Wednesday, December 24, 2014

Puncak Sebuah Perjuangan

(Ini adalah bagian dari Buku "IPDN Undercover")
Pada Agustus 2006, saya terkejut ketika mengetahui nama-nama murid saya yang melakukan pembunuhan terhadap Wahyu Hidayat tetap ada pada daftar wisudawan IPDN. Artinya, betapa buruk sebuah sekolah yang katanya berdisplin, namun meluluskan mereka yang membunuh teman satu sekolahnya. Pada malam sebelum acara wisuda, saya menelepon Bapak SBY, presiden Republik Indonesia, tentu saja melalui juru bicara beliau: Bapak Andi Malarangeng. Lalu, saya meminta izin untuk membeberkan fakta tentang para calon wisudawan yang seharusnya ada di balik terali besi, mempertanggungjawabkan kasus pembunuhan.
Beliau (Presiden RI melalui Pak Andi) mengatakan, "Silakan bongkar." Maka, saya menghubungi para wartawan untuk menyampaikan data itu. Besok paginya, terbitlah berita di berbagai media yang bunyinya: "Presiden Melantik Narapidana". Sehari setelah berita itu terbit, semua orang di IPDN marah kepada saya.
Saya diadili pada sebuah rapat senat, yang di sana juga ada Menteri Dalam Negeri: Muhammad Ma'ruf. Saya ditanya, "Mengapa Anda berlaku seperti itu? Menjelek-jelekan almameter Anda." Lalu, saya katakan bahwa saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan IPDN. Saya tidak mengada-ada. "Silakan cek ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahakamah Agung," kata saya. Setelah mereka mengecek, maka pada malam hari itu, suasana menjadi tegang sekali. Rupanya kesepuluh praja yang diwisuda itu harus masuk penjara. Malam itu juga, nama kesepuluh praja itu dicoret, dan dibuatlah ralat bahwa mereka tidak jadi lulus. Apa artinya? Artinya, kalau saya tidak bertindak seperti itu (melapor ke Presiden), para pembunuh itu diluluskan oleh STPDN (sekarang IPDN). Jadi, ketika Dr. I Nyoman Sumaryadi, Rektor IPDN, mengatakan bahwa Presiden tidak setuju sepuluh praja itu diluluskan, itu karena saya melapor ke Bapak Presiden. Artinya, saya menyelamatkan Presiden dalam kewibawaan sebagai kepala negara. Menurut saya, kita tidak boleh tertutup dalam kasus terbunuhnya seorang calon pamong yang terbunuh pada 3 September 2003 (Wahyu Hidayat). Kasus itu tidak boleh dianggap hilang begitu saja hanya karena sudah
berlalu bertahun-tahun lalu. Konsekuensi dari laporan saya itu, semua orang marah kepada saya. "Pak Inu tidak kasihan kepada murid. Tidak kasihan kepada orang tua murid yang sudah bersiap-siap untuk menyambut kelulusan anaknya." Saya heran, mengapaharus melindungi seorang narapidana? Sementara, ketika jenazah Wahyu Hidayat keluar gerbang IPDN (waktu itu STPDN) diiringi raungan ambulans, Ketua dan Kepala Biro Kepegawaian asyik bermain golf sambil tertawa-tawa. Jadi, di mana keadilan jika kasus Wahyu Hidayat dilupakan saja, kemudian para pembunuhnya bisa berlaku seenaknya?
Kasus Itu Terulang Kembali
Pada tanggal 3 April 2007, pagi-pagi sekali, murid saya, seorang muda praja, melapor kepada saya lewat SMS, "Pak Inu, tadi malam, seorang praja dibunuh. Tolong Pak Inu bongkar. Kami merasa pilu semua. Berita yang beredar adalah, jangan sampai Pak Inu Kencana tahu." Setelah itu, kabar yang berembus adalah, malam sebelumnya, 2 April, ada seorang praja yang tidak kuat saat pelatihan Pataka. Dia sakit liver. Lalu, para muda praja berkomentar, "Terjadi lagi satu kebohongan. Itu liver dadakan." Apa pasal? Sebab, penyakit liver selalu dijadikan alasan ketika ada praja yang terbunuh. Kenyataannya, penyakit liver itu
tidak pernah terjadi secara mendadak. Jadi, pernyataan "liver dadakan" itu adalah suatu sindiran. Maka, pagi itu juga, saya telepon Polsek Jatinangor. Saya katakan, "Saya Inu Kencana, saya hendak melaporkan, ada
murid saya yang terbunuh. Saya curiga. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi, Bapak dengan kekuatan Bapak sekarang juga berangkat ke Rumah Sakit Al Islam." Nah, petugas Polsek Jatinangor, tentunya setelah berkoordinasi dengan Polres Sumedang, kemudian meluncur ke RS Al Islam Bandung. Di sanalah kemudian terjadi tarik-menarik antara praja dan polisi. Praja yang ada di sana menginginkan agar tidak ada otopsi terhadap Cliff Muntu, praja yang dikatakan meninggal karena sakit liver itu.
Jenazah kemudian dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Di sanalah dokter pemerintah melakukan otopsi. Apa yang terjadi? Dalam otopsi itu ternyata ditemukan fakta bahwa testis Cliff pecah, dada dan jantungnya kebiru-biruan. Waktu itu, dokter belum mengumumkannya. Saya diberi tahu langsung oleh Kapolsek Jatinangor. Luka-luka pada tubuh Cliff menandakan terjadinya pukulan berkali-kali pada dadanya. Apa yang terjadi jika tidak jadi dilakukan otopsi? Cliff Muntu adalah seorang Kristiani. Artinya, setelah dimakamkan, kemungkinan besar kuburannya disemen. Dengan begitu, tertutuplah kasusnya selamanya.Itulah sebabnya, pejabat-pejabat IPDN berusaha menyuntik tubuh Cliff dengan formalin. Sebab, formalin bisa membuat memar biru pada tubuh Cliff bisa menghilang. Jadi, sebuah kebiadaban sedang terjadi dalam kampus yang katanya terhormat ini.
Esok hari setelah otopsi, pemberitaan "meledak". Ramai diekspose bahwa Cliff Muntu meninggal tidak wajar. Kemudian, pihak IPDN memanggil saya. Dr I Nyoman marahsekali. "Mengapa Anda membongkar kasus ini? Anda pegawai negeri yang hidup di IPDN. Anda digaji dari IPDN." Saya jawab, "Justru karena saya tinggal di IPDN. Justru karena saya mendapat gaji dari IPDN. Saya harus bongkar kasus ini. Karena seorang dosen tidak akan sampai rela hati membiarkan muridnya dianiaya hingga mati. Tidak boleh ada
kata kecolongan." Lalu, mereka masih berpura-pura terpukul dengan kejadian ini, kemudian bertanya, "Mengapa Anda tidak melapor ke atasan?" Saya katakan, "Saya tidak ada waktu untuk melapor ke atasan. Per detik saya harus berjuang untuk menyampaikan laporan ini kepada polisi. Wilayah kerja polisi adalah seluruh wilayah Republik Indonesia. Mereka adalah alat negara." Para pejabat itu kemudian terdiam. Esok harinya, saya dipanggil lagi oleh tim investigasi. Tudingan kepada saya adalah insubordinasi. Saya kemudian dinonaktifkan dari kegiatan mengajar di IPDN. Perasaan saya campur aduk, waktu itu. Ada takut-takut sedikit, sedih, dan ada juga senang. Namun, apa boleh buat. Ini konsekuensi perjuangan. Saya dihukum tidak boleh mengajar itu lucu. Seharusnya orang yang diperiksa itu orang yang menyuntik jenazah Cliff
dengan formalin, menyatakan orang tua Cliff menolak otopsi, dan mengatakan bahwa penyebab kematian Cliff adalah penyakit lever.
Ketua DPR RI: Pak Agung Laksono, saja menyatakan surprised kepada wartawan menanggapi langkah petinggi IPDN itu. Beliau bahkan berkomentar, jangan-jangan ada banyak rahasia yang dipegang supaya tidak diceritakan, sehingga saya dinonaktifkan. Itulah sebabnya, sehari setelah itu, saya melapor ke DPR.
Sayangnya, bersamaan dengan saya datang ke gedung DPR, Bapak Agung Laksono berangkat ke Istana Negara.Ketika saya masuk ke gedung DPR, ada dua orang yang memperkenalkan diri, dan menawarkan untuk menjadi pengacara saya. Namanya Pak Petrus Bala Pationa dan Pak Syahrianto. Wah, saya tidak punya rumah atau mobil. Ada penawaran gratis, ya, Alhamdulillah. Mungkin ini bantuan dari Allah. Kalau harus bayar, saya tidak kuat.Tentu saja tawaran itu sangat menenangkan. Sebab, saya tidak mengerti hukum. Oleh karenanya, saya senang jika didampingi beliau-beliau. Kemudian beliau berdua hadir bersama saya menghadap ketua dua DPR RI. Sebetulnya, saya waktu itu juga sedang ditunggu oleh Bapak Agung Laksono.
Namun, pada saat bersamaan, Pak Agung juga harus bertemu dengan Presiden di Istana Negara. Apakah pertemuan Pak Agung dengan Presiden berhubungan dengan IPDN atau tidak, saya tidak mengetahuinya.
Pastinya, tidak lama setelah itu, Pak I Nyoman diberhentikan. Waktu itu, saya kembali mengalami peristiwa seperti empat tahun sebelumnya: dikerubuti oleh wartawan. Hampir 100 wartawan mengerubungi saya. Saya menjadi terseok-seok, karena merasa malu saja. Akan tetapi, tidak apa-apa. Hal ini membuat mata rakyat Indonesia menjadi jelas. Tujuan saya sepanjang hidup adalah mencari kebenaran. Ketika kebenaran itu terinjak-injak oleh ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan saya tahu betul bahwa kebenaran mutlak itu
hanya pada Allah, maka rasanya, saya pikir, mereka (pihakpihak yang menutupi segala ketidakbenaran di IPDN) sedang menginjak-injak ayat Allah. Sejak itu (ketika kembali dikerubuti wartawan), saya menjadi
berkeyakinan, bukan karena opini publik memihak saya, tetapi saya merasakan, begitu beratnya memperjuangkan ayat ayat Allah. Saya berjalan dengan langkah berat, karena saya belum makan siang.
Saya diikuti oleh sekian banyak wartawan. Saya membawa sekian banyak berkas, bertemu dengan Prof Dr. Ryas Rasyid, bersama bekas murid saya: Drs. Andi Azikin, MSi, yang juga dikawal. Mungkin, mereka berpikir, keberanian seperti ini memerlukan pengawalan untuk menghindari hal-hal yang tidakdiinginkan.

Saya semakin yakin bahwa kejujuran itu akan melahirkan keberanian. Akan tetapi, keberanian belum tentu melahirkan kejujuran. Karena, ketika kita jujur mengatakan sesuatu itu salah, kita harus memiliki keberanian menyampaikannya. 
Sejak melaporkan kasus kematian Cliff, praktis saya sangat sering berurusan dengan polisi. Kepada petugas Mapolsek Jatinangor, saya menjelaskan memang telah terjadi pembunuhan. Saya bilang, "Tangkap dulu yang membunuh." Itulah yang mereka lakukan. Maka, jelas siapa yang melakukanpembunuhan terhadap Cliff dan apa motivasinya. Di Mapolres Sumedang, saya hanya menyampaikan datadata. Sedangkan di Mapolda Jabar saya menjelaskan bahwa Dari 35 praja yang meninggal, 18 di antaranya meninggal secara tidak wajar.
Orang pasti bertanya-tanya, lantas apa keinginan saya terhadap IPDN. Ketika mengemuka wacana pembubaran IPDN, saya tidak satuju. Sebab, itu sama saja membakar lumbung padi untuk membunuh seekor tikus. Padahal, target kita adalah menangkap tikusnya. Kalau dibakar, tikusnya akan lari ke mana-mana, dan itu akan menganggu, menimbulkan masalah baru.Artinya, tangkaplah mereka yang bersalah, termasuk saya sendiri, kalau saya kurang vokal dalam penyelesaian berbagai kasus ini. Jadi, diperbaiki saja, atau dipecah menjadi lima bagian. Kalau dulu menjadi duapuluh, sekarang cukup terintegrasi menjadi lima bagian saja. Nah, sekarang saya menerbitkan buku autobiografi. Bukan untuk gaya-gayaan. Bukan untuk mencari popularitas atau materi. Ini sekadar kesaksian. Suatu saat ketika saya sudah tidak ada, atau ketika media sudah tidak meliput saya, buku ini akan tetap berbicara. Lagi pula, banyak orang yang bertanya-tanya, apa motivasi saya terus konsisten membongkar kasus IPDN dan menginginkan perbaikan pada sekolah
itu. Buku ini menceritakan siapa saya, kisah hidup saya, filosofi hidup saya. Insya Allah, orang akan memahami mengapa saya memilih bersuara ketika tahu bagaimana karakter saya terbentuk. Sejarah hidup saya memberi pelajaran kepada diri saya sendiri bahwa kejujuran, tekad, dan kepasrahan terhadap Allah
adalah jalan kehormatan. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa mensyukuri apa yang kita miliki dan menikmatinya. Maka, saya berharap setelah Anda membaca buku ini, segala tanda tanya terang sudah. Seterang matahari pada siang hari.

Lepas maghrib,
di atas bis antarprovinsi Semarang-Bandung,
17 April 2007

Inu Kencana Syafiie

No comments:

Post a Comment