah dibicarakan dengan dia?"
"Sudah," jawab putri
Rubiah.
"Apa jawabnya?"
"Baik, katanya."
"Berapa belanja hendak
diadakannya?"
"Katanya tiga ribu rupiah."
"Kalau sekian, boleh cukup;
asal jangan terlalu berbesarbesar.
Perarakan gajah mina tanggungan
hambalah.
Tetapi di manakah diperolehnya
uang itu? Jangan-jangan
harta pusaka kita pula yang
dijual atau digadaikannya."
"Tidak," jawab putri
Rubiah. "Rumahnya dengan tanahnya
yang di Kampung Jawa Dalam
digadaikannya kepada Datuk
Meringgih."
"Kalau rumah itu, suka
hatinya; karena rumah itu tiada juga
akan dapat oleh Rukiah, sebab
rumah itu khabarnya tertulis di
atas nama istrinya. Coba! Adakah
patut kelakuannya itu? Harta
pencariannya dituliskannya di
atas nama istrinya, supaya jangan
dapat oleh kemanakannya! Tetapi
biarlah, tak mengapa! Kalau ia
mati, tentu dapat juga dirampas
segala hartanya itu. Karena
sekalian orang tahu, harta itu
pencariannya sendiri."
Tiada lama mereka berkata-kata,
kembalilah Abu bersamasama
orang yang dipanggil tadi, lalu
dipersilakan oleh Sutan
Hamzah masuk ke ruang tengah
(tengah rumah). Setelah
ditutupnya pintu muka dan pintu
belakang, lalu duduklah ia
dekat dukun ini seraya memberi
rokok kepadanya. Kemudian
berkatalah Sutan Hamzah,
"Hamba minta datang Kakak Juara
kemari, karena adalah suatu
permintaan hamba yang penting
kepada Kakak. Tetapi sebelumnya
hamba keluarkan apa yang
terasa di hati hamba ini, lebih
dahulu hamba minta, supaya
Kakak Juara jangan membuka
rahasia ini kepada siapa pun."
"Tentu tidak, masakan hamba
berani," jawab dukun itu.
"Hamba takut kepada Tuanku
Penghulu."
"Itulah yang hamba harapkan;
terlebih-lebih sebab perkara ini
memang perkara Tuanku Penghulu
sendiri kakak hamba itu,"
kata Sutan Hamzah.
"Perkara apakah itu?"
tanya Juara Lintau.
"Begini," jawab Sutan
Hamzah. "Tiadakah Kakak Juara
heran Penghulu-Penghulu yang
lain? Terutama tak hendak
menerima segala melihat kelakuan
kakak hamba itu? Berbeda
benar dengan adat jemputan orang
atas dirinya dan tak mau beristri
lagi rupanya, sedang kemanakan
dan saudaranya, daranya,
kakak hamba ini, tiada pula
diindahkannya."
"Sesungguhnya hal itu telah
lama menjadi buah pikiran
hamba dan orang lain pun. Sedang
Penghulu-Penghulu yang lain,
empat istrinya, beliau itu; hanya
seorang saja. Kurang patut
rupanya bagi orang besar sebagai
Tuanku itu," jawab Juara
Lintau.
"Lihatlah, sedangkan Kakak
Juara, orang lain lagi, ada
berpikir demikian, istimewa pula
kami yang kemanakannya dan
saudara kandungnya. Hanya
sendirilah yang tiada merasa
kesalahan perbuatannya itu,"
kata Sutan Hamzah. "Oleh sebab
itu timbul wasangka di dalam hati
kami, kalau saudara hamba itu
telah kena ilmu orang, sampai
bertukar kelakuan dan pikirannya.
Apabila benar ia kena ilmu,
tentulah tak boleh hamba biarkan."
"Tentu sekali harus
ditolong," jawab Juara Lintau.
"Oleh sebab itu berharaplah
hamba, supaya Kakak sudi
merenungkan hal itu," kata
Sutan Hamzah pula.
"Baiklah," jawab Juara
Lintau. "Hamba mohon perasapan
dan kemenyan serta air bersih
secambung dan sirih kuning tujuh
lembar."
"Nanti hamba ambilkan,"
kata putri Rubiah, lalu keluar
mengambil yang diminta itu.
Sejurus kernudian kembalilah ia
membawa barang-barang ini.
Setelah Juara Lintau membakar
kemenyan, lalu membacabaca
beberapa mantera. Kemudian
diasapinya air secambung tadi
dengan sirih tiga kali
berganti-ganti, lalu dimasukkannya ketujuh
helai sirih itu ke dalam cambung
itu dengan membaca-baca pula.
Setelah itu dipandangnyalah daun
sirih itu sehelai-sehelai dengan
hati-hati, lalu ia berkata,
"Sesungguhnyalah persangka Engku
Muda tadi. Perubahan kelakuan
beliau itu memang karena
perbuatan orang. Sebab keras ilmu
dukun yang mengerjakannya,
tak dapatlah beliau berbuat
sekehendak hati beliau lagi, melainkan
haruslah menurut kemauan orang
yang mengerjakan beliau."
"Apa kataku? Bukankah benar
sangkaku?" kata putri Rubiah,
"Dan siapakah yang berbuat
demikian?"
"Orang yang berbuat itu tak
jauh daripada beliau; orang
dalam rumah itu juga dan dekat
amat rupanya kepada beliau,"
jawab Juara Lintau.
"Perempuan atau
laki-laki?"
"Perempuan," jawab
dukuh.
"Jika demikian, tentulah tak
lain daripada istrinya sendiri,
karena tak ada perempuan lain
dalam rumahnya," kata putri
Rubiah pula.
"Pikiran hamba pun demikian
juga," sahut Sutan Hamzah.
"Sekarang bagaimana akal,
supaya terlepas ia daripada ikatan
ini?" tanya putri Rubiah.
"Akal yang lain tak ada,
melainkan diobatilah Tuanku dengan
ilmu dan ramuan," jawab
Juara Lintau.
"Ya, tetapi hendaknya
dibencinya pula istrinya itu, supaya ia
diceraikan. Itulah balasan yang
patut bagi perempuan yang
sedemikian," kata putri
Rubiah.
"Perkara itu serahkanlah
kepada hamba; seberapa boleh,
tentu akan hamba tolong. Hanya
suatu permintaan hamba,
adakah agaknya baju atau kain
Tuanku Penghulu di sini yang
sudah dipakainya?" tanya
Juara Lintau.
"Rasa hamba ada. Coba hamba
periksa dahulu," jawab putri
Rubiah, lalu pergi. Tiada berapa
lama antaranya, kembalilah ia
membawa sehelai kain Balanipah,
seraya berkata, "Ini dia! Kain
ini telah beberapa lama ditinggalkannya
di sini. Lupa rupanya ia
mengambil kembali."
"Bolehkah hamba bawa pulang
kain ini? Sebab berguna
waktu mengerjakannya," tanya
Juara Lintau.
"Boleh, bawalah!" jawab
putri Rubiah.
"Lagi pula hamba perlu
mendapat rambut orang kaya istri
Tuanku Penghulu itu; sehelai pun
cukup. Sebab apabila ia tak
kena kebenci, terus hamba
kerjakan dengan si judai, sebab
rupanya penahan ilmu padanya amat
kuat. Bolehkah hamba
kerjakan dia sampai gila?"
tanya Juara Lintau.
"Itu lebih baik," jawab
Sutan Hamzah. "Mati pun tak
mengapa, karena perempuan semacam
itu tak harus dipelihara.
Setelah ia gila atau mati,
saudara hamba tentu mau kawin pula."
"Perkara rambut itu,
nantilah hamba pergi ke rumahnya untuk
mengambilnya," kata putri
Rubiah. Setelah itu putri Rubiah
mengeluarkan kue-kue dan kopi,
untuk dukun ini. Setelah
makan, diberikan oleh putri
Rubiah uang seringgit kepada Juara
Lintau, karena pertolongan.
Kemudian minta dirilah dukun ini,
lalu pulang ke rumahnya.... Bersambung.
No comments:
Post a Comment