Tuesday, December 23, 2014

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Samsul Bahri Pulang ke Padang 2

Karya Marah Rusli
"Bagaimana ceritanya itu?" tanya Nurbaya.
"Samsu tentu tahu cerita ini. Biarlah ia menceritakannya,
supaya aku dapat berhenti sejurus, melepaskan lelahku, karena
berkata-kata ini."
"Bagaimana cerita itu, Samsu?" tanya Nurbaya kepada
Samsulbahri.
"Begitu," jawab Samsu. "Keledai bukankah kendaraan
manusia? Tetapi karena yang empunya, sangat suka mendengar
perkataan orang, dengan tiada memikirkan perkataan itu lebih
jauh, menjadilah ia kendaraan keledainya."
"Ajaib," jawab Nurbaya.
"Memang, demikianlah jadinya, bila kita terlalu suka
mendengar perkataan orang. Karena orang itu, tiada semuanya
baik kepada kita dan walaupun baik maksudnya, terkadangkadang
boleh jahat juga jadinya kepada kita; sebab hal manusia
itu tiada sama; yang baik pada seorang, boleh jahat pada yang
lain. Jika diturut dengan tiada dipikirkan baik-baik lebih dahulu,
terjerumuslah kita ke dalam lubang.
Cerita keledai itu demikian bunyinya: Seorang peladang
mempunyai seekor keledai. Pada suatu hari, pergilah ia bersamasama
anaknya ke pasar, akan membeli-beli. Si peladang ini
menunggang keledai itu, dan anaknya disuruhnya berjalan di
sisinya. Tiada berapa lama mereka berjalan, bertemulah seorang
perempuan. Tatkala dilihat oleh perempuan itu hal yang
sedemikian, berkatalah ia, "Sesungguhnya orang tua ini tiada
berpikiran! Anaknya yang kecil, yang belum kuat berjalan,
dibiarkannya berjalan kaki, sedang ia duduk bersenang-senang di
atas keledainya."
Perkataan perempuan itu terdengar oleh si peladang, lalu
dinaikkannya anaknya ke atas keledainya dan berjalanlah ia di
sisi binatang ini.
Kemudian bertemulah pula seorang pendeta. Tatkala dilihat
oleh pendeta itu akan hal yang sedemikian, menggeleng-gelenglah
ia, seraya berkata, "Anak ini tiada berbudi. Adakah patut
orang tuanya disuruhnya berjalan kaki sedang ia duduk keenakenakan
di atas kendaraan?"
Perkataan ini termakan pula oleh si peladang, lalu katanya,
"Baiklah kita berdua menunggang keledai ini."
Tiada berapa lamanya berkendaraan berdua, bertemulah pula
seorang pegawai negeri, yang berkata dengan amarahnya, tatkala
melihat si peladang dengan anaknya berdua, menunggang
keledai itu, "Anak dan bapa ini tiada sekali-kali berpikiran dan
tak menaruh kasih sayang! Adakah patut binatang yang sekecil
itu dikendarai oleh dua orang? Apabila kamu tiada turun dari
keledaimu, niscaya kuadukan kamu kepada hakim, sebab
mendera binatang.
Maka turunlah si peladang itu dengan anaknya, lalu berjalan
kaki sebelah menyebelah keledainya. Sejurus kemudian, berjumpa
pula mereka dengan sorang sahabatnya, lalu berkata
sahabat ini, "Alangkah bodoh,kamu kedua ini! Apakah gunanya
kamu memelihara keledai, jika tak dapat ditunggang, sampai
kamu berjalan kaki, dengan susah payah?"
Setelah mendengar perkataan yang akhir ini, tiadalah terkatakata
anak dan bapa.
"Aku sendiri naik keledai ini, salah, engkau sendiri menaiki
pun salah, berdua kita naik, salah pula dan tiada ditunggangi, tak
benar juga. Bagaimanakah yang betul?" Demikianlah keluh si
peladang, sambil membantingkan kopiahnya ke tanah, lalu
duduk di atas sebuah batu, karena tak berani berjalan lagi. "Jika
demikian marilah kita pikul keledai ini! Barangkali begitu yang
baik, karena cara lain tak ada lagi," kata si peladang kepada
anaknya, seraya mencari sebatang kayu. Kemudian diikatnyalah
keempat kaki keledainya, dipikulnya berdua, masuk pasar.
Sekalian isi pasar yang melihat perbuatan yang ganjil ini,
tercengang, lalu berkata, "Seumur hidupku belum pernah aku
melihat orang menjadi kendaraan keledai; baru sekarang inilah.
Gilakah si peladang itu?" lalu mereka tertawa gelak-gelak,
menertawakan si peladang dengan anaknya itu.
"Ini pun masih salah juga," kata peladang, lalu menjatuhkan
keledainya ke tanah, karena bingung.
"Memang bagus benar cerita itu," kata Nurbaya.
"Sehingga inilah dahulu, Nur! Besok lusa aku akan bercerita
pula. Sekarang aku sangat letih hendak tidur. Bila engkau
pulang?" kata Baginda Sulaiman.
"Hamba telah minta izin kepada Engku Datuk, tinggal dua
tiga hari," jawab Nurbaya.
"Jika demikian baiklah."
Setelah diselimuti oleh Nurbaya ayahnya, tidurlah si sakit mi.
Kemudian daripada itu, Samsu minta dirilah, hendak pulang ke
rumahnya.
"Nanti, aku katakan, bila aku akan menceritakan halku
kepadamu, Sam," kata Nurbaya, tatkala Samsu hendak keluar
dari bilik itu.
"Baiklah," jawab Samsu, lalu pulang ke rumah orang tuanya.
Pada keesokan malamnya, kelihatan Nurbaya duduk di
serambi muka rumahnya. Hari waktu itu kira-kira pukul
sembilan, bulan yang sebesar sisir itu, baru terbenam, hingga
malam hanya diterangi oleh bintang yang gemerlapan cahanya di
langit biru. Tetapi dalam pekarangan dan serambi muka rumah
Nurbaya, gelap, karena tak ada lampu dipasang. Hanya sinar
lentera, pada jalan besarlah, yang masuk mencrangi beberapa
tempat dalam pekarangan itu. Nurbaya yang duduk di beranda
muka, rupanya sebagai gelisah di tempat yang gelap itu, karena
sebentar-sebentar ia Menoleh ke rumah Samsu, sebagai ada
sesuatu yang ditunggunya dari sana.
Tidak berapa lamanya ia duduk sedemikian, kelihatanlah
sebagai bayang-bayang, orang berjalan, keluar dari pekarangan
rumah Sutan Mahmud, menuju ke rumah Nurbaya. Setelah
melihat bayang-bayang ini, berdirilah Nurbaya, lalu berjalan
perlahan-lahan, masuk ke dalam bilik ayahnya; kemudian keluar
pula dan turun ke pekarangan, menuju bangku, yang ada di
bawah pohon tanjung, seraya menoleh ke sana kemari, sebagai
takut, kalau-kalau ada orang yang melihat perbuatannya ini.
Setelah sampai ke bangku itu, duduklah ia bernanti. Tiada berapa
lama antaranya, tiba-tiba terdengarlah olehnya suara orang
berkata perlahan-lahan, "Engkaukah ini, Nur?"
"Ya, akulah," jawab Nurbaya.
"Tidakkah ada orang di sini, yang dapat mengintip kita dan
mendengar percakapan kita?" tanya orang itu pula.
"Pada sangkaku, tak ada," jawab Nurbaya, sambil menoleh
sekali lagi ke segenap pihak. Tetapi suatu pun tiada yang
kelihatan atau kedengaran olehnya. "Duduklah di sisiku ini,"
kata Nurbaya pula.
Orang itu duduklah di sisi Nurbaya, lalu berkata, "Bagaimana
ayahmu?"
"Rupanya ada bertambah baik, sebab makan pun mulai suka;
tetapi masih terlalu lemah dan kata doktet tadi, tak boleh ia
terlalu bergerak-gerak dan terkejut-kejut. Bila engkau telah
menjadi dokter, Samsu, alangkah baiknya! Tentulah engkau
sendiri dapat mengobatinya."
"Ya, Nur," jawab orang itu, yang sesungguhnya Samsu,
"tetapi waktu itu masih lama. Masih enam tahun lagi aku harus
belajar, barulah dapat menjadi dokter. Itu pun belum tentu pula;
entahlah jadi, entah tidak sebab waktu yang enam tahun itu
bukan sedikit lamanya, banyak yang, boleh terjadi, dalam waktu
yang selama itu."
"Mengapakah tiada menjadi?" tanya Nurbaya.
"Bagaimana boleh menjadi, jika penggodaan sebagai ini?
Penanggunganku, dalam setahun ini, hanya Allah yang
mengetahui. Berapa kali aku berasa kehabisan tenaga, untuk
melawan segala penggodaan itu; berapa kali aku bersangka; akan
kalah berperang dengan hawa nafsuku dan akan jatuhlah aku ke
dalam tangan setan iblis. Hanya dengan pertolongan Allah saja,
dapat kulayari lautan yang beranjau-ranjau ini, men-capai tanah
tepi. Sedang luka hatiku, karena bercerai dengan engkau belum
lagi sembuh, telah datang pula kejatuhan ayahmu Belum habis
aku memikirkan hal ini, datang pula suratmu, membawa kabar
yang meluluhlantakkan hati jantungku, memutuskan segala
pengharapanku.
Walaupun keduanya yang bermula itu masih dapat kulipur,
tapi kecelakaan yang akhir ini, memutuskan tali tempat aku bergantung,
merebahkan tiang tempat aku bersandar dan mematahkan
dahan tempat aku berpijak. Ketika itulah jatuh hukumanku
dan hilang pengharapanku, akan penghidupanku di kemudian
hari. Beberapa hari lamanya aku tak dapat belajar, karena sakit.
Tak tahu aku, apa sebabnya maka aku dapat juga naik ke kelas
dua. Pada sangkaku, tentulah aku akan tinggal di kelas satu,
sebab pelajaran tak keruan."
"Memang telah kusangka, tentulah engkau takkan senang
mendengar kabar ini. Tetapi apa boleh buat! Terpaksa aku
menulis surat itu. Jika tak kukabarkan hal itu kepadamu, takut
aku, kalau-kalau kaupersalahkan aku. Bagaimanakah halku, bila
engkau pun berpaling pula dari padaku?"
"Tentang hatiku, janganlah kau syak wasangka. Bukanlah
telah kukatakan dahulu kepadamu dan kujanjikan tadi kepada
ayahmu? Bagaimana aku akan berubah kata pula?"
"Sesungguhnyakah tiada berubah hatimu kepadaku, Sam?
Sesungguhnyalah hatimu itu masih suci dan bersih kepadaku,
sebab dahulu, sebelum terjadi perkara ini? Dan sesungguhnyakah
dapat kauberi ampun dan maaf aku, atas kesalahanku? Ataukah,
sebab engkau malu kepada ayahku dan karena hendak membesarkan
hatiku saja, engkau berjanji sedemikian? Katakanlah
yang sebenar-benarnya kepadaku, supaya tahulah aku, apa yang
akan kuperbuat sekarang ini," kata Nurbaya pula, simbil
memegang tangan Samsu dan memandang mukanya.
"Nurbaya, mengapakah engkau kurang percaya kepadaku?
Sudahkah aku berbuat dusta kepadamu? Dan bagaimanakah aku
boleh berkecil hati, dalam halmu ini? Sebab bukan kehendakmu
sendiri, melainkan karena teraniaya, engkau terpaksa berbuat
sedemikian. Janganlah kau syak lagi akan daku; lihatlah ke atas
langit. Bintang yang beribu-ribu, yang menabur langit itu saksiku,
bahwa aku waktu ini berkata benar."
"Jangan engkau marah kepadaku, Sam, sebab aku sebagai
tiada percaya lagi kepadamu. Bukan begitu hatiku: hanya sebab
otakku,yang sejak aku ditimpa timpa mara bahaya ini, telah
menjadi sakit, selalu pikiranku tiada keruan. Acap kali datang
niat yang jahat menggoda hatiku, yaitu hendak membunuh diri,
supaya lekas terlepas daripada siksaan ini. Akan tetapi, jika
datang ingatan kepadamu dan kepada ayahku, undurlah niatku
itu; takut aku akan duka-cita yang akan menimpa dirimu dan
ayahku, karena perbuatanku itu."
"Nur, janganlah ada pikiranmu yang sedemikian! Perbanyaklah
sabarmu dan tawakallah kepada Allah! Ingatlah akan pen
ajaran ayahmu! Engkau masih muda, masih lama akan hidup dan
masih banyak menaruh pengharapan. Janganlah putus asa!" kata
Samsu, akan membujuk Nurbaya.
"Sekalian itu memang benar, Sam. Tetapi apa dayaku, tak
dapat kutanggung rasanya azab yang sedemikian ini. Tak ada
perkataan, yang dapat menyatakan perasaan hatiku; bagaikan
putus rangkai jantungku, bagaikan lulus tempat berdiri, tergantung
di awang-awang, antara langit dengan bumi, antara
hidup dengan mati.
Bagaimana tiada begitu? Cobalah kaupikir! Aku harus duduk
dengan orang, yang bukannya tiada kusukai saja, tetapi orang
yang memutuskan pengharapan yang kuamalkan siang dan
malam, yang menceraikan aku dengan kekasihku, yang menganiaya
dan menjatuhkan ayahku, sampai sengsara serupa ini,
musuh ayahku dan musuhku yang sebesar-besarnya dan akhirnya
menjadi algojoku. Tambahan pula, orang yang umur, kepandaian,
kesukaan, tabiat dan kelakuannya, sekali-kali tiada sepadan
dengan aku. Sekali-kali ia tiada cinta kepadaku; hanya suka,
karena hendak memuaskan nafsunya yang keji itu saja. Bila telah
puas hatinya, tentulah akan dibuangnya aku, sebagai melemparkan
sampah ke pelimbahan; barangkali terus dibunuhnya aku,
jahanam itu!
Bagaimanakah dapat kusabarkan hatiku, bagaimanakah dapat
kusenangkan pikiranku, dan bagaimana pula dapat aku hidup
manis dengan orang yang sedemikian? Makin hari, makin kusut
pikiranku, makin bertambah dukacita dan sedih hatiku, dan
makin bertambah-tambah pula benci hatiku melihat rupanya. Tak
ada yang baik pada pemandanganku, tak ada yang enak pada
perasaanku. Makan tak sedap, tidur tak nyenyak, bangun pun
bertambah-tambah bingung. Rumah tangga, makanan dan
minuman, pakaian dan permainan, pendeknya sekalian yang
miliknya atau yang berasal dari padanya, bukannya dapat
melipur hatiku, hanya mendatangkan marah, sedih dan duka.
Betapa aku hidup, dengan orang yang sedemikian itu?
Jika hari telah malam, aku ingin, supaya lekas siang dan
apabila telah siang, kuharap pula, supaya lekas malam. Aku
minta, biar yang setahun ini menjadi sehari, dan yang sebulan
menjadi sejam; karena tak tahu, apa yang akan diperbuat dan tak
dapat melipur hati. Waktu yang sejam, sebagai sebulan rasanya
dan yang sehari serasa setahun. Sesungguhnya itulah neraka
dunia, yang sebenar-benarnya.
Maka berhentilah Nurbaya sebentar bertutur, karena hendak
menyapu air matanya, yang keluar dengan tiada dirasainya.
Samsu tiadalah dapat berkata-kata, sebab sedih mendengarkan
nasib adiknya ini.
"Oleh sebab itu, kupinta kepadamu, Sam," kata Nurbaya
pula, "bila engkau kelak beranak perempuan, janganlah sekalikali
kaupaksa kawin dengan laki-laki yang tiada disukainya.
Karena telah kurasai sendiri sekarang ini, bagaimana sakitnya,
susahnya dan tak enaknya, duduk dengan suami yang tiada
disukai. Tak heran aku, bila perempuan, yang bernasib sebagai
aku ini menjalankan pekerjaan yang tak baik, karena putus asa.
Aku ini, sudahlah; sebab terpaksa akan menolong ayahku. Tetapi
perempuan yang tiada semalang aku, janganlah dipaksa, menurut
kehendak hati ibu-bapa, sanak saudara sahaja, tentang perkawinannya,
dengan tiada mengindahkan kehendak, kesukaan,
umur, kepandaian, tabiat dan kelakuan anaknya. Karena tiada
siapa yang akan menanggung kesusahan kelak, jika tak baik
jadinya; melainkan yang kawin itu sendiri. Ibu-bapa atau kaum
keluarga sekedar akan melihat dari jauh. Bukankah sepatutnya
ditanyakan dahulu pikirannya, tentang perkawinan itu? Bukankah
anak perempuan itu mempunyai pikiran, perasaan, penglihatan
dan kesukaan juga sebagai perempuan yang lain?
Sungguhpun ibu-bapa tahu dan kenal akan anaknya, tetapi
yang terlebih mengetahui akan dirinya, tentulah anak itu sendiri
juga. Banyak ibu-bapa yang bersangka, bahwa ialah yang terlebih
mengetahui akan hal anaknya. Oleh sebab itu, pada sangkanya
haruslah anak itu menurut sekalian kemauan orang tuanya.
Ibu-bapa yang sedemikian, ialah ibu-bapa yang tiada menghargakan
anaknya. Dan apabila ia sendiri tak menghargakan
anaknya, janganlah ia berharap, menantunya atau orang lain,
akan mengindahkan anaknya. Dan janganlah pula ia berkecil
hati, bila laki-laki, memandang perempuan masih jauh di bawah
telapaknya, karena sesungguhnya belum dapat ia bertanding
dengan laki-laki, bila belum tahu ia akan harga dirinya sendiri.
Lagi pula, kalau benar anak dan menantu itu dapat turutmenurut
kelak, sehingga dapat kekal perkawinannya selamalamanya!
Jika tidak, bercerailah pula; padahal belanja entah
beberapa ribu telah habis, sampai setengahnya menggadai dan
menjual harta berhabis-habisan, untuk mengawinkan anak.
Bukankah sayang uang yang sebanyak itu, dibuang cumacuma?
Pada pikiranku, kewajiban ibu-bapa dalam hal perkawinan
anaknya pertama mengingat umur anaknya itu; sebab jika terlalu
muda dikawinkan, niscaya merusakkan badan anak itu dan
sekalian keturunannya. Di Indonesia ini, pada sangkaku anak
perempuan janganlah lebih muda dikawinkan daripada berumur
dua puluh tahun. Jangan seperti aku, baru berumur enam belas
tahun, telah terpaksa kawin. Makin tua, makin baik."
"Ya, tetapi pada sangka perempuan di sini, suatu keaiban,
kalau tak kawin muda-muda, sebagai tak laku," kata Samsu
dengan tiba-tiba.
"Persangkaan yang sedemikian, timbulnya daripada kebiasaan
yang tak baik. Bila nyata kepada kita, sesuatu adat salah,
mengapakah tak hendak dibuang, tetapi diturut saja, membuta
tuli? Lihatlah bangsa Barat! Terkadang-kadang, setelah berumur
tiga puluh tahun, baru kawin; tak ada orang yang menghinakan
mereka. Dan sesungguhnya, tatkala perempuan itu berumur tiga
puluh lima atau empat puluh tahun sekalipun, rupanya masih
muda, badannya masih tetap dan kukuh. Bila beranak umur
sekian, sempurnalah anak itu; menjadi orang yang sehat badan
dan pikirannya; tubuhnya besar dan umurnya pun panjang. Akan
tetapi perempuan di sini, umur tigapuluh tahun, terkadangkadang
telah bercucu. Itulah sebabnya maka dirinya sendiri dan
anaknya pun tiada sempurna dan akhirnya tentu bangsanyalah
yang menjadi kurang baik, sebab sekaliannya keturunan
perempuan muda, yang belum cukup umurnya.
Kedua, haruslah orang tua itu bertanya kepada anaknya,
sudahkah ada niatnya hendak kawin? Kalau belum, janganlah
dipaksa, supaya jangan menjadi huru-hara kemudian. Ada
perempuan yang belum mau mengikat dirinya dengan tali
perkawinan; sebab misalnya, masih suka bebas, sebagai anakanak,
atau sebabnya ada sesuatu maksudnya, yang menjadi
alangan kepada perkawinannya.
Ketiga, haruslah ditanyakan, sukakah ia kepada jodohnya itu
atau tiada. Yang sebaik-baiknya, tentulah anak itu sendiri
mencari jodohnya. Bukannya aku berkehendak, supaya
perempuan bangsa kita, dibebaskan seperti perempuan Barat,
siang malam bercampur gaul dengan laki-laki. Tidak, karena
adat Barat itu kurang baik bagi bangsa kita. Tetapi kedua mereka
yang dikawinkan itu, baiklah berkenal-kenalan dahulu; biar yang
seorang tahu benar akan yang seorang. Jika khawatir akan
sesuatu bahaya, jagalah anak perempuan itu baik-baik, jangan
terlalu banyak diberi bercampur dengan tunangannya.
Cukuplah sekadar belajar kenal saja. Dan jika tak suka atau
khawatir anak itu akan salah mencari jodohnya sendiri,
pilihkanlah dahulu yang baik pada pikiran orang tuanya. Akan
tetapi sesudah itu haruslah ditanyakan juga kepada anak itu,
sukakah ia kepada pilihan orang tuanya ini. Tetapi sebaikbaiknya
pertemukanlah keduanya, supaya jangan tatkala
dikawinkan itu saja masing-masing baru dapat melihat rupa
jodohnya."
"Kata orang tua-tua, cinta itu akan datang juga kelak bila
telah kawin," kata Samsu dengan tersenyum.
"Tiada selamanya," jawab Nurbaya. "Bagaimana dapat aku
mencintai orang, yang sebagai batuk Meringgih ini? Apakah
yang akan dapat menarik hatiku? Tak ada suatu pun yang
berpadanan dan bersamaan dengan daku.
Keempat haruslah umumya berpadanan; tua laki-laki sedikit.
telah lazim; sama tua baik juga; tua pun yang perempuan sedikit,
tak mengapa, asal jangan terlalu amat besar perbedaan mereka.
Laki-laki yang berumur lima puluh tahun dengan perempuan
yang berumur enam belas atau nenek-nenek yang berumur
limapuluh tahun dengan laki-laki yang berumur dua puluh tahun,
tentu saja tak sepadan. Itulah yang menjadi duri dalam daging,
yang selalu terasa-rasa oleh yang muda. Oleh sebab itu acap kali
ia tiada setia; berpaling hatinya kepada yang lain yang sebaya
dengan dia. Yang tua itu pun, terkadang-kadang tak senang pula
hatinya; malu kepada orang, sebab jodoh yang sangat besar
perbedaannya itu, tentulah menjadi buah tutur orang segenap
negeri.
Lagi pula, orang yang telah tua itu, berlainan pikiran,
kemauan, kesukaan, kelakuan, tabiat adat dan kepandaiannya
dengan yang muda. Kemauan yang tua misalnya jangan terlalu
banyak berjalan, karena kekuatannya tiada seberapa lagi, tetapi
yang muda, itulah yang dikehendakinya, karena tak betah selalu
di rumah. Kesukaan yang muda misalnya, makanan yang keraskeras;
tetapi si tua tak dapat memakan makanan itu, walaupun
masih ingin, karena giginya tak ada lagi. Yang tua, biasanya tua
pula fahamnya, tetapi yang muda, masih suka beriang-riang,
bermain-main dan bersenda gurau. Tabiat dan adat pun acap kali
berubah, bila umur telah tua. Aku masih menghargai segala
keelokan dan kesenangan, tetapi Datuk Meringgih ini, ingatan
dan pikirannya tiada lain melainkan kepada uang dan
pemiagaannya. Apa gunanya itu bagiku, bila tiada dapat kupakai
untuk memenuhi segala keinginan hatiku? Sekalian itu harus
diingat pula oleh ibu-bapa, yang hendak mengawinkan anaknya,
karena sangatlah susahnya akan menyamakan sifat dan kelakuan
yang berbeda-beda itu.
Kepandaian harus pula sama, supaya dapat berunding dan
bercakap-cakap dalam segala hal. Jika yang seorang pandai dan
yang seorang bodoh, terkadang-kadang yang pandai menjadi
sombong dan yang bodoh bersedih hati. Demikian pula tentang
kekayaan dan bangsa. Jika si laki-laki berbangsa tinggi dan si
perempuan orang biasa saja, rendahlah dipandangnya istrinya,
dan bila si laki-laki kaya, tetapi istrinya seorang yang miskin,
mudah disia-siakannya perempuannya itu.
Rupanya janganlah berbeda sebagai malam dengan siang;
karena itu pun boleh pula mendatangkan hal-hal yang kurang
baik. Akhirnya, harus diingat akan besar dan tinggi badan.
Adakah tampan pada pernandangan mata bila gajah yang besar
tinggi, dipersandingkan dengan tikus yang kecil kerdil? Ingatlah,
kedua mereka itu harus menjadi satu, pasangan yang baik dari
badan yang dua.
Sebagai kaulihat, tak mudah dapat mencari jodoh yang sejoli.
Itulah sebabnya perkawinan itu suatu hal yang penting; tak baik
dipermudah, sebagai dilakukan oleh bangsa kita. Karena
kesenangan dan keselamatan orang berlaki-istri dan berumah
tangga, hanya dapat diperoleh, bila si laki-laki dan si perempuan
dalam segala hal dapat bersetujuan. Dalam hal yang demikian,
menjadilah rumah tangganya surga dunia, yang mendatangkan
kesukaan, kesenangan, cinta kasih sayang, selama-lamanya. Dan
bila telah beranak, bertambah-tambahlah kesenangan dan
kesukaan itu. Tetapi jika tiada begitu, menjadilah rumah tangga
itu neraka jahanain, yang selalu menimbulkan perselisihan,
perkelahian, benci, amarah, sedih, susah. terkadang-kadang
bencana dan bahaya yang disudahi dengan perceraian."
"Terlebih-lebih bagi laki-laki yang harus membanting tulang
untuk memperoleh kehidupannya," kata Samsu, "sangat berharga
kesenangan dalam rumah itu, karena bila ia pulang dari
pekerjaannya dengan lelah payah, dan didapatinya di dalam
rumahnya penglipur hatinya, niscaya berobatlah lelahnya dan
dengan riang hatilah ia pada keesokan harinya menjalankan
pekerjaannya yang berat itu. Dengan dernikian, tiadalah akan
dirasainya keberatan pekerjaannya itu dan tetaplah sehat
badannya serta panjanglah umurnya. .
Bila tak ada yang seperti ini sengsaralah kehidupannya.
Sesudah ia menderita kelelehan dalarn pekerjaannya, tatkala
sampai ke rumah, kusut dan keruh pula yang dihidangkan oleh
anak-istrinya. Tiada heran, jika laki-laki yang serupa itu, tiada
betah di rumahnya; sebagai takut ia kepada tempat kediamannya
yang tetap itu. Oleh sebab itu larilah ia ke luar, mencari
penglipur hatinya di mana-mana. lnilah yang acap kali
menjadikan laki-laki itu jahat dan bengis kelakuannya, suka
berbuat yang tidak senonoh."
"Memang tugas perempuan tiada mudah," jawab Nurbaya,
"harus pandai menarik dan melipur hati suaminya; bukan dengan
wajah yang cantik saja, tetapi juga dengan kelakuan yang baik,
peraturan yang sempurna dan kepandaian yang cukup."
"Laki-laki, begitu pula," kata Samsu, "harus pandai membimbing
anak-istrinya, supaya betah dalam rumahnya dan
dengan riang dan suka hati, menjalankan kewajibannya. Sekalian
yang dapat menghiburkan hati, harus diadakan; sebab, apabila
perempuan tak betah lagi dalam rumahnya, bertambahtambahlah
celakanya, karena tak ada tempat lain, yang dapat
menyenangkan hatinya..."
"Sesungguhnya hal ini kurang diperhatikan oleh bangsa kita,"
kata Samsu pula, setelah berhenti sejurus. "Itulah sebabnya agaknya,
acap kali terjadi perceraian dalam negeri kita, sehingga lakilaki
atau perempuan sampai beberapa kali kawin."
"Bukan itu saja, tetapi selagi talak dipegang laki-laki saja dan
laki-laki boleh beristri sampai beberapa orang, susahlah akan
mengubah hal itu." kata Nurbaya.
"Memang, itu pun tak adil pula," sahut Samsu.
"Jika perempuan yang memegang talak, dan aku tiada terikat
oleh ayahku, niscaya tiada kupanjangkan jodoh ini. Tetapi, apa
hendak kuperbuat? Aku terikat pada tangan dan kaki... Tiadakah
kasihan engkau kepadaku, Sam? Tak adakah akal, supaya lepas
aku dari ikatan ini? Dengarlah olehmu pantun nasibku ini:
"Di sawah jangan memukat ikan,
ikan bersarang dalam padi.
Susah tak dapat dikatakan,
ditanggung saja dalam hati.
Gantungan dua tergantung,
tergantung di atas peti.
Ditanggung tidak tertanggung,
sakit memutus rangkai hati.
Buah pinang di dalam puan,
tumpul kacip asah di batu.
Tidaklah iba gerangan tuan,
kepada adik yatim piatu?
Labuk baik kuala dalam,
pasir sepanjang muaraqya,
Buruk baik minta digenggam,
badanlah banyak sengsaranya.
Ikatkan mati pisang berjantung,
hunus keris letakkan dia.
Niat hati hendak bergantung,
putus tali apakan daya."
"Nur sabarlah dahulu! Bukan aku tak kasihan kepadamu,
hanya pada waktu ini belum dapat kita berbuat apa-apa, karena
ikatannya sangat keras. Senangkanlah dahulu hatimu! Kelak
akan kucari muslihat yang baik. Sekarang hanya bersama-sama
kita berdoa kepada Allah, supaya lekas engkau terlepas dari
ikatan ini. Sst, diam! Apakah itu! Sebagai ada bunyi apa-apa di
luar pagar itu?" kata Samsu tiba-tiba, serta menoleh ke tempat
bunyi itu. Akan tetapi tiada suatu apa pun yang kelihatan
olehnya.
"Barangkali katak atau binatang kecil-kecil yang mencari
makanannya," jawab Nurbaya, lalu menyambung percakapannya
dengan Samsu. "Siapakah yang menyangka, Sam, tatkala kita
setahun yang telah lalu, duduk di atas bangku ini, dengan
pengharapan yang besar, akan jadi sebagai sekarang ini hal kita?
Apakah jadinya cita-cira kita itu dan adakah akan dapat
disampaikan pula? Dengarlah pantun ini:
"Dari Perak ke negeri Rum,
berlayar lalu ke kuala.
Jangan diharap untung yang belum,
sudah tergenggam terlepas pula.
Orang Pagai mencari lokan,
kembanglah bunga serikaya.
Aku sebagai anak ikan,
kering pasang apakan daya.
Singapura kersik berderai,
tempat ketam lari berlari.
Air mata jatuh berderai,
sedihkan untung badan sendiri.
Berbunyi kerbau Rangkas Betung,
berbunyi memanggil kawan.
Menangis aku menyadar untung,
untungku jauh dari awan.
Berlayar dari Teluk Betung,
Anak Bogor mencari tiram.
Apa kuharap kepada untung,
perahu bocor menanti karam.
Tikar pandan dua berlapis,
dilipat digulung anak Bangka.
Sesal di badan tidak habis,
karena untung yang celaka."
Disabarkanlah Nurbaya oleh Samsu dengan pantun yang di
bawah ini:
"Jangan disesal pada tudung,
tudung saji teredak Bantan.
Jangan disesal kepada untung,
sudah nasib permintaan badan. '
Ke rimba berburu kera,
dapatlah anak kambing jantan.
Sudah nasib apakan daya,
demikian sudah permintaan badan.
Sudah begitu tarah papan,
bersudut empat persegi.
Sudah begitu permintaan badan,
sudah tersurat pada dahi.
Dikerat rotan belah tiga,
Nakoda belayar dekat Jawa.
Jangan diturut hati yang luka,
binasa badan dengan nyawa."
Dijawab oleh Nurbaya:
"Berkota kampung Padang Besi,
Tempat orang duduk berjaga.
Cintamu jangan dihabisi,
Sehelai rambut tinggalkan juga."
Dibalas pula oleh Samsu:
"Jika menjahit duduk di pintu
jarumnya jangan dipatahkan.
Cintaku suci sudahlah tentu,
sedikit belum diubahkan.
Bang dahulu maka kamat,
takbir baru orang sembahyang.
Bercerai Allah dengan Muhammad,
baru bercerai kasih sayang.
Berbunyi meriam Tanah Jawa,
orang Belanda mati berperang.
Haram kakanda berhati dua
cinta kepada Adik seorang."
Mendengar pantun ini, tiadalah tertahan oleh Nurbaya
hatinya lagi, lalu dipeluknya Samsu dan diciumnya pipinya.
Dibalas oleh Samsu cium kekasihnya ini dengan pelukan yang
hasrat. Di dalam berpeluk dan bercium-ciuman itu, tiba-tiba terdengar
di belakang mereka, suara Datuk Meringgih berkata
demikian, "Itulah sebabnya, maka keras benar hatimu akan
pulang, dan tiada hendak berbalik kepadaku. Bukannya hendak
menjaga ayahmu, sebagai katamu, hanya akan bersenangsenangkan
diri ddngan kekasihmu. Inilah perbuatan kaum muda,
kaum yang terpelajar, yang beradat sopan santun, tetapi memperdayakan
suami, supaya dapat bersenda gurau dengan laki-laki, di
tempat yang gelap, sedang ayah sendiri, sakit keras. Inilah
rupanya kelebihan kaum muda daripada kami kaum kuno. Inilah
yang dipelajari di sekolah tinggi, dengan belanja dan susah
payah yang tida sedikit. Jika serupa ini, benar juga pikiran kami
kaum kuno: kemajuan kaum muda itu, bukan akan meninggikan
derajatnya, bahkan akan membawanya dari tempat yang mulia
ke tempat yang hina; membusukkan nama yang harum,
menghilangkan derajat dan kemuliaan perempuan, sedang adat
dan kepandaian lama, yang berfaedah bagi perempuan disiasiakan.
Tak harus perempuan yang sedemikian dimajukan."
Ketika itu terperanjatlah Samsu dan Nurbaya, lalu berdirilah
Samsu di muka Nurbaya akan melindunginya. Oleh sebab bencinya
Samsu kepada Datuk Meringgih ini, karena teringat akan
sumpahnya di Jakarta, tiadalah dapat ditahannya hatinya lagi lalu
menjawab, "Tak perlu engkau berkata begitu! Bercerminlah
engkau kepada badanmu sendiri! Adakah engkau sendiri berlaku
sopan santun berhati lurus dan benar, tahu adat istiadat? Jika ada
iblis yang sejahat jahatnya di atas dunia ini, tentu engkaulah iblis
itu."
Mendengar maki nista ini, merah padamlah muka Datuk
Meringgih, lalu diangkatnya tongkatnya dan dipalukannya
kepada Samsu. Tetapi tatkala itu juga Samsu melompat ke kiri,
seraya menarik Nurbaya, sehingga palu Datuk Meringgih itu
jatuh mengenai bangku, tempat mereka duduk tadi dan dengan
segera Samsu melompat ke hadapan, meninju muka Datuk
Meringgih dengan kedua belah tangannya berturut-turut, serta
kakinya pun menendang perut lawannya ini, sehingga jatuhlah
Datuk Meringgih, terbanting ke tanah, lalu berteriak minta
tolong, "Pendekar Lima, tolong aku!'
Seketika itu juga, datanglah seorang-orang yang berpakaian
serba hitam, dari tempat yang gelap, memburu Samsu dengan
sebilah keris terhunus di tangannya. Melihat bahaya yang akan
menimpa Samsu ini, menjeritlah Nurbaya sekuat-kuatnya, minta
tolong, sehingga bergemparanlah orang sebelah menyebelah,
terperanjat, berlari-lari ke luar.
Tatkala dilihat Samsu keris Pendekat Lima ditikamkan
kepadanya, melompatlah ia ke sisi dengan merendahkan dirinya,
lalu menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga terpelantinglah
senjata itu ke udara. Pendekar Lima tak dapat menyerang Samsu
lagi, karena dilihatnya orang berlari-lari datang ke sana, lalu
larilah ia menyembunyikan dirinya.
Sekalian orang yang datang yang di antaranya ada ayah
Samsu bertanya, apakah sebabnya maka berteriak minta tolong?
Akan tetapi seorang pun tiada menyahut. Oleh sebab itu,
bertanyalah Sutan Mahmud kepada Datuk Meringgih, apakah
yang telah terjadi.
"Tanyakanlah kepada anak Tuanku! Setelah diperdayakan
hamba bersama-sarna istri hamba, dipukulnya pula hamba,"
jawab Datuk Meringgih.
Sutan Mahmud maklum, apa maksud pekataan Datuk
Meringgih ini dan ia sangatlah malu akan kelakuan anaknya.
Oleh sebab itu berkatalah ia, "Percayalah Engku, perkara ini
akan hamba periksa benar-benar. Siapa yang bersalah, tentulah
tiada akan luput dari hukuman, walaupun anak hamba
sekalipun." Lalu pulanglah ia membawa Samsu ke rumahnya.
Setelah berangkat Sutan Mahmud, kelihatan Baginda
Sulaiman keluar dari biliknya, karena ia sangat terperanjat, mendengar
suara anaknya minta tolong, sehingga ia bangun dari
tempat tidumya. Walaupun badannya sangat lemah, sehingga ia
dilarang dokter bergerak-gerak, tetapi karena ia takut anaknya
akan mendapat kecelakaan, lupalah ia akan dirinya. Tatkala ia
hendak turun di tangga yang gelap itu, jatuhlah ia tergulingguling
ke bawah. Melihat hal ayahnya ini, berlari-larilah
Nurbaya dengan beberapa orang, akan menolong Baginda
Sulaiman. Akan tetapi, ketika diangkat, nyatalah orang tua itu,
telah berpulang ke rahmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun!
Maka menjeritlah Nurbaya menangis tersedu-sedu dengan
mengempas-empaskan dirinya, tak dapat disabarkan lagi, lalu
jatuh pingsan. Mayat Baginda Sulaiman dan Nurbaya yang
pingsan, diangkat oranglah ke dalam rumahnya, dibaringkan di
ruang tengah dan Nurbaya dibawa masuk ke dalam biliknya.
Setelah dibasahi orang kepala Nurbaya dan diciumkan minyak
kelonyo ke hidungnya, barulah ia sadarkan dirinya pula, lalu
meratap amat sedih.
"Tak perlu engkau menangis," kata Datuk Meringgih,
"karena salahmu sendiri. Engkaulah yang membunuh ayahmu."
Mendengar tempelak ini, berdirilah Nurbaya sekonyongkonyong.
Air mukanya yang sedih itu hilang sekaliannya, bertukar
dengan marah yang amat sangat. Air matanya kering,
matanya yang telah merah, karena menangis, bertambah-tambah
merah, bibir dan sekujur badannya gemetar. Sangatlah dahsyat
rupanya pada waktu itu, seakan-akan singa yang kelaparan,
hendak menerkam musuhnya.
"Apa katamu?" kata Nurbaya. "Aku membunuh ayahku,
celaka? Engkau yang membunuhnya! Pada sangkamu aku tiada
tahu, perbuatanmu yang keji itu kepada ayahku? Engkaulah yang
menjatuhkan dia, karena dengki khianatmu dan busuk hatimu.
Perbuatanmulah, maka toko ayahku terbakar, perahunya
tenggelam kelapanya mati, sekalian langganannya tak hendak
mengambil barang-barang dari padanya lagi, serta mungkir
membayar utangnya dan segala orangnya lari, merribawa uang
ayahku. Tatkala ayahku telah jatuh miskin, pura-pura kautolong
ia dengan meminjamkan uang kepadanya, tetapi maksudmu yang
sebenarnya, hendak menjerumuskannya ke jurang yang terlebih
dalam, karena hatimu yang terlebih bengis daripada setan itu,
belum puas lagi. Aku pun kauseret pula ke dalam kekejian, untuk
memuaskan kan hawa nafsumu, yang terlebih hina pada hawa
nafsu hewan. Sekarang ayahku telah mati; barulah senang
hatimu, bukan? Akan tetapi pada waktu inilah pula, aku terlepas
dari tanganmu, hai bangsat! Aku dahulu menurut kehendakmu,
karena hendak membela ayahku, supaya jangan sampai engkau
penjarakan dia. Sekarang ayahku tak ada lagi, putus pula
sekalian tali yang mengikatkan aku kepadamu. Janganlah engkau
harap, aku akan kembali kepadamu. Manusia yang sebagai
engkau, tiada layak bagiku. Rupamu sebagai hantu pemburu,
tuamu sama dengan nenekku, tabiatmu terlebih jahat dari tabiat
binatang yang buas. Apa yang dapat kupandang padamu?
Uangmu yang engkau peroleh dengan tipu daya, darah keringat
mereka yang telah engkau aniaya itu? Apa gunanya uang itu
bagiku? Karena kikirmu, engkau sendiri pun tak dapat memakai
uang itu. Siapa tahu barangkali hartamu itu kau peroleh dengan
jalan mencuri dan menyamun. Seram badanku, jika kuingat akan
hal itu. Daripada bersuamikan engkau, terlebih suka aku
bersuamikan anjing. Nyah engkau dari sini! Tiada sudi aku
memandang engkau sebelah mata pun, terlebih daripada aku
melihat najis. Cis! Ceraikan aku sekarang ini juga! Jika tiada,
bukanlah laki-laki."
"Jangan engkau lupa, ayahmu berutang kepadaku. Oleh sebab
itu rumah ini, akulah yang punya dan berkuasa atasnya. Jadi
bukan engkau yang dapat mengusir aku, tetapi akulah yang harus
mengusir engkau dari sini. Jika banyak juga mulutmu, tentu
malam ini juga kukeluarkan engkau dengan ayahmu sekali, dari
rumah ini," jawab Datuk Meringgih, yang pucat mukanya karena
menahan marahnya.
"Apa katamu? Rumah dan sekalian barang ini, bukan harta
ayahku, melainkan milikku sendiri, karena tertulis di atas
namaku. Tiada siapa berkuasa atasnya, melainkan aku seorang.
Kalau benar engkau laki-laki dan berkuasa atas rumah ini,
cobalah kaukeluarkan aku dari sini!" lalu Nurbaya mengambil
palang pintu, sambil berkata, "Tandanya aku berkuasa atas
rumah ini, kuusir engkau seperti anjing dari sini. Bila lama juga
engkau di sini, takkan tiada makanlah palang pintu ini kepalamu
yang besar, sulah dan beruban itu," lalu Nurbaya menghampiri
Datuk Meringgih, sambil mengayunkan palang pintu ke kepalanya;
tetapi lekaslah ia dipegang orang, disabarkan dengan perkataan
yang lemah-lembut.
Datuk Meringgih turun dari rumah Nurbaya, seraya berkata,
"Nanti!" lalu pulang ke rumahnya.
Sepanjang jalan tiada lain yang dipikirkan, melainkan jalan
akan membinasakan Nurbaya.
Tatkala Datuk Meringgih diusir oleh Nurbaya dari rumahnya,
ketika itu pula Samsu diusir oleh ayahnya dari rumahnya.
Demikian kata Sutan Mahmud kepada anaknya, "Perbuatanmu
ini sangat memberi malu aku, sebab tak patut sekali-kali. Ke
manakah akan kusembunyikan mukaku? Bagaimanakah aku
akan menghapus arang yang telah kaucorengkan pada mukaku
ini? Perbuatan yang sedemikian, bukanlah perbuatan orang yang
berbangsa, anak orang yang berpangkat tinggi, orang yang
terpelajar, melainkan pekerjaan orang yang hina, yang tak tahu
adat dan kelakuan yang baik. Pada sangkaku, engkau bukan
masuk bangsa yang kedua itu.
Namaku yang baik selama ini, yang dimuliakan dan
dihormati orang, bangsaku yang tinggi dan belum bercacat,
sekarang kau kotorkan dengan noda yang tak dapat dihapus lagi.
Inikah balas usahaku memajukan engkau, sampai ke mana-mana.
Inikah buah pelajaran yang engkau peroleh di sekolahmu?
Sayang aku, akan uangku yang sekian banyaknya, yang telah
kukeluarkan, untuk mendidik dan memandaikan engkau. Inikah
yang engkau pelajari di Jakarta? Pelajaranmu belum tentu lagi,
pekerjaan yang sedemikian telah kauperbuat."
Setelah berhenti sejurus, berkata pula Sutan Mahmud,
"Kesalahanmu ini tak dapat kuampuni, karena sangat memberi
aib. Pergilah engkau dari sini! Sebab aku tak hendak mengakui
engkau lagi. Yang berbuat demikian, bukan anakku."
Samsulbahri tiada menyahut sepatah pun perkataan ayahnya
ini, melainkan tunduk berdukacita. Hanya ibunyalah yang
menangis tatkala mendengar anaknya diusir oleh suaminya.
"Jika engkau pun hendak mengikuti anakmu, pergilah
bersama-sama! Aku tak hendak melihatnya lagi," kata Sutan
Mahmud pula kepada istrinya, lalu turun dari rumahnya, pergi ke
rumah saudaranya di Alang Lawas:
Setelah berangkat Sutan Mahmud, dibujuklah Samsulbahri
oleh ibunya dengan beberapa perkataan yang manis-manis,
supaya jangan dimasukkannya ke dalam hatinya, amarah
ayahnya itu. Akan tetapi Samsulbahri tiada menyahut pula
melainkan minta masuk ke biliknya, karena sangat mengantuk,
hendak tidur katanya.
Mendengar permintaan anaknya ini hilanglah kuatir Sitti
Maryam. Pada sangkanya, tiada diindahkan Samsu amarah
ayahnya tadi. Tetapi sebenarnya Samsu semalam-malaman itu
tiada dapat memejamkan matanya, barang sekejap pun; melainkan
menangislah ia dengan amat sedih mengenangkan nasibnya
dan nasib Nurbaya kekasihnya yang malang itu. Tatkala hari
telah pukul tiga malam, bangunlah ia perlahan-lahan dari tempat
tidurnya, lalu dimasukkannya sekalian pakaiannya ke dalam
petinya dan keluarlah ia dari jendela biliknya. Setelah sampai ke
pintu pekarangan rumah orang tuanya, menolehlah ia ke
belakang, ke rumah itu dan rumah Nurbaya, lalu berhenti sejurus
lamanya dan berkata perlahan-lahan, "Selamat tinggal Ibu dan
kekasihku! Aku hendak berjalan, barang ke mana dibawa nasibku
yang malang ini. Jika ada umurku panjang, mungkin akan
bertemu juga kita dalam dunia ini; jika tidak, bernanti-nantilah
kita di akhirat. Di sanalah kita dapat bertemu pula, bercampur
selama-lamanya, tiada bercerai lagi.
Tatkala ia berkata-kata sedemikian, bercucuranlah air matanya,
karena hatinya sangat sedih. Terlebih-lebih, sebab sebagai
adalah suatu perasaan yang timbul dalam hatinya, yang
mengatakan, ia tiada akan dapat bertemu lagi dengan kedua
perempuan yang sangat dicintainya ini. Kemudian berjalanlah ia
menuju pelabuhanTeluk Bayur. Walaupun hari amat gelap dan
jalan amat sunyi tetapi tiadalah ia merasa takut, sebab pikirannya
masih terikat kepada hal yang baru terjadi itu. Kira-kira pukul
lima pagi, sampailah ia ke pelabuhan Teluk Bayur, lalu naik
kapal yang akan berlayar hari itu ke Jakarta. Karena takut akan
diketahui orang, yang barangkali mengikutinya dari belakang,
bersembunyilah ia dalam sebuah kamar kelasi kapal yang dikenalnya.
Pukul tujuh pagi diangkatlah jangkar dan berlayarlah kapal
itu menuju pelabuhan Tanjung Periuk.
Ketika diketahui oleh ibunya pada keesokan harinya, bahwa
anaknya tak ada lagi, ributlah ia menyuruh cari ke sana kemari,
tetapi tiadalah bertemu, dan seorang pun tiada tahu ke mana
perginya. Sebab sedih hatinya, berangkatlah ia tiga hari
kemudian ke Padang Panjang, ke rumah saudaranya. Di sanapun
rupanya tak dapat dilipurnya hatinya, sehingga badannya makin
lama makin kurus dan akhirnya jatuhlah ia sakit, karena
bercintakan anaknya.

No comments:

Post a Comment