Wednesday, December 17, 2014

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode 4

Putri Rubiah dengan Saudaranya Sutan Hamzah
Karya Marah Rusli

Pada petang hari Ahad, tatkala Samsu dengan sahabatnya pergi
berjalan-jalan ke Gunung Padang, kelihatan putri Rubiah duduk
di serambi belakang rumahnya, di atas sebuah tikar rumput,
sedang menjahit. Dekat putri itu duduk saudaranya yang bungsu,
Sutan Hamzah, sedang menggulung-gulung rokok daun nipah.
"Bagaimana pikiranmu tentang kakakmu Mahmud,
Hamzah?" tanya putri Rubiah dengan tiada menoleh dari
penjahitannya.
"Pada pikiran hamba, kelakuannya sangat berubah, " jawab
Sutan Hamzah, sambil menoleh kepada saudaranya.
"Pikiranku pun demikian pula. Makin lama makin jarang ia
datang kemari kian hari kian kurang diindahkannya aku dan
Rubiah, serta kaum keluarganya yang lain-lain sebagai takut ia
datang kemari. Katanya karena banyak kerja, dan ia takut kalaukalau
pekerjaannya kurang maju. Benarkah itu?" tanya putri
Rubiah.
"Ah, bohong! Bukannya ia sendiri yang menjadi Penghulu di
Padang ini dan berpangkat tinggi. Apakah sebabnya Penghulu di
lain-lain tiada sebagai dia?" jawab Sutan Hamzah.
"Pikiran yang sedemikian, acap kali timbul pula dalam
hatiku. Memang pangkat itu aku sukai dan harus dijaga benarbenar,
supaya jangan bercacat nama. Tetapi janganlah hendaknya
karena itu, berubah kelakuan adat dan pikiran. Coba kaupikir!
Aku dan Rukiah saudaranya dan kemanakannya yang
perempuan, jadi tanggungannya. Tetapi tiada dijaga, tiada
dikunjung-kunjunginya dan tiada dilihat-lihatnya, apalagi dibelanjainya;
pendeknya tidak diindahkannya. Hanya anak dan
istrinya sahaja yang dijaga dipelihara dan dihiraukannya. Kalau
terjadi apa-apa pada malam atau siang hari atau kami ditimpa
bahaya—sekali disebut seribu kali dijauhkan Allah hendaknya,
bagaimana kami? Akan mati seoranglah agaknya," kata Putri
Rabiah dengan sedih.
"Anaknya itu kabarnya akan dikirimkannya pula ke Jakarta,
Sekolah Jawa. Yang bukan tanggungannya ditanggungnya, yang
tanggungannya sendiri, disia-siakan. Kalau anaknya itu tak ada
mamaknya yang akan memikul beban ini, sudahlah; tolonglah
anak itu sebab kasihan Akan tetapi kewajiban, jangan dilupakan;
bahkan itulah yang patut diingat lebih dahulu."
"Si Samsu ke Jakarta?" tanya Sutan Hamzah dengan takjub
"Ya tiga bulan lagi. Dan dari sana, entah ke mana pula,
barangkali ke negeri Belanda. Hendak dijadikannya apa anaknya
itu, tiada kuketahui," jawab putri Rubiah.
"Akan dijadikannya jenderal, agaknya," sahut Sutan Hamzah
dengan tersenyum.
"Bukankah sekalian itu memakan uang saja? Itulah sebabnya
agaknya, maka tiap-tiap aku minta duit kepadanya, jarang dapat;
biasanya tak ada duit, katanya. Ke manakah gajinya yang
sebanyak itu? Tentulah habis untuk anak dan istrinya saja. Apakah
perlunya anak itu dimajukan sejauh itu? Sekolah Belanda ini
saja telah lebih daripada cukup. Berapa orang yang tiada tahu
bahasa Belanda, tetapi dapat juga mencapai pangkat yang tinggi.
Ayah kita, apa kepandaiannya? Menulis pun hampir tak dapat.
Tetapi mengapakah dapat juga ia menjabat pangkat Tuanku
Bendahara*). Siapakah di antara Penghulu-Penghulu yang ada di
Padang ini, yang pandai bahasa Belanda? Tak ada seorang pun.
Bukankah sekaliannya itu bergantung kepada untung nasib satusatunya
orang? Jika baik untungnya, tak pandai pun, ten¬tu akan
mendapat pangkat juga. Tetapi apabila tak baik nasib, walaupun
melangit kepandaiannya, jatuhnya ke pelimbahan juga."
"Pada pikiran hamba, anak itu tak baik untungnya. Segala
usaha Kakanda Mahmud ini, niscaya akan sia-sia belaka.
Cobalah lihat! Arang habis, besi binasa," jawab Sutan Hamzah,
sambil mengisap sebatang rokok yang dibuatnya.
"Mengapa engkau berkata demikian?" tanya putri Rubiah.
*) Pangkat yang hampir sama dengan patih
di tanah Jawa
"Ada suatu tanda padanya, ia akan mati berdarah dan akan
menjadi musuh kita," jawab Sutan Hamzah.
Putri Rubiah termenung sejurus mendengar perkataan adiknya
ini. Kemudian ia berkata pula, "Mauku sekolah Belanda ini
saja, cukuplah. Sudah itu masukkan saja ia ke kantor, jadi juru
tuliskah atau apa saja. Biarpun tak bergaji, tak mengapalah mulamula
ini. Kelak, tentulah akan naik juga pangkatnya dan dapat
juga gaji yang besar, asal ada untungnya. Bukankah sudah ada
pepatah kita yang mengiaskan hal itu: Malang tak boleh ditolak,
mujur tak dapat diraih. Sesudah diikhtiarkan, diserahkan! Ini
tidak; karena hendak memajukan anak sampai berhabis-habisan.
Harta pusaka pun hampir diganggunya pula."
"Harta pusaka kita?" jawab Sutan Hamzah dengan mengangkat
kepalanya. "Hendak hamba lihat, kalau benar ia berani
menghabiskan harta pusaka kita. Walaupun hamba tak berpangkat,
tetapi tak takut melawannya."
"Itulah yang menjadikan bimbang hatiku siang-malam,
hingga acapkali aku tak dapat tidur karena memikirkan hal ini.
Aku takut kalau-kalau benar diperbuatnya sedemikian, menjadi
berbantah kita, antara saudara dengan saudara. Bukan tak baik
saja, perbuatan yang sedemikian, tetapi malu aku kepada orang
lain; sebab tak layak orang yang berbangsa sebagai kita, berbuat
begitu," kata putri Rubiah pula dengan mengeluh.
"Tetapi kalau tak dapat dihindarkan, apa boleh buat! Janganlah
takut, Kanda! Hamba di muka kelak," jawab Sutan Hamzah
dengan garangnya. "Tentu saja ia selalu tiada beruang dan dirundung
susah sedemikian itu; sebab bodoh dan gila. Apakah
sebabnya ditanggung, yang tak perlu ditanggung dan disuruh
pula menuntut ilmu ke mana-mana. Itulah yang dikatakan orang:
Tak beban, batu digalas. Siapa yang mau berbuat sedemikian,
waktu ini? Hanya ia sendiri. Pada sangkanya, akan dipuji orang
perbuatannya ini. Tidak diketahuinya, bahwa ia dicerca dan
ditertawakan orang dari belakang.
Dan apakah sebabnya ia tak mau menerima segala jemputan
orang dan tak suka beristri banyak? Bukankah itu sekaliannya
duit saja! Apabila tiap-tiap kawin, ia beroleh uang jemputan dua
ratus atau tiga ratus rupiah, tak perlu ia makan gaji lagi? Kalau
habis duit, kawin lagi. Apakah salahnya dan susahnya beristri
dan beranak banyak? Karena laki-laki bangsawan tak perlu
memelihara dan membelanjai anak istrinya. Sekaliannya itu
tanggungan orang lain. Apa gunanya bangsa dan pangkat yang
tinggi, kalau tiada akan beroleh hasil?
Coba lihat hamba! Walaupun tiada mempunyai pekerjaan,
makan tak kurang, kocek pun tak kosong. Apabila hamba datang
ke rumah istri hamba, makanan yang lezat citarasanya telah
tersedia: pakaian yang bersihpun, demikian pula. Jika berjalan,
kocek diisi: rokok dan segala keperluan hamba yang lain, diberi.
Ingin hamba hendak berbendi pada petang hari, bendi mentua
hamba telah tersedia; segala kesukaan diadakan, segala kemauan
tiada dilarang. Apa lagi yang dikehendaki? Bukankah bodoh,
laki-laki yang tak suka kepada adat istiadat yang sedemikian?"
"Memang engkaulah saudaraku yang sesungguh-sungguhnya,
membangkitkan batang terendam, yang tahu adat istiadat dan
menjunjung tinggi pusaka nenek moyang kita dan tahu menghargakan
ketinggian kebangsawanan kita dan menjalankan
kewajiban kepada saudara dan kemenakannya," kata putri
Rubiah, memuji-muji adiknya itu.
"Apa yang hamba susahkan?" kata Sutan Hamzah pula.
"Biarpun berpuluh istri hamba, beratus anak hamba, belanja tak
perlu hamba keluarkan dari kocek hamba, sebab istri hamba ada
orang tua dan mamaknya. Demikian pula anak hamba, bukan
tanggungan hamba. Apabila mentua hamba tiada cakap atau
tiada sudi lagi membelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan
hamba kawini perempuan lain, yang mampu; tentu dapat hamba
uang jemputan dua tiga ratus rupiah dan berisilah pula kocek
hamba. Bukan sebagai kakanda Mahmud; jangankan mendapat
uang, bahkan berugi dan berhabis uang pula ia. Mengapakah tak
dipergunakan bangsa dan pangkatnya yang tinggi itu? Sedang
sekarang, anaknya masih seorang dan istrinya seorang pula,
sudah tak dapat ia berkata apa-apa lagi. Bagaimanakah halnya
kelak, apabila anak dan istrinya sebanyak anak dan istri hamba?
Jangan-jangan mati di jalan besar sendiri saja ia. Karena hamba,
walaupun muda dari padanya, tetapi telah sepuluh orang istri
hamba dan delapan belas orang anak hamba. Sungguhpurt
demikian, hamba tiada susah, tiada kekurangan uang, tiada
meminjam ke sana ke mari. Lebih banyak anak, bukankah lebih
baik, lebih kembang biak dan lebih banyak pula orang yang
berbangsa di Padang ini. Dalam Quran pun diizinkan beristri
sampai empat orang sekali. Apakah sebabnya tak diturutnya itu,
kalau benar ia orang Islam'? Katanya ia cerdik pandai, sebab
bersekolah dan berpangkat tinggi; tetapi kepandaiannya itu
menyusahkan dirinya sendiri. Bukankah lebih baik bodoh
sebagai hamba ini, tetapi tak pernah susah dan menyusahkan
orang.
Anaknya disuruhnya sekolah ini dan sekolah itu, belajar ini
dan belajar itu, akhirnya ia akan menjadi apa? Menjadi raja, tak
dapat. Walaupun berpangkat setinggi apa sekalipun, jika masih
makan gaji masih di bawah perintah orang; berbuat sekehendak
hati tak boleh. Segala perintah dari atas, harus diturut. Biar
malam ataupun siang, biar sakit ataupun senang, lamun
pekerjaan harus dikerjakan; tak boleh mengatakan tidak. Kalau
enggan bekerja, tentu akan diperhentikan dari pekerjaan atau
mendapat nama yang kurang baik. Tetapi hamba, bebas sebagai
burung di udara; tak ada yang melarang dan menyuruh, boleh
berbuat sekehendak hati: Beraja di hati, bersutan di mata hamba
sendiri. Hendak pun tidur selama-lamanya atau duduk bercakapcakap
saja atau bersuka-sukaan sehari-hari, berjalan ke manamana,
tak ada yang membantah. Oleh karena itu benarkah orang
yang berilmu dan berpangkat tinggi itu lebih senang daripada
orang yang bodoh dan berpangkat rendah? Di sini ada contohnya,
tak perlu mengambil misal jauh jauh. Perbandingkanlah
Kakanda Mahmud dengan hamba.
Anaknya Samsu itu memang harus disekolahkannya ke
mana-mana, untuk menuntut ilmu yang tinggi-tinggi, sebab jika
tak demikian, tentulah anak itu tiada akan menjadi orang kelak.
Orang yang sebagai dia, harus membanting tulang, jika tak kaya;
sebab bangsanya kurang. Tetapi pada pikiran hamba, walaupun
tak menjadi orang anak itu, apa peduli kita? Bukan tanggungan
kita. Yang akan malu, mamaknya. Oleh sebab itu tak habis pikir
hamba mengapa tidak mamaknya yang memajukan anak itu?
Lagi pula kesalahan siapa, Kanda Mahmud sampai beroleh anak
itu? Siapa yang menyuruh dia kawin dengan perempuan biasa
itu? Kurangkah putri-putri yang baik di Padang ini? Apa gunanya
memandang rupa saja, kalau bangsa tak ada? Coba kalau ia
kawin dengan putri bangsawan, niscaya anaknya takkan turun
bangsanya, tetap sutan. Sekarang anaknya hanya marah."
"Itulah yang menjadikan heran hatiku; tak dapat kupikirkan
bagaimana ingatannya sekarang ini. Bukankah telah adat nenek
moyang kita, yang sebagai itu? Mengapa tiada hendak diturutnya?
Malu aku rasanya mempunyai saudara sedemikian ini.
Orang yang tak tahu niscaya akan bersangka saudarakulah yang
tak laku kepada perempuan; barangkali karena ada cacatnya.
Tatkala kunyatakan kepadanya sesat pikirannya ini, jawabnya,
"Binatang yang beristri banyak." Coba kaupikir! Adakah patut
jawaban yang seperti itu dikeluarkannya di hadapanku?" kata
putri Rubiah pula.
"Demikian jawabnya?" tanya Sutan Hamzah dengan merah
mukanya.
"Sungguh," jawab putri Rubiah.
"Jadi binatanglah sekalian laki-laki yang ada di Padang ini!
Sebab sekaliannya beristri banyak. Hanya ia sendiri yang beristri
seorang. Jika demikian katanya, sesungguhnyalah pikirannya
telah bertukar dan otaknya telah miring. Barangkali telah
termakan perbuatan orang*), sehingga lupalah ia akan dirinya
dan jalan yang benar," sahut Sutan Hamzah, seraya menggelenggelengkan
kepalanya.
"Pikiranmu sesuai benar dengan pikiranku. Rasa hatiku
memang telah "berudang di balik batu," kata putri Rubiah pula,
* Kena ramuan guna-guna (pekasih)
sambil menoleh kepada saudaranya.
"Sekarang tahulah hamba, apa sebabnya ia sebagai benci saja
melihat kita. Sedangkan pekerjaan hamba sehari-hari dicelanya."
sahut Sutan Hamzah.
"Pekerjaan apa?" tanya putri Rubiah pula.
"Katanya tak patut seorang bangsawan berjudi dan
rnenyabung ayam. Bukankah itu permainan anak raja dan
saudagar yang kaya-kaya? Yang tak beruang dan tak berbangsa
itulah yang bekerja, menerima upah dari orang lain; takut kalaukalau
mati kelaparan. Tetapi hamba, masakan sedemikian?"
jawab Sutan Hamzah.
"Tentu," kata putri Rubiah, "orang yang berbangsa tinggi, tak
perlu bekerja mencari penghidupan, melainkan bersuka-sukaan
itulah kerjanya.
Tetapi sekarang marilah kita bicarakan, apa akal kita tentang
hal si Mahmud ini. Bagaimanakah baiknya pada pikiranmu,
supaya ia menjadi biasa kembali? Karena walau bagaimana
sekalipun, ia saudara kita juga, tak dapat kita tidakkan; sekalian
orang tahu. Apabila ada terjadi apa-apa atas dirinya, tentu kita
akan terbawa-bawa juga dan nama kita pun akan bercacatlah.
Jika kita bencanakan dia, menjadi sebagai: menepuk air di
dulang pekerjaan kita itu; muka kita sendiri juga yang akan
basah.
Kalau benar ia telah kena "perbuatan" orang, seharusnya kitalah
yang akan mengobatinya. Itulah kewajiban orang bersaudara.
Jangan kita musuhi dia, sebab tentulah akan bertambah-tambah
penyakitnya, karena dari kanan dan dari kiri, tak dapat
pertolongan. Kalau timbul sesuatu kecelakaan atas dirinya, tetapi
hendaknya—malang tersebut, mujur yang datang—, misalnya ia
meninggal dunia atau sakit, bukan istrinya itu yang akan
bersusah payah melainkan kita. juga. Sungguhpun demikian,
oleh si Penghulu tiada diingatnya itu. Sekarang apa akalmu?"
tanya putri Rubiah.
"Baiklah kita cari dukun yang pandai untuk mengobatinya."
"Tahukah engkau seorang dukun yang pandai?"
"Tahu, rumahnya dekat di sini, Juara Lintau gelarnya."
"Adakah ia sekarang di rumahnya gerangan? Cobalah suruh
lihat oleh si Abu! Barangkali ada di rumah. Biarlah kini kita
suruh datang ia kemari, supaya bangat pekerjaan ini."
"Abu!" teriak Sutan Hamzah.
Tatkala datang bujang Abu, berkatalah Sutan Hamzah perlahan-
lahan kepadanya, sebagai takut ia perkataannya akan terdengar
oleh orang lain, "Abu, coba engkau pergi sebentar ke
rumah Juara Lintau! Kalau ia ada di rumah, mintalah datang
sebentar kemari, sebab ada keperluan yang hendak dibicarakan
dengan dia. Akan tetapi, apabila ada orang lain di sana, tunggulah
sampai orang itu pulang, supaya jangan ada orang yang tahu
engkau memanggil Juara ini."
"Baiklah, Engku Muda," jawab si Abu, lalu berangkat.
"Kalau ia datang, hendaklah lebih dahulu kausuruh tenungkan
olehnya, benarkah si Penghulu kena ilmu orang atau tidak.
Kalau benar, suruhlah obati, supaya terlepas ia daripada perbuatan
orang itu. Kemudian hendaklah kausuruh kerjakan pula,
supaya ia benci kepada istrinya," kata putri Rubiah perlahanlahan.
"Tentu," jawab Sutan Hamzah. "Apa gunanya perempuan
yang demikian? Baik rupa saja; harta tidak, bangsa pun rendah.
Kalau untuk hamba, tak terpakai perempuan semacam itu. Tentu
saja sudah diberinya ilmu, Kakanda Mahmud. Kalau tiada,
masakan ia takluk kepadanya dan suka menyuruh majukan
anaknya. Tentulah ia yang mengasut-asut Kakanda Mahmud,
supaya benci kepada sekalian. Ia takut Kakanda Mahmud beristri
pula, kalau-kalau ia tiada terpakai lagi. Sungguh keras ilmu
perempuan jahat itu! Bukan takluk saja laki-laki kepadanya,
tetapi pikirannya pun sampai bertukar pula," kata Sutan Hamzah
seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian berkata
pula ia, "Perkara Rukiah sudahkah dibicarakan dengan dia?"
"Sudah," jawab putri Rubiah.
"Apa jawabnya?"
"Baik, katanya."
"Berapa belanja hendak diadakannya?"
"Katanya tiga ribu rupiah."
"Kalau sekian, boleh cukup; asal jangan terlalu berbesarbesar.
Perarakan gajah mina tanggungan hambalah.
Tetapi di manakah diperolehnya uang itu? Jangan-jangan
harta pusaka kita pula yang dijual atau digadaikannya."
"Tidak," jawab putri Rubiah. "Rumahnya dengan tanahnya
yang di Kampung Jawa Dalam digadaikannya kepada Datuk
Meringgih."
"Kalau rumah itu, suka hatinya; karena rumah itu tiada juga
akan dapat oleh Rukiah, sebab rumah itu khabarnya tertulis di
atas nama istrinya. Coba! Adakah patut kelakuannya itu? Harta
pencariannya dituliskannya di atas nama istrinya, supaya jangan
dapat oleh kemanakannya! Tetapi biarlah, tak mengapa! Kalau ia
mati, tentu dapat juga dirampas segala hartanya itu. Karena
sekalian orang tahu, harta itu pencariannya sendiri."
Tiada lama mereka berkata-kata, kembalilah Abu bersamasama
orang yang dipanggil tadi, lalu dipersilakan oleh Sutan
Hamzah masuk ke ruang tengah (tengah rumah). Setelah
ditutupnya pintu muka dan pintu belakang, lalu duduklah ia
dekat dukun ini seraya memberi rokok kepadanya. Kemudian
berkatalah Sutan Hamzah, "Hamba minta datang Kakak Juara
kemari, karena adalah suatu permintaan hamba yang penting
kepada Kakak. Tetapi sebelumnya hamba keluarkan apa yang
terasa di hati hamba ini, lebih dahulu hamba minta, supaya
Kakak Juara jangan membuka rahasia ini kepada siapa pun."
"Tentu tidak, masakan hamba berani," jawab dukun itu.
"Hamba takut kepada Tuanku Penghulu."
"Itulah yang hamba harapkan; terlebih-lebih sebab perkara ini
memang perkara Tuanku Penghulu sendiri kakak hamba itu,"
kata Sutan Hamzah.
"Perkara apakah itu?" tanya Juara Lintau.
"Begini," jawab Sutan Hamzah. "Tiadakah Kakak Juara
heran Penghulu-Penghulu yang lain? Terutama tak hendak
menerima segala melihat kelakuan kakak hamba itu? Berbeda
benar dengan adat jemputan orang atas dirinya dan tak mau beristri
lagi rupanya, sedang kemanakan dan saudaranya, daranya,
kakak hamba ini, tiada pula diindahkannya."
"Sesungguhnya hal itu telah lama menjadi buah pikiran
hamba dan orang lain pun. Sedang Penghulu-Penghulu yang lain,
empat istrinya, beliau itu; hanya seorang saja. Kurang patut
rupanya bagi orang besar sebagai Tuanku itu," jawab Juara
Lintau.
"Lihatlah, sedangkan Kakak Juara, orang lain lagi, ada
berpikir demikian, istimewa pula kami yang kemanakannya dan
saudara kandungnya. Hanya sendirilah yang tiada merasa
kesalahan perbuatannya itu," kata Sutan Hamzah. "Oleh sebab
itu timbul wasangka di dalam hati kami, kalau saudara hamba itu
telah kena ilmu orang, sampai bertukar kelakuan dan pikirannya.
Apabila benar ia kena ilmu, tentulah tak boleh hamba biarkan."
"Tentu sekali harus ditolong," jawab Juara Lintau.
"Oleh sebab itu berharaplah hamba, supaya Kakak sudi
merenungkan hal itu," kata Sutan Hamzah pula.
"Baiklah," jawab Juara Lintau. "Hamba mohon perasapan
dan kemenyan serta air bersih secambung dan sirih kuning tujuh
lembar."
"Nanti hamba ambilkan," kata putri Rubiah, lalu keluar
mengambil yang diminta itu. Sejurus kernudian kembalilah ia
membawa barang-barang ini.
Setelah Juara Lintau membakar kemenyan, lalu membacabaca
beberapa mantera. Kemudian diasapinya air secambung tadi
dengan sirih tiga kali berganti-ganti, lalu dimasukkannya ketujuh
helai sirih itu ke dalam cambung itu dengan membaca-baca pula.
Setelah itu dipandangnyalah daun sirih itu sehelai-sehelai dengan
hati-hati, lalu ia berkata, "Sesungguhnyalah persangka Engku
Muda tadi. Perubahan kelakuan beliau itu memang karena
perbuatan orang. Sebab keras ilmu dukun yang mengerjakannya,
tak dapatlah beliau berbuat sekehendak hati beliau lagi, melainkan
haruslah menurut kemauan orang yang mengerjakan beliau."
"Apa kataku? Bukankah benar sangkaku?" kata putri Rubiah,
"Dan siapakah yang berbuat demikian?"
"Orang yang berbuat itu tak jauh daripada beliau; orang
dalam rumah itu juga dan dekat amat rupanya kepada beliau,"
jawab Juara Lintau.
"Perempuan atau laki-laki?"
"Perempuan," jawab dukuh.
"Jika demikian, tentulah tak lain daripada istrinya sendiri,
karena tak ada perempuan lain dalam rumahnya," kata putri
Rubiah pula.
"Pikiran hamba pun demikian juga," sahut Sutan Hamzah.
"Sekarang bagaimana akal, supaya terlepas ia daripada ikatan
ini?" tanya putri Rubiah.
"Akal yang lain tak ada, melainkan diobatilah Tuanku dengan
ilmu dan ramuan," jawab Juara Lintau.
"Ya, tetapi hendaknya dibencinya pula istrinya itu, supaya ia
diceraikan. Itulah balasan yang patut bagi perempuan yang
sedemikian," kata putri Rubiah.
"Perkara itu serahkanlah kepada hamba; seberapa boleh,
tentu akan hamba tolong. Hanya suatu permintaan hamba,
adakah agaknya baju atau kain Tuanku Penghulu di sini yang
sudah dipakainya?" tanya Juara Lintau.
"Rasa hamba ada. Coba hamba periksa dahulu," jawab putri
Rubiah, lalu pergi. Tiada berapa lama antaranya, kembalilah ia
membawa sehelai kain Balanipah, seraya berkata, "Ini dia! Kain
ini telah beberapa lama ditinggalkannya di sini. Lupa rupanya ia
mengambil kembali."
"Bolehkah hamba bawa pulang kain ini? Sebab berguna
waktu mengerjakannya," tanya Juara Lintau.
"Boleh, bawalah!" jawab putri Rubiah.
"Lagi pula hamba perlu mendapat rambut orang kaya istri
Tuanku Penghulu itu; sehelai pun cukup. Sebab apabila ia tak
kena kebenci, terus hamba kerjakan dengan si judai, sebab
rupanya penahan ilmu padanya amat kuat. Bolehkah hamba
kerjakan dia sampai gila?" tanya Juara Lintau.
"Itu lebih baik," jawab Sutan Hamzah. "Mati pun tak
mengapa, karena perempuan semacam itu tak harus dipelihara.
Setelah ia gila atau mati, saudara hamba tentu mau kawin pula."
"Perkara rambut itu, nantilah hamba pergi ke rumahnya untuk
mengambilnya," kata putri Rubiah. Setelah itu putri Rubiah
mengeluarkan kue-kue dan kopi, untuk dukun ini. Setelah
makan, diberikan oleh putri Rubiah uang seringgit kepada Juara
Lintau, karena pertolongan. Kemudian minta dirilah dukun ini,

lalu pulang ke rumahnya.... Bersambung.

No comments:

Post a Comment