(Ini adalah bagian dari Buku "IPDN Undercover")
Pada Agustus 2006, saya terkejut
ketika mengetahui nama-nama murid saya yang
melakukan pembunuhan terhadap Wahyu Hidayat tetap ada pada
daftar wisudawan IPDN. Artinya, betapa buruk
sebuah sekolah yang katanya berdisplin, namun meluluskan
mereka yang membunuh teman satu sekolahnya. Pada malam sebelum acara wisuda,
saya menelepon Bapak SBY, presiden Republik Indonesia,
tentu saja melalui juru bicara beliau: Bapak Andi
Malarangeng. Lalu, saya meminta izin untuk membeberkan fakta
tentang para calon wisudawan yang seharusnya ada di
balik terali besi, mempertanggungjawabkan kasus pembunuhan.
Beliau (Presiden RI melalui Pak
Andi) mengatakan, "Silakan bongkar." Maka, saya
menghubungi para wartawan untuk menyampaikan data itu.
Besok paginya, terbitlah berita di berbagai media yang bunyinya:
"Presiden Melantik Narapidana". Sehari setelah
berita itu terbit, semua orang di IPDN marah kepada saya.
Saya diadili pada sebuah rapat
senat, yang di sana juga ada Menteri Dalam Negeri:
Muhammad Ma'ruf. Saya ditanya, "Mengapa Anda berlaku
seperti itu? Menjelek-jelekan almameter Anda." Lalu, saya
katakan bahwa saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan IPDN. Saya
tidak mengada-ada. "Silakan cek ke Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahakamah Agung," kata saya. Setelah mereka mengecek, maka
pada malam hari itu, suasana menjadi tegang sekali.
Rupanya kesepuluh praja yang diwisuda itu harus masuk
penjara. Malam itu juga, nama kesepuluh praja itu dicoret, dan
dibuatlah ralat bahwa mereka tidak jadi lulus. Apa
artinya? Artinya, kalau saya tidak bertindak seperti itu (melapor ke
Presiden), para pembunuh itu diluluskan oleh STPDN
(sekarang IPDN). Jadi, ketika Dr. I Nyoman
Sumaryadi, Rektor IPDN, mengatakan bahwa Presiden tidak
setuju sepuluh praja itu diluluskan, itu karena saya
melapor ke Bapak Presiden. Artinya, saya menyelamatkan Presiden dalam
kewibawaan sebagai kepala negara. Menurut saya, kita
tidak boleh tertutup dalam kasus terbunuhnya seorang
calon pamong yang terbunuh pada 3 September 2003
(Wahyu Hidayat). Kasus itu tidak boleh dianggap hilang
begitu saja hanya karena sudah
berlalu bertahun-tahun lalu. Konsekuensi dari laporan saya
itu, semua orang marah kepada saya. "Pak Inu tidak
kasihan kepada murid. Tidak kasihan kepada orang tua murid
yang sudah bersiap-siap untuk menyambut kelulusan
anaknya." Saya heran, mengapaharus melindungi seorang narapidana?
Sementara, ketika jenazah Wahyu Hidayat keluar
gerbang IPDN (waktu itu STPDN) diiringi raungan ambulans,
Ketua dan Kepala Biro Kepegawaian asyik bermain golf
sambil tertawa-tawa. Jadi, di mana keadilan jika kasus Wahyu
Hidayat dilupakan saja, kemudian para pembunuhnya bisa
berlaku seenaknya?
Kasus Itu
Terulang Kembali
Pada tanggal 3 April 2007,
pagi-pagi sekali, murid saya, seorang muda praja, melapor
kepada saya lewat SMS, "Pak Inu, tadi malam, seorang praja
dibunuh. Tolong Pak Inu bongkar. Kami merasa pilu semua.
Berita yang beredar adalah, jangan sampai Pak Inu Kencana
tahu." Setelah itu, kabar yang berembus
adalah, malam sebelumnya, 2 April, ada seorang praja yang
tidak kuat saat pelatihan Pataka. Dia sakit liver. Lalu,
para muda praja berkomentar, "Terjadi lagi satu
kebohongan. Itu liver dadakan." Apa pasal? Sebab, penyakit liver
selalu dijadikan alasan ketika ada praja yang terbunuh.
Kenyataannya, penyakit liver itu
tidak pernah terjadi secara
mendadak. Jadi, pernyataan "liver dadakan" itu adalah suatu
sindiran. Maka, pagi itu juga, saya telepon
Polsek Jatinangor. Saya katakan, "Saya Inu Kencana,
saya hendak melaporkan, ada
murid saya yang terbunuh. Saya
curiga. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi, Bapak dengan
kekuatan Bapak sekarang juga berangkat ke Rumah Sakit Al
Islam." Nah, petugas Polsek Jatinangor,
tentunya setelah berkoordinasi dengan Polres Sumedang, kemudian
meluncur ke RS Al Islam Bandung. Di sanalah
kemudian terjadi tarik-menarik antara praja dan polisi. Praja
yang ada di sana menginginkan agar tidak ada otopsi terhadap
Cliff Muntu, praja yang dikatakan meninggal karena sakit liver itu.
Jenazah kemudian dibawa ke Rumah
Sakit Hasan Sadikin. Di sanalah dokter pemerintah
melakukan otopsi. Apa yang terjadi? Dalam otopsi itu
ternyata ditemukan fakta bahwa testis Cliff pecah, dada dan
jantungnya kebiru-biruan. Waktu itu, dokter belum mengumumkannya.
Saya diberi tahu langsung oleh Kapolsek
Jatinangor. Luka-luka pada tubuh Cliff
menandakan terjadinya pukulan berkali-kali pada dadanya. Apa
yang terjadi jika tidak jadi dilakukan otopsi? Cliff
Muntu adalah seorang Kristiani. Artinya, setelah dimakamkan,
kemungkinan besar kuburannya disemen. Dengan begitu,
tertutuplah kasusnya selamanya.Itulah sebabnya, pejabat-pejabat
IPDN berusaha menyuntik tubuh Cliff dengan
formalin. Sebab, formalin bisa membuat memar biru pada tubuh
Cliff bisa menghilang. Jadi, sebuah kebiadaban sedang terjadi
dalam kampus yang katanya terhormat ini.
Esok hari setelah otopsi,
pemberitaan "meledak". Ramai diekspose bahwa Cliff Muntu
meninggal tidak wajar. Kemudian, pihak IPDN memanggil saya. Dr I
Nyoman marahsekali. "Mengapa Anda
membongkar kasus ini? Anda pegawai negeri yang hidup di IPDN. Anda
digaji dari IPDN." Saya jawab, "Justru karena saya
tinggal di IPDN. Justru karena saya mendapat gaji dari
IPDN. Saya harus bongkar kasus ini. Karena seorang dosen
tidak akan sampai rela hati membiarkan muridnya dianiaya
hingga mati. Tidak boleh ada
kata kecolongan." Lalu, mereka masih berpura-pura
terpukul dengan kejadian ini, kemudian bertanya,
"Mengapa Anda tidak melapor ke atasan?" Saya katakan,
"Saya tidak ada waktu untuk melapor ke atasan. Per detik saya harus
berjuang untuk menyampaikan laporan ini kepada polisi.
Wilayah kerja polisi adalah seluruh wilayah Republik Indonesia.
Mereka adalah alat negara." Para pejabat itu kemudian
terdiam. Esok harinya, saya dipanggil lagi oleh tim
investigasi. Tudingan kepada saya adalah insubordinasi. Saya
kemudian dinonaktifkan dari kegiatan mengajar di IPDN. Perasaan saya
campur aduk, waktu itu. Ada takut-takut sedikit,
sedih, dan ada juga senang. Namun, apa boleh buat. Ini
konsekuensi perjuangan. Saya dihukum tidak boleh mengajar
itu lucu. Seharusnya orang yang diperiksa itu orang
yang menyuntik jenazah Cliff
dengan formalin, menyatakan orang
tua Cliff menolak otopsi, dan mengatakan bahwa penyebab
kematian Cliff adalah penyakit lever.
Ketua DPR RI: Pak Agung Laksono,
saja menyatakan surprised kepada wartawan menanggapi
langkah petinggi IPDN itu. Beliau bahkan berkomentar,
jangan-jangan ada banyak rahasia yang dipegang supaya
tidak diceritakan, sehingga saya dinonaktifkan. Itulah sebabnya, sehari setelah
itu, saya melapor ke DPR.
Sayangnya, bersamaan dengan saya
datang ke gedung DPR, Bapak Agung Laksono berangkat ke
Istana Negara.Ketika saya masuk ke gedung DPR,
ada dua orang yang memperkenalkan diri, dan
menawarkan untuk menjadi pengacara saya. Namanya Pak Petrus Bala
Pationa dan Pak Syahrianto. Wah, saya tidak punya
rumah atau mobil. Ada penawaran gratis, ya,
Alhamdulillah. Mungkin ini bantuan dari Allah. Kalau harus bayar,
saya tidak kuat.Tentu saja tawaran itu sangat
menenangkan. Sebab, saya tidak mengerti hukum. Oleh
karenanya, saya senang jika didampingi beliau-beliau.
Kemudian beliau berdua hadir bersama saya menghadap ketua dua DPR RI.
Sebetulnya, saya waktu itu juga sedang ditunggu
oleh Bapak Agung Laksono.
Namun, pada saat bersamaan, Pak
Agung juga harus bertemu dengan Presiden di Istana Negara. Apakah pertemuan Pak Agung dengan
Presiden berhubungan dengan IPDN atau tidak, saya
tidak mengetahuinya.
Pastinya, tidak lama setelah itu,
Pak I Nyoman diberhentikan. Waktu itu, saya kembali mengalami
peristiwa seperti empat tahun sebelumnya: dikerubuti oleh
wartawan. Hampir 100 wartawan mengerubungi saya.
Saya menjadi terseok-seok, karena merasa malu saja. Akan
tetapi, tidak apa-apa. Hal ini membuat mata rakyat Indonesia
menjadi jelas. Tujuan saya sepanjang hidup
adalah mencari kebenaran. Ketika kebenaran itu
terinjak-injak oleh ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan saya tahu betul bahwa
kebenaran mutlak itu
hanya pada Allah, maka rasanya,
saya pikir, mereka (pihakpihak yang menutupi segala
ketidakbenaran di IPDN) sedang menginjak-injak ayat Allah. Sejak itu (ketika kembali
dikerubuti wartawan), saya menjadi
berkeyakinan, bukan karena opini
publik memihak saya, tetapi saya merasakan, begitu
beratnya memperjuangkan ayat ayat Allah. Saya berjalan dengan
langkah berat, karena saya belum makan siang.
Saya diikuti oleh sekian banyak
wartawan. Saya membawa sekian banyak berkas, bertemu
dengan Prof Dr. Ryas Rasyid, bersama bekas murid saya: Drs.
Andi Azikin, MSi, yang juga dikawal. Mungkin, mereka
berpikir, keberanian seperti ini memerlukan pengawalan untuk
menghindari hal-hal yang tidakdiinginkan.
Saya semakin yakin bahwa
kejujuran itu akan melahirkan keberanian. Akan tetapi,
keberanian belum tentu melahirkan kejujuran. Karena, ketika kita
jujur mengatakan sesuatu itu salah, kita harus memiliki
keberanian menyampaikannya.
Sejak melaporkan kasus kematian
Cliff, praktis saya sangat sering berurusan dengan polisi.
Kepada petugas Mapolsek Jatinangor, saya menjelaskan
memang telah terjadi pembunuhan. Saya bilang,
"Tangkap dulu yang membunuh." Itulah yang mereka lakukan. Maka,
jelas siapa yang melakukanpembunuhan terhadap Cliff dan apa
motivasinya. Di Mapolres Sumedang, saya hanya
menyampaikan datadata. Sedangkan di Mapolda Jabar saya
menjelaskan bahwa Dari 35 praja yang meninggal, 18
di antaranya meninggal secara tidak wajar.
Orang pasti bertanya-tanya,
lantas apa keinginan saya terhadap IPDN. Ketika mengemuka
wacana pembubaran IPDN, saya tidak satuju. Sebab,
itu sama saja membakar lumbung padi untuk membunuh seekor tikus.
Padahal, target kita adalah menangkap tikusnya. Kalau
dibakar, tikusnya akan lari ke mana-mana, dan itu akan
menganggu, menimbulkan masalah baru.Artinya, tangkaplah mereka yang
bersalah, termasuk saya sendiri, kalau saya kurang vokal
dalam penyelesaian berbagai kasus ini. Jadi, diperbaiki saja,
atau dipecah menjadi lima bagian. Kalau dulu menjadi
duapuluh, sekarang cukup terintegrasi menjadi lima bagian
saja. Nah, sekarang saya menerbitkan
buku autobiografi. Bukan untuk gaya-gayaan. Bukan untuk
mencari popularitas atau materi. Ini sekadar
kesaksian. Suatu saat ketika saya sudah tidak ada, atau ketika media
sudah tidak meliput saya, buku ini akan tetap berbicara.
Lagi pula, banyak orang yang bertanya-tanya, apa motivasi saya
terus konsisten membongkar kasus IPDN dan menginginkan
perbaikan pada sekolah
itu. Buku ini menceritakan siapa
saya, kisah hidup saya, filosofi hidup saya. Insya Allah, orang akan memahami
mengapa saya memilih bersuara ketika tahu bagaimana
karakter saya terbentuk. Sejarah hidup saya memberi pelajaran
kepada diri saya sendiri bahwa kejujuran, tekad, dan
kepasrahan terhadap Allah
adalah jalan kehormatan.
Kebahagiaan adalah ketika kita bisa mensyukuri apa yang kita miliki
dan menikmatinya. Maka, saya berharap setelah Anda
membaca buku ini, segala tanda tanya terang sudah. Seterang
matahari pada siang hari.
Lepas maghrib,
di atas bis antarprovinsi
Semarang-Bandung,
17 April 2007
Inu Kencana Syafiie
No comments:
Post a Comment