Surat Samsul Bahri kepada Nurbaya
Karya Marah Rusli
Tiga bulan Samsulbahri telah
berangkat ke Jakarta, meninggalkan
tanah airnya. Tiga bulan lamanya
Nurbaya telah bercerai
dengan kekasihnya, tiada melihat
wajahnya dan tiada mendengar
suaranya dan tiga bulan pula
lamanya ia tiada bermain-main
dengan Samsu dan mengganggu
kakaknya ini. Sejak hari perceraiannya,
sampai kepada waktu itu,
kekasihnya ini tiada hilang
barang sekejap pun dari
ingatannya. Biarpun buah hatinya ini
telah hilang dari matanya tetapi
makin kelihatan ia dalam
kalbunya, makin nyaring
kedengaran bunyi suaranya dan makin
bertambah nyata segala tingkah
lakunya.
Mula-mula pada sangkanya mudah
akan dapat melipur
pikirannya, apabila kesedihan
hatinya telah hilang. Akan tetapi
setelah sepekan lamanya ia
bagaikan demam dan setelah sembuh
pula ia kembali pada lahirnya,
pada batinnya bertambah-tambah
ia menanggung kesakitan; makin
lama makin larat, makin
dilupakan makin teringat, makin
dilipur makin berat, makin
dijauhkan makin dekat. Ketika
itulah baru diketahuinya benarbenar,
betapa besar harga saudaranya dan
kekasihnya itu baginya
karena ketika itulah pula
dirasainya benar-benar keberatan
perceraian itu sebagai kata
pantun:
Anak Cina
bermain wayang,
anak Keling
bermain api.
Jika siang
terbayang-bayang,
jika malam
menjadi mimpi.
Terbang melayang
kunang-kunang,
anak balam mati
tergugur,
jatuh ke tanah
ke atas kembang,
kembang kuning
bunga cempaka.
Jika siang tak
dapat senang,
jika malam tak
dapat tidur,
pikiran kusut
hati pun bimbang,
teringat kakanda
Samsu juga.
Jika datang godaan yang
sedemikian itu, dicobanyalah
melipur hatinya dengan pikiran
ini: Samsu tiada lama lagi akan
kembali dan tentulah ia akan
dapat berteinu pula dengan dia.
Tambahan pula kekasihnya itu
pergi untuk menuntut ilmu, yang
kemudian dapat memberi kesenangan
dan kemuliaan kepada
dirinya. Apabila Samsu menjadi
dokter, tentulah ia akan beroleh
kemuliaan dan kesenangan pula.
"Aduh, alangkah senang
hatiku kelak, apabila aku telah
menjadi istri Samsu, kekasihku
itu! Memang patut aku duduk
bersama-sama dengan dia, memang
dialah jodohku. Bila ia telah
lulus dalam ujiannya, menjadilah
aku istri dokter. Jika sakit aku
atau anakku kelak, tak usah
memanggil tabib yang lain, karena
suamiku sendiri pandai mengobati
kami.
Ya, anakku, kataku. Alangkah senangnya,
jika beroleh anak
dari seorang laki-laki yang
sebagai suamiku ini! Karena tentulah
anak itu akan baik pula tingkah
lakunya, seperti bapaknya dan
rupanya tentulah sebagai pinang
dibelah dua dengan bapaknya.
Wahai! Alangkah lncunya kelak
Samsu yang kecil itu, suka
bermain-main, sebagai bapaknya
dan apabila ia telah besar,
tentulah akan menjadi dokter
pula.
Apabila anak itu perempuan,
biarlah sebagai rupaku. Jika ia
telah besar, kuajarlah ia
sekalian ilmu yang patut diketahui
perempuan; kujadikanlah ia
seorang perempuan yang berguna
bagi suaminya kelak, perempuan
yang dapat dibawa melarat dan
dapat membantu suaminya di dalam
kesukaan dan kedukaan,
supaya menantu itu kelak dapat
beroleh kesenangan dan
kesentosaan, sebagai aku akan
menyenangkan Samsuku,"
demikianlah kenang-kenangan
Nurbaya pada suatu malam Ahad,
tatkala ia duduk di serambi muka
rumahnya, sambil memandang
kepada bangku di dalam kebunnya,
tempat ia biasa bersenda
gurau dengan kekasihnya itu.
"Ah, tetapi waktu itu masih
lama lagi," katanya pula dalam
hatinya, "masih tujuh tahun.
Adakah dapat aku menunggu
selama itu? Mengapa tidak,"
jawabnya sendiri pula. "Ingatlah
kata pantun:
Lurus jalan ke
Payakumbuh,
bersimpang lalu
ke Kinali.
Jika hati sama
sungguh,
kering lautan dapat dinanti.
Betul tetapi hatiku sebenarnya
khawatir juga, kalau-kalau ia
kelak tergoda oleh perempuan
lain; karena Jakarta negeri besar,
segala godaan ada di sana. Nyonya
yang bagus-bagus, tentu tak
kurang dan kabarnya
perempuan-perempuan Sunda pun, banyak
pula yang cantik-cantik. Baik aku
minta lekas-lekas kawin
dengan dia, supaya terikat ia
padaku."
Tetapi sejurus lagi bertukar pula
pikirannya dan berkatalah ia
dalam hatinya, "Ah, kurang
baik pikiranku ini, sebab ia masih
dalam sekolah kalau-kalau
pelajarannya kelak jadi terganggu.
Yang dikejar nanti tak dapat,
yang dikandung berceceran. Jangan
terburu nafsu, dengarlah pantun
ini!
Encik Amat
mengaji tamat,
mengaji Quran di
waktu fajar.
Biar lambat asal
selamat,
tidak lari
gunung dikejar.
Masakan ia akan mengubah janji,
mustahil! Tak baik aku
berpikir demikian; aku masih
terlalu muda. Bila ia kelak telah
menjadi dokter, umurku telah dua
puluh dua tahun, barulah baik
aku bersuami.
Sesungguhnya tak baik kawin
muda-muda. Lihatlah putri
Alia, yang dikawinkan oleh orang
tuanya, tatkala ia berumur tiga
belas tahun. Badannya tak dapat
besar lagi dan anaknya telah
lima orang mati-mati saja. Yang
keenam, yang hidup, rupanya
kurang sempurna; badannya lemah,
sebagai tiada berdaya.
Tatkala anak ini telah berumur
dua tahun, masih belum pandai
jua ia berjalan dan berkata-kata
pun rupanya susah. Samsu
kecilku kelak tak boleh
sedemikian, harus sehat.dan kukuh
badannya, supaya boleh menjadi
orang yang sempurna.
Oleh sebab itu tak boleh aku
kawin terlalu muda, tak baik
bagi badanku dan tak baik pula
lagi turunanku. Tentu saja,
masakan biji yang belum sempurna
tua, jika ditanam, dapat
tumbuh menjadi pohon yang besar
dan baik, yang menghasilkan
buah yang banyak dan besar-besar?
Tentu tidak. Tetapi,
kebanyakan ibu-bapa di Padang ini
tiada mengingat hal itu. Asal
untungnya lepas, katanya
senanglah hatinya, dengan tidak
memikirkan anak cucu dan
turunannya di kemudian hari.
Apabila sekalian orang kawin
muda, tentulah akhirnya
bangsanya akan berkurang-kurang
orangnya atau undur dalam
kesehatannya, besarnya,
kepandaiannya dan sifatnya yang lainlain,
sehingga bangsanya menjadi suatu
bangsa yang daif. Biasanya
orang tua-tua kuno tiada
memikirkan hal ini atau tiada
sampai ke sana pikirannya. Pada
sangkanya aib, bila anaknya
yang perempuan, tua baru
bersuami, sebagai tak laku. Oleh
sebab itu dikawinkannya
muda-muda, terkadang-kadang waktu
berumur sebelas tahun. Dan
tatkala berumur dua belas tahun,
beranaklah perempuan muda ini.
Orang barat yang tiada suka
kawin muda-muda, lihatlah
badannya, besar, kukuh, dan sehat."
Tatkala Nurbaya berpikir-pikir
sedemikian itu, tiba-tiba didengarnya
suara, "Surat pos,"
sehingga terkejutlah ia. Di tangga
rumahnya dilihatnya seorang
tukang pos berdiri memegang
sepucuk surat. Segera Nurbaya
berdiri mengambil surat itu dan
tatkala dibacanya alamatnya,
nyatalah surat itu untuk ia sendiri,
datang dari Samsu, kekasihnya,
yang sedang diingat-ingatnya
pada waktu itu. Rupanya surat ini
baru datang dengan kapal yang
baru masuk hari itu.
Muka Nurbaya berseri, ketika
melihat surat itu, karena besar
hatinya, dan pada bibirnya
kelihatan gelak senyum, yang mencekungkan
kedua pipinya, menambah manis
rupanya. Bertambah-
tambah besar hatinya menerima
surat ini, karena telah
dua jumat ia tiada mendapat kabar
dari Samsu. Segeralah ia
masuk ke dalam biliknya, lalu
dengan hati yang berdebar-debar,
dibukanyalah surat itu. Kelihatan
olehnya surat itu amat panjang
dan banyak berisi syair. Demikian
bunyinya:
Jakarta, 10 Agustus 1896
Awal bermula
berjejak kalam,
Pukul sebelas
suatu malam,
Bulan bercaya
mengedar alam,
Bintang bersinar
laksana nilam.
Langit jernih
cuaca terang,
Kota bersinar
terang benderang,
Angin bertiup
serang-menyerang,
Ombak memecah di
atas karang.
Awan berarak
berganti-ganti,
Cepat melayang
tiada berhenti,
Menuju selatan
tempat yang pasti,
Sampai ke gunung
lalu berhenti.
Udara tenang
hari pun terang,
Sunyi senyap
bukan sebarang,
Murai berkicau
di kayu arang,
Merayu hati
dagang seorang.
Guntur menderu
mendayu-dayu,
Pungguk merindu
di atas kayu,
Hati yang riang
menjadi sayu,
Pikiran melayang
ke tanah Melayu.
Angin bertiup
bertalu-talu,
Kalbu yang rawan
bertambah pilu,
Hati dan jantung
berasa ngilu,
Bagai diiris
dengan sembilu.
Tatkala angin
berembus tenang,
Adik yang jauh
terkenang-kenang,
Air mata jatuh
berlinang,
Lautan Hindia
hendak direnang.
Jika dipikir
diingat-ingat,
Arwah melayang
terbang semangat,
Tubuh gemetar
terlalu sangat,
Kepala yang
sejuk berasa angat.
Betapa tidak
jadi begini,
Ayam berkokok di
sana-sini,
Disangka jiwa
permata seni,
Datang menjelang
kakanda ini.
Disangka adik
datang melayang,
Mengobat kakanda
mabuk kepayang,
Hati yang sedih
berasa riang,
Kalbu yang tetap
rasa tergoyang.
Lipur segala
susah di hati,
Melihat adikku
emas sekati,
Datang menjelang
abang menanti,
Dagang merindu
bagaikan mati.
Silakan gusti
emas tempawan,
Sila mengobat
dagang yang rawan,
Penyakit hebat
tidak berlawan,
Sebagai kayu
penuh cendawan.
Silalah adik,
silalah gusti,
Sila mengobat
luka di hati,
Jika lambat adik
obati,
Tentulah abang
fana dan mati.
Tatkala sadar
hilang ketawa,
Dagang seorang
di tanah Jawa,
Rasakan hancur
badan dan nyawa,
Nasib rupanya
berbuat kecewa.
Di sana teringat
badan seorang,
Jauh di rantau
di tanah seberang,
Sedih hati bukan
sebarang,
Sebagai manik
putus pengarang.
Tunduk menangis
tercita-cita,
Jatuh mencucur
air mata,
Lemah segala
sendi anggota,
Rindukan adik
emas juita.
Teringat adik
emas sekati,
Kanda mengeluh
tidak berhenti,
Rindu menyesak
ke hulu hati,
Rasa mencabut
nyawa yang sakti.
Terkenang kepada
masa dahulu,
Tiga bulan yang
telah lalu,
Bergurau senda
dapat selalu,
Dengan adikku
yang banyak malu.
Sekarang kakanda
seorang diri,
Jauh kampung
halaman negeri,
Duduk bercinta
sehari-hari,
Kerja lain tidak
dipikiri.
Tetapi apa
hendak dikata,
Sudah takdir
Tuhan semesta,
Sebilang waktu
duduk bercinta,
Kepada adikku
emas juita.
Setelah jauh
sudahlah malam,
Kakanda tertidur
di atas tilam,
Bermimpi adik
permata nilam,
Datang melipur
gundah di dalam.
Datangnya itu
seorang diri,
Tidur berbaring
di sebelah kiri,
Kakanda memeluk
intan baiduri,
Dicium pipi
kanan dan kiri.
Tiada berapa
lama antara,
Dilihat badan
sebatang kara,
Abang terbangun
dengan segera,
Hati yang rindu
bertambah lara.
Guling kiranya
berbuat olah,
Lalu mengucap
astagfirullah,
Begitulah takdir
kehendak Allah,
Badan yang sakit
bertambah lelah.
Memang apa
hendak dibilang,
Sudahlah nasib
untung yang malang,
Petang dan pagi
berhati walang,
Menanggung rindu
beremuk tulang.
Walaupun sudah
nasib begitu,
Tiada kanda
berhati mutu,
Gerak takdir
Tuhan yang satu,
Duduk bercinta
sebilang waktu.
Jauh malam
hampirkan siang,
Mataku tidak hendak
melayang,
Di ruang mata
adik, terbayang,
Hati dan jantung
rasa bergoyang.
Ayam berkokok
bersahut-sahutan,
Di sebelah
barat, timur, selatan,
Hatiku rindu
bukan buatan,
Kepada adikku
permata intan.
Di situ
terkenang ibu dan bapa,
Adik dan kakak
segala rupa,
Handai dan tolan
kaya dan papa,
Timbul di kalbu
tiada lupa.
Begitulah nasib
di rantau orang,
Susah ditanggung
badan seorang,
Sakit
bertenggang bukan sebarang,
Sebagai terpijak
duri di karang.
Setelah siang
sudahlah hari,
Berjalan kakanda
kian kemari,
Tak tahu apa
akan dicari,
Bertemu tidak
kehendak diri.
Diambil kertas
ditulis surat,
Ganti tubuh
badan yang larat
Kesan nasib
untung melarat,
Kepada adikku di
Sumatra Barat.
Dawat dan kalam
dipilih jari,
Dikarang surat
di dinihari,
Ganti kakanda
datang sendiri,
Ke pangkuan adik
wajah berseri.
Wahai adikku
indra bangsawan,
Salam kakanda
dagang yang rawan,
Sepucuk surat
jadi haluan,
Ke atas ribaan
emas tempawan.
Mendapatkan adik
paduka suri,
Cantik manis
intan baiduri,
Di padang konon
namanya negeri,
Duduk berdiam di
rumah sendiri.
Jika kakanda
peri dan mambang,
Tentulah segera
melayang terbang,
Menyeberang
lautan menyongsong gelombang,
Mendapatkan adik
kekasih abang.
Menyerahkan diri
kepada adinda,
Tulus dan ikhlas
di dalam dada,
Harapan kakanda
jangan tiada,
Mati di pangkuan
bangsawan muda.
Adikku Nurbaya
permata delima,
Dengan berahi
sudahlah lama,
Hasrat di hati
hendak bersama,
Dengan adikku
mahkota lima.
Hendak bersama
rasanya cita,
Dengan adikku
emas juita,
Jika ditolong
sang dewata,
Di dadalah jadi
tajuk mahkota.
Tajuk mahkota
jadilah tuan,
putih kuning
sangat cumbuan,
Menjadikan abang
rindu dan rawan,
Laksana orang
mabuk cendawan.
Karena menurut
cinta di hati,
Asyik berahi
punya pekerti,
Sungguhpun hidup
rasakan mati,
Baru sekarang
kanda mengerti.
Dendam berahi
sudahlah pasti,
Tuhan yang tahu
rahasia hati,
Kakanda bercinta
rasakan mati,
Tidak
mengindahkan raksasa sakti.
Siang dan malam
duduk bercinta,
Kepada adikku
emas juita,
Tiada hilang di
hati beta,
Adik selalu di
dalam cipta.
Jiwaku manis
Nurbaya Sitti,
Putih kuning
emas sekati,
Tempat melipur
gundah di hati,
Ingin berdua
sampaikan mati,
Tidaklah belas
dewa kencana,
Memandang kanda
dagang yang hina,
Makan tak
kenyang tidur tak lena,
Bercintakan adik
muda teruna.
Rindukan adik
paras yang gombang,*)
Siang dan malam
berhati bimbang,
Cinta di hati
selalu mengembang,
Laksana perahu
diayun gelombang.
Setiap hari
berdukacita,
Terkenang adinda
emas juita,
Sakit tak dapat
lagi dikata,
Sebagai bisul
tidak bermata.
Tiada dapat
kakanda katakan,
Asyik berahi tak
terperikan,
Adik seorang
kakanda idamkan,
Tiada putus
kakanda rindukan.
Rusaklah hati
kanda seorang,
Rindukan paras
intan di karang,
Dari dahulu
sampai sekarang,
Sebarang kerja
rasa terlarang.
*) Min: Tampan, gagah.
Pekerjaan lain
tidak dipikiri,
Karena rindu
sehari-hari.
Tiada lain
keinginan diri,
Hendak bersama
intan baiduri.
Ayuhai adik
Sitti Nurani,
Teruslah baca
suratku ini,
Ilmu mengarang
sudahlah fani,
Disambung syair
surat begini.
Tatkala Nurbaya membaca syair
ini, berlinang-linanglah air
matanya, karena untungnya pun
sedemikian pula.
"Adikku Nurbaya!"
demikianlah bunyi surat itu, ketika
terus dibaca oleh Nurbaya,
"Begitulah penanggunganku.
Bukan sedikit beratnya perceraian
ini rasanya. Bukannya
engkau saja yang terbayang di
mataku, tetapi ibu-bapa, handai
tolan, dan teman sejawatku, yang
kutinggalkan di Padang,
semuanya tiada hendak luput dari
mataku. Dahulu aku
dimanjakan oleh ibu-bapakku.
Sekaliannya telah disediakan,
telah diselenggarakan. Akan
tetapi sekarang haruslah aku
sendiri mengerjakannya. Pakaianku
harus kucuci, kulipat dan
kusimpan sendiri; bilik dan
tempat tidurku harus pula
dibersihkan sendiri. Sepatuku pun
tak ada orang lain, yang
akan menggosoknya. Kehidupanku
tiadalah bebas, karena
tinggal di dalam sekolah. Tidur
di dalam sebuah kamar
panjang; bersama-sama dengan
teman-teman yang lain,
sebagai serdadu dalam tangsi.
Hanya akulah yang dapat
sebuah kamar sendiri sebab tak
cukup tempat bersama-sama
dengan yang lain.
Pukul sepuluh malam haruslah
tidur, tak boleh bercakapcakap
lagi atau bekerja terus. Pukul
enam pagi haruslah
bangun; setelah makan, sekolah
pun mulai, pukul delapan.
Pelajaran tiada sebagai di
sekolah kita di Padang, karena
sekaliannya diserahkan kepada
yang belajar sendiri. Bila
hendak pandai rajin-rajinlah;
jika tidak, tahu sendiri.. Pukul
satu berhentilah sekolah, akan
tetapi terkadang-kadang petang
hari masuk pula.
Sesungguhnya aturan ini baik,
karena dengan demikian
dapatlah kami belajar hidup
sendiri. Apabila kita telah besar
kelak, tentulah begitu juga
jadinya. Masakan selalu akan bergantung
kepada ibu-bapa sahaja?
Sungguhpun demikian, bagiku yang
belum biasa hidup
sedemikian berat rasanya. Akan
tetapi lama-kelamaan lenyap
juga keberatan itu. Sekarang ini
telah mulai biasa aku sedikit
pada aturan itu dan tiadalah
berat benar lagi rasanya sebagai
bermula. Barangkali engkau belum
tahu, hampir pada tiap-tiap
sekolah tinggi ada suatu adat,
yang dinamakan dalam bahasa
Belanda
"ontgroening"*).
*) Perpeloncoan.
Adat ini memang ada baiknya,
karena maksudnya dengan
bersuka-sukaan, mengajari
murid-murid yang baru masuk,
supaya tahu adat-istiadat, tertib
sopan kepada teman sejawatnya
atau orang luar pun dan berani
atas kebenaran.
Bila ontgroening itu dipandang
sebagai permainan saja,
tiadalah mengapa; akan tetapi
terkadang-kadang kasar dilakukan,
sehingga boleh mendatangkan
kecelakaan kepada muridmurid
yang dipermainkan itu. Permainan
yang kasar ini, pada
pikiranku, tak baik diteruskan.
Misalnya aku dengar pada
sebuah sekolah menengah, ada
permainan yang dinamakan
"melalui selat Gibraltra."
Engkau tentu masih ingat dalam
ilmu bumi, selat Gibraltar
itu, ialah suatu selat yang
sempit, antara ujung tanah Sepanyol
dan benua Afrika.
Demikianlah diperbuat oleh
murid-murid kelas tinggi suatu
selat yang sempit, yang dijadikan
oleh kira-kira dua puluh
murid yang tua-tua, yang berleret
dalam dua baris. Sekalian
rnurid baru, haruslah berjalan
seorang-seorang melalui selat ini
dan tiap-tiap murid kelas tinggi
yang berdiri itu meninju dan
menyepak murid-murid baru ini,
sehingga ia tertolak dari
kanan ke kiri dan dari kiri ke
kanan sampai ke luar dari selat
siksaan itu. Kemudian murid baru
itu diangkat bersama-sama,
lalu dicemplungkan ke dalam suatu
kolam.
Apakah faedahnya permainan yang
kasar serupa ini?
Istimewa pula sebab ia boleh
mendatangkan bahaya.
Tambahan lagi, pada sangkaku, dan
demikian, murid-murid itu
jadi ber-musuh-musuhan dan
berdendam-dendaman. Misalnya
seorang anak Sunda yang kurang
suka kepada anak Jawa atau
yang telah mendapat siksaan dari
orang anak Jawa, tatkala ia
mula-mula masuk, menaruh dendam
dalam hatinya dan berniat
hendak melepaskan dendamnya kelak
kepada anak Jawa.
Dengan demikian persahabatan
antara kedua suku bangsa ini,
yang diharapkan akan diperoleh
karena percampuran dalam
sekolah, boleh menjadi kurang dan
akhirnya menjadi putus.
Untunglah permainan yang kasar
itu tak ada pada sekolah
kami dan sekalian aturan
ontgroening pada sekolah ini,
sesungguhnya permainan atau
sesuatu yang memberi paedah,
misalnya murid-murid yang baru
itu disuruh bernyanyi, menari
atau memencak, menurut aturan
negeri masing-masing, di
hadapan murid kelas tinggi.
Oleh sebab murid-murid yang masuk
sekolah ini, sebagai
telah kukatakan dalam suratku
dahulu, datang dari beberapa
negeri, seperti Padang, Batak,
Deli, Palembang, Jakarta,
Sunda, Jawa; Madura, Ambon,
Manado, dan lain-lainnya,
bermacam-macam lagu yang
didengar, dinyanyikan dalam
berbagai-bagai bahasa dan
bermacam-macam pulalah tari dan
pencak yang dipertunjukkan. Suatu
tari yang hebat yaitu tari
orang Manado, yang dinamakan
"cakalele," tak ada ubahnya
dengan pencak orang yang hendak
perang, dengan tempik
soraknya.
Lain daripada permainan yang,
telah kuceritakan itu ada
pula permainan yang mengadu
kekuatan, misalnya berhelahelaan
tali berlumba-lumba, melompat
tinggi dan mengadu
kekuatan badan. Yang terlebih
lucu ialah disuruh membeli
minyak sesen ke kedai, dalam
sebuah botol yang besarnya
hampir sebesar aku. Lucu benar
rupanya murid itu berjalan
pulang balik memikul botol yang
sebesar itu untuk tempat
minyak harga sesen.
Ada pula yang disuruh memburu ayam
liar, yang dilepaskan
dalam pekarangan sekolah. Ayam
ini harus dapat ditangkap
oleh dua orang murid. Kasihan
melihat kedua murid itu
berlelah payah menangkap ayam
ini. Akan tetapi untunglah,
setelah tertangkap dipotong dan
dimasak atau digoreng.
Ada pula yang disuruh berpakaian
yang indah-indah,
seboleh-bolehnya pakaian hitam
yang tebal. Kaumaklum Nur,
Jakarta sangat panas hawanya,
sehingga murid itu kepanasan
karena pakaiannya itu. Setelah
berpakaian indah-indah itu,
disuruhlah ia berjalan sepanjang
jalan raya. Tiap-tiap orang
yang tertemu, dengan tiada
memandang bangsanya, haruslah
diberinya tabik dengan mengangkat
topinya. Sebagai telah
kuceritakan, kota Jakarta itu
sangat ramai; orang yang lalulintas
di jalan raya beratus-ratus
banyaknya dengan tiada
berkeputusan. Memberi tabik itu,
walaupun tiada seberapa
berat, tetapi karena banyak orang
yang bertemu, dalam
setengah jam saja pun telah lelah
murid itu.
Orang yang diberi tabik,
bermacam-macam kelakuannya.
Yang telah tahu akan permainan
ini, tersenyum; tetapi yang
belum tahu terkadang-kadang
marah, karena pada sangkanya
ia diperolok-olokkan. Ada yang
tiada mengindahkan suatu apa,
ada yang menertawakan murid itu,
ada yang bingung tiada
mengerti itu dan ada pula yang
membalas tabik itu dengan
lebih hormat, sebab pada
sangkanya bukan permainan, melainkan
sesungguh-nyalah ia diberi hormat
oleh orang yang tiada
dikenalnya tetapi sangat
memuliakannya. Anak-anak di jalan
raya menyangka murid itu miring
otaknya, sehingga dipermain-
mainkannya dan diganggunya mereka.
Berbagai-bagailah
ragam orang-orang itu. Mereka
itulah yang ditonton oleh
murid-murid kelas tinggi, yang
mengikut dari jauh.
Yang kurang lucu, yaitu disuruh
makan obat kina, yang
sangat pahit itu atau disuruh
mencium sebangsa hawa yang
sangat busuk atau disuruh makan
pisang sesisir di hadapan
bangkai. Ada seorang murid yang
sangat penjijik, disuruh
makan pisang itu. Jangankan
termakan olehnya, bahkah segala
yang ada dalam perutnyalah keluar
semua. Kasihan!
Sungguh permainan yang baru
kuceritakan itu kurang lucu,
tetapi ada juga mengandung suatu
pelajaran. Dokter itu harus
tahan bau busuk dan rasa yang
pahit, serta tak boleh takut dan
geli melihat mayat; sebab itulah
diajar di sana. Akhirnya
setelah itu disuruh tidur di
kamar mati. Akan tetapi terlebih
dahulu baiklah kuceritakan
kepadamu apa bagianku dan
bagian Arifin, daripada permainan
yang telah kaudengar tadi,
karena pada sangkaku tentulah
engkau ingin juga hendak
mengetahui hal itu. Arifin
disuruh memencak, berhela-helaan
tali, membeli minyak dengan botol
besar, memburu ayam dan
makan pisang dekat bangkai.
Alangkah suka hati Bakhtiar,
apabila dilihatnya Arifin,
sebagai anjing mengejar ayam ke
sana kemari! Akan tetapi pada
sangkaku, walau perut Bakhtiar
sekalipun, tiadalah 'kan dapat
menghabiskan pisang sekian
banyaknya itu di tempat yang
sedemikian."
Ketika itu tersenyumlah Nurbaya,
sebab teringat kepada
Bakhtiar.
"Aku disuruh bernyanyi,
menari, makan kina, dan tidur di
kamar mati. Kamar mati ini, ialah
bilik tempat menyimpan
mayat. Di sana ada rangka tulang
orang (tulang-belulang) yang
gunanya untuk pelajaran,
digantungkan pada suatu tiang. Pada
suatu malam, kira-kira pukul
setengah sembilan, disuruhlah
aku ke sana dengan murid yang
penjijik tadi. Anak ini bukan
penjijik saja, tetapi teramat
penakut pula. Aku, meskipun tiada
tahu apa-yang akan terjadi atas
diriku, tiadalah aku tinggal saja
dalam bilik ini, beberapa
lamanya. Untuk peringatan
permainan saja. Kami duduk di
atas kursi dekat sebuah meja,
berhadap-hadapan; aku melihat
kepada rangka itu dan temanku
membelakang ke sana. Pada sangka
kami, kami hanya disuruh
tinggal saja dalam bilik ini,
beberapa lamanya. Untuk
perintang waktu, kami
bercakap-cakap menceritakan hal ihwal
masing-masing, kusuruh ceritakan
olehnya negerinya dan aku
pun bercerita pula tentang kota
Padang.
Sejak asyik kami bercakap-cakap
itu, tiba-tiba kulihat
rangka tadi mengangkat tangannya,
sebagai menggamit aku
dari jauh, dan matanya sebagai
menyala. Walaupun aku tidak
penakut dan yakin, mustahil
tulang-belulang pandai bergerak.
tetapi tatkala kulihat hal itu,
berdebar juga hatiku. Akan tetapi
heranku itu tiadalah
kuperlihatkan kepada temanku, karena aku
khawatir, kalau-kalau ia menjadi
takut; lalu kuperbuat purapura
asyik mendengarkan ceritanya,
tetapi mataku acap kali
juga melihat kepada rangka tadi.
Kedua kalinya diangkatnya
tangannya, lebih tinggi daripada
bermula, lalu digerak-gerakkannya
jarinya, sebagai hendak
memanggil. Melihat hal ini
terkejutlah aku, dan karena itu
temanku itu pun menoleh ke
belakang.
Tatkala dilihatnya tangan rangka
itu bergerak-gerak dan
matanya sebagai berapi,
menjeritlah ia sekuat-kuatnya, lalu
melompat memeluk aku, sehingga,
terbaliklah kursi dan meja,
yang dekatnya itu. Sebab aku
dipeluknya tiba-tiba dengan erat
dan ditariknya ke belakang,
terbaliklah pula aku bersama-sama
dengan dia. Akan tetapi leherku
tiadalah terlepas dari pelukan
temanku itu, sehingga aku hampir
tercekik. Dengan susah
payah, baru dapat kulepaskan
tangannya dari leherku.
Setelah terlepas aku dari
pelukannya, rebahlah temanku itu
ke lantai, tiada khabarkan
dirinya lagi. Mukanya pucat,
peluhnya bercucuran dan badannya
gemetar. Tatkala kulihat
halnya yang sedemikian,
bingunglah aku, tiada tahu apa yang
hendak kuperbuat.
Kemudian larilah aku ke luar,
minta tolong. Seketika itu
juga kelihatan olehku dua orang
murid kelas tinggi, entah dari
mana datangnya, tiada kuketahui,
lalu bertanya mengapa aku
berteriak. Setelah kuceritakan
kepadanya, apa yang terjadi,
kami angkatlah bersama-sama murid
yang pingsan tadi ke
tempat tidurnya, lalu diobati merekalah
temanku itu, sampai
baik pula. Sungguhpun demikian
masih belum dapat ia
berkata-kata; rupanya masih
sangat terperanjat dan takut.
Kemudian dibujuklah kami oleh
kedua murid kelas tinggi tadi.
Dikatakannya, mustahil
tulang-belulang orang yang telah mati
dapat bergerak pula. Sekalian
yang kami lihat tadi, tentulah
penglihatan karena takut saja,
lalu dibawalah aku oleh seorang
dari mereka kepada rangka tadi
dan dipegang-peganglah
tulang-tulang itu. Sesungguhnya
tiadalah ia dapat bergerak.
Pada keesokan harinya, barulah
aku dapat tahu, apa
sebabnya maka rangka itu
bergerak. Tangannya diikat dengan
dawai yang halus, lalu
ditarik-tarik dari luar, dan matanya
yang menyala itu, karena diberi
suatu obat yang bercahaya di
tempat yang gelap. Sungguhpun
sekalian itu hanya permainan
yang gunanya akan menghilangkan
takut dan untuk menyatakan,
bahwa segala hantu dan setan itu
hanya penglihatan
mereka yang takut saja, tetapi
murid yang ketakutan tadi, tiga
hari lamanya demam. Demikianlah
percobaan di Sekolah
Dokter Jawa.
Ah, ya, hampir lupa aku
menceritakan hal ihwal Bakhtiar.
Ia sekarang rupanya kurus
sedikit; barangkali sebab terlalu
berat bekerja menggergaji dan
mengetam kayu, inilah kerjanya
mula-mula sehari-hari. Makan
rupanya tak dapat sekehendak
hatinya. Acap kali aku bertemu
dengan dia pada petang hari.
Baginya dan bagi Arifin pun
permulaan ini rupanya susah dan
berat. Tetapi tak jadi apa,
karena segala permulaan itu tentulah
berat dan susah. Apabila telah
biasa kelak, tentulah akan
hilang juga segala kesusahan dan
keberatan itu. Kedua mereka
acapkali teringat kepadamu dan
kepada ibu-bapaknya serta
handai tolannya di Padang. Mereka
berpesan kepadaku supaya
menyampaikan salamnya kepadamu,
bila aku berkirim surat
jua kepadamu.
Sehingga inilah dahulu, adikku
Nurbaya! Dengan segera
engkau akan mendapat kabar pula
daripadaku. Jika tiada aral
melintang pada hari Ahad yang
akan datang ini, kami akan
ber-jalan jalan ke Bogor,
melihat-lihat kots itu dan melihat
istana serta Kebun Raya di sana.
Jika jadi perjalanan itu
tentulah akan kuceritakan pula
kepadamu sekalian yang telah
kulihat di sana.
Tolonglah sampaikan sembah
sujudku kepada orang tuamu
dan orang tuaku serta salam
tazimku kepada sekalian handai
tolan, teman sejawat kita, dan
sambutlah peluk cium dari
kekasihmu yang jauh ini.
SAMSULBAHRI
Tambahan: Suratmu yang terkirim
pada hari Jumat yang telah
lalu, sudah aku terima dengan
segala selamatnya dan sangatlah
sedih hatiku mendengar, engkau
belum dapat melipur
kesedihan perceraian kita. Oleh
sebab itu perbanyaklah sabar
dan tetapkanlah hatimu, Nur,
serta tawakal kepada Tuhan
Yang Mahakuasa. Mudah-mudahan
lekas hilang segala
kesusahan kita itu dan lekaslah
pula disampaikan-Nya segala
maksud dan hajat kita. Dengan
kapal ini ada kukirimkan pada
seorang kita yang pulang ke
Padang, untuk ayahku buahbuahan
sedikit sebagai salak, sauh
manila, dan jeruk. Untuk
engkau telah kupisahkan dalam
bungkusan itu. Terimalah
pemberianku ini dan makanlah
dengan sedapnya. Aku sendiri
yang membeli dan melihatnya, yang
lain belum dapat
kukirimkan kepadamu waktu ini.
Setelah dibaca oleh Nurbaya surat
itu, lalu diciumnya dan
diletakkannya ke atas dadanya, ke
tempat jantungnya yang
berdebar; kemudian disimpannya
dalam lemari pakaiannya,
bersama-sama dengan surat yang
lain, yang telah diterimanya
dari kekasihnya itu.
Tatkala itu datanglah kusir Ali
dari rumah Sutan Mahmud
membawa sekarung buah-buahan
untuk Sitti Nurbaya. Tak
dapatlah dikatakan girang hatinya
menerima kiriman itu, lalu
dengan segera dibukanya dan
dilihatnya isinya. Rupanya masih
baik sekali buah-buahan itu, tak
ada yang busuk, lalu
dimakannya dan dibagikannya
kepada segala isi rumahnya, serta
dikatakannya buah-buahan itu
datang dari kekasihnya. Sayang
ayahnya pada waktu itu tak ada di
rumah, pergi ke Padang
Panjang menguruskan perniagaannya,
karena rupa-rupanya
segala toko yang biasa mengambil
barang-barang dari padanya,
kurang suka lagi memesan apa-apa
ke tokonya.
Setelah dimakan oleh Nurbaya
buah-buahan itu, berbaringbaringlah
ia di atas tempat tidurnya sampai
jauh malam,
mengenangkan halnya. Kemudian
dikeluarkannyalah segala
surat-surat dari Samsulbahri,
lalu dibacanya pula sehelai-sehelai.
Dengan tiada diketahuinya
tertidurlah ia.
Tiba-tiba kira-kira pukul dua
malam, terbangunlah ia
daripada tidurnya dengan
terperanjat, karena didengarnya bunyi
tabuh pada segala tempat sangat
dahsyat, memberi tahu ada
rumah terbakar. Mendengar bunyi
tabuh itu, melompatlah ia dari
tempat tidurnya, lalu membuka
jendela rumahnya akan melihat
dan manakah api itu. Kelihatan
olehnya langit di sebelah
tenggara merah warnanya yang
menyatakan di sanalah
kebakaran itu, tetapi rupanya
jauh. Tatkala itu kelihatan
Penghulu Sutan Mahmud keluar
dengan bendinya dari rumahnya.
Rupanya akan pergi ke tempat
kebakaran itu.
Supaya dapat kita ketahui di mana
kebakaran ini, marilah kita
tinggalkan Sitti Nurbaya di
rumahnya dan kita ikuti Penghulu
Sutan Mahmud. Setelah sampai ia
ke pasar Kampung Jawa, bertanyalah
Penghulu itu kepada orang jaga
yang ada di sana, di
manakah kebakaran itu. Jawab
mereka, di Pasar Gedang, lalu
Sutan Mahmud menyuruh mencambuk
kudanya ke sana. Di
tengah jalan banyak kelihatan
orang yang telah keluar dari
rumahnya, karena terkejut
mendengar bunyi tabuh. Makin dekat
Sutan Mahmud ke Pasar Gedang,
makin banyaklah orang
tampak di jalan raya. Ada yang
berjalan cepat-cepat, ada yang
berlari menuju api itu, ada yang
berteriak dan ada pula yang
menangis, takut kalau-kalau
rumahnya atau rumah keluarganya
yang terbakar. Pompa air pun
telah dikeluarkan, ditarik cepatcepat
menuju kebakaran itu.
Akhirnya tiada dapat lagi Sutan
Mahmud berbendi, sebab
terlalu banyak orang di jalan
raya, sehingga segala kendaraan
ditahan, tak boleh terus. Sutan
Mahmud turun dari atas bendinya,
lalu berjalan kaki, diiringkan
oleh seorang-orang jaga, menuju
tempat kebakaran itu. Di situ
nyatalah oleh Sutan Mahmud,
bahwa yang terbakar itu ialah
toko Baginda Sulaiman, ayah
Nurbaya; yang sebuah telah habis
dimakan api, sedang yang
sebuah lagi tengah, terbakar dan
ketiga rupanya tak dapat
ditolong lagi, istimewa pula
karena pompa tak dapat bekerja,
sebab tak ada air. Barang-barang
suatu pun tak dapat dikeluarkan,
karena api sangat cepat makannya
dan udara di sana
sangat panas, sehingga seorang
pun tak ada yang berani mendekat.
Polisi-polisi hanya menjaga dari
jauh saja, supaya jangan
terjadi kecelakaan apa-apa. Bunga
api bermain ke udara,
sehingga menjadi merahlah langit
di sana. Terkadang-kadang
kedengaran bunyi peletusan,
disertai oleh bunga api yang membangkit
ke atas. Bunyi kayu meletus
adalah sebagai mercun
dibakar. Di dalam bunga api yang
berkabut itu, kelihatanlah
kelelawar beterbangan ke sana
kemari, karena kepanasan.
Sejam kemudian daripada itu,
habislah ketiga toko Baginda
Sulaiman terbakar dengan
isi-isinya. Tinggal abu dan bekasbekas
rumah saja lagi.
Usaha yang bertahun-tahun, pencarian
yang sekian lama,
habis dimusnahkan api dalam
sejam. Tatkala itu berembuslah
angin topan, disertai oleh hujan
yang sangat lebat sehingga api
dalam sekejap mata pun padamlah.
Terlambat! Bila sejam lebih
dahulu datang hujan yang sekian
lebatnya, barangkali dapat juga
ketolongan sebuah toko dengan
isinya. Tetapi bukan demikian
halnya. Adalah sebagai hendak
dipeliharakan Tuhan sekalian toko
lain yang berdekatan di sana,
dan hanya toko Baginda Sulaiman
sahaja yang harus dimakan
api.
Tatkala datang angin dan hujan
ini, sekalian orang yang ada
dekat kebakaran itu, larilah
pulang ke rumahnya masing-masing.
Yang dapat berteduh, berteduhlah
dekat-dekat di sana. Hanya
saudagar-saudagar yang telah
mengeluarkan barang-barangnya
dari tokonya yang ribut
memasukkan barang-barangnya kembali.
Sutan Mahmud pun dengan segera
mencari bendinya, lalu
pulang ke rumahnya dengan
perasaan yang sedih dan heran.
"Ajaib," katanya dalam
hatinya ketika pulang itu." Apakah
sebabnya lekas amat api itu
makan, dan apakah sebabnya maka
bukan toko yang kedua terbakar,
sesudahnya toko yang pertama?
Bolehkah jadi api itu melompat
dari toko yang pertama ke toko
yang ketiga, melalui toko yang di
tengah-tengah? Dan apakah
sebabnya maka kedua toko yang
diujung itu hampir serentak
terbakar, sebagai disengaja
dibakar orang, bukan terbakar
sendiri? Akan tetapi siapa pula
yang akan berbuat sedemikian?
Baginda Sulaiman tak ada
musuhnya.
Lagi pula apakah sebabnya hujan
ini datang, tatkala ketiga
toko itu telah habis terbakar?
Mengapakah tidak lebih dahulu?
Apakah sebabnya dan apakah
maksudnya sekalian ini?"
Demikianlah pikiran Sutan Mahmud
dalam bendinya, karena tak
mengerti akan kejadian yang
ganjil ini. Tiada berapa lamanya
kemudian sampailah ia ke
rumahnya.
No comments:
Post a Comment