Karya Marah Rusli
"Bagaimana ceritanya
itu?" tanya Nurbaya.
"Samsu tentu tahu cerita
ini. Biarlah ia menceritakannya,
supaya aku dapat berhenti
sejurus, melepaskan lelahku, karena
berkata-kata ini."
"Bagaimana cerita itu,
Samsu?" tanya Nurbaya kepada
Samsulbahri.
"Begitu," jawab Samsu.
"Keledai bukankah kendaraan
manusia? Tetapi karena yang
empunya, sangat suka mendengar
perkataan orang, dengan tiada
memikirkan perkataan itu lebih
jauh, menjadilah ia kendaraan
keledainya."
"Ajaib," jawab Nurbaya.
"Memang, demikianlah
jadinya, bila kita terlalu suka
mendengar perkataan orang. Karena
orang itu, tiada semuanya
baik kepada kita dan walaupun
baik maksudnya, terkadangkadang
boleh jahat juga jadinya kepada
kita; sebab hal manusia
itu tiada sama; yang baik pada
seorang, boleh jahat pada yang
lain. Jika diturut dengan tiada
dipikirkan baik-baik lebih dahulu,
terjerumuslah kita ke dalam
lubang.
Cerita keledai itu demikian
bunyinya: Seorang peladang
mempunyai seekor keledai. Pada
suatu hari, pergilah ia bersamasama
anaknya ke pasar, akan
membeli-beli. Si peladang ini
menunggang keledai itu, dan
anaknya disuruhnya berjalan di
sisinya. Tiada berapa lama mereka
berjalan, bertemulah seorang
perempuan. Tatkala dilihat oleh
perempuan itu hal yang
sedemikian, berkatalah ia,
"Sesungguhnya orang tua ini tiada
berpikiran! Anaknya yang kecil,
yang belum kuat berjalan,
dibiarkannya berjalan kaki,
sedang ia duduk bersenang-senang di
atas keledainya."
Perkataan perempuan itu terdengar
oleh si peladang, lalu
dinaikkannya anaknya ke atas
keledainya dan berjalanlah ia di
sisi binatang ini.
Kemudian bertemulah pula seorang
pendeta. Tatkala dilihat
oleh pendeta itu akan hal yang
sedemikian, menggeleng-gelenglah
ia, seraya berkata, "Anak
ini tiada berbudi. Adakah patut
orang tuanya disuruhnya berjalan
kaki sedang ia duduk keenakenakan
di atas kendaraan?"
Perkataan ini termakan pula oleh
si peladang, lalu katanya,
"Baiklah kita berdua
menunggang keledai ini."
Tiada berapa lamanya berkendaraan
berdua, bertemulah pula
seorang pegawai negeri, yang
berkata dengan amarahnya, tatkala
melihat si peladang dengan
anaknya berdua, menunggang
keledai itu, "Anak dan bapa
ini tiada sekali-kali berpikiran dan
tak menaruh kasih sayang! Adakah
patut binatang yang sekecil
itu dikendarai oleh dua orang?
Apabila kamu tiada turun dari
keledaimu, niscaya kuadukan kamu
kepada hakim, sebab
mendera binatang.
Maka turunlah si peladang itu
dengan anaknya, lalu berjalan
kaki sebelah menyebelah
keledainya. Sejurus kemudian, berjumpa
pula mereka dengan sorang
sahabatnya, lalu berkata
sahabat ini, "Alangkah
bodoh,kamu kedua ini! Apakah gunanya
kamu memelihara keledai, jika tak
dapat ditunggang, sampai
kamu berjalan kaki, dengan susah
payah?"
Setelah mendengar perkataan yang
akhir ini, tiadalah terkatakata
anak dan bapa.
"Aku sendiri naik keledai
ini, salah, engkau sendiri menaiki
pun salah, berdua kita naik,
salah pula dan tiada ditunggangi, tak
benar juga. Bagaimanakah yang
betul?" Demikianlah keluh si
peladang, sambil membantingkan
kopiahnya ke tanah, lalu
duduk di atas sebuah batu, karena
tak berani berjalan lagi. "Jika
demikian marilah kita pikul
keledai ini! Barangkali begitu yang
baik, karena cara lain tak ada
lagi," kata si peladang kepada
anaknya, seraya mencari sebatang
kayu. Kemudian diikatnyalah
keempat kaki keledainya,
dipikulnya berdua, masuk pasar.
Sekalian isi pasar yang melihat
perbuatan yang ganjil ini,
tercengang, lalu berkata,
"Seumur hidupku belum pernah aku
melihat orang menjadi kendaraan
keledai; baru sekarang inilah.
Gilakah si peladang itu?"
lalu mereka tertawa gelak-gelak,
menertawakan si peladang dengan
anaknya itu.
"Ini pun masih salah
juga," kata peladang, lalu menjatuhkan
keledainya ke tanah, karena
bingung.
"Memang bagus benar cerita
itu," kata Nurbaya.
"Sehingga inilah dahulu,
Nur! Besok lusa aku akan bercerita
pula. Sekarang aku sangat letih
hendak tidur. Bila engkau
pulang?" kata Baginda
Sulaiman.
"Hamba telah minta izin
kepada Engku Datuk, tinggal dua
tiga hari," jawab Nurbaya.
"Jika demikian
baiklah."
Setelah diselimuti oleh Nurbaya
ayahnya, tidurlah si sakit mi.
Kemudian daripada itu, Samsu
minta dirilah, hendak pulang ke
rumahnya.
"Nanti, aku katakan, bila
aku akan menceritakan halku
kepadamu, Sam," kata
Nurbaya, tatkala Samsu hendak keluar
dari bilik itu.
"Baiklah," jawab Samsu,
lalu pulang ke rumah orang tuanya.
Pada keesokan malamnya, kelihatan
Nurbaya duduk di
serambi muka rumahnya. Hari waktu
itu kira-kira pukul
sembilan, bulan yang sebesar
sisir itu, baru terbenam, hingga
malam hanya diterangi oleh
bintang yang gemerlapan cahanya di
langit biru. Tetapi dalam
pekarangan dan serambi muka rumah
Nurbaya, gelap, karena tak ada
lampu dipasang. Hanya sinar
lentera, pada jalan besarlah,
yang masuk mencrangi beberapa
tempat dalam pekarangan itu.
Nurbaya yang duduk di beranda
muka, rupanya sebagai gelisah di
tempat yang gelap itu, karena
sebentar-sebentar ia Menoleh ke
rumah Samsu, sebagai ada
sesuatu yang ditunggunya dari
sana.
Tidak berapa lamanya ia duduk
sedemikian, kelihatanlah
sebagai bayang-bayang, orang
berjalan, keluar dari pekarangan
rumah Sutan Mahmud, menuju ke
rumah Nurbaya. Setelah
melihat bayang-bayang ini, berdirilah
Nurbaya, lalu berjalan
perlahan-lahan, masuk ke dalam
bilik ayahnya; kemudian keluar
pula dan turun ke pekarangan,
menuju bangku, yang ada di
bawah pohon tanjung, seraya
menoleh ke sana kemari, sebagai
takut, kalau-kalau ada orang yang
melihat perbuatannya ini.
Setelah sampai ke bangku itu,
duduklah ia bernanti. Tiada berapa
lama antaranya, tiba-tiba
terdengarlah olehnya suara orang
berkata perlahan-lahan,
"Engkaukah ini, Nur?"
"Ya, akulah," jawab
Nurbaya.
"Tidakkah ada orang di sini,
yang dapat mengintip kita dan
mendengar percakapan kita?"
tanya orang itu pula.
"Pada sangkaku, tak
ada," jawab Nurbaya, sambil menoleh
sekali lagi ke segenap pihak.
Tetapi suatu pun tiada yang
kelihatan atau kedengaran
olehnya. "Duduklah di sisiku ini,"
kata Nurbaya pula.
Orang itu duduklah di sisi
Nurbaya, lalu berkata, "Bagaimana
ayahmu?"
"Rupanya ada bertambah baik,
sebab makan pun mulai suka;
tetapi masih terlalu lemah dan
kata doktet tadi, tak boleh ia
terlalu bergerak-gerak dan
terkejut-kejut. Bila engkau telah
menjadi dokter, Samsu, alangkah
baiknya! Tentulah engkau
sendiri dapat mengobatinya."
"Ya, Nur," jawab orang
itu, yang sesungguhnya Samsu,
"tetapi waktu itu masih
lama. Masih enam tahun lagi aku harus
belajar, barulah dapat menjadi
dokter. Itu pun belum tentu pula;
entahlah jadi, entah tidak sebab
waktu yang enam tahun itu
bukan sedikit lamanya, banyak
yang, boleh terjadi, dalam waktu
yang selama itu."
"Mengapakah tiada
menjadi?" tanya Nurbaya.
"Bagaimana boleh menjadi,
jika penggodaan sebagai ini?
Penanggunganku, dalam setahun
ini, hanya Allah yang
mengetahui. Berapa kali aku
berasa kehabisan tenaga, untuk
melawan segala penggodaan itu;
berapa kali aku bersangka; akan
kalah berperang dengan hawa
nafsuku dan akan jatuhlah aku ke
dalam tangan setan iblis. Hanya
dengan pertolongan Allah saja,
dapat kulayari lautan yang
beranjau-ranjau ini, men-capai tanah
tepi. Sedang luka hatiku, karena
bercerai dengan engkau belum
lagi sembuh, telah datang pula
kejatuhan ayahmu Belum habis
aku memikirkan hal ini, datang
pula suratmu, membawa kabar
yang meluluhlantakkan hati
jantungku, memutuskan segala
pengharapanku.
Walaupun keduanya yang bermula
itu masih dapat kulipur,
tapi kecelakaan yang akhir ini,
memutuskan tali tempat aku bergantung,
merebahkan tiang tempat aku
bersandar dan mematahkan
dahan tempat aku berpijak. Ketika
itulah jatuh hukumanku
dan hilang pengharapanku, akan
penghidupanku di kemudian
hari. Beberapa hari lamanya aku
tak dapat belajar, karena sakit.
Tak tahu aku, apa sebabnya maka
aku dapat juga naik ke kelas
dua. Pada sangkaku, tentulah aku
akan tinggal di kelas satu,
sebab pelajaran tak keruan."
"Memang telah kusangka,
tentulah engkau takkan senang
mendengar kabar ini. Tetapi apa
boleh buat! Terpaksa aku
menulis surat itu. Jika tak
kukabarkan hal itu kepadamu, takut
aku, kalau-kalau kaupersalahkan
aku. Bagaimanakah halku, bila
engkau pun berpaling pula dari
padaku?"
"Tentang hatiku, janganlah
kau syak wasangka. Bukanlah
telah kukatakan dahulu kepadamu
dan kujanjikan tadi kepada
ayahmu? Bagaimana aku akan berubah
kata pula?"
"Sesungguhnyakah tiada
berubah hatimu kepadaku, Sam?
Sesungguhnyalah hatimu itu masih
suci dan bersih kepadaku,
sebab dahulu, sebelum terjadi
perkara ini? Dan sesungguhnyakah
dapat kauberi ampun dan maaf aku,
atas kesalahanku? Ataukah,
sebab engkau malu kepada ayahku
dan karena hendak membesarkan
hatiku saja, engkau berjanji
sedemikian? Katakanlah
yang sebenar-benarnya kepadaku,
supaya tahulah aku, apa yang
akan kuperbuat sekarang
ini," kata Nurbaya pula, simbil
memegang tangan Samsu dan memandang
mukanya.
"Nurbaya, mengapakah engkau
kurang percaya kepadaku?
Sudahkah aku berbuat dusta
kepadamu? Dan bagaimanakah aku
boleh berkecil hati, dalam halmu
ini? Sebab bukan kehendakmu
sendiri, melainkan karena
teraniaya, engkau terpaksa berbuat
sedemikian. Janganlah kau syak
lagi akan daku; lihatlah ke atas
langit. Bintang yang beribu-ribu,
yang menabur langit itu saksiku,
bahwa aku waktu ini berkata
benar."
"Jangan engkau marah
kepadaku, Sam, sebab aku sebagai
tiada percaya lagi kepadamu.
Bukan begitu hatiku: hanya sebab
otakku,yang sejak aku ditimpa
timpa mara bahaya ini, telah
menjadi sakit, selalu pikiranku
tiada keruan. Acap kali datang
niat yang jahat menggoda hatiku,
yaitu hendak membunuh diri,
supaya lekas terlepas daripada
siksaan ini. Akan tetapi, jika
datang ingatan kepadamu dan
kepada ayahku, undurlah niatku
itu; takut aku akan duka-cita
yang akan menimpa dirimu dan
ayahku, karena perbuatanku
itu."
"Nur, janganlah ada
pikiranmu yang sedemikian! Perbanyaklah
sabarmu dan tawakallah kepada
Allah! Ingatlah akan pen
ajaran ayahmu! Engkau masih muda,
masih lama akan hidup dan
masih banyak menaruh pengharapan.
Janganlah putus asa!" kata
Samsu, akan membujuk Nurbaya.
"Sekalian itu memang benar,
Sam. Tetapi apa dayaku, tak
dapat kutanggung rasanya azab yang
sedemikian ini. Tak ada
perkataan, yang dapat menyatakan
perasaan hatiku; bagaikan
putus rangkai jantungku, bagaikan
lulus tempat berdiri, tergantung
di awang-awang, antara langit
dengan bumi, antara
hidup dengan mati.
Bagaimana tiada begitu? Cobalah kaupikir!
Aku harus duduk
dengan orang, yang bukannya tiada
kusukai saja, tetapi orang
yang memutuskan pengharapan yang
kuamalkan siang dan
malam, yang menceraikan aku
dengan kekasihku, yang menganiaya
dan menjatuhkan ayahku, sampai
sengsara serupa ini,
musuh ayahku dan musuhku yang
sebesar-besarnya dan akhirnya
menjadi algojoku. Tambahan pula,
orang yang umur, kepandaian,
kesukaan, tabiat dan kelakuannya,
sekali-kali tiada sepadan
dengan aku. Sekali-kali ia tiada
cinta kepadaku; hanya suka,
karena hendak memuaskan nafsunya
yang keji itu saja. Bila telah
puas hatinya, tentulah akan
dibuangnya aku, sebagai melemparkan
sampah ke pelimbahan; barangkali
terus dibunuhnya aku,
jahanam itu!
Bagaimanakah dapat kusabarkan
hatiku, bagaimanakah dapat
kusenangkan pikiranku, dan
bagaimana pula dapat aku hidup
manis dengan orang yang
sedemikian? Makin hari, makin kusut
pikiranku, makin bertambah
dukacita dan sedih hatiku, dan
makin bertambah-tambah pula benci
hatiku melihat rupanya. Tak
ada yang baik pada pemandanganku,
tak ada yang enak pada
perasaanku. Makan tak sedap,
tidur tak nyenyak, bangun pun
bertambah-tambah bingung. Rumah
tangga, makanan dan
minuman, pakaian dan permainan,
pendeknya sekalian yang
miliknya atau yang berasal dari
padanya, bukannya dapat
melipur hatiku, hanya
mendatangkan marah, sedih dan duka.
Betapa aku hidup, dengan orang
yang sedemikian itu?
Jika hari telah malam, aku ingin,
supaya lekas siang dan
apabila telah siang, kuharap
pula, supaya lekas malam. Aku
minta, biar yang setahun ini
menjadi sehari, dan yang sebulan
menjadi sejam; karena tak tahu,
apa yang akan diperbuat dan tak
dapat melipur hati. Waktu yang
sejam, sebagai sebulan rasanya
dan yang sehari serasa setahun.
Sesungguhnya itulah neraka
dunia, yang sebenar-benarnya.
Maka berhentilah Nurbaya sebentar
bertutur, karena hendak
menyapu air matanya, yang keluar
dengan tiada dirasainya.
Samsu tiadalah dapat
berkata-kata, sebab sedih mendengarkan
nasib adiknya ini.
"Oleh sebab itu, kupinta
kepadamu, Sam," kata Nurbaya
pula, "bila engkau kelak beranak
perempuan, janganlah sekalikali
kaupaksa kawin dengan laki-laki
yang tiada disukainya.
Karena telah kurasai sendiri
sekarang ini, bagaimana sakitnya,
susahnya dan tak enaknya, duduk
dengan suami yang tiada
disukai. Tak heran aku, bila
perempuan, yang bernasib sebagai
aku ini menjalankan pekerjaan
yang tak baik, karena putus asa.
Aku ini, sudahlah; sebab terpaksa
akan menolong ayahku. Tetapi
perempuan yang tiada semalang
aku, janganlah dipaksa, menurut
kehendak hati ibu-bapa, sanak
saudara sahaja, tentang perkawinannya,
dengan tiada mengindahkan
kehendak, kesukaan,
umur, kepandaian, tabiat dan
kelakuan anaknya. Karena tiada
siapa yang akan menanggung
kesusahan kelak, jika tak baik
jadinya; melainkan yang kawin itu
sendiri. Ibu-bapa atau kaum
keluarga sekedar akan melihat
dari jauh. Bukankah sepatutnya
ditanyakan dahulu pikirannya,
tentang perkawinan itu? Bukankah
anak perempuan itu mempunyai
pikiran, perasaan, penglihatan
dan kesukaan juga sebagai
perempuan yang lain?
Sungguhpun ibu-bapa tahu dan
kenal akan anaknya, tetapi
yang terlebih mengetahui akan
dirinya, tentulah anak itu sendiri
juga. Banyak ibu-bapa yang
bersangka, bahwa ialah yang terlebih
mengetahui akan hal anaknya. Oleh
sebab itu, pada sangkanya
haruslah anak itu menurut
sekalian kemauan orang tuanya.
Ibu-bapa yang sedemikian, ialah
ibu-bapa yang tiada menghargakan
anaknya. Dan apabila ia sendiri
tak menghargakan
anaknya, janganlah ia berharap,
menantunya atau orang lain,
akan mengindahkan anaknya. Dan
janganlah pula ia berkecil
hati, bila laki-laki, memandang
perempuan masih jauh di bawah
telapaknya, karena sesungguhnya
belum dapat ia bertanding
dengan laki-laki, bila belum tahu
ia akan harga dirinya sendiri.
Lagi pula, kalau benar anak dan
menantu itu dapat turutmenurut
kelak, sehingga dapat kekal
perkawinannya selamalamanya!
Jika tidak, bercerailah pula;
padahal belanja entah
beberapa ribu telah habis, sampai
setengahnya menggadai dan
menjual harta berhabis-habisan,
untuk mengawinkan anak.
Bukankah sayang uang yang
sebanyak itu, dibuang cumacuma?
Pada pikiranku, kewajiban
ibu-bapa dalam hal perkawinan
anaknya pertama mengingat umur
anaknya itu; sebab jika terlalu
muda dikawinkan, niscaya
merusakkan badan anak itu dan
sekalian keturunannya. Di
Indonesia ini, pada sangkaku anak
perempuan janganlah lebih muda
dikawinkan daripada berumur
dua puluh tahun. Jangan seperti
aku, baru berumur enam belas
tahun, telah terpaksa kawin.
Makin tua, makin baik."
"Ya, tetapi pada sangka
perempuan di sini, suatu keaiban,
kalau tak kawin muda-muda,
sebagai tak laku," kata Samsu
dengan tiba-tiba.
"Persangkaan yang
sedemikian, timbulnya daripada kebiasaan
yang tak baik. Bila nyata kepada
kita, sesuatu adat salah,
mengapakah tak hendak dibuang,
tetapi diturut saja, membuta
tuli? Lihatlah bangsa Barat!
Terkadang-kadang, setelah berumur
tiga puluh tahun, baru kawin; tak
ada orang yang menghinakan
mereka. Dan sesungguhnya, tatkala
perempuan itu berumur tiga
puluh lima atau empat puluh tahun
sekalipun, rupanya masih
muda, badannya masih tetap dan
kukuh. Bila beranak umur
sekian, sempurnalah anak itu;
menjadi orang yang sehat badan
dan pikirannya; tubuhnya besar
dan umurnya pun panjang. Akan
tetapi perempuan di sini, umur
tigapuluh tahun, terkadangkadang
telah bercucu. Itulah sebabnya
maka dirinya sendiri dan
anaknya pun tiada sempurna dan
akhirnya tentu bangsanyalah
yang menjadi kurang baik, sebab
sekaliannya keturunan
perempuan muda, yang belum cukup
umurnya.
Kedua, haruslah orang tua itu
bertanya kepada anaknya,
sudahkah ada niatnya hendak
kawin? Kalau belum, janganlah
dipaksa, supaya jangan menjadi
huru-hara kemudian. Ada
perempuan yang belum mau mengikat
dirinya dengan tali
perkawinan; sebab misalnya, masih
suka bebas, sebagai anakanak,
atau sebabnya ada sesuatu
maksudnya, yang menjadi
alangan kepada perkawinannya.
Ketiga, haruslah ditanyakan,
sukakah ia kepada jodohnya itu
atau tiada. Yang sebaik-baiknya,
tentulah anak itu sendiri
mencari jodohnya. Bukannya aku
berkehendak, supaya
perempuan bangsa kita, dibebaskan
seperti perempuan Barat,
siang malam bercampur gaul dengan
laki-laki. Tidak, karena
adat Barat itu kurang baik bagi
bangsa kita. Tetapi kedua mereka
yang dikawinkan itu, baiklah
berkenal-kenalan dahulu; biar yang
seorang tahu benar akan yang
seorang. Jika khawatir akan
sesuatu bahaya, jagalah anak
perempuan itu baik-baik, jangan
terlalu banyak diberi bercampur
dengan tunangannya.
Cukuplah sekadar belajar kenal
saja. Dan jika tak suka atau
khawatir anak itu akan salah
mencari jodohnya sendiri,
pilihkanlah dahulu yang baik pada
pikiran orang tuanya. Akan
tetapi sesudah itu haruslah
ditanyakan juga kepada anak itu,
sukakah ia kepada pilihan orang
tuanya ini. Tetapi sebaikbaiknya
pertemukanlah keduanya, supaya
jangan tatkala
dikawinkan itu saja masing-masing
baru dapat melihat rupa
jodohnya."
"Kata orang tua-tua, cinta itu
akan datang juga kelak bila
telah kawin," kata Samsu
dengan tersenyum.
"Tiada selamanya,"
jawab Nurbaya. "Bagaimana dapat aku
mencintai orang, yang sebagai
batuk Meringgih ini? Apakah
yang akan dapat menarik hatiku?
Tak ada suatu pun yang
berpadanan dan bersamaan dengan
daku.
Keempat haruslah umumya
berpadanan; tua laki-laki sedikit.
telah lazim; sama tua baik juga;
tua pun yang perempuan sedikit,
tak mengapa, asal jangan terlalu
amat besar perbedaan mereka.
Laki-laki yang berumur lima puluh
tahun dengan perempuan
yang berumur enam belas atau
nenek-nenek yang berumur
limapuluh tahun dengan laki-laki
yang berumur dua puluh tahun,
tentu saja tak sepadan. Itulah
yang menjadi duri dalam daging,
yang selalu terasa-rasa oleh yang
muda. Oleh sebab itu acap kali
ia tiada setia; berpaling hatinya
kepada yang lain yang sebaya
dengan dia. Yang tua itu pun,
terkadang-kadang tak senang pula
hatinya; malu kepada orang, sebab
jodoh yang sangat besar
perbedaannya itu, tentulah
menjadi buah tutur orang segenap
negeri.
Lagi pula, orang yang telah tua
itu, berlainan pikiran,
kemauan, kesukaan, kelakuan,
tabiat adat dan kepandaiannya
dengan yang muda. Kemauan yang
tua misalnya jangan terlalu
banyak berjalan, karena
kekuatannya tiada seberapa lagi, tetapi
yang muda, itulah yang
dikehendakinya, karena tak betah selalu
di rumah. Kesukaan yang muda
misalnya, makanan yang keraskeras;
tetapi si tua tak dapat memakan
makanan itu, walaupun
masih ingin, karena giginya tak
ada lagi. Yang tua, biasanya tua
pula fahamnya, tetapi yang muda,
masih suka beriang-riang,
bermain-main dan bersenda gurau.
Tabiat dan adat pun acap kali
berubah, bila umur telah tua. Aku
masih menghargai segala
keelokan dan kesenangan, tetapi
Datuk Meringgih ini, ingatan
dan pikirannya tiada lain
melainkan kepada uang dan
pemiagaannya. Apa gunanya itu
bagiku, bila tiada dapat kupakai
untuk memenuhi segala keinginan
hatiku? Sekalian itu harus
diingat pula oleh ibu-bapa, yang
hendak mengawinkan anaknya,
karena sangatlah susahnya akan
menyamakan sifat dan kelakuan
yang berbeda-beda itu.
Kepandaian harus pula sama,
supaya dapat berunding dan
bercakap-cakap dalam segala hal.
Jika yang seorang pandai dan
yang seorang bodoh,
terkadang-kadang yang pandai menjadi
sombong dan yang bodoh bersedih
hati. Demikian pula tentang
kekayaan dan bangsa. Jika si
laki-laki berbangsa tinggi dan si
perempuan orang biasa saja,
rendahlah dipandangnya istrinya,
dan bila si laki-laki kaya,
tetapi istrinya seorang yang miskin,
mudah disia-siakannya
perempuannya itu.
Rupanya janganlah berbeda sebagai
malam dengan siang;
karena itu pun boleh pula
mendatangkan hal-hal yang kurang
baik. Akhirnya, harus diingat
akan besar dan tinggi badan.
Adakah tampan pada pernandangan
mata bila gajah yang besar
tinggi, dipersandingkan dengan
tikus yang kecil kerdil? Ingatlah,
kedua mereka itu harus menjadi
satu, pasangan yang baik dari
badan yang dua.
Sebagai kaulihat, tak mudah dapat
mencari jodoh yang sejoli.
Itulah sebabnya perkawinan itu
suatu hal yang penting; tak baik
dipermudah, sebagai dilakukan
oleh bangsa kita. Karena
kesenangan dan keselamatan orang
berlaki-istri dan berumah
tangga, hanya dapat diperoleh,
bila si laki-laki dan si perempuan
dalam segala hal dapat
bersetujuan. Dalam hal yang demikian,
menjadilah rumah tangganya surga
dunia, yang mendatangkan
kesukaan, kesenangan, cinta kasih
sayang, selama-lamanya. Dan
bila telah beranak,
bertambah-tambahlah kesenangan dan
kesukaan itu. Tetapi jika tiada
begitu, menjadilah rumah tangga
itu neraka jahanain, yang selalu
menimbulkan perselisihan,
perkelahian, benci, amarah,
sedih, susah. terkadang-kadang
bencana dan bahaya yang disudahi
dengan perceraian."
"Terlebih-lebih bagi
laki-laki yang harus membanting tulang
untuk memperoleh
kehidupannya," kata Samsu, "sangat berharga
kesenangan dalam rumah itu,
karena bila ia pulang dari
pekerjaannya dengan lelah payah,
dan didapatinya di dalam
rumahnya penglipur hatinya,
niscaya berobatlah lelahnya dan
dengan riang hatilah ia pada
keesokan harinya menjalankan
pekerjaannya yang berat itu.
Dengan dernikian, tiadalah akan
dirasainya keberatan pekerjaannya
itu dan tetaplah sehat
badannya serta panjanglah
umurnya. .
Bila tak ada yang seperti ini
sengsaralah kehidupannya.
Sesudah ia menderita kelelehan
dalarn pekerjaannya, tatkala
sampai ke rumah, kusut dan keruh
pula yang dihidangkan oleh
anak-istrinya. Tiada heran, jika
laki-laki yang serupa itu, tiada
betah di rumahnya; sebagai takut
ia kepada tempat kediamannya
yang tetap itu. Oleh sebab itu
larilah ia ke luar, mencari
penglipur hatinya di mana-mana.
lnilah yang acap kali
menjadikan laki-laki itu jahat
dan bengis kelakuannya, suka
berbuat yang tidak senonoh."
"Memang tugas perempuan
tiada mudah," jawab Nurbaya,
"harus pandai menarik dan
melipur hati suaminya; bukan dengan
wajah yang cantik saja, tetapi
juga dengan kelakuan yang baik,
peraturan yang sempurna dan
kepandaian yang cukup."
"Laki-laki, begitu
pula," kata Samsu, "harus pandai membimbing
anak-istrinya, supaya betah dalam
rumahnya dan
dengan riang dan suka hati,
menjalankan kewajibannya. Sekalian
yang dapat menghiburkan hati,
harus diadakan; sebab, apabila
perempuan tak betah lagi dalam
rumahnya, bertambahtambahlah
celakanya, karena tak ada tempat
lain, yang dapat
menyenangkan hatinya..."
"Sesungguhnya hal ini kurang
diperhatikan oleh bangsa kita,"
kata Samsu pula, setelah berhenti
sejurus. "Itulah sebabnya agaknya,
acap kali terjadi perceraian
dalam negeri kita, sehingga lakilaki
atau perempuan sampai beberapa
kali kawin."
"Bukan itu saja, tetapi
selagi talak dipegang laki-laki saja dan
laki-laki boleh beristri sampai
beberapa orang, susahlah akan
mengubah hal itu." kata
Nurbaya.
"Memang, itu pun tak adil
pula," sahut Samsu.
"Jika perempuan yang
memegang talak, dan aku tiada terikat
oleh ayahku, niscaya tiada
kupanjangkan jodoh ini. Tetapi, apa
hendak kuperbuat? Aku terikat pada
tangan dan kaki... Tiadakah
kasihan engkau kepadaku, Sam? Tak
adakah akal, supaya lepas
aku dari ikatan ini? Dengarlah
olehmu pantun nasibku ini:
"Di sawah
jangan memukat ikan,
ikan bersarang
dalam padi.
Susah tak dapat
dikatakan,
ditanggung saja
dalam hati.
Gantungan dua
tergantung,
tergantung di
atas peti.
Ditanggung tidak
tertanggung,
sakit memutus
rangkai hati.
Buah pinang di
dalam puan,
tumpul kacip
asah di batu.
Tidaklah iba
gerangan tuan,
kepada adik
yatim piatu?
Labuk baik kuala
dalam,
pasir sepanjang
muaraqya,
Buruk baik minta
digenggam,
badanlah banyak
sengsaranya.
Ikatkan mati
pisang berjantung,
hunus keris
letakkan dia.
Niat hati hendak
bergantung,
putus tali
apakan daya."
"Nur sabarlah dahulu! Bukan
aku tak kasihan kepadamu,
hanya pada waktu ini belum dapat
kita berbuat apa-apa, karena
ikatannya sangat keras.
Senangkanlah dahulu hatimu! Kelak
akan kucari muslihat yang baik.
Sekarang hanya bersama-sama
kita berdoa kepada Allah, supaya
lekas engkau terlepas dari
ikatan ini. Sst, diam! Apakah itu!
Sebagai ada bunyi apa-apa di
luar pagar itu?" kata Samsu
tiba-tiba, serta menoleh ke tempat
bunyi itu. Akan tetapi tiada
suatu apa pun yang kelihatan
olehnya.
"Barangkali katak atau
binatang kecil-kecil yang mencari
makanannya," jawab Nurbaya,
lalu menyambung percakapannya
dengan Samsu. "Siapakah yang
menyangka, Sam, tatkala kita
setahun yang telah lalu, duduk di
atas bangku ini, dengan
pengharapan yang besar, akan jadi
sebagai sekarang ini hal kita?
Apakah jadinya cita-cira kita itu
dan adakah akan dapat
disampaikan pula? Dengarlah
pantun ini:
"Dari Perak
ke negeri Rum,
berlayar lalu ke
kuala.
Jangan diharap
untung yang belum,
sudah tergenggam
terlepas pula.
Orang Pagai
mencari lokan,
kembanglah bunga
serikaya.
Aku sebagai anak
ikan,
kering pasang
apakan daya.
Singapura kersik
berderai,
tempat ketam
lari berlari.
Air mata jatuh
berderai,
sedihkan untung
badan sendiri.
Berbunyi kerbau
Rangkas Betung,
berbunyi
memanggil kawan.
Menangis aku
menyadar untung,
untungku jauh
dari awan.
Berlayar dari
Teluk Betung,
Anak Bogor
mencari tiram.
Apa kuharap
kepada untung,
perahu bocor
menanti karam.
Tikar pandan dua
berlapis,
dilipat digulung
anak Bangka.
Sesal di badan
tidak habis,
karena untung
yang celaka."
Disabarkanlah Nurbaya oleh Samsu
dengan pantun yang di
bawah ini:
"Jangan
disesal pada tudung,
tudung saji
teredak Bantan.
Jangan disesal
kepada untung,
sudah nasib
permintaan badan. '
Ke rimba berburu
kera,
dapatlah anak
kambing jantan.
Sudah nasib
apakan daya,
demikian sudah
permintaan badan.
Sudah begitu
tarah papan,
bersudut empat
persegi.
Sudah begitu
permintaan badan,
sudah tersurat
pada dahi.
Dikerat rotan
belah tiga,
Nakoda belayar
dekat Jawa.
Jangan diturut
hati yang luka,
binasa badan
dengan nyawa."
Dijawab oleh Nurbaya:
"Berkota
kampung Padang Besi,
Tempat orang
duduk berjaga.
Cintamu jangan
dihabisi,
Sehelai rambut
tinggalkan juga."
Dibalas pula oleh Samsu:
"Jika
menjahit duduk di pintu
jarumnya jangan
dipatahkan.
Cintaku suci
sudahlah tentu,
sedikit belum
diubahkan.
Bang dahulu maka
kamat,
takbir baru orang
sembahyang.
Bercerai Allah
dengan Muhammad,
baru bercerai
kasih sayang.
Berbunyi meriam
Tanah Jawa,
orang Belanda
mati berperang.
Haram kakanda
berhati dua
cinta kepada
Adik seorang."
Mendengar pantun ini, tiadalah
tertahan oleh Nurbaya
hatinya lagi, lalu dipeluknya
Samsu dan diciumnya pipinya.
Dibalas oleh Samsu cium
kekasihnya ini dengan pelukan yang
hasrat. Di dalam berpeluk dan
bercium-ciuman itu, tiba-tiba terdengar
di belakang mereka, suara Datuk
Meringgih berkata
demikian, "Itulah sebabnya,
maka keras benar hatimu akan
pulang, dan tiada hendak berbalik
kepadaku. Bukannya hendak
menjaga ayahmu, sebagai katamu,
hanya akan bersenangsenangkan
diri ddngan kekasihmu. Inilah
perbuatan kaum muda,
kaum yang terpelajar, yang
beradat sopan santun, tetapi memperdayakan
suami, supaya dapat bersenda
gurau dengan laki-laki, di
tempat yang gelap, sedang ayah
sendiri, sakit keras. Inilah
rupanya kelebihan kaum muda
daripada kami kaum kuno. Inilah
yang dipelajari di sekolah
tinggi, dengan belanja dan susah
payah yang tida sedikit. Jika
serupa ini, benar juga pikiran kami
kaum kuno: kemajuan kaum muda
itu, bukan akan meninggikan
derajatnya, bahkan akan
membawanya dari tempat yang mulia
ke tempat yang hina; membusukkan
nama yang harum,
menghilangkan derajat dan kemuliaan
perempuan, sedang adat
dan kepandaian lama, yang
berfaedah bagi perempuan disiasiakan.
Tak harus perempuan yang
sedemikian dimajukan."
Ketika itu terperanjatlah Samsu
dan Nurbaya, lalu berdirilah
Samsu di muka Nurbaya akan
melindunginya. Oleh sebab bencinya
Samsu kepada Datuk Meringgih ini,
karena teringat akan
sumpahnya di Jakarta, tiadalah
dapat ditahannya hatinya lagi lalu
menjawab, "Tak perlu engkau
berkata begitu! Bercerminlah
engkau kepada badanmu sendiri!
Adakah engkau sendiri berlaku
sopan santun berhati lurus dan
benar, tahu adat istiadat? Jika ada
iblis yang sejahat jahatnya di
atas dunia ini, tentu engkaulah iblis
itu."
Mendengar maki nista ini, merah
padamlah muka Datuk
Meringgih, lalu diangkatnya
tongkatnya dan dipalukannya
kepada Samsu. Tetapi tatkala itu
juga Samsu melompat ke kiri,
seraya menarik Nurbaya, sehingga
palu Datuk Meringgih itu
jatuh mengenai bangku, tempat
mereka duduk tadi dan dengan
segera Samsu melompat ke hadapan,
meninju muka Datuk
Meringgih dengan kedua belah
tangannya berturut-turut, serta
kakinya pun menendang perut
lawannya ini, sehingga jatuhlah
Datuk Meringgih, terbanting ke
tanah, lalu berteriak minta
tolong, "Pendekar Lima,
tolong aku!'
Seketika itu juga, datanglah
seorang-orang yang berpakaian
serba hitam, dari tempat yang
gelap, memburu Samsu dengan
sebilah keris terhunus di
tangannya. Melihat bahaya yang akan
menimpa Samsu ini, menjeritlah
Nurbaya sekuat-kuatnya, minta
tolong, sehingga bergemparanlah
orang sebelah menyebelah,
terperanjat, berlari-lari ke
luar.
Tatkala dilihat Samsu keris
Pendekat Lima ditikamkan
kepadanya, melompatlah ia ke sisi
dengan merendahkan dirinya,
lalu menyepak tangan Pendekar
Lima, sehingga terpelantinglah
senjata itu ke udara. Pendekar
Lima tak dapat menyerang Samsu
lagi, karena dilihatnya orang
berlari-lari datang ke sana, lalu
larilah ia menyembunyikan
dirinya.
Sekalian orang yang datang yang
di antaranya ada ayah
Samsu bertanya, apakah sebabnya
maka berteriak minta tolong?
Akan tetapi seorang pun tiada
menyahut. Oleh sebab itu,
bertanyalah Sutan Mahmud kepada
Datuk Meringgih, apakah
yang telah terjadi.
"Tanyakanlah kepada anak
Tuanku! Setelah diperdayakan
hamba bersama-sarna istri hamba,
dipukulnya pula hamba,"
jawab Datuk Meringgih.
Sutan Mahmud maklum, apa maksud
pekataan Datuk
Meringgih ini dan ia sangatlah
malu akan kelakuan anaknya.
Oleh sebab itu berkatalah ia,
"Percayalah Engku, perkara ini
akan hamba periksa benar-benar.
Siapa yang bersalah, tentulah
tiada akan luput dari hukuman,
walaupun anak hamba
sekalipun." Lalu pulanglah
ia membawa Samsu ke rumahnya.
Setelah berangkat Sutan Mahmud,
kelihatan Baginda
Sulaiman keluar dari biliknya,
karena ia sangat terperanjat, mendengar
suara anaknya minta tolong,
sehingga ia bangun dari
tempat tidumya. Walaupun badannya
sangat lemah, sehingga ia
dilarang dokter bergerak-gerak,
tetapi karena ia takut anaknya
akan mendapat kecelakaan, lupalah
ia akan dirinya. Tatkala ia
hendak turun di tangga yang gelap
itu, jatuhlah ia tergulingguling
ke bawah. Melihat hal ayahnya
ini, berlari-larilah
Nurbaya dengan beberapa orang,
akan menolong Baginda
Sulaiman. Akan tetapi, ketika
diangkat, nyatalah orang tua itu,
telah berpulang ke rahmatullah.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun!
Maka menjeritlah Nurbaya menangis
tersedu-sedu dengan
mengempas-empaskan dirinya, tak
dapat disabarkan lagi, lalu
jatuh pingsan. Mayat Baginda
Sulaiman dan Nurbaya yang
pingsan, diangkat oranglah ke
dalam rumahnya, dibaringkan di
ruang tengah dan Nurbaya dibawa
masuk ke dalam biliknya.
Setelah dibasahi orang kepala
Nurbaya dan diciumkan minyak
kelonyo ke hidungnya, barulah ia
sadarkan dirinya pula, lalu
meratap amat sedih.
"Tak perlu engkau
menangis," kata Datuk Meringgih,
"karena salahmu sendiri.
Engkaulah yang membunuh ayahmu."
Mendengar tempelak ini,
berdirilah Nurbaya sekonyongkonyong.
Air mukanya yang sedih itu hilang
sekaliannya, bertukar
dengan marah yang amat sangat.
Air matanya kering,
matanya yang telah merah, karena
menangis, bertambah-tambah
merah, bibir dan sekujur badannya
gemetar. Sangatlah dahsyat
rupanya pada waktu itu,
seakan-akan singa yang kelaparan,
hendak menerkam musuhnya.
"Apa katamu?" kata
Nurbaya. "Aku membunuh ayahku,
celaka? Engkau yang membunuhnya!
Pada sangkamu aku tiada
tahu, perbuatanmu yang keji itu
kepada ayahku? Engkaulah yang
menjatuhkan dia, karena dengki
khianatmu dan busuk hatimu.
Perbuatanmulah, maka toko ayahku
terbakar, perahunya
tenggelam kelapanya mati,
sekalian langganannya tak hendak
mengambil barang-barang dari
padanya lagi, serta mungkir
membayar utangnya dan segala
orangnya lari, merribawa uang
ayahku. Tatkala ayahku telah
jatuh miskin, pura-pura kautolong
ia dengan meminjamkan uang
kepadanya, tetapi maksudmu yang
sebenarnya, hendak
menjerumuskannya ke jurang yang terlebih
dalam, karena hatimu yang
terlebih bengis daripada setan itu,
belum puas lagi. Aku pun kauseret
pula ke dalam kekejian, untuk
memuaskan kan hawa nafsumu, yang
terlebih hina pada hawa
nafsu hewan. Sekarang ayahku
telah mati; barulah senang
hatimu, bukan? Akan tetapi pada
waktu inilah pula, aku terlepas
dari tanganmu, hai bangsat! Aku
dahulu menurut kehendakmu,
karena hendak membela ayahku,
supaya jangan sampai engkau
penjarakan dia. Sekarang ayahku
tak ada lagi, putus pula
sekalian tali yang mengikatkan
aku kepadamu. Janganlah engkau
harap, aku akan kembali kepadamu.
Manusia yang sebagai
engkau, tiada layak bagiku.
Rupamu sebagai hantu pemburu,
tuamu sama dengan nenekku,
tabiatmu terlebih jahat dari tabiat
binatang yang buas. Apa yang
dapat kupandang padamu?
Uangmu yang engkau peroleh dengan
tipu daya, darah keringat
mereka yang telah engkau aniaya
itu? Apa gunanya uang itu
bagiku? Karena kikirmu, engkau
sendiri pun tak dapat memakai
uang itu. Siapa tahu barangkali
hartamu itu kau peroleh dengan
jalan mencuri dan menyamun. Seram
badanku, jika kuingat akan
hal itu. Daripada bersuamikan
engkau, terlebih suka aku
bersuamikan anjing. Nyah engkau
dari sini! Tiada sudi aku
memandang engkau sebelah mata
pun, terlebih daripada aku
melihat najis. Cis! Ceraikan aku
sekarang ini juga! Jika tiada,
bukanlah laki-laki."
"Jangan engkau lupa, ayahmu
berutang kepadaku. Oleh sebab
itu rumah ini, akulah yang punya
dan berkuasa atasnya. Jadi
bukan engkau yang dapat mengusir
aku, tetapi akulah yang harus
mengusir engkau dari sini. Jika
banyak juga mulutmu, tentu
malam ini juga kukeluarkan engkau
dengan ayahmu sekali, dari
rumah ini," jawab Datuk
Meringgih, yang pucat mukanya karena
menahan marahnya.
"Apa katamu? Rumah dan
sekalian barang ini, bukan harta
ayahku, melainkan milikku
sendiri, karena tertulis di atas
namaku. Tiada siapa berkuasa
atasnya, melainkan aku seorang.
Kalau benar engkau laki-laki dan
berkuasa atas rumah ini,
cobalah kaukeluarkan aku dari
sini!" lalu Nurbaya mengambil
palang pintu, sambil berkata,
"Tandanya aku berkuasa atas
rumah ini, kuusir engkau seperti
anjing dari sini. Bila lama juga
engkau di sini, takkan tiada
makanlah palang pintu ini kepalamu
yang besar, sulah dan beruban
itu," lalu Nurbaya menghampiri
Datuk Meringgih, sambil
mengayunkan palang pintu ke kepalanya;
tetapi lekaslah ia dipegang
orang, disabarkan dengan perkataan
yang lemah-lembut.
Datuk Meringgih turun dari rumah
Nurbaya, seraya berkata,
"Nanti!" lalu pulang ke
rumahnya.
Sepanjang jalan tiada lain yang
dipikirkan, melainkan jalan
akan membinasakan Nurbaya.
Tatkala Datuk Meringgih diusir
oleh Nurbaya dari rumahnya,
ketika itu pula Samsu diusir oleh
ayahnya dari rumahnya.
Demikian kata Sutan Mahmud kepada
anaknya, "Perbuatanmu
ini sangat memberi malu aku,
sebab tak patut sekali-kali. Ke
manakah akan kusembunyikan
mukaku? Bagaimanakah aku
akan menghapus arang yang telah
kaucorengkan pada mukaku
ini? Perbuatan yang sedemikian,
bukanlah perbuatan orang yang
berbangsa, anak orang yang
berpangkat tinggi, orang yang
terpelajar, melainkan pekerjaan
orang yang hina, yang tak tahu
adat dan kelakuan yang baik. Pada
sangkaku, engkau bukan
masuk bangsa yang kedua itu.
Namaku yang baik selama ini, yang
dimuliakan dan
dihormati orang, bangsaku yang
tinggi dan belum bercacat,
sekarang kau kotorkan dengan noda
yang tak dapat dihapus lagi.
Inikah balas usahaku memajukan
engkau, sampai ke mana-mana.
Inikah buah pelajaran yang engkau
peroleh di sekolahmu?
Sayang aku, akan uangku yang
sekian banyaknya, yang telah
kukeluarkan, untuk mendidik dan
memandaikan engkau. Inikah
yang engkau pelajari di Jakarta?
Pelajaranmu belum tentu lagi,
pekerjaan yang sedemikian telah
kauperbuat."
Setelah berhenti sejurus, berkata
pula Sutan Mahmud,
"Kesalahanmu ini tak dapat
kuampuni, karena sangat memberi
aib. Pergilah engkau dari sini!
Sebab aku tak hendak mengakui
engkau lagi. Yang berbuat
demikian, bukan anakku."
Samsulbahri tiada menyahut
sepatah pun perkataan ayahnya
ini, melainkan tunduk
berdukacita. Hanya ibunyalah yang
menangis tatkala mendengar
anaknya diusir oleh suaminya.
"Jika engkau pun hendak
mengikuti anakmu, pergilah
bersama-sama! Aku tak hendak
melihatnya lagi," kata Sutan
Mahmud pula kepada istrinya, lalu
turun dari rumahnya, pergi ke
rumah saudaranya di Alang Lawas:
Setelah berangkat Sutan Mahmud,
dibujuklah Samsulbahri
oleh ibunya dengan beberapa
perkataan yang manis-manis,
supaya jangan dimasukkannya ke
dalam hatinya, amarah
ayahnya itu. Akan tetapi
Samsulbahri tiada menyahut pula
melainkan minta masuk ke
biliknya, karena sangat mengantuk,
hendak tidur katanya.
Mendengar permintaan anaknya ini
hilanglah kuatir Sitti
Maryam. Pada sangkanya, tiada
diindahkan Samsu amarah
ayahnya tadi. Tetapi sebenarnya
Samsu semalam-malaman itu
tiada dapat memejamkan matanya,
barang sekejap pun; melainkan
menangislah ia dengan amat sedih
mengenangkan nasibnya
dan nasib Nurbaya kekasihnya yang
malang itu. Tatkala hari
telah pukul tiga malam, bangunlah
ia perlahan-lahan dari tempat
tidurnya, lalu dimasukkannya
sekalian pakaiannya ke dalam
petinya dan keluarlah ia dari
jendela biliknya. Setelah sampai ke
pintu pekarangan rumah orang
tuanya, menolehlah ia ke
belakang, ke rumah itu dan rumah
Nurbaya, lalu berhenti sejurus
lamanya dan berkata
perlahan-lahan, "Selamat tinggal Ibu dan
kekasihku! Aku hendak berjalan,
barang ke mana dibawa nasibku
yang malang ini. Jika ada umurku
panjang, mungkin akan
bertemu juga kita dalam dunia
ini; jika tidak, bernanti-nantilah
kita di akhirat. Di sanalah kita
dapat bertemu pula, bercampur
selama-lamanya, tiada bercerai
lagi.
Tatkala ia berkata-kata
sedemikian, bercucuranlah air matanya,
karena hatinya sangat sedih.
Terlebih-lebih, sebab sebagai
adalah suatu perasaan yang timbul
dalam hatinya, yang
mengatakan, ia tiada akan dapat
bertemu lagi dengan kedua
perempuan yang sangat dicintainya
ini. Kemudian berjalanlah ia
menuju pelabuhanTeluk Bayur.
Walaupun hari amat gelap dan
jalan amat sunyi tetapi tiadalah
ia merasa takut, sebab pikirannya
masih terikat kepada hal yang
baru terjadi itu. Kira-kira pukul
lima pagi, sampailah ia ke
pelabuhan Teluk Bayur, lalu naik
kapal yang akan berlayar hari itu
ke Jakarta. Karena takut akan
diketahui orang, yang barangkali
mengikutinya dari belakang,
bersembunyilah ia dalam sebuah
kamar kelasi kapal yang dikenalnya.
Pukul tujuh pagi diangkatlah
jangkar dan berlayarlah kapal
itu menuju pelabuhan Tanjung
Periuk.
Ketika diketahui oleh ibunya pada
keesokan harinya, bahwa
anaknya tak ada lagi, ributlah ia
menyuruh cari ke sana kemari,
tetapi tiadalah bertemu, dan
seorang pun tiada tahu ke mana
perginya. Sebab sedih hatinya,
berangkatlah ia tiga hari
kemudian ke Padang Panjang, ke
rumah saudaranya. Di sanapun
rupanya tak dapat dilipurnya
hatinya, sehingga badannya makin
lama makin kurus dan akhirnya
jatuhlah ia sakit, karena
bercintakan anaknya.
No comments:
Post a Comment