BERJALAN-JALAN KE GUNUNG
PADANG
Karya Marah Rusli
bangun dari tidurnya, karena
mendengar bunyi lonceng jam yang
ada di rumahnya, lima kali
memukul. Dengan segera diangkatnya
kepalanya lalu menoleh ke
celah-celah dinding biliknya,
akan melihat, sudah adakah cahaya
matahari yang masuk ke
dalam rumahnya atau belum.
Rupanya ia takut kesiangan. Akan
tetapi walaupun ia menoleh ke
sana kemari dan mendengar hatihati,
kalau-kalau ada suara orang,
tiadalah lain yang dilihatnya
daripada sinar lampu biliknya
sendiri. Sekaliannya masih sunyi
senyap; orang yang telah , meninggalkan
tempat tidurnya, belum
ada. Hanya dari jauh kedengaran
olehnya kokok ayam jantan
bersahut-sahutan di segala pihak,
sebagai orang bersorak berganti-
ganti, karena berbesar hati
menyambut kedatangan fajar.
Dari sebelah timur, kedengaran
bunyi puput kereta api di
setasiun Padang sekali-sekali,
sebagai hendak memberi ingat
kepada mereka yang hendak
menumpang dan berangkat pagipagi.
Dari sebelah barat kedengaran
ombak yang memecah di
tepi pantai, sebagai guruh pagi
hari, yang menyatakan hari akan
hujan sehingga kecillah hati
Samsu mendengar bunyi ini, takut
kalau-kalau maksudnya, akan
bermain-main ke gunung Padang,
tiada dapat disampaikannya. Dari
surau yang dekat di sana,
kedengaran orang bang, memberi
ingat kepada sekalian yang
hendak berbuat ibadat kepada
Allah subhanahu wataala, bahwa
subuh telah ada.
Oleh sebab nyata oleh Samsu,
bahwa hari baru pukul lima
pagi, direbahkannyalah kembali
badannya ke atas tilamnya;
bukannya hendak tidur pula,
melainkan sekadar berbaringbaring,
menunggu hari siang. Akan tetapi
ia gelisah, karena
pikirannya telah digoda oleh
kenang-kenangan akan pergi
bersuka-sukaan itu.
Sebentar-bentar berbaliklah ia ke kanan dan
ke kiri, sebagai berduri tempat
tidurnya. Akhirnya, karena tak
dapat menahan hati, bangunlah ia
dari tempat tidurnya, lalu
dibukanya pintu biliknya
perlahan-lahan, karena kuatir kalaukalau
ayahnya yang sedang tidur,
terbangun pula.
Tatkala sampailah ia ke luar,
kelihatan olehnya cuaca amat
terang, bukan karena sinar
matahari, melainkan karena cahaya
bulan, yang hampir tenggelam di
sebelah barat. Di langit banyak
bintang-bintang yang gemerlapan
cahayanya, seakan-akan
embun di tengah padang yang luas,
mengilat di celah-celah
rumput. Akan tetapi bintang
timur, mulai pudar cahayanya,
diliputi cahaya fajar yang telah
menyingsing di sebelah timur.
Burung murai mulai berkicau di
pokok kayu, lalu terbang ke
tanah akan menangkap ulat-ulat
dan cengkerik yang alpa, belum
masuk bersembunyi ke dalam
lubangnya.
Burung-burung yang lain pun mulai
pula meninggalkan
sarangnya, ke luar mencari
mangsanya. Ada yang melompatlompat
dari cabang ke cabang pohon yang
segar rupanya,
ditimpa embun pagi. Ada pula yang
bersiul dan berbunyi,
sebagai riang menyambut
kedatangan cahaya matahari, yang
memberi kehidupan kepada segala
makhluk di atas dunia ini.
Dan ada pula yang memberi makan
anaknya, rezeki yang
diperolehnya pagi-pagi itu,
sehingga ramailah bunyi mencicitcicit
kedengaran dalam sarangnya.
Kemudian ada pula yang
bertengger di atas cabang,
membersihkan bulunya, sebagai
mandi mencucikan badannya.
Kelelawar mengirap ke sana
kemari dengan deras jalannya,
mencari tempat yang gelap,
sebagai orang yang takut
kesiangan di tengah jalan. Ayam betina
keluar dari kandangnya, sambil
memimpin anaknya, berbunyibunyi
memanggil dan mengumpulkan yang
ketinggalan atau
yang pergi ke tempat, lain, takut
biji matanya akan sesat di jalan
yang masih gelap. Ayam jantan
berlari ke sana kemari memburu
ayam betina, lalu berdiri
sejurus, mengangkat kepalanya dan
berkokok dengan tangkasnya,
seolah-olah seorang hulubalang
yang sedang mengerahkan laskarnya
di medan peperangan. Di
jalan besar mulai kelihatan
orang, seorang dua, berjalan tergesagesa,
sebagai ada yang diburunya.
Gerobak yang ditarik kerbau
dan lembu atau disorong orang,
kedengaran berbunyi gentanya,
sebagai menyatakan hari telah
siang. Sesungguhnya di sebelah
timur mulailah tampak cahaya
matahari, yang memancar ke sana
kemari menerangi sekalian benda
yang ditimpanya.
Samsu pergi ke bilik kusir tuanya
Pak Ali, lalu diketuknya
pintu bilik ini sambil bcrkata,
"Pak Ali, bangunlah! Hari telah
siang."
Sejurus kemudian terbukalah pintu
bilik ini dan kelihatan Pak
Ali mengeluarkan kepalanya dari
pintu ini, sambil menggosokgosok
matanya, sebagai hendak
menerangkan pemandangannya.
"Pukul berapa sekarang,
Engku Muda?" tanya kusir ini.
"Hampir pukul enam,"
jawab Samsu.
Mendengar jawab ini, keluarlah
sais Ali dari biliknya, masuk
ke kandang kudanya akan
membersihkan bendi, pakaian kuda,
dan kandangnya. Sementara itu
pergilah Samsu mandi ke sumur.
Tatkala ia masuk kembali ke rumahnya,
kelihatan olehnya
ayahnya sudah bangun, duduk di
kursi malas, serambi belakang.
"Lekas benar engkau bangun
pagi ini," kata ayahnya.
"Supaya jangan terlalu
kepanasan di jalan, Ayah," jawab
Samsu.
"Jadi juga engkau
pergi?" tanya ayahnya pula.
"Jadi, Ayah," sahut
Samsu.
"Nurbaya pergi pula?"
tanya Sutan Mahmud..
"Pergi, katanya tadi
malam," jawab Samsu.
"Hati-hati engkau menjaga
anak orang, he!"
"Ya, Ayah," jawab Samsu
pula.
"Baiklah," kata Sutan
Mahmud, seraya berdiri, lalu turun ke
bawah.
Kira-kira pukul enam lewat
seperempat, kelihatanlah
Samsulbahri dengan Nurbaya dalam
bendi, yang dikemudikan
sais Ali ke luar pekarangan
rumahnya, menuju ke Muara. Di
tengah jalan bertanya Ali kepada
Samsu, dengan tiada menoleh
ke belakang, "Terus ke
Muara, Engku Muda?"
"Tidak, Pak Ali, ke rumah
Arifin dahulu, ke jalan Gereja."
Karena mendengar jawab ini,
ditujukan oleh sais Ali bendinya
ke jalan Gereja.
"Nyaris aku kesiangan,
Sam," kata Nurbaya dalam bendi itu,
"karena tadi malam aku
hampir tak dapat tidur sebab takut
mendengar bunyi
katuk-katuk."
"Aku pun ngeri mendengar
bunyi tanda bahaya itu, sehingga
pukul dua malam, tatkala ayahku
telah datang, barulah aku dapat
tidur. Tetapi pukul lima pagi aku
telah terbangun pula," jawab
Samsu.
"Di mana orang mengamuk
itu?" tanya Nurbaya.
"Aku pun tak tahu,"
jawab Samsu. "Katuk-katuk kedengaran
berbunyi pada segenap pihak dan
lama pula bunyinya."
Tengah bercakap-cakap demikian,
dengan tiada diketahui
mereka, berhentilah bendi itu di
hadapan rumah Kopjaksa Sutan
Pamuncak, di Kampung Sebelah. Di
muka ini telah berdiri dua
orang anak muda laki-laki, yang
umurnya hampir sama dengan
Samsu. Tatkala dilihat mereka
bendi Samsu berhenti, lalu
dihampirinya seraya berkata,
"Hai! Nurbaya mengikut pula?"
Sebab dilihatnya Nurbaya ada
bersama-sama Samsu. "Baiklah!
Lebih banyak orang, lebih
girang."
"Mengapa Tiar? Tak bolehkah
aku mengikut, sebab aku
perempuan?" kata Nurbaya,
sambil tersenyum.
"Ah, masakan tak boleh,
Nona," jawab anak muda, yang
dipanggil Tiar oleh Nurbaya.
"Aku berkata demikian bukan
karena tak suka bahkan karena
suka hatiku, melihat engkau ada
bersama-sama."
"Bohong! Karena ia kuatir
tak cukup akan mendapat kue-kue
yang kita bawa," menyela
Arifin.
"Baiklah, kalau benar engkau
bersuka hati melihat aku
mengikut, niscaya engkau kelak
takkan takut memanjat pohon
jambu Keling untuk aku,"
sahut Nurbaya sambil tersenyum pula
untuk membujuk Bakhtiar, yang
mulai merengut mendengar
perkataan Arifin.
"Boleh kaulihat sendiri
nanti, mana yang lebih pandai
memanjat, aku atau kera,"
jawab Bakhtiar dengan bangganya.
"Kalau untuk makan si Tiar
memang lebih pandai memanjat
dari kera," mengusik pula
Arifin.
Sementara itu kedua anak muda
tadi, naiklah ke bendi
Samsu, yang langsung berangkat ke
Muara.
Kedua anak muda yang baru kita
kenali itu, ialah
Zainularifin, anak Hopjaksa Sutan
Pamuncak dan Muhammad
Bakhtiar anak guru kepala sekolah
Bumiputra kelas II di
Belakang Tangsi. Keduanya teman
sekolah Samsulbahri, yang
tiga bulan lagi akan pergi
bersama-sama dengan dia ke Jakarta,
meneruskan pelajarannya; Arifin
pada Sekolah Dokter Jawa,
Bakhtiar pada Sekolah Opseter
(KWS).
"Pada sangkaku aku
terlambat," kata Arifin, setelah ia duduk
dekat Samsu.
"Biarpun engkau terlambat,
tentu akan kutunggu juga, sebab
demikian perjanjian kita,"
jawab Samsu.
"Apa sebabnya engkau akan
terlambat?" tanya Nurbaya.
"Sebab aku memang seorang
yang suka tidur, apalagi sebab
tadi malam aku tak dapat
lekas-lekas tidur," jawab Arifin.
"Mengapa? Ada keramaiankah
di rumahmu tadi malam?"
tanya Samsu.
"Ya, memang ada. Keramaian
yang amat besar. Sampai
pukul dua belas malam masih jaga
aku," jawab Arifin, sambil
menutup mulutnya menahan kuapnya.
"Cobalah lihat, Sam, baik
hatinya Arifin ini! Ada keramaian
di rumahnya, tiada
dipanggil-panggilnya kita," kata Nurbaya
mengumpat.
"Ah masakan engkau tiada
dapat panggilan!" ujar Arifin
pula.
"Benar tidak," jawab
Nurbaya.
"Jika demikian, tiada
sampailah panggilan itu kepadamu."
"Mengapa tidak?"
mendakwa Bakhtiar. "Sebab panggilan itu
dijalankan dengan
katuk-katuk."
"Dengan katuk-katuk?"
tanya Nurbaya sambil tercengang.
"Macam baru, memanggil orang
dengan tanda bahaya."
Mendengar olok-olok Arifin ini
Samsu tersenyum. Akan
tetapi Nurbaya belum mengerti
sindiran perkataan Arifm itu.
"Tiadakah kaudengar bunyi
katuk-katuk tadi malam?" tanya
Arifin pula.
"Betul ada, tetapi pada
sangkaku, sebab ada orang
mengamuk," jawab Nurbaya.
"Ya, itulah dia! Bukankah
tiap-tiap ada orang mengamuk, di
rumahku ada keramaian besar,
sebab orang yang mengamuk,
orang yang diamuk, opas-opas,
saksi-saksi, kepala-kepala dan
ketua-ketua kampung dan
lain-lainnya, begitu pula orang yang
menonton, sekaliannya datang
berkumpul ke rumahku, untuk
memberi selamat kepada
kami?" kata Arifin pula seraya tersenyum.
"Ah, itu maksudmu. Kusangka,
benar engkau beralat," jawab
Nurbaya kemalu-maluan sebab ia
baru merasa telah dipermainkan
oleh Arifin.
"Beralat tidak, tetapi
keramaian ada," jawab Arifin sambil
tertawa.
"Memang kau tukang
olok-olok; patut jadi alan-alan," jawab
Nurbaya Sambil tertaWa pula.
"Siapa yang mengamuk tadi
malam dan di mana ia
mengamuk?" tanya Samsu.
"Siapa yang mengamuk itu
tiada kuketahui, tetapi rupanya
sebagai penjahat, kulihat."
"Kaulihat orangnya?"
tanya Bakhtiar, mencampuri
percakapan ini. "Tentu,
sebab ia dibawa ke rumahku, sebelum
dimasukkan ke dalam
penjara," jawab Arifin.
"Cobalah kauceritakan kepada
kami, bagaimana asalnya dan
kejadiannya pengamukan itu!"
kata Bakhtiar pula.
"O, oleh sebab engkau
sekalian minta supaya kuceritakan hal
ini, itulah tandanya engkau
sekalian ingin hendak mendengarnya,
bukan? Akan tetapi oleh sebab
kita hampir sampai ke
Muara, kutahan keinginan hatimu
itu, sampai nanti, kalau kita
telah mendaki, penawar lelah
mendaki," kata Arifin.
"Coba lihat, kikirnya
Arifin," jawab Bakhtiar yang hendak
membalas dendam pada Arifin.
"Sudah tiada dipanggilnya kita,
tatkala ada keramaian di
rumahnya, sekarang ditahannya pula
keinginan hati hendak mengetahui
keramaian itu. Dimahalkannya
harga barangnya, sebab
diketahuinya banyak yang suka
membeli."
"Benar engkau berani? Engkau
memang dengan sengaja tiada
kupanggil, sebab aku tahu, engkau
lebih suka pergi ke tempat
keramaian yang ada kue-kue,
daripada ke tempat keramaian yang
ada darah," jawab Arifin.
Bakhtiar sebagai merengut
mendengar sindiran sahabatnya
ini.
"Pada sangkaku lebih baik
Arifin menjadi seorang saudagar
daripada menjadi seorang dokter,
karena saudagar memang
demikian adatnya. Apabila
diketahuinya, orang suka kepada
barang perniagaan, ditahannya
barang itu dan dinaikkannya
harganya," kata Samsu. Akan
tetapi tatkala itu juga ia merasa
menyesal, telah mengeluarkan
perkataan itu, takut kalau-kalau
Nurbaya menjadi gusar kepadanya.
Dengan sudut matanya
dikerlingnya Nurbaya, yang duduk
di sisinya, tetapi rupanya
gadis ini tiada mendengar celaan
itu, karena ia sedang asyik
melihat beberapa perahu kail, yang
baru masuk ke muara sungai
Arau.
Sesungguhnya keempat anak muda
itu telah sampai ke dekat
sebuah rumah jaga di Muara. Di
belakang rumah jaga ini
kelihatan beberapa kuda tambang,
sedang dimandikan oleh
kusirnya di pinggir pantai,
tempat sungai Arau bermuara ke laut.
Dekat tempat mandi kuda ini
adalah sebuah pangkalan, yang
menganjur sampai ke tepi sungai,
tempat berlabuh kapal-kapal
api kecil, yang berlayar ke
Terusan. Di sebelah pangkalan ini,
berlabuh beberapa perahu kail,
yang baru datang dari lapt
membawa ikan-ikan, yang dapat
dikailnya pada malam itu. Di
muka pangkalan ini, adalah sebuah
rumah tempat pengailpengail
menjual ikannya, dan di sebelah
baratnya menjulang
gunung Padang, sebagai kepala
seekor ular Naga yang timbul
dari dalam laut. Yang menjadi
leher Naga ini ialah bagian yang
rendah, tempat orang naik mendaki
gunung Padang. Makin ke
selatan makin bertambah besar
gunung ini; itulah badan ular
Naga yang membelok ke timur,
diiringkan oleh sungai Arau,
yang mengalir di kakinya.
Di sebelah selatan pangkalan yang
diperkatakan tadi, adalah
kantor bea perahu-perahu yang
masuk sungai Arau atau kapalkapal
yang berlabuh di pulau Pisang,
pelabuhan kota Padang
dahulu yang sekarang telah
dipindahkan ke Teluk Bayur. Sejak
dari kantor bea ini, kelihatan di
pinggir sungai Arau, yang
menceraikan gunung Padang dari
kota Padang, beberapa perahu
besar dan kapal api kecil;
berlabuh berleret-leret, sepanjang tepi
su,ngai, yang ditembok dengan
batu. Sejajar dengan tembok ini
adalah jalan kereta api dan jalan
besar untuk mengangkut
barang-barang ke kota Padang.
Pada sebelah utara jalan ini,
berleretlah beberapa gudang,
disambung toko-toko, sampai jauh
ke kampung Cina dan Pasar Gedang.
Tempat ini memang bagian kota
Padang yang amat indah;
oleh sebab itu kerap kali dikunjungi
oleh mereka yang suka
berjalan jalan pada petang hari,
tatkala matahari hampir silam,
untuk mengambil hawa yang baik;
karena tempat ini baik
letaknya dan banyak memberi
pemandangan yang elok-elok.
Lagi pula tiada terlalu ramai,
sehingga mereka yang berjalan
jalan di sana, tiada terganggu
oleh lalu-lintas. Hanya pada waktu
hari raya, sampai dua tiga hari
sesudah puasa, jalan ini hampir
tiada dapat ditempuh orang yang
berjalan kaki, karena berpuluhpuluh
bendi dengan berbuka tenda,
berlumba-lumba di sana,
mengadu deras lari kudanya.
Itulah suatu kesukaan yang sangat
digemari anak muda-muda kota
Padang.
Apabila kembali kita, menurut
jalan yang telah diceritakan
tadi, arah ke utara, sampailah
kita ke pantai laut Padang.
Sepanjang pesisir pantai ini,
kira-kira sepal jauhnya, adalah suatu
taman bunga-bungaan, yang dihiasi
oleh beberapa jalan kecilkecil.
Pada beberapa tempat, di bawah
pohon ketapang yang
rindang, adalah bangku-bangku
tempat berhenti mereka yang
lelah karena perjalanannya.
Kira-kira, di.tengah taman ini adalah
sebuah rumah punjung yang bundar
dan cantik bangunnya,
diperbuat di atas suatu
gunung-gunungan, sebagai suatu mahligai
di dalam istana. Tiadalah heran
kita, apabila taman ini menjadi
suatu tempat yang sangat menarik
hati bangsa Eropah, yang
tinggal di kota Padang; karena
sesungguhnya amat senang
perasaan-dan indah pemandangan,
apabila pada petang hari
duduk di sana, melihat matahari
terbenam di sebelah barat.
Misalkanlah oleh pembaca yang
belum ke sana, tempat ini
suatu taman bunga-bungaan yang
permai tetapi sunyi senyap. Di
atas sebuah bangku yang ada dalam
mahligai yang letaknya di
tengah-tengah taman itu, bernaung
di bawah pohon kayu yang
rindang, duduk seorang anak muda
yang sedang termenungmenung
ke sebelah barat, kepada suatu
kolam yang amat luas,
yang membentahg di sisi taman
itu, sedang ombaknya memecah
di kaki anak muda tadi, menyiram
bunga-bungaan yang di sana.
Jauh di sebelah barat di
tengah-tengah kolam ini, kelihatan
beberapa buah pulau, yang
berleret¬leret letaknya sebagai pagar
kolam ini. Di balik pulau-pulau
itu adalah suatu mestika yang
bundar, sebagai sebuah bola mas,
yang menyala-nyala, memancarkan
cahayanya yang kilau-kemilau ke
muka air kolam,
yang seakan-akan suatu kaca
besar, membalikkan cahaya yang
jatuh ke atasnya, ke dalam taman
tadi, menyinari segala pohonpohonan
dan bunga-bungaan yang ada di
sana.
Perlahan-lahan, dengan tak
kelihatan jalannya turunlah
mestika itu ke bawah, sebagai
ditarik oleh seorang jin, yang tiada
kelihatan sehingga akhirnya
tenggelamlah ia ke dalam kolarn
yang ujungnya bagaikan bersabung
dengan langit, meninggalkan
gambar-gambar, yang rupanya
seakan-akan timbul dari dalam
air. Ada yang sebagai Naga yang
sedang berjuang, ada yang
sebagai kuda yang sedang berlari,
ada pula yang sebagai kapal
tengah berlayar atau pulau yang
merapung di atas air dan lainlain
sebagaiya.
Mereka yang menaruh pilu dan
sedih, janganlah ke sana,
pada waktu itu, karena sejauh
tepi langit dari tepi kolam itu,
sejauh itu pulalah kelak pikiran
dan kenang-kenangan mereka.*)
Tetapi bagi mereka yang
berkasih-kasihan tempat itu, pada
waktu terang bulan, adalah
sebagai dengan sengaja diperbuatnya.
Sayang di ujung selatan tanian
ini ada rumah penjara dan di
ujung utaranya ada kantor
pengadilan, keduanya tempat yang
mendatangkan dahsyat dan sedih
hati, apabila diingat beberapa
orang yang telah dipenjarakan
karena mendapat hukuman di
sana, yang barangkali ada juga di
antaranya tiada bersalah.
Sekarang marilah kita kembali
mengikuti keempat sahabat
kita, yang kita tinggalkan di
atas bendi tadi, sebab kalau terlalu
lama kita berhenti di taman ini,
pastilah takkan dapat lagi kita
*) Sayang taman itu sampai
sekarang tak dipelihara lagi
susul keempat anak muda itu.
"Bukan demikian," jawab
Arifin, tatkala mendengar perkataan
Samsu. "Ada beberapa sebabnya,
maka aku tak mau menceritakan
hal yang sangat penting ini,
kepadamu sekalian.
Pertama supaya kamu dapat belajar
menahan hati, karena itulah
suatu sifat yang baik benar bagi
manusia. Orang yang sabar dan
dapat menahan keinginan hatinya,
jarang salah barang perbuatannya.
Ingatlah cerita perempuan dengan
kucingnya dan
cerita ayam yang bertelur emas
itu!"
"Bagaimanakah
ceritanya?" tanya Nurbaya.
"Tidak tahukah engkau cerita
itu, Nur? Nanti aku ceritakan,"
jawab Samsu.
"Kedua..." kata Arifin
pula, akan menyambung uraiannya.
"Hai, kita sudah
sampai," kata Bakhtiar, dan seketika itu juga
bendi mereka berhenti dekat
sebuah gudang.
"Ya," jawab Samsu,
"baiklah kita turun."
Sekaliannya turunlah dari atas
bendi, sambil membawa
bekal-masing-masing, lalu pergi ke
pinggir sungai Arau, akan
mencari sebuah sampan tambangan,
yang dapat membawa
mereka ke seberang.
"Pukul bqrapa Engku Muda
pulang?" tanya Pak Ali.
"O ya," jawab Samsu,
sambil menoleh ke belakang, "datang
sajalah pukul dua belas."
"Baiklah," jawab Pak
Ali, lalu memutar kudanya pulang ke
rumahnya.
Tatkala keempat anak muda itu
sampai ke pinggir sungai
Arau, datanglah beberapa sampan
mendekat ke sana.
"Di sampanku inilah! Di sini
baik, sampan tak oleng! Di sini
seduit seorang!" demikianlah
kata tukang-tukang sampan.
"Lebih baik kita tunggu
sampan yang datang itu, karena
sampan itu besar, jadi tak
oleng," kata Nurbaya.
"Benar," jawab Samsu.
Seketika lagi sampan yang besar
itu pun sampailah ke
pinggir, lalu keempat anak muda
tadi naik dan didayungkan ke
seberang.
"Kedua," kata Arifin di
atas sampan ini tiba-tiba, untuk
menyambung cerita tadi, ' jika
kita sangat ingin kepada barang
sesuatu dan lekas kita peroleh
keinginan hati kita itu, boleh
mendatangkan penyakit kepada
kita.
Ketiga, kebesaran hati karena
segera beroleh keinginan itu,
tiada lama, sebab lekas jemu akan
benda yang diingini itu.
Misalnya: kita umpamakan,
Bakhtiar amat suka kepada kue-kue.
Tetapi itu hanya perumparnaan
saja, Bakhtiar, jangan marah,"
kata Arifin pura-pura
bersungguh-sungguh tetapi sebenarnya,
akan mempermainkan temannya ini;
sehingga dalam hatinya ia
tertawa.
"Walaupun sebenarnya
kaukatakan aku suka kue aku tidak
juga akan marah," kata
Bakhtiar, "sebab memang suka kue-kue."
"Ya, itulah sebabnya kuambil
perumpamaan ini, supaya tepat
kenanya," jawab Arifin.
"Kalau misalnya si Bakhtiar dalam
setahun tiada dipertemukan dengan
idamannya kue-kue, tentulah
keinginannya hendak memakan
kue-kue itu tak dapat_dikatakan
besarnya."
"Biar kujual kepalaku untuk
pembeli kue-kue," jawab
Bakhtiar.
"Tetapi kalau engkau tak
berkepala lagi, bagaimana pula
engkau dapat memakan kue-kue
itu?" tanya Arifin sambil tertawa,
sehingga seisi sampan sekaliannya
ikut tertawa pula.
"Memang tak tepat
jawabanku," kata Bakhtiar, sambil tertawa
pula bersama-sama. •
"Setelah setahun tak makan
kue, tiba-tiba si Bakhtiar dibawa
ke toko kue nyonya Jansen, dan
dikatakan kepadanya, "Boleh
kaumakan, apa yang
kausukai!" kata Arifin pula.
"Tentulah perkataan itu tak
kusuruh ulang lagi," jawab
Bakhtiar dan sesungguhnya, air
ludahnya bagaikan keluar,
karena mengingat kue-kue yang
enak itu, "dan dengan segera kuterkam
kue tar, bolu, sepekuk, yang
lezat cita rasanya itu."
"Sedikitkah atau banyakkah
kaumakan kue-kue itu?" tanya
Arifin.
"Sepuas-puas hatiku, sampai
tak termakan lagi," jawab
Bakhtiar.
"Nah, itulah dia! Oleh sebab
terlalu kenyang, boleh jadi kau
mendapat penyakit atau jemu
kepada kue-kue atau tak bernafsu
makan lagi. Bukankah tak baik
itu?" kata Arifin.
"Ya, benar," jawab
Samsu.
"Jemu katamu? Aku jemu
kepada kue kue? Pada sangkaku
jika habis sekalipun umurku,
belum juga habis nafsuku kepada
kue-kue," jawab Bakhtiar.
"Aku belum mengerti orang
yang tak berumur lagi, masih
bernafsu kepada kue-kue,"
kata Arifin.
"Bakhtiar, Bakhtiar!"
sahut Nurbaya, sambil menggelenggelengkan
kepalanya. "Lebih baik
engkau jadi tukang kue saja,
seperti nyonya Jansen, supaya
kenyang perutmu."
"Di dalam. sepekan, tentulah
jatuh tokoku itu, sebab habis
kumakani segala kueku. Tiap-tiap
orang yang hendak membeli
kue-kueku, kuusir, supaya
makanari itu jangan habis olehnya,"
kata Bakhtiar. Sekalian yang
mendengar tertawa.
"Keempat," kata Arifin
pula, "acap kali merusakkan badan.
Ingatlah kalau kuda
terlalu,panas, jadi terlalu haus, atau orang
yang telah empat lima hari tiada
minum, tiba-tiba diberi minum
terlalu banyak, boleh
mendatangkan ajalnya.
Yang kelima, yaitu yang terutama
sekali, yang hampir lupa
kusebutkan, yakni supaya kelak
jangan engkau rasai lelah
mendaki, karena ingatanmu telah
diikat oleh ceritaku yang amat
menarik."
"Keenam," menyela
Bakhtiar, "sebab kita telah sampai ke
seberang, haruslah kita bayar
sewa sampan orang," seraya ia
mengeluarkan uang empat sen dari
koceknya dan memberikan
uang itu kepada tukang sampan,
lalu melompat ke darat. Ketiga
temannya pun melompat pula
mengikutiny,a.
"Di kedai itu aku lihat ada
tebu, marilah kita beli! Tentu kita
nanti akan haus di jalan,"
kata Samsu.
"Aku ada membawa seterup dua
botol," jawab Bakhtiar.
"Kalau cukup; kalau tak
cukup, di mana kita cari air nanti?"
kata Samsu pula.
Sesudah membeli tebu, mulailah
keempat anak muda ini
mendaki.
Gunung Padang yang tingginya
kira-kira 322 M, ialah ujung
sebelah utara gunung-gunung
rendah, yang memanjang di
sebelah selatan kota Padang.
Itulah sebabnya, maka pinggir laut
di situ pada beberapa tempat
curam dan jarang didiami orang.
Asalnya gunung-gunung ini pada
Bukit Barisan, yang
memanjang di tengah-tengah pulau
Sumatera dari ujung barat
laut ke ujung tenggara. Gunung
Padang adalah sebagai suatu
cabang Bukit Barisan itu, yang
menganjur ke barat, sampai ke
tepi laut kota Padang.
Orang Belanda menamai Gunung
Padang ini Apenberg
(gunung kera*), sebab di
puncaknya banyak kera yang jinak
jinak, yang memberi kesukaan
kepada mereka yang mendaki
gunung itu. Apabila dipanggil dan
diberi pisang, datanglah kerakera
itu berpuluh-puluh banyaknya,
memperebut-rebutkan
makanan ini. Kera yang
besar-besar, terkadang-kadang berani
merampas pisang atau makanan
lain, dari tangan orang.
Sungguhpun demikian., tak ada
orang yang berani berbuat apaapa
atas kera-kera ini, sebab pada
sangka anak negeri kota
Padang, kera-kera itu keramat,
tak boleh diganggu-ganggu. Jika
dibunuh, tentulah yang membunuh
itu akan mati pula, dan jika
ditangkap, tentulah yang
menangkap itu tak dapat mencari jalan
pulang. Ada pula yang bersangka,
bahwa kera-kera itu asalnya
dari sekalian orang yang telah
mati, yang dikuburkan di gunung
itu, hidup kembali sebagai kera
jadi jadian.
Memang di gunung itu banyak
kuburan, sedang di puncaknya
adalah sebuah makam, di dalam
suatu gua batu, tempat orang
berkaul dan bernazar. Sekali setahun,
tatkala akan masuk puasa
dan pada waktu hari raya,
penuhlah gunung itu dengan laki-laki
dan perempuan, yang datang
mengunjungi kuburan sanak
saudaranya, yang telah
meninggalkan dunia, untuk mendoakan
*) Sebenarnya yang dinamakan
Apenberg itu sebuah daripada
puncaknya, yang dekat ke tepi
laut, tingginya 108 m.
arwahnya.
Walaupun gunung ini pada
hakikatnya tempat sedih dan duka
cita, akan tetapi sebab
pemandangan di atas puncaknya sangat
indah, dijadikanlah, ia tempat
bermain-main. Jalan naik ke atas
bertangga-tangga, supaya pada
musim hujan, mudah juga dapat
didaki. Di puncaknya didirikan
tiang bendera yang tinggi. Pada
tiap-tiap hari Ahad, berkibarlah
bendera pada ujung tiang ini.
Dekat tiang bendera itu,
diperbuat sebuah rumah punjung yang
bundar, cukup dengan bangku dan
mejanya, tempat melepaskan
lelah. Akan menyejukkan badan
yang panas karena mendaki,
diperbuatlah pula ayun-ayunan,
tempat berangin-angin, ganti
kipas. Sekaliannya ini dijaga dan
dibersihkan oleh orang
hukuman. Oleh sebab hal yang sedemikian,
pada tiap-tiap hari
Ahad, dikunjungilah tempat ini
oleh mereka yang hendak
berjalan jalan mencari kesenangan
dan kesehatan tubuhnya,
seraya membawa makanan-makanan
dan minuman-minuman.
Ketika Nurbaya dengan
teman-temannya sampai ke pertengahan
gunung itu, pada suatu pendakian
yang curam, berkatalah
ia sambil mencari batu besar
tempat duduk, "Alangkah
baiknya; apabila ada kendaraan
yang dapat ditunggang ke atas
ini!"
"Bagaimana? Belum sampai
separuh jalan, telah lelah," kata
Arifin, seraya membuka buah
bajunya, akan melepaskan hawa
panas yang keluar dari badannya.
"Kalau tulangku sebesar
tulangmu, aku tidak akan berkata
sedemikian," jawab Nurbaya.
"Ha, pada sangkaku sekarang
datang waktunya, aku akan
menceritakan, betapa asal mulanya
keramaian di rumahku tadi
malam, sebab kulihat kamu
sekalian berteriak, karena
kelelahan," kata Arifm.
"Ya, ya," jawab
Bakhtiar, "mulailah!"
"Baik, dengarlah dan
perhatikan benar-benar!" kata Arifin
pula, lalu bercerita,
"Tatkala berbunyi katuk-katuk, aku sedang
ada dengan orang tuaku di serambi
belakang, hendak makan.
Sangat terkejut kami, sebab bunyi
katuk-katuk itu datang dari
rumah jaga, yang tiada berapa
jauhnya dari rumah kami. Ayahku
lalu melompat dari kursinya dan
berteriak kepada opasnya,
"Saban, suruh pasang bendi!"
kemudiap masuklah ia ke dalam
biliknya akan menukar pakaiannya.
Seketika lagi, keluarlah pula
ia, lalu berteriak, sambil
mengancingkan bajunya, "Sudah,
Saban?"
"Sudah, Engku," jawab
opas ini.
Ayahku lalu turun, sambil berkata
kepada ibuku, "Masuk ke
dalam dan tutup pintu!"
Ibuku yang rupanya sangat
terkejut, tak dapat berkata apaapa,
hanya, "Hati-hati!"
tatkala dilihatnya ayahku turun.
"Jangan khawatir!"
jawab ayahku, lalu melompat ke atas
bendinya.
Maka tinggallah kami dengan si
Baki, sebab tukang kuda tak
ada di rumah. Katuk-katuk itu
bunyinya kian lama kian keras,
sehingga kami makin lama makin
bertambah takut. Maka
disuruhlah oleh ibuku tutup pintu
dan jendela, lalu kami masuk
ke dalam bilik. Karena takut,
tiadalah kami ingat akan lapar
kami.
"Ya, benar," kata
Samsu, "Kami di rumah pun demikian pula;
hanya bertiga dengan bujang saja.
Ayahku sejak pukul lima
petang tak ada di rumah. Coba
kalau ada apa-apa, bagaimana
dapat melawan? Untunglah ayah
Nurbaya datang ke rumahku,
mengatakan kami tak usah takut,
sebab pengamukan itu jauh.
Dan lagi kalau ada apa-apa ia
segera datang."
"Itulah yang menjadikan
khawatir hatiku," kata Arifin pula,
"sebab memang orang yang
memegang pekerjaan sebagai ayah
kita, lebih banyak musuhnya
daripada sahabatnya. Walaupun
kucoba menghilangkan takutku
dengan berkata ini dan itu
kepada ibuku atau membaca buku,
tetapi ngeri itu tiadalah
hendak meninggalkan pikiranku;
istimewa pula sebab kadangkadang
kedengaran suara ribut di jalan
raya.
Sebentar-sebentar bunyi katuk
katuk itu bertambah keras,
sebagai hendak menyatakan, ada
pula seorang lagi yang kena
tikam si pengamuk. Dua jam
lamanya kami di dalam ketakutan
dan kira kira pukul sebelas,
barulah mulai kurang bunyi katukkatuk
itu. Tiada lama sudah itu,
hilanglah bunyi ini sekaliannya,
hingga heboh tadi jadi sunyi
senyap. Ketika itu, barulah agak
hilang takutku, karena kuketahui
si pengamuk tentulah sudah
dapat ditangkap. Tetapi ayahku
belum juga pulang. Mataku
mulai mengantuk dan dengan tiada
kuketahui tertidurlah aku di
atas kursi. Ibuku, pada sangkaku,
tiada dapat memejamkan matanya,
sebab memikirkan ayahku, takut
kalau-kalau ia mendapat
celaka."
"Memang pekerjaan polisi
sangat berbahaya," jawab Samsu,
"dan acap kali kita dimusuhi
orang pula."
"Tetapi kalau kita baik
dengan anak negeri," kata Bakhtiar,
"masakan dimusuhinya."
"Tentu lebih disukainya
daripada orang yang jahat kepada
mereka. Akan tetapi, walaupun
demikian, masih saja dibenci.
Ada juga jalannya, supaya tiada
dimusuhi orang, yaitu: yang
bersalah jangan ditangkap, jangan
dihukum dan diturutkan
segala kemauannya; sebab meskipun
bagaimana berat atau
ringan kesalahan mereka, dihukum
tentu mereka tak suka. Dan
apabila dijalankan juga hukuman,
tentulah mereka akan menaruh
dendam dalam hatinya. Istimewa
pula kalau yang dihukum itu
seorang yang berbangsa tinggi
atau kaya, dan yang menghukum,
orang kebanyakan saja."
"Kalau begitu, kita namanya
bukan pegawai, melainkan
seorang yang tiada menurut sumpah
dan janjinya, orang yang
memperdayakan Pemerintah atau
orang yang makan gaji buta
atau pencuri gaji. Kalau tahu
Pemerintah kelakuan kita yang
demikian, tentulah kita akan
dipecat daripada pekerjaan kita,"
sahut Arifin.
"Lagi pula bagaimana akan
dapat menurut kemauan sekalian
orang? Sedangkan kehendak dua
orang yang berlawanan, lagi
tak dapat diturut. Misalnya
seorang yang tak alim, tidak suka
langgar dibangun dekat rumahnya,
sebab terlalu ribut katanya;
tetapi orang sebelah rumahnya,
yang keras memegang agama,
minta langgar itu diperbuat di
sana, supaya mudah pergi berbuat
ibadat. Betapa dapat menurut
kedua kesukaan yang berlawanan
ini?"
"Tentu tak dapat,"
jawab Samsu. "Memang bagi seorang
pegawai, hal yang sedemikian
seperti kata pepatah: Bagai
bertemu buah si mala kamo*).
Dimakan, mati bapak, tidak
dimakan, mati mak. Mana yang
hendak dipilih?"
"Kalau aku, barangkali tidak
kumakan buah itu," kata
Bakhtiar mencampuri perbincangan
ini.
"Jadi kau rupanya lebih
sayang kepada ayahmu, daripada
kepada ibumu," sahut
Nurbaya.
*) Buah perumpamaan, yang hanya
ada dalam peribahasa
"Bukan begitu, Nur," jawab
Bakhtiar, "kalau perkara sayang,
tentu aku lebih sayang kepada
ibuku daripada kepada ayahku,
sebab ibuku suka memberi aku
kue-kue, tetapi ayahku suka
memberi aku tempeleng. Dan pada
rasaku, kue-kue lebih enak
daripada tempeleng. Tetapi kalau
ayahku mati, ibuku tak dapat
mencari kehidupan sebagai ayahku.
Betul ia boleh bersuami
pula, tetapi masakan ayah tiriku
akan sayang kepadaku seperti
ayah kandungku. Jadi bagaimanakah
halku kelak? Dapatkah juga
aku akan meneruskan
pelajaranku?"
"Baik, tetapi kalau ayahmu
kawin pula, sesudah ibumu
meninggal, bagaimana?" tanya
Nurbaya.
"Tidak mengapa, sebab ayahku
masih ada, yang dapat
membantu aku," jawab
Bakhtiar.
"Kalau mak tirimu itu sayang
kepadamu; tapi kalau ia benci
kepadamu, sebagai acap kali
terjadi di negeri kita ini, tentulah
akan diasutnya ayahmu, sampai
ayahmu pun benci pula
kepadamu. Bagaimana? Mak hilang,
ayah benci. Akan tetapi,
kalau makmu masih hidup, walaupun
ia tak dapat menolong
kamu ataupun ia bersuami pula,
sayangnya tetap padamu. Ia tak
dapat diasut-asut. Bukankah sudah
dikatakan dalam peribahasa:
Sayang ayah kepada anaknya
sepanjang penggalah, jadi ada
hingganya, tetapi sayang ibu
kepada anaknya sepanjang jalan,
tak berkeputusan."
"Ya, benar katamu itu,
Nur," jawab Bakhtiar dengan kuatir
rupanya, serasa banar akan
terjadi hal itu atas dirinya: "Yang
sebaik-baiknya janganlah aku
bertemu dengan buah jahanam itu
dan biarlah ibu-bapakku hidup
sampai aku ada pekerjaan, yang
dapat memberi penghidupan
kepadaku."
"Sebenarnya orang yang
menjadi pegawai Pemerintah," kata
Samsu pula, seakan-akan hendak
melenyapkan ingatan yang
kurang enak itu dari dalam hati
Bakhtiar, "dalam pekerjaannya
harus dapat berbuat dirinya
seperti suatu mesin, yang sebetulbetulnya
menjalankan dan memperbuat segala
apa yang harus
diperbuatnya. Artinya, tiada
pandang-memandang, tiada menaruh
kasihan, tiada berat sebelah,
tiada dapat tergoda oleh uang
atau pemberian dan lain-lain
sebagainya."
"Tetapi adakah orang yang
sedemikian?" tanya Arifin.
"Dalam seratus, jarang
seorang agaknya," jawab Samsu.
"Sebab hal itu sangat
susahnya."
"Jika begitu apa sebabnya,
maka masih banyak saja orang
yang mau bekerja di kantor
polisi? Ada pula yang tiada dapat
gaji, walaupun ia harus
berpakaian yang patut, datang ke tempat
pekerjaannya. Sesudah beberapa
tahun, barulah dapat uang
bantuan 5 atau 10 rupiah dan
beberapa tahun kemudian, barulah
diangkat jadi juru tulis.
Akhirnya, apabila telah tua, barulah
dapat jadi menteri polisi atau
ajung jaksa," tanya Arifin pula.
"Sebabnya ada
bermacam-macam. Ada yang bekerja sesungguhnya
karena hendak mencari kehidupan
dengan tiada
mempunyal maksud lain. Itulah
yang baik. Tetapi ada pula yang
memandang pangkat saja, sebab
pada sangkanya, apabila ia telah
menjadi pegawai, telah tinggilah
pangkatnya dengan diharmati
dan ditakuti orang. Lain daripada
itu dapat pula ia berbuat
sekehendak hatinya kepada anak
negerinya. Tetapi sangkaku
orang yang sedemikian, rnemang
orang yang tiada dipandang
dan dihormati orang. Apabila ia
seorang yang memang telah
dipandang dan dihormati orang,
tentulah ia tidak berkehendak
lagi akan pandangan dan
kehormatan, dan tiadalah pula ia akan
bersusah payah, berhabis uang,
untuk mendapat pangkat dan
kemuliaan itu; istimewa pula,
sebab dalam hal ini, bukan
orangnya melainkan pangkatnya
yang dihormati dan dimuliakan.
Oleh sebab itu acap kali, kita
lihat, semasa di dalam berpangkat,
sangat dihormati dan dimuliakan
orang, tetapi bila telah berhenti,
tiada diindahkan orang lagi.
Sebaik-baiknya kehormatan dan
kemuliaan itu jangan timbul dari
kekuasaan, melainkan dari hati
yang suci, disebabkan oleh
kebaikan kita sendiri.
Ada pula orang yang memang dengan
maksud jahat, mencari
pangkat, sebab diketahuinya,
pangkat itu besar kuasanya; dengan
demikian lekas dan mudah
diperolehnya segala maksudnya.
Akan tetapi pikiran yang semacam
ini, hanya ada pada mereka
yang tiada lurus hatinya. Mereka
yang mengerti, tentulah akan
tahu, bahwa kekuasaannya tak
lebih daripada kekuasaan anak
negerinya dan pangkatnya
sebenarnya rendah daripada pangkat
orang yang tiada makan gaji.
Karena orang ini bebas, boleh
berbuat sekehendak hatinya, tak
perlu menurut perintah, sebab
tak menerima upah. Kalau ia
bersalah yang menghukum
bukannya pegawai itu melainkan
undang-undang juga. Pegawai
hanya seorang yang digaji
Pemerintah, untuk menjalankan
sesuatu kekuasaan, yang tak
bersalah, tentu tak dapat
dihukumnya dengan lurus. Untung
benar tiada sekalian pegawai
demikian kelakuannya. Banyak yang
semata-mata dengan
maksud baik menjabat pekerjaan.
Dan sesungguhnya, banyak
kebaikan yang dapat diperbuat
mereka, karena kekuasaan tadi."
"Ah, aku tiada memandang
kehormatan, kekuasaan, dan
pangkat," jawab Bakhtiar
tiba-tiba, "asal cukup dapat uang,
pekerjaan apa pun tiada
kuindahkan. Boleh orang memanggil
kuli kepadaku, asal diberinya
gaji yang cukup."
"Supaya jangan sampai
kekurangan kue-kue, bukan?
Dipanggil hantu kue pun tak
mengapa," kata Arifm sambil
tertawa-tawa mengganggu
sahabatnya ini.
"Apalagi yang kaucari dalam
dunia ini, lain daripada
keenakan dan kesenangan? Engkau
belajar sekarang ini dengan
maksud supaya kemudian mendapat
kesusahankah?" jawab
Bakhtiar.
"Tentu tidak," kata
Samsu pula, yang rupanya hendak
menyabarkan kedua sahabatnya,
yang seakan-akan bermusuhmusuhan
itu. "Tetapi di manakah
tinggalnya ceritamu tadi,
Arifin? Cobalah teruskan!"
"Benar, tetapi yang terlebih
baik ialah kita teruskan
perjalanan kita ini, sebab kalau
kita masih berhenti di sini,
sampai hari kiamat pun belum juga
kita akan sampai ke atas. Di
jalan kelak kusambung cerita
itu."
Keempat anak muda ini mendakilah
pula. Setelah sejurus
lamanya mereka mendaki jalan
menanjak, berceritalah pula
Arifin, "Belum berapa lama
aku tidur, terperanjatlah aku bangun,
karena aku dengar suara orang
berkata, "Jangan banyak cakap!
Nanti kupukul kepalamu, sampai
engkau tak dapat bergerak
lagi!"
Maka gemetarlah seluruh tubuhku,
karena pada sangkaku,
tentulah suara itu suara si
pengamuk yang telah menangkap
bujangku, supaya mudah melakukan
niatnya yang jahat kepada
kami. Istimewa pula, karena
tatkala itu kedengaran suara orang
naik tangga rumahku, lalu
mengetuk pintu, menyuruh bukakan
pintu. Sebab takutku, tak tahulah
aku apa yang hendak
kuperbuat. Walaupun aku hendak
berdiri mencari senjata akan
membela diriku dan ibuku, melawan
orang itu tetapi tak dapat
karena kakiku berat rasanya,
sebagai terpaku pada lantai. Ketika
aku hendak berteriak minta
tolong, suaraku tak hendak keluar,
sebab leherku serasa dicekik
orang. Untunglah ibuku berani
bertanya, "Siapa itu?"
"Aku," jawab dari luar.
Walaupun suara itu rupanya
sebagai suara ayahku, ibuku
belum percaya juga, sebab ia
bertanya pula, "Aku siapa?"
"Engku Hop (hoofd), orang
kaya," jawab opas ayahku.
Ketika itu barulah nyata benar
kepadaku, bahwa ayahku ada
di luar. Setelah ibuku berkata,
"Bukalah pintu, Arifin," barulah
aku dapat bangun dari kursiku, lalu
pergi membuka pintu; tetapi
palangnya tiada kulepaskan dari
tanganku, supaya dapat
kupergunakan jadi pemukul, bila
yang masuk itu bukan ayahku,
sebab khawatirku belum hilang.
Tetapi rupanya benar ayahku
yang masuk. Tatkala dilihatnya
aku masih jaga, ia bertanya,
"Hai, belum tidur?"
"Belum, Ayah," jawabku,
"sebab takut, jadi hilang kantuk."
"Patut engkau jadi
hulubalang besar," kata ayahku pula
dengan tersenyum, serta menyuruh
pasang lampu kantornya.
Sesudah makan, diperiksalah
perkara pengamukan tadi. "Di
sinilah kulihat si pengamuk
itu."
"Bagaimana rupanya?"
tanya Nurbaya.
"Ah, sebagai orang yang
biasa saja. Hidungnya satu, matanya
dua," jawab Arifin.
"Ya, tentu. Tetapi maksudku
bukan demikian; serupa
penjahatkah atau serupa orang
baik-baikkah ia, tuakah atau
masih mudakah, orang sinikah atau
orang lain negerikah?" kata
Nurbaya pula.
"Pada sangkaku bangsa
penjudi tetapi masih muda.
Tangannya dibelenggu, bajunya
koyak-koyak dan berlumur
darah, mukanya pucat, badannya
gemetar dan matanya berputarputar,
sebagai masih marah," jawab
Arifin dengan suara yang
seram.
"Hi! Alangkah takutku, kalau
melihat orang yang demikian,"
kata Nurbaya, sambil mengecutkan
badannya, karena berdiri
bulu romanya.
"Memang, aku pun tak berani
dekat. Takut kalau-kalau
datang pula nafsunya hendak
mengamuk dan dapat dipatahkannya
belenggunya."
"Ya, tetapi kalau tak ada
pisau, bagaimana mengamuk?"
dakwa Bakhtiar, yang hendak
mengejek Arifin.
"Dengan tangan dan gigi,
seperti engkau mengamuk kuekue,"
jawab Arifin dengan tertawa,
sebab ia dapat pula
mengganggu sahabatnya ini.
"Orang mana ia dan apa
mulanya, maka ia sampai berbuat
demikian?" tanya Nurbaya,
sebagai hendak memadamkan perselisihan
Bakhtiar dengan Arifin.
"Rupanya ia anak kampung
Sawahan. Asal perkelahian,
perkara main judi. Sebab ia
banyak kalah, matanya jadi gelap,"
sahut Arifin, dengan tiada
mengindahkan sahabatnya, Bakhtiar
yang mengerut dahinya.
"Berapa orang yang
diamuknya?" tanya Samsu.
"Dua orang; yang seorang
mati, sebab kena dadanya; yang
seorang lagi luka parah di kepalanya,
lalu dibawa ke rumah
sakit."
"Kasihan!" kata
Nurbaya.
"Apa sebabnya, maka lama
benar baru ia tertangkap?" tanya
Samsu pula.
"Sebab mula-mula ia lari
menyembunyikan dirinya, dan
tatkala hendak ditangkap, ia
melawan. Tetapi sebab banyak
orang yang memburunya, jadi dapat
juga ia dipersamasamakan,"
jawab Arifin. "Sesudah itu
diperiksa oleh ayahku, si
pengamuk terus dibawa ke
penjara."
"Bagaimanakah agaknya
keputusan perkara itu?" tanya
Nurbaya.
"Pada sangkaku, si pengamuk
itu akan dihukum buang,
sekurang-kurangnya sepuluh
tahun," jawab Arifin.
"Hura!" demikianlah
bunyi sorak Bakhtiar tiba-tiba, "kita
telah sampai."
Sesungguhnya keempat anak muda
itu, dengan tiada
dirasainya, telah hampir sampai
ke puncak Gunung Padang,
karena tiang bendera dan rumah
perhentian yang ada di sana,
telah kelihatan. Tiada lama
kemudian daripada itu, Nurbaya
merebahkan dirinya ke atas sebuah
bangku, dalam.rumah
perhentian ini, sambil berkata,
"Akhirnya sampai juga kita
kemari!"'
"Asal sabar, yakin dan
tawakkal, tentulah sampai maksud
yang kekal," jawab Bakhtiar
dengan perlahan-lahan, sebagai
seorang yang alim.
"Tetapi kalau tiada
diusahakan diri, bagaimana?" tanya Arifin
yang masih menentang Bakhtiar.
"Bolehkah Tuan Guru sampai
kemari, jika tiada berjalan lebih
dahulu? Dapatkah Tuan Guru
yang sangat alim ini mengaji
Quran, apabila tiada dipelajari lebih
dahulu? Dan dapatkah menjadi
tukang tambur, sebab perut tiada
diisi lebih dahulu dengan
kue-kue, melainkan dengan sabar,
yakin dan tawakkal saja?"
"Ah, dengan engkau memang
tak dapat bercakap-cakap;
lebih baik aku pergi ke
sana," sahut Bakhtiar dengan sebalnya
lalu keluar rumah perhentian itu,
pergi ke buaian.
"Ya, pergilah ke sana dan
bercakap-cakap dengan kayukayuan
itu! Tentu tiada dibatalkannya
perkataanmu, sebab ia tak
pandai menjawab. Dengan demikian,
dapatlah engkau berkata
sesuka hatimu, tetapi seorang
diri, seperti orang ... hm," sahut
Arifin, lalu pergi pula ke tempat
lain.
Tatkala itu Samsulbahri masih
berdiri, rupanya sedang asyik
memandang ke sebelah timur,
kemudian memutar kepalanya
perlahan-lahan ke sebelah utara
dan akhirnya ke sebelah barat.
Pikirannya sebagai tak ada dekat
teman-temannya, melainkan
jauh di balik gunung yang tinggi,
di seberang lautan yang dalam.
Bagaikan ada suatu suara yang
berbisik di telinganya, demikian:
"Samsulbahri, pandang dan
tilik serta perhatikanlah benarbenar
olehmu tanah lahirmu ini, tempat
tumpah darahmu, karena
tiada berapa lama lagi engkau
akan berangkat meninggalkan
sekaliannya; berangkat jauh ke
rantau orang, berjalan bukan
untuk sehari dua, bahkan berbulan
dan bertahun. Siapa tahu,
barangkali engkau tak dapat
kembali pulang, karena nasib tiaptiap
makhluk yang di atas dunia ini
ada di dalam tangan Allah,
dan nyawanya adalah sebagai
tergantung pada sehelai benang
sutera, yang halus dan rapuh,
sehingga terkadang-kadang angin
yang bertiup sepoi-sepoi pun
dapat memutuskan tali pergantungan
itu."
Entah pikiran yang sedemikian,
entah keelokan pemandangan
puncak gunung itu yang memberi
asyik hati anak muda ini,
tiadalah dapat dilihat pada air
mukanya yang bermuram-muram
durja, sebagai mengandung suka
dengan duka.
Memang pemandangan di atas Gunung
Padang sangat elok,
karena dari sana, nyata kelihatan
pertemuan antara daratan
dengan lautan, sebagai garis:
putih yang terbentang dari kaki
Gunung Padang arah ke utara,
melalui jalan yang berbelokbelok,
yang terkadang-kadang jauh
menganjur ke laut, sehingga
terjadilah pada beberapa tempat,
di kanan-kiri tanjung-tanjung
ini, teluk yang permai.
Pada beberapa tempat, rupanya
baris pinggir laut itu sebagai
bergeiak-gerak, disebabkan oleh
ombak, yang memecah di tepi
pantai yang menimbulkan buih yang
putih warnanya. Orang
yang memukat ikan, kelihatan
sebagai semut berkerumun di sana
sini. Alangkah elok rupanya
perhubungan daratan dan lautan itu,
dua benda yang menjadikan dunia
ini, tetapi yang sangat
berlainan warna, sifat, hal, dan
isinya.
Di sebelah barat dan utara
kelihatan lapangan yang sangat
luas dan datar, yang
kebiru-biruan warnanya dan yang pada
beberapa tempat sebagai dierami
oleh pulau-pulau kecil, yang
berjejer letaknya, dari utara ke
selatan, adalah seakan-akan suatu
telaga yang amat besar, yang
berdindingkan langit putih di
sebelah barat. Pada sangka ahli
bumi, pulau-pulau itu dahulu
kala, berhubungan dengan pulau
Sumatera. Karena keruntuhan
di dasar lautan, tenggelamlah
perhubungan itu, meninggalkan
beberapa pulau.
Di sebelah timur, kelihatan
daratan yang hijau warnanya,
yang penuh ditumbuhi pohon kelapa
dan pohon yang lain-lain,
adalah seakan-akan sebuah kebun
yang amat luas layaknya. Pada
beberapa tempat kelihatan pohon
cemara dan pohon ketapang
yang tinggi-tinggi, sebagai
menjulangkan puncaknya dari
tindihan pohon kelapa yang banyak
itu, supaya dapat menangkap
angin dan cahaya matahari. Di
sana-sini tampak atap rumah yang
merah atau putih warnanya,
sebagai mengintip. dari celahcelah
daun kayu. Hanya pada bagian yang
dekat ke kaki Gunung
Padang itulah yang banyak rumah
dan jalan-jalannya yang berbaris-
baris, sejajar dengan sungai
Arau.
Jauh di sebelah timur, kebun yang
besar itu dipagari oleh
gunung-gunung yang memtujur pulau
Sumatera, yaitu sebagian
daripada Bukit Barisan yang
letaknya di tengah-tengah pulau
Sumatera, memanjang dari barat
laut ke tenggara. Di belah timur
laut dan utara, kelihatan
beberapa puncak gunung yang tinggitinggi,
sebagai ujung tiang pagar tadi.
Di antara puncak-puncak
ini, di balik awan yang putih,
kelihatan puncak Gunung Merapi
di Padang Panjang, yang
terkadang-kadang nyata nampak
asapnya mengepul ke atas, bila
cuaca amat terang.
Walaupun di sebelah timur,
sekalian mahluk yang mendiami
daratan akan mendapat kehidupan
dan kesenangan, di sebelah
barat tiada lain yang akan
diperolehnya daripada bahaya dan
maut. Demikian pula kebalikannya
jika dibawa sekalian yang
mendiami bagian yang di sebelah
barat, ke timur, tentulah segera
akan sampai ajalnya. Di sebelah
timur dapatlah manusia berpijak
tanah, tetapi di sebelah barat
akan luluslah ia ke dasar lautan.
Setelah sejurus lamanya
Samsulbahri termenung sedemikian
itu, tiba-tiba terperanjatlah ia,
sebagai terbangun daripada
tidurnya, karena dirasainya
bahunya dipegang orang dari
belakang dan didengarnya suara
Nurbaya berkata, "Apakah yang
kaulihat, Sam?"
"Ah, tidak, Nur," jawab
Samsu, "penglihatan di sini
sesungguhnya amat elok: Lihatlah
pohon-pohon kelapa itu,
hampir tak ada hingganya dan di
antaranya. Lihatlah pula bukit
barisan yang jauh menghijau
samar-samar di sebelah timur itu!
Dan lihatlah tepi pantai negeri
Pariaman, Tiku, dan Air Bangis,
yang menggaris terang sampai ke
utara."
"Ya, sesungguhnya amat
indah," jawab Nurbaya. "Hanya di
laut kurang pemandangan. Manakah
pulau Pandan, dan manakah
pulau Angsa Dua?"
"Itulah, yang jauh itu,
pulau Pandan, dan yang sebelah
kemari, pulau Angsa Dua,"
kata Samsu pula, sambil menunjuk
dua buah pulau yang berleret
letaknya di sebelah ke muka dan
sebelah lagi di sebelah belakang.
"Jadi sesungguhnya sebagai
dalam pantun.
Pulau Pandan
jauh di tengah,
di balik pulau
Angsa Dua,"
kata Nurbaya pula.
"Memang benar," jawab
Samsu. "Tetapi bagaimanakah
sambungan pantun itu?" tanya
Samsu.
"Ah, masakan kau tak tahu.
Jangan: Kura-kura di dalam
perahu, pura-pura sebagai tak
tahu," sahut Nurbaya.
"Sebenarnya pantun itu
pantun tua, yang demikian bunyinya:
Pulau Pandan
jauh di tengah,
di balik pulau
Angsa Dua,
Hancur badan di
kandung tanah,
guna baik
diingat jua."
kata Samsu pula. "Tetapi
oleh anak-anak muda sekarang
ditukar menjadi:
Pulau Pandan
jauh di tengah;
di balik pulau
Angsa Dua,
Hancur badanku
di kandung tanah,
cahaya matamu
kuingat jua."
"Ya, tentu, begitu pun boleh
juga; bagaimana kehendak yang
berpantun saja," jawab
Nuibaya.
Sungguhpun ia berkata demikian,
tetapi di dalam hatinya
buah pantun ini menimbulkan suatu
pikiran; hanya tiada diperlihatkannya
itu, dan dibuangnyalah mukanya
menoleh ke darat
serta bertanya, "Gunung yang
tinggi itu, gunung apakah
namanya?"
"Gunung Merapi,
sangkaku," jawab Samsu.
"Gunung Merapi yang dekat
Padang Panjang?" tanya
Nurbaya.
"Ya, antara Bukit Tinggi dan
Padang Panjang," jawab Samsu.
"Dan tahukah pula engkau
pantun yang berhubungan dengan
kota Padang Panjang itu?"
"Tidak," jawab Nurbaya,
dengan hati yang agak berdebar.
"Begini," kata Samsu.
"Padang
Panjang dilingkar bukit,
bukit dilingkar
kayu jati,
Kasih sayang
bukan sedikit,
dari mulut
sampai ke hati."
Mendengar pantun Samsu ini,
berubahlah warna muka
Nurbaya, menjadi kemerah-merahan,
lalu tunduklah ia melihat
ke tanah, akan menyembunyikan
perubahan wajah mukanya ini.
Apabila waktu itu tiada
kedengaran suara Bakhtiar minta tolong,
niscaya terbukalah rahasia hati
Nurbaya, yang menyebabkan air
mukanya jadi berubah.
Tatkala Samsu mendengar suara
sahabatnya minta tolong,
tiadalah ia berpikir panjang
lagi, lalu melompat berlari ke tempat
suara itu kedengaran, takut
kalau-kalau Bakhtiar mendapat
sesuatu kecelakaan. Apabila
sampailah ia ke tempat itu,
kelihatan olehnya, sahabat ini
sedang diserang oleh beberapa
kera yang besar-besar, yang
hendak merampas pisang yang ada
dalam tangannya.
Walaupun Samsu dengan segera
membantu memukul kerakera
ini dengan sekerat kayu, tetapi
karena banyaknya, tak
dapatlah dihalaukan sekaliannya,
sehingga terpaksa ia meninggalkan
pisang-pisangnya dan menuntun
Bakhtiar, keluar dari
kepungan penyamun yang berekor
panjang itu, lalu membawa
sahabatnya ini ke rumah
perhentian, tempat ia berdiri tadi. Di
tengah jalan bertemulah mereka
dengan Nurbaya, yang mengikut
dari belakang hendak membantu
pula. Dan sejurus kemudian,
keluarlah Arifin dari dalam
semak-semak, berlari-lari menuju
mereka dengan menjinjing suatu
bungkusan dalam tangannya.
Tatkala ia sampai kepada mereka,
lalu bertanyalah ia dengan tergopoh-
gopoh, "Siapa yang
berteriak? Ada apa?"
Setelah diceritakan oleh Samsu
hal Bakhtiar diserang oleh
kera-kera itu, tertawalah ia
gelak-gelak seraya menekan perutnya,
karena tiada tertahan geli
hatinya. Walaupun ia sangat lelah
karena berlari-lari, tiada
dirasainya juga kelelahannya itu, karena
tertawa. Akan tetapi Bakhtiar
tiada mengindahkan ceinooh
Arifin ini, istimewa pula karena
takutnya belum hilang.
"Memang telah kusangka,
bahwa panglima perang kita ini,
lebih berani berkelahi dengan
makanan, daripada dengan kera.
Sesungguhnya patut dadanya
dihiasi dengan bintang kulit jering,
karena gagah beraninya tiada
bertara," kata Arifin dalam tertawa
gelak-gelak itu dengan
putus-putus suaranya.
Meskipun Samsu dan Nurbaya belum
hilang debar hatinya
dan mereka sangat belas kasihan
melihat hal Bakhtiar, tetapi
tiadalah dapat ditahannya hatinya
hendak tertawa pula, mendengar
perkataan Arifin ini. Akan
menghilangkan geli hatinya
ini, pura-pura bertanyalah Samsu
kepada Bakhtiar, bagaimana
mulanya sampai diserang kera
tadi. Maka diceritakanlah oleh
Bakhtiar, bahwa dengan sengaja
dibawanya pisang sesisir, akan
diberikannya kepada kera-kera
itu. Tiba-tiba,dilihatnya beberapa
ekor kera yang besar, datang dari
segenap pihak mengelilinginya
dan merampas pisang yang ada
dalam tangannya. Bahkan ada
pula yang memanjat bahu dan
kepalanya, walaupun ia memukul
sekelilingnya. Akhirnya karena
terlalu banyak kera itu datang
dan rupa-rupanya binatang ini
makin bertambah-tambah marah,
sebab ada beberapa ekor di
antaranya yang kena pukul,
berteriaklah ia minta tolong,
takut kalau-kalau digigit penyamun
yang telah memperlihatkan giginya
dan berbunyi-bunyi itu.
"Sekalian itu karena lokekmu
juga, takut engkau sendiri
takkan beroleh pisang. Maksudmu
tentulah hendak duduk
seorang diri memakan pisang itu
di tengah-tengah kera yang
banyak itu, sebagai sekor raja
kera, yang sedang dihadapi segala
menteri, hulubalang dan
rakyatnya. Sisamulah yang akan
kauberikan kepada sekalian
rakyatmu itu. Siapa mau? Sebab
apabila telah kaumakan niscaya,
tak ada sisanya lagi; barangkali
kulit-kulitnya pun habis. Tentu
saja tak suka rakyatmu membiarkan
engkau makan sendiri. Mereka pun
ingin pula hendak
makan bersama-sama, karena
perutnya pun lapar. Coba kau
minta makan bersama-sama mereka
dengan perkataan, "Adikadikku
yang kucintai! Silakan makan
bersama-sama abangmu
yang sangat merindukan
engkau," kata Arifin dengan bersungguh-
sungguh rupanya. Tetapi tak ada
seorang pun yang
menyahut, sedang Samsu dan
Nurbaya pura-pura menoleh ke
tempat lain, supaya jangan
kelihatan tertawa.
Kerena Bakhtiar berdiam diri,
berkatalah pula Arifm, "Ada
sesuatu yang belum jelas bagiku.
Mengapa tiada kaumakan
pisang itu lekas-lekas sampai
habis? Apabila telah habis
sekaliannya masuk perutmu;
apalagi yang akan dirampas kerakera
itu? Kepada kera kau pura-pura
malu, tetapi kepada
manusia tidak."
"Untung tidak kumakan,
pisang-pisang itu," jawab Bakhtiar
yang masih ketakutan, "kalau
kumakan, barangkali perutku
dikoyak-koyaknya, akan
mengeluarkan pisang yang ada
dalamnya."
"Bukankah akan menjadi
kurang isi perutmu dan barangkali
sembuh pula engkau daripada
penyakitmu suka makan," kata
Arifin, tatkala dilihatnya
Bakhtiar belum juga marah. "Jangan
engkau kecil hati, Bakhtiar.
Apabila aku tadi ada dekatmu, tentulah
tiada akan kutolong engkau. Bukan
karena tak kasihan
kepadamu, melainkan karena sayang
aku pertunjukan yang indah
itu akan lekas habis."
"Memang engkau selamanya
begitu, pandai benar memperolok-
olokkan orang," jawab
Bakhtiar. "Tetapi apabila engkau
sendiri beroleh hal yang
sedemikian, barangkali lebih takutmu
dari padaku. Boleh jadi engkau
menangis meraung-raung.
Sedangkan mendengar suara ayahmu
sendiri, telah kaku badanmu
ketakutan, tadi malam: "
"Bukan menangis
meraung-raung," jawab Arifin dengan
menyindir, "melainkan
menyembah saja, minta ampun kepada
kera-kera itu. Aku angkat bendera
putih, tanda kalah, tunduk dan
menyerahkan diri; kalau-kalau
belas kasihan, ia kepadaku. Biarlah
turun dari raja sampai kepada
tawanan. Tak apa asal jangan
dikoyak kera."
"Ah, sudahlah! Sekarang
marilah kita pergi ke rumah perhentian
itu, karena aku berasa
lapar," kata Samsu, sebagai
hendak menghabiskan pertengkaran
ini, lalu berjalan mengajak
teman-temannya ke sana.
Setelah sampailah mereka ke rumah
itu, berkatalah Arifm,
"Sebab aku tadi tiada
melihat peperanganmu dengan kera,
perlihatkanlah sekarang,
peperanganmu dengan makanan! Ini
aku bawa sebungkus jambu Keling.
Berapa puluh dapat
kaualahkan dengan gigimu yang
tajam itu?" tanya Arifm, sambil
membuka bungkusan yang
dijinjingnya dan memperlihatkan
isinya kepada Bakhtiar, sambil
tertawa.
"Jangan dimakan begitu saja!
Marilah aku kocok dahulu
dengan gula, lada, dan garam
supaya lebih nyaman rasanya,"
kata Nurbaya.
"Tetapi lebih dahulu makan
roti," kata Samsu, "Kalau tidak,
sakit perut kelak. Apabila hari
telah panas, baharulah makan
buah-buahan ini dan rasanya pun
akan lebih sedap."
"Perut si Bakhtiar tiada
akan sakit, walaupun batu sekalipun
dimakannya, karena telah biasa
mengalahkan segala rupa
makanan, biar yang beracun
sekalipun," kata Arifin pula, yang
rupanya belum puas mempermainkan
temannya ini. Tetapi
ejekan ini pun tiada dijawab oleh
Bakhtiar, karena mulutnya baru
penuh berisi roti.
Setelah selesai makan, berkatalah
Bakhtiar, hendak pergi
membedil burung, lalu mengambil
bedil yang dibawa Samsu
tadi. Akan tetapi karena Samsu
khawatir melepaskannya sendiri,
disuruhnyalah Arifin pergi
bersama-sama. Maka tinggallah
Samsu dan Nurbaya berdua dalam
rumah itu. Nurbaya, sebab
hendak membuat rujak jambu Keling
dan Samsu akan menjaganya.
Setelah dicampur Nurbaya buah itu
dengan gula, garam, dan
lada dalam sebuah mangkuk besar,
lalu ditutupnya mangkuk ini
dan dikocoknya jambu Keling yang
ada dalamnya. Setelah
sejurus lamanya Nurbaya
mengguncang jambu itu, rupanya ia
mulai lelah digantikan oleh
Samsu. Demikianlah diperbuat
mereka berganti-ganti, sehingga
buah jambu itu empuk. Maka
diambillah oleh Nurbaya sebutir,
lalu dikecapnya.
"Sudah, Sam; terlalu empuk
pun tak enak. Cobalah engkau
kecap pula!" kata Nurbaya.
"Ya benar, telah enak
rasanya," jawab Samsu, setelah dimakannya
pula sebuah. "Tetapi baiklah
ditunggu dahulu
Bakhtiar dan Arifin."
"Tentu," jawab Nurbaya,
"kalau tidak, barangkali Bakhtiar
akan menyangka kita telah makan
lebih banyak, apabila tak
cukup bagiannya," kata
Nurbaya dengan tersenyum.
Setelah keduanya berdiam sejurus,
berkatalah Nurbaya tibatiba,
"O ya, baru kuingat janjimu
tadi akan menceritakan
perempuan dengan kucingnya dan
ayam yang bertelur emas itu.
Bagaimanakah ceritanya?"
"Benarkah engkau belum
mendengar cerita ini?" tanya
Samsu.
"Sungguh belum, Sam," sahut
Nurbaya.
"Kedua cerita itu ialah
hikayat pendek-pendek, yang
mengiaskan pepatah: Tiap-tiap
suatu yang hendak dikerjakan
atau dikatakan, haruslah
dipikirkan lebih dahulu dengan sehabishabis
pikir dan ditimbang dengan
semasak-masaknya: Berkata
sepatah, dipikirkan, supaya
jangan salah; sebab kesalahan itu
boleh mendatangkan sesal yang tak
habis. Sesal dahulu pendapatan,
sesal kemudian tak berguna.
Cerita yang pertama demikian
bunyinya:
Seorang perempuan mempunyai
seorang anak yang masih
menyusu dan seekor kucing yang
disayanginya. Pada suatu hari,
tatkala ia hendak pergi,
ditinggalkannya anaknya di atas suatu
tempat tidur dan disuruh jaganya
oleh kucingnya itu. Ketika ia
kembali ke rumahnya, dilihatnya
kucingnya itu duduk di muka
rumahnya dengan mulutnya berlumuran
darah. Maka berdebarlah
hatinya, lalu ia berlari-lari
masuk ke tempat tidur anaknya. Di
sana dilihatnya anaknya telah
mati dan badannya pun penuh
darah pula. Oleh sebab pada
sangka perempuan itu, tentulah
kucing ini yang membunuh anaknya,
dengan tiada berpikir
panjang lagi, diturutkannyalah
nafsu marahnya, lalu dipukulnya
kucingnya ini sampai mati. Akan
tetapi tatkala diangkatnya
mayat anaknya, dilihatnya di
bawah anaknya ini ada seekor ular
yang sangat bisa, telah mati
digigit kucingnya tadi. Rupanya ia
berkelahi dengan ular itu, karena
hendak membela anak tuannya.
Setelah mati ular itu duduklah ia
di muka rumah, menunggu
kedatangan tuannya, seakan-akan
hendak memberitahukan mara
bahaya ini.
Di situ menyesalnya perempuan
tadi dengan sesalan yang
amat sangat, karena sekarang
bukannya anaknya saja yang mati,
tetapi kucingnya yang amat setia
dan dikasihinya hilang pula."
"Tentu saja kesalahan yang
sedemikian sangat menyedihkan
dan menyusahkan hatinya, dengan
sesalan yang tiada berkeputusan,"
kata Nurbaya dengan terpikir dan
sedih rupanya.
"Cerita ayam yang bertelur
emas itu, lebih-lebih menjadi
ibarat bagi mereka yang loba dan
tamak," kata Sam. "Demikian
hikayatnya:
Seorang peladang mempunyai ayam
betina beberapa ekor.
Pada suatu hari seekor daripada ayamnya
itu bertelur emas.
Bagaimana, besar hati si
peladang, tentulah dapat kaumaklumi,
Nur. Karena lobanya, hendak lekas
kaya, disembelihnya ayam
itu. Pada sangkanya, tentulah
dengan sekaligus akan diperolehnya
sekalian telur emas yang ada
dalam perut ayam itu. Akan
tetapi apa kata? Perut ayam itu
isinya sebagai isi perut ayam
yang biasa juga dan sebutir telur
emas pun tak ada dalamnya.
Jika ditunggunya dengan sabar,
mungkin hari kedua ayam itu
bertelur emas pula. Sekarang
ayamnya telah mati dan pengharapannya
telah putus."
"Harus begitu hukuman orang
yang tamak sedemikian,"
jawab Nurbaya. "Jika tiada
dibunuhnya ayamnya, barangkali
diperoleh setiap hari sebutir
telur emas."
"Barangkali," jawab
Samsu. "Tetapi Nur, sejak kita sampai
kemari, belum kita pergi ke
mana-mana. Tiadakah ingin hatimu
hendak bermain-main dan
berayun-ayun di buaian itu?"
"Tentu," jawab Nurbaya,
"asal engkau yang mengayunkan
aku."
"Memang, siapa lagi. Arif
dan Tiar tak ada di sini. Asal suka
saja engkau, berapa lama pun aku
ayunkan," kata Samsu pula,
lalu pergi bersama-sama Nurbaya
ke tempat sebuah buaian
kawat besi, yang diikatkan pada
dua buah tiang kayu, yang tinggi
dan kukuh.
"Tetapi jangan keras-keras
kauayunkan aku, Sam!" kata
Nurbaya, sambil duduk di atas
ayunan itu.
"Bagaimana sukamu
saja," jawab Samsu.
Setelah sejurus lamanya
berayun-ayun itu, tiba-tiba berteriaklah
Nurbaya, "Ada kapal api di
laut! Kelihatan dari atas ini."
Dengan segera dihentikan Samsu
buaian itu, lalu keduanya
mencari sesuatu tempat yang
tinggi, untuk melihat kapal yang dikatakan
Nurbaya tadi. Sesungguhnya, di
laut kelihatan sebuah
kapal api, yang rupanya baru
keluar dari pelabuhan Teluk Bayur,
berlayar dengan tenangnya menuju
ke utara. Asapnya yang telah
tebal dan hitam mengepul di
udara.
"Ke manakah perginya kapal
itu, Sam?" tanya Nurbaya.
"Tentulah ke Aceh dan
Sabang, barangkali singgah juga ia di
Sibolga," jawab Samsu.
"Kemudian ke mana
terusnya?" tanya Nurbaya pula.
"Kembali pula kemari, lalu
ke Jakarta. Bolak-balik saja
kerjanya, membawa penumpang dan
muatan dari selatan ke
utara," jawab Samsu.
"Barangkali dengan kapal itu kau kelak
pergi ke Jakarta," kata
Nurbaya. Mendengar perkataan ini, bertukarlah
wajah muka Samsu, dari riang
menjadi muram dan termenunglah
ia berapa lamanya, tiada
berkata-kata. Nurbaya
sangat heran melihat hal
sahabatnya yang sedemikian itu, lalu
bertanya, "Mengapa kau
tiba-tiba berdiam, Sam? Kurang enakkah
badanmu?"
"Bukan, Nur. Hanya sebab
engkau tadi menyebut nama
negeri tempat aku akan pergi,
tiga bulan lagi," jawab Samsu.
"Pada sangkaku hatimu besar,
pergi ke Jakarta," kata
Nurbaya.
"Tentu, Nur, tentu! Karena
di sanalah aku akan melihat ibu
negeri Indonesia ini, kota yang
sebesar-besarnya dan sebagusbagusnya,
dalam Tanah Air kita. Dan di
sanalah pula aku akan
beroleh pelajaran yang akan
menjadikan aku seorang yang
berilmu. Tetapi... berat sungguh
hatiku akan meninggalkan kota
Padang ini, tanah lahirku, tempat
tumpah darahku, kampung
halamanku. Karena di sinilah ada
ayah-bundaku, kaum keluargaku,
serta handai tolanku; sedang di
sana belum kuketahui dengan
siapa aku akan bersama-sama dan
betapa mereka itu. Sampai
kepada waktu ini aku biasa
diperlindungi orang tuaku; tetapi di
sana, tentulah aku akan hidup
seorang diri."
"Tentu saja, Sam. Memang tak
mudah bercerai dengan ibubapa,
handai tolan dan teman sejawat.
Tetapi pada sangkaku
kecanggunganmu itu tiada berapa
lama. Tiap-tiap permulaan
biasanya susah. Akan tetapi
apabila telah sampai engkau ke
Jakarta kelak, tentulah akan
hilang juga segala kesusahanmu,
dirintang penglihatan dan pendengaran
yang indah-indah.
Barangkali pula lekas engkau
beroleh ibu-bapa, sahabat kenalan
yang baru, sehingga
bertambah-tambah lekaslah pula engkau
lupa kepada kami," kata
Nurbaya sambil tersenyum dan
memandang kepada Samsu.
"Jika rindumu itu tiada
hendak hilang, baiklah kaulipur
hatimu dengan pikiran yang
begini, "Aku ada di Jakarta ini untuk
sementara, menuntut pelajaran
yang akan memberi kepandaian,
pangkat, dan gaji yang besar
kepadaku; oleh sebab itu pikiranku
tak boleh tergoda oleh yang lain.
Apabila telah sampai maksudku
itu kelak, tentulah aku segera
dapat pulang kembali, bertemu
dengan sekalian yang
kucintai."
Ingatlah pantun:
Jika ada sumur
di ladang,
tentu boleh
menumpang mandi.
Jika ada umurku
panjang,
tentu boleh
bertemu lagi.
Gunung dan lembah yang tiada
dapat bertemu, tetapi
manusia, asal ada hayat di
kandung badan, tentulah akan berjumpa
juga. Sedangkan ikan di lautan,
asam di daratan, bertemu
dalam kuali," kata Nurbaya
dengan bermain-main, karena pada
sangkanya, pura-puralah Samsu
berbuat sebagai bersusah hati,
sebab akan pergi ke Jakarta itu.
"Barangkali sangkamu, aku
pura-pura berbuat susah, karena
akan pergi ke Jakarta itu,"
kata Samsu pula, "tetapi sesungguhnyalah
sangat khawatir hatiku
meninggalkan...."
Hingga ini Samsu berhenti,
sebagai tak berani menyebut
nama orang yang dikhawatirkannya
itu.
"Meninggalkan siapa,
Sam?" tanya Nurbaya. "Adakah orang
di sini tempat hatimu
tersangkut?"
"Meninggalkan engkau,
Nur," jawab Samsu, terus terang.
"Aku?" tanya Nurbaya
pula, seakan-akan heran.
"Ya," jawab Samsu
dengan pendek.
Nurbaya termenung mendengar
pengakuan ini, lalu menundukkan
kepalanya ke tanah, sehingga
tiadalah dapat dilihat,
bagaimana warna mukanya pada
waktu itu.
"Jangan engkau salah sangka,
Nur! Dengarlah, apa sebabnya
hatiku khawatir meninggalkan
engkau. Telah beberapa hari aku
digoda oleh suatu pikiran yang
tak baik," kata Samsu.
"Dari mana datangnya pikiran
yang sedemikian?" tanya
Nurbaya pura-pura tersenyum, akan
melenyapkan perubahan
mukanya yang menjadi kaca
hatinya.
"Bagaimana aku takkan
khawatir," sahut Samsu. "Pada
malam Jum'at yang telah lalu, aku
bermimpi: rasanya aku mendaki
Gunung Padang ini.
Tatkala sampai ke atas ini,
tibalah aku rasanya di kota Jakarta
yang ramai dan besar itu. Di
tengah-tengah kota ini adalah
sebuah menara yang tinggi.
Seorang tua berkata kepadaku, "Hai
Samsu, jika engkau hendak
mencapai maksudmu, naiklah
menara ini."
Tatkala aku hendak menaiki menara
ini, tiba-tiba kelihatanlah
olehku, engkau mengikut dari
belakang, seorang diri. Oleh
sebab itu kutunggulah engkau,
supaya dapat naik bersama-sama.
Tiba-tiba datanglah Engku Datuk
Meringgih menghelakan
engkau ke bawah, lalu
didukungnya, dibawanya lari. Karena
panas hatiku, kurebutlah engkau
dari tangannya, sehingga berkelahilah
aku dengan dia. Oleh sebab ia
lebih kuat dari padaku,
dapatlah aku ditangkapnya dan
dilontarkannya ke, bawah
gunung ini. Engkau pun, sebab
membantah, tiada mengikut
kemauannya dijerumuskannya pula
ke bawah. Maka jatuhlah
kita berdua terguling-guling ke
kaki gunung ini, masuk ke dalam
suatu lubang yang besar, sehingga
tak dapat keluar lagi. Ketika
itu terbangunlah aku dengan
sangat terperanjat. Badanku basah
kena keringat. Semalam-malaman
itu tiadalah dapat aku tidur
lagi dan sejak waktu itu, mimpi
ini tiadalah hendak hilang dari
pikiranku."
"Wahai! Rupanya inilah
sebabnya engkau kulihat terkadangkadang
termenung seorang diri,"
kata Nurbaya. "Tetapi janganlah
engkau terlalu percaya akan mimpi
itu, karena mimpi
permainan pikiran, tiada
selamanya benar; acap kali bohong, tak
ada takbirnya. Melainkan sejak
sekarang marilah kita bersamasama
menadahkan tangan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa
untuk memohonkan kepada-Nya
supaya mudah-mudahan dipelihara-
Nya juga kita di dalam segala
hal," kata Nurbaya pula,
sebagai pelipur hati Samsu. Akan
tetapi, meskipun ia berkata
sedemikian, hatinya tiada senang
juga, karena sesungguhnya
ganjil mimpi Samsu ini pada rasa
hatinya.
Tatkala itu kembalilah Bakhtiar
dan Arifin tergopoh-gopoh
dari perburuannya, sebagai ada
sesuatu yang dilarikannya.
"Apa yang dapat?" tanya
Nurbaya.
"Sst, diam! Jangan
ribut!" kata Bakhtiar, sambil menyembunyikan
bedilnya."
"Bakhtiar membedil
orang," kata Arifrrt perlahan-lahan.
"Membedil orang?" tanya
Samsu dengan terperanjat.
"Ya," jawab Arifin,
"tetapi nantilah kuceritakan kepadamu.
Sekarang mari kita pulang
lekas-lekas!"
"Makanan itu
bagaimana?" tanya Nurbaya.
"Kita makan cepat-cepat dan
kemudian kita pulang dengan
segera," jawab Arifin.
Tatkala mereka berkata-kata itu,
Bakhtiar menyembunyikan
bedilnya dalam rumput-rumput,
kemudian datang hendak makan
bersama-sama. Tetapi walaupun ia
sangat lapar, tiadalah dapat
juga makan dengan sepertinya,
karena ketakutan. Mukanya
pucat, tangannya gemetar.
Setelah selesai makan lalu
Bakhtiar membungkus bedilnya
dengan kelopak lopak pisang,
supaya jangan kelihatan dari luar.
Kemudian menurunlah mereka
bergesa-gesa.
Tatkala sampai ke pangkal
pendakian, berhentilah mereka
sejurus di kedai, untuk
melepaskan lelahnya. Tiada lama
kemudian daripada itu, turunlah
dua orang serdadu dari atas
gunung ini. Seorang dari padanya
jalannya seakan-akan pincang
dan paha kirinya dipegangnya
dengan tangannya.
Tatkala Bakhtiar dan Arifin
melihat serdadu ini, bersembunyilah
mereka ke dalam kedai tadi.
Seketika lagi sampailah
kedua serdadu itu ke muka kedai
ini, lalu hendak ber-henti
pula di sana. Yang tiada pincang
bertanya, "Masih sakitkah
kakimu? Marilah kita berhenti
dahulu di sini."
"Ah, tak usah. Baik kita
terus pulang, supaya jangan terlambat
sampai ke tangsi," jawab
yang sakit. .
"Siapakah yang telah
membedilmu pada sangkamu?"
bertanya pula yang tak sakit.
"Tentulah anak-anak. Jika
dapat ia kuputar batang lehernya,"
jawab yang sakit.
Kemudian kedua serdadu itu naik
sebuah sampan, lalu
menyeberang sungai Arau.
Setelah sampai mereka ke
seberang, barulah Bakhtiar dan
Arifin berani ke luar, lalu
barkata, "Itulah dia yang kena bedilku
tadi."
"Bagaimana mulanya maka ia
sampai jadi kena? Cobalah
kauceritakan!" tanya Nurbaya
yang agak pucat mukanya.
"Aku hendak membedil burung
Merbah yang ada dalam
semak-semak dan ia tiada
kelihatan olehku, karena ia berdiri di
balik pohon kayu. Tatkala kubedil
burung itu, tiba-tiba
kedengaran olehku suara orang
berteriak, "Aduh! Apa ini?
Tolong!" Ketika itulah nyata
olehku bahwa seorang daripada
serdadu tadi telah kena bedilku.
Dengan segera aku lari
menyembunyikan diri."
"Memang ada-ada saja yang
terjadi padamu, Bakhtiar! Belum
hilang takutku, karena engkau
diserang kera, sekarang kau
tembak pula orang. Kalau dapat
engkau olehnya tadi,
bagaimana!" kata Nurbaya
seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Bukan kusengaja, Nur.
Kakinya itu kusangka dahan kayu
yang hitam, sebab badannya
tersembunyi di balik pokok kayu.
Siapakah yang 'kan dapat
menentukannya dari jauh? Tetapi
apanya yang kena, kaulihat tadi,
Nur, tatkala ia melintas di sini?"
tanya Bakhtiar.
"Paha belakangnya yang
sebelah kiri," jawab Nurbaya.
"Rupanya berdarah, lagi
sakit; sebab selalu dipegangnya pahanya
itu."
"Marilah kita pulang, sebab
hari telah setengah satu. Pak Ali
tentu telah ada dan perutku telah
lapar," kata Samsu pula.
Setelah minum air seterup seorang
segelas, menyeberanglah
keempat mereka, lalu pulang ke
rumahnya masing-masing.
.............Bersambung
No comments:
Post a Comment