Showing posts with label Cerita. Show all posts
Showing posts with label Cerita. Show all posts

Friday, August 11, 2017

Puti Ransani Turun dari Khayangan

Setelah ratusan tahun berada di khayangan Puti Ransani merasa rindu ingin kembali ke Kampung kelahirannya di Maninjau. Banyak hal yang membuat ingin segera pulang. 
Ada rasa gelisah melihat kondisi Danau Maninjau yang semakin rusak walau keindahannya tetap mempesona.
Maninjau memang selalu indah ketika dilihat dari Bukik Sakura atau dari Embun Pagi. Tetapi ketika didekati rupa nan berseri indah itu hilang, Danau Maninjau laksana gadis yang murung dalam sepi dan terus terasa semakin sepi. Gemercik airnya seakan mendendangkan kesedihan. Sedih karena ditinggalkan pergi oleh yang selama ini menemani. Semua pergi satu persatu semenjak kedatangan puluhan ribu Keramba Apung.
Anak-anak Danau sudah enggan berenang dan mandi di danau. Turis pun tak lagi betah memghabiskan waktu di Pinggiran Danau. Hampir setiap tahun ribuan ikan mati, bangkainya mengapung di permukaan air danau. Udara yang tadinya segar berubah menjadi busuk menyengat hidung. Orang-orang menutup hidung ketika melintas dan bergegas ingin segera menjauhi danau. Kaca-kaca mobil tertutup rapat sambil berlari kencang.
Bukan hanya itu, Rinuak dan Pensi pun mulai meninggalkan Danau. Rinuak mulai pergi menghilang entah kemana. Pensi mulai mencari kehidupan baru di bandar di pinggiran danau bahkan ada yang sampai ke anak-anak sungai Batang Antokan.
Jangan-jangan karena bau busuk itu, si Bunian pun mungkin telah pergi meninggalkan Istana megahnya di barisan bukit keliling Danau Maninjau. Tidak pernah ada lagi cerita tentang terdengarnya bunyi "Aguang" dari hutan di bukit itu tandanya Bunian Baralek Gadang.
Dan, mungkin pula Bujang Sambilan juga telah pergi, tidak kuat lagi menghuni Danau karena airnya tidak lagi bersih.
Ah,... tetapi bukan itu yang utama membuat Puti Ransani ingin segera pulang. Dia ingin mencari cintanya yang dulu hilang, kasiah tak sampai. Mencari Si Giran tunangannya, anak tungga babeleang Mamak Kanduangnya Datuak Limbatang.
Cinta Puti Ransani yang yatim piatu kepada Si Giran tak sampai ke pelaminan karena terhalang restu kakak-kakak kandungnya, Bujang Sambilan. Puti Ransani dan Si Giran difitnah telah melanggar adat.
Keduanya bersumpah di tepi kawah Gunung Tinjau bahwa mereka tidak melakukan apa yang dituduhkan Bujang Sambilan. Setelah itu Puti Ransani dan Si Giran melompat kedalam kawah tetapi tubuh keduanya malah melayang, lalu dibalut awan dan membubung ke angkasa.
Meninggalkan Gunung Tinjau yang kemudian meletus dan akhirnya berubah menjadi kawah besar dan kelak menjadi Danau Maninjau yang dihuni sembilan ekor Ikan Rayo jelmaan Bujang Sambilan.
Pada hari yang sangat cerah Puti Ransani turun dari khayangan. Tempat yang pertama dia tuju adalah rumah mamaknya Datuk Limbatang.
Kedatangannya disambut haru oleh Datuk Limbatang.
"Uda Giran dima kini Tek?"; tanya Puti Ransani kepada isteri mamaknya.
"Etek tidak tau Sani, sejak kejadian kalian dipuncak Gunuang dulu.... Si Giran tidak pernah lagi kembali pulang!". Jawab isteri mamaknya dengan suara bergetar.
"Di sebelah barat danau ini ada kampung bernama Sigiran, pergilah kesana, mungkin disana ada petunjuk keberadaan Si Giran!"; sambung Datuk Limbatang.
Puti Ransani lalu mohon pamit akan pergi ke Sigiran. Tetapi sebelum Puti Ransani melangkahkan kaki meningalkan rumah Datuk Limbatang terjadi kehebohan. Banyak orang berkumpul dan bertanya kepada Datuk Limbatang siapa perempuan yang baru saja datang itu.
"Puti Ransani kemenakan kandungku, tunangan anakku Sigiran!"; jawab Datuk Limbatang.
"Bukankah si Sani telah meninggal ketika melompat ke dalam kawah bersama Si Giran!"; ujar seorang dengan nada heran.
"Tidak, saya tidak meninggal... saya diterbangkan ke khayangan, sekarang saya turun mencari Uda Giran!"; Puti Ransani berkata sambil berdiri ditengah kerumunan orang.
***
Ketika kemarin heboh-heboh ada benda aneh jatuh dari langit dan mendarat di Sungai Batang - Maninjau, mungkin ada yang berimajinasi macam-macam.... Alien, serpihan pesawat atau apalah. Saya entah kenapa berimajnasi itu "kendaraan" Puti Ransani yang turun dari khayangan.... mencari Uda Giran nya. Mencari cintanya yang tak kesampaian. Hehehe
Lubuk Basung, 19 Juli 2017

Status Facebook

Cerita Reuni : Pulang
Ketika sedang berkumpul (reuni) dengan kawan semasa sekolah, saya menanyakan motivasinya yang setiap tahun pulang kampung. Bahkan bukan sekali setahun, bukan setiap hari raya tetapi kadang sampai 2 - 3 kali setahun. Padahal jarak tempuhnya lebih dari 30 jam !
"Mancaliak rang gaek", jawabnya. Dan selanjutnya dia bercerita;
"Ibuku sudah semakin tua, 79 tahun umur beliau. Tiga tahun belakangan kondisi beliau "makin coyoh" semakin renta. Setiap melihat beliau ada rasa khawatir apakah tahun depan, hari raya tahun depan masih bisa bertemu beliau.
Saya sudah kehilangan Ayah, rasanya sangat menyedihkan. Sampai saat ini ketika berada di pusara Ayah, selalu ada rasa sedih karena tidak sempat menyenangkan hati beliau.
Saya tidak ingin itu terjadi lagi terhadap Ibu. Perjalanan pulang 30 jam itu terasa sangat jauh, sangat jauh dan lama. Saya ingin segera bertemu Ibu. Momen ketika beliau tersenyum menunggu didepan pintu itu yang membuat rindu. Terlihat beliau sangat senang melihat saya pulang"
"Ya, pulanglah selagi bisa pulang dan temui ibu, peluk dan senangkan hati beliau, ciumi kaki beliau sembari memohon maaf!" Kata kawan yang lain menanggapi.
"Saya merindukan kesempatan itu tapi sudah tidak bisa karena ibu saya telah tiada!!. Kesempatan itu tidak bisa diukur dengan uang, tidak bisa !
Mungkin biaya untuk pulang bertemu ibu itu bisa lebih dari 5 atau 10 juta dan kita berpikir lebih baik uang itu dikirim saja untuk beliau. Jika itu yang kita lakukan maka bukan hanya sedih kehilangan tetapi juga sesal yang kita rasakan dipusara beliau nantinya"
***

Lubuk Basung, 1 Juli 2017

Konon Ceritanya Kita Bersaudara
Menyikapi kondisi kekinian, tergerak juga hati untuk berciloteh.
Sepertinya kita terjebak pada kondisi yang Ndak Berkelincitan, Bertea-tea, Ndak Sandereh!! Saling benci tak berkesudahan. Padahal kita sering menonton bahwa Muhammad Ali, Mike Tyson dan para Petinju lainnya ketika saling memukul untuk mengalahkan atau menjatuhkan lawannya setelah pertandingan usai dan lawannya sudah kalah bahkan K.O sekalipun mereka selalu merangkul dan memeluk l
awannya. 
Tetapi kita sepertinya tidak, yang disudut sana membenci yang di sebelah sini. Kelompok itu membenci kelompok lainnya. Saling membenci dan saling menghujat.
Padahal, konon ceritanya, kita semua sesama manusia yang ada di Planet Bumi ini Badunsanak. Berdunsanak dengan Raja Salman yang kaya raya dari Arab, berdunsanak dengan Bangsa Jerman yang Juara Dunia Sepakbola. Juga berdunsanak dengan Ahok yang China. Apalagi dengan Rizieq Shihab atau Syafii Maarif, kita berdunsanak. Berdunsanak karena di Arab, di China ataupun di Pariaman air laut itu konon sama rasanya, asin !
Konon ceritanya, kita badunsanak karena Inyiak Moyang kita adalah sama yaitu Iskandar Zulkarnain. Satu garis keturunan !
Beliau mempunyai tiga orang anak yaitu; yang Gadang bernama Mararajo Alif moyangnya Raja Arab, yang tengah adalah Inyiak-nya si Ahok yang bernama Pangeran Zi Pang. Dan yang si Bungsu bernama Maharajo Dirajo yang merupakan Inyiak Urang Awak, inyiak dari Buya Syafii Maarif, inyiak Denai juga dan inyiak awak sadonyo.
Oleh karenanya, yang membedakan itu hanya Suku, Agama, warna kulit. Sementara Otak, Lagak, Selera dan Perangai kita "salin-basalin" Ada Habibie, yang ber-Otak Jerman, ada urang awak yang berlagak orang Arab, ada urang awak yang berperangai seperti orang China. Bahkan ada yang melebihi perangai buruk bangsa lain, seperti ungkapan; "ateh lo dari Bulando mintak tanah". Begitu sebaliknya.
Sudahlah, jangan diperturutkan juga sakit hati itu, nanti benar-benar sakit. Hahaha !

Lubuk Basung, 10 Mei 2017

Thursday, April 6, 2017

Cerita : Uda, I Love You Too !! (part 2)

Malamnya, mereka berkesempatan duduk berdua dan bercerita di teras rumah yang menghadap ke arah danau Maninjau. Keindahan Maninjau bukan hanya di siang hari. Malam hari Maninjau juga sangat mempesona. Bagai memandang hiasan cahaya yang melingkar mengelilingi danau.
Dari teras rumah itu Danau terlihat sangat dekat, dan seperti duduk di tepi danau, lampu-lampu keramba terlihat berkerlap kerlip cahaya laksana bintang yang bersenandung menemani Danau Maninjau. Tenang, sepi....damai…tidak ada riak....diam...seakan danau-pun beristirahat melepas penat. Tapi tidak dengan 2 anak manusia itu.
“Aida !” suara Irwan seperti mendesah dan berbisik.
“Ya Uda!” Jawab Aida pelan. “Ada yang ingin kusampaikan, tidak tahu apakah ini ada gunanya atau tidak”
“Apakah sama dengan yang ingin uda sampaikan di bandara ?” Aida berdebar menunggu.
Ingatan Irwan dan Aida kembali melayang mengingat pertemuan terakhir di bandara itu. Ketika sama-sama terpaku. Saling berpandangan seakan saling berusaha untuk menyampaikan sesuatu. Tetapi hanya bisa dilakukan lewat tatapan. Dan akhirnya mereka berpisah.
“Ya Aida, namun lebih banyak dari itu, ada lagi yang lain...yang aku rasakan sejak siang tadi”.
“Sampaikan lah uda !”
“Tidak tau persis apa sebab awalnya…tapi ada yang tarasa beda ketika pertama kali melihatmu, ada getar dihati, kemudian tubuh ini seperti menuruti kata hati, entah itu persepsi yang salah atau tidak.  Ada rasa takut dan malu untuk mengungkapkannya, ada pula keinginan untuk menyampaikannya, tetapi waktu kita terlalu singkat...”
“Uda, aku tahu semua itu...dari tatapan itu...ada sesuatu disana..dan bahasa tubuh uda,...”
“Ya, entah ini persepsi yang salah, ada jawaban pula dari bahasa tubuh dan perhatian darimu, dari itu aku mulai berani berharap walau masih dalam hati, ketika masa itu akan berakhir, ingin sekali mengungkapkannya...I Love You!”
Ndeeeh Udaaa, merinding mendengarnya…ndak tau mesti bagaimana.  Ini tidak boleh ada uda, tidak mungkin...terlarang. Please Uda, buang jauh jauah rasa itu…!”, Aida gemetar. Hatinya berkecamuk dan matanya berlinang.
Terlarang dan tidak mungkin memang! Tapi tidak akan aku buang, melainkan akan disimpan jauh-jauh dalam hati karena baru kali ini merasakannya tapi ini pula yang terjadi” Irwan mengalihkan pandangannya ke arah danau, menatap jauh.
“Biarlah ini menjadi kenangan ketika nanti kembali ke Gorontalo. Mungkin aku akan cerita ke ayah bahwa keinginan beliau untuk bermenantukan gadis Minang hampir saja terlaksana” Lanjut Irwan.
Simpanlah kalau Uda ingin menyimpannya. Akupun tidak kuat menahan hati sejak siang tadi, pikiranku berkecamuk, mengapa begini. Sejak berpisah itu, ada rasa rindu ingin bertemu lagi tetapi tidak menyangka akan secepat ini dan seperti ini.  Entahlah uda...sesak dada ini terasa”, Aida berhentik sejenak, menarik nafas panjang.
“Mudah-mudahan uda mendapat mendapatkan si Upiak (Gadis Minang) sesuai harapan Ayah”
“Aida, suruh lah Udamu itu istirahat, besok pagi-pagi Mak Datuak menyuruh kerumahnya di Sungai Batang. Pulang dari situ, ajak lah Udamu keliling danau!” terdengar suara Nursidah setengah berteriak dari dalam rumah.
Aida dan Irwan saling berpandangan, kemudian Irwan melihat jam ditangannya, pukul 10 malam.
“Istirahat lah Uda, besok kita kerumah Mamak !”
***
Pagi-pagi, dengan memakai motor yang biasa dipakai Aida kerja di Kantor Pemerintah Daerah mereka pergi ke rumah Mamak Menan yang berjarak sekitar 3 km dari rumah Aida.
Irwan membawa motor itu dan Aida berbonceng di belakang. Beberpa kali Irwan tergagap karena jalan yang berliku dan menurun tajam. Beberapa kali pula Aida beteriak kecil, “Awas Udaa!!” sambil berpegangan pada bahu Irwan.  Hampir saja Irwan hilang konsentrasi, bukan karna jalan itu tetapi karena sentuhan Aida. Darahnya berdesir. Aida cepat menyadari dan segera menurunkan tangannya dari bahu Irwan. Tetapi kondisi jalan yang menurun tajam, mau tidak mau tangannya harus memegang punggung Irwan,kalau tidak maka badannya kan terdorong kedepan.
Cuaca mendung seperti mauhujan lebat. Angin bertiup kencang. Tidak sampai 10 menit mereka sampai di rumah Mamak Menan. Disana Irwan diperkenalkan kepada isteri dan anak-anak Mamak Menan. Mamak Menan mempunyai 3 orang anak yang kesemuanya perempuan tapi yang ada dirumah hanya 2 orang. Anak perempuannya yang sulung tinggal di Jakarta ikut suaminya. Yang nomor baru tamat sekolah kebidanan, dan yang bungsu kelas 3 SMA. Setelah bersalam-salaman Isteri dan kedua anak Mamak Menan serta Aida langsung menuju dapur.  Sementara Irwan dan Mamak Menan duduk diruangan tamu.
Baru sebentar berbicang-bincang, terdengar suara Aida,
“Mamak, Da Irwan..nasi sudah terhidang, silakan makan”
“Ayo Irwan, mari kita makan” sambung Mamak Menan sambil berdiri dan berjalan ke arah meja makan yang ada di ruangan tengah rumah itu.
Irwan pun berdiri mengikuti Mamak Menan. Irwan duduk dikursi kosong sebelah kanan Mamak Menan. Disampingnya duduk Aida. Pas didepannya duduk anak menan yang baru tamat sekolah kebidanan.
“Makan lah Irwan, ada panggang ikan danau, goreng bada masiak jo palai rinuak, jarang-jarang ada di Sulawesi !” ujar isteri Mamak Menan.
“Iyo Etek!”, sahut Irwan sambil mengangguk pelan.
Irwan makan dengan lahap, dua kali nambah. Masakan itu enak sekali dan terasa pas sekali di lidahnya. Mungkin karena dia keturunan Minang dan mungkin juga karena isteri Mak Menan pintar memasak.
Ketika hampir selesai makan, terdengar hujan mulai turun. Makin lama makin lebat. Irwan dan Aida saling berpandangan.
“Ada apa?” tanya Mamak Menan ketika melihat Irwan dan Aida saling bertatapan begitu.
“Ini Mamak, tadi rencananya setelah dari sini, Aida akan mengajak Uda Irwan keliling Danau...ke Bayur, ke Muko-muko, Tanjung Sani....kan besok Da irwan akan balik Mamak!”, sahut Aida.
“Oo...tunggu saja...mudah-mudahan hujan reda, baru berangkat kalian!”
“Iya mamak!” sahut Aida dan Irwan hampir bersamaan.
***
Ternyata hujan tidak reda-reda juga. Langit bahkan semakin kelam seakan akan menumpahkan semua air yang ada dilangit. Hingga pukul 4 sore Irwan dan Aida terkurung di rumah Mak Menan. Irwan resah karena hasratnya untu berkeling danau berdua dengan Aida tidak tercapai. Dan pembicaraan di rumah Mamak Menan pun mulai terasa membosankan karena topiknya sudah berulang-ulang. Keresahan Irwan itu diketahui oleh Aida, sesekali Aida tersenyum sambil menatap kepada Irwan seakan memberi tahu,”hari hujan, tidak mungkin kita pergi”.
Irwan seakan mengerti isi tatapan Aida itu dan itu membuat hatinya lega apalagi Aida tersenyum sangat manis seperti ketika saat pertama kali melihat senyum itu.
Setelah shalat Asyar, hujan mulai reda. Dan kesempatan itu dipergunakan Irwan dan Aida untuk pamit. Tetapi pamit untuk kembali pulang karena tidak mungkin lagi pergi berkeliling danau, sudah sore dan cuaca tidak mendukung.
Baru saja sampai dirumah hujan kembali turun dengan deras. Bahkan semakin deras bunyinya. Irwan dan Aida kembali duduk di teras memandang ke Danau yang tidak terlihat jelas karena curah hujan yang deras.
Sudah beberapa saat berlalu keduanya masih saling diam. Irwan menatap jauh ke arah Danau, entah apa yang dilihatnya karena tidak ada yang bida dilihat kecuali hujan.  Bahasa tubuhnya menyuratkan kegelisahan.
Aida sedari tadi memperhatikan perubahan sikap Irwan. Berkali-kali Aida berusaha meberikan senyuman agar Irwan juga tersenyum tapi balasan senyum Irwan menggambarkan kesedihan.
“Udaa...!
“Ya Aida..” jawab Irwan sambil menoleh kepada Aida, tetapi kemudian kembali menatap lurus kedepan.
“Cerita lah uda...jangan hanya diam!”

“Cerita apa Aida,...besok aku pergi, pulang...dan mungkin kita tidak kan betemu lagi!”

Bersambung.....

Tuesday, March 14, 2017

Cerita : Uda, I Love You Too !!

“Wow! very lovely lake!!, luar biasa indahnya...” guman Irwan ketika memandang keindahan Danau Maninjau dari Kelok 44 di Ambun Pagi. Dikelilingi gugusan bukit hijau yang menyegarkan mata. Air danau nampak tenang, berwarna biru terkena pantulan langit, seolah menyimpan misteri yang dalam. Keindahannya jauh lebih memukau dibandingkan Danau Toba yang kemarin dia lewati. Bahkan sangat jauh lebih indah dari Danau Limboto nun di “kampungnya” di Gorontalo.
Pantas saja Presiden Bung Karno sampai mengambarkan keindahan danau Maninjau dengan sebuah pantun, “Jika makan arai Pinang, makanlah dengan sirih yang hijau, jangan datang ke Ranah Minang, kalau tak mampir ke Maninjau."
Bagi Irwan ini adalah perjalanan “pulang kampung” setelah hampir dua puluh tahun tidak pernah datang lagi ke kampungnya, kampung kelahiran mendiang Ibunya. Ya, terakhir dia pulang ke Maninjau saat masih berusia 4 tahun. Tidak lama setelah Ibundanya meninggal karena kecelakaan di Medan. Dia kemudian dibawa oleh Ayahnya pulang ke Maninjau. Setelah itu ayahnya pamit kepada keluarga ibunya untuk membawa anak tunggalnya Irwan ke Gorontalo, kampung ayahnya. Disana dia dibesarkan sampai dewasa oleh Ayahnya.
Ketika sedang asyiik menikmati keindahan itu, dia teringat seorang gadis. Aida ! dimana kah gadis itu berada, dimanakah kampungnya di Sumatera Barat ini?. Gadis yang baru dia kenal 2 hari yang lalu ketika naik pesawat dari Surabaya menuju Jakarta. Dalam perkenalan singkat itu Irwan terpesona dengan kecantikan dan keanggunan gadis itu. Berkali-kali Irwan mencoba menghubungi tetapi tidak pernah menyambung, tidak aktif atau diluar jangkauan.
Aida, ah tatapannya ketika akan berpisah di Terminal 3 Ultimate Soekarno Hatta membuat tubuh Irwan bagai terpaku kelantai. Langkahnya terasa berat beranjak. Berkali-kali Irwan menoleh ke arah Aida, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi terasa tidak mungkin.  Diwajah Aida juga terpancar hal yang sama dengan Irwan, ada rasa berat melangkahkan kaki meunju pesawat yang akan membawanya ke Padang. Sementara Irwan harus melanjutkan perjalanannya ke Kualanamu Medan. Ah, kenapa pesawat ini tidak delay saja. 1 jam.. 2 jam, mungkin itu cukup untuk kembali bercerita. Bukan bercerita, tetapi mengungkapkan apa yang dirasakan saat ini.
Perlahan Aida menjauh, hilang dibalik sekat-sekat gedung bandara itu. Tinggal Irwan sendiri masih berdiri kaku. Pikirannya berkecamuk. Tidak tahu harus bagaimana.
Dengan gontai Irwan menuju bangku-bangku tempat menunggu keberangkatan. Didekat “gate” keberangkatan pesawat menuju Medan. Pesawat Irwan masih 1,5 jam lagi. Irwan mencoba menelpon nomor yang diberikan Aida tadi. Tetapi sudah tidak aktif. Irwan gelisah, berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Di salah satu sudut Irwan kembali duduk, kemudian membuka tas dan mengambil koran. Membacanya. Tapi hatinya tetap tidak tenang, pikirannya terus membayangkan gadis itu.
“Di Maninjau nyo dima Uda ?’, Irwan dikagetkan pertanyaan sopir minibus itu.
“Kampuang Dadok Sungai Batang”, jawab Irwan. Lamunannya buyar, ternyata dia sudah hampir sampai di tujuan. Dari rambu jalan di tiap tikungan tertulis Kelok 2. Tidak berapa lama sampai pada Kelok 1. Akhirnya mobil itu berbelok menuju arah Sungai Batang.
Sampai di Kampuang Dadok, Irwan tidak kesulitan mencari alamat yang dituju karena kampung itu tidak begitu ramai. Dengan sekali bertanya, ia mendapatkan petunjuk yang jelas.
 *000* 
Assalamu’alaikum !
“Waalaikum salam, sia tu ?”, tanya suara di atas rumah. Tidak lama mucul wajah perempuan dari balik pimtu.
“Saya tek, Irwan !” sambil bergegas membuka sepatunya.
“Ondeeh Irwan, naiak lah...ado Mak Datuak disiko kini,...”
“capek kironyo ang tibo, etek sangko minggu bisuak”, sambung eteknya yang bernama Nursidah itu sambil membimbing tangan Irwan.
Dirumah itu Irwan disambut hangat keluarganya itu, Eteknya, Suami Etek, dan Mak Menan yang telah diangkat menjadi Datuk Kepala Suku. Itu memang bukan rumah Ibu kandungnya. Rumah ibunya telah lama roboh karena tidak pernah lagi ditinggali sejak neneknya meninggal dan ibunya ikut ayahnya ke Medan 25 tahun lalu. Ibunya merupakan anak satu-satunya alias tungga babeleng dari neneknya.
Berdasarkan cerita Ayah Irwan, Etek Nursidah itu merupakan anak dari adik neneknya, mereka ada bertiga bersaudara, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Eteknya itu mempunyai anak 4 orang, 2 pasang.
Setelah dihidangkan air teh hangat, Irwan shalat asyar di ruangan tamu rumah itu. Ketika selesai Shalat, Irwan berdoa. Berdoa untuk arwah ibunya yang terkubur di Medan. Dari kampung kelahiran ibunya itu dia panjatkan doa.
“Assalamu’alaikum !”, terdengar suara mengucapkan salam dari pintu.
Serentak yang ada dalam rumah itu menjawab salam. Irwan pun menoleh ke arah pintu masuk. 2 orang perempuan nampak memasuki rumah sambil membawa kantong berisi belanjaan. Yang satu berusia sekitar 20 tahun dan satu lagi sekitar 10 tahun.
Alangkah kagetnya Irwan!. Dia seperti bermimpi, tubuhnya kembali menjadi kaku seperti di bandara itu, wajahnya tiba-tiba jadi pucat. Seakan tak percaya pada penglihatannya. Perempuan yang baru masuk rumah itu.
Dan perempuan itu Aida ! Aida pun terpana, kantong ditangannya hampir terlepas ketika melihat Irwan. Terasa darahnya seperti terhenti mengalir.
“Aida,..Rani !! itu Irwan anak mendiang Mak Tuo Ema, baru tibo dari Sulawesi. Salami lah !” Ucap Ayahnya ketika melihat Aida seperti orang kebingungan. Rani duluan mendekati Irwan, menyalami sambil mencium tangan Irwan.
Aida dan Irwan sama-sama melangkah saling mendekati. Sama-sama mengulurkan tangan, tapi jantung mereka seperti berhenti berdetak.
“Udaa, Selamat datang dikampung!” ucap Aida ketika tangan mereka bersentuhan.
“Iyaa Aida” jawab Irwan tersenyum, seakan masih tidak percaya dengan penglihatannya.
“Aidaa, bawalah belanjaan tu kemari, mamasak lah capek, Uda Irwan kau lah lapar tu!,” suara dari dapur itu memecahkan kekakuan yang terjadi antara Aida dan Irwan.
Aida telah pergi ke dapur, Irwan kembali duduk bersama Ayah Aida dan Mak Datuk Menan. Bercerita tentang keadaan Ayahnya di Gorontalo sana. Bercerita tentang pekerjaannya, sampai cerita tentang rencana kapan menikah.
Amboi...menikah? Pikirannya belum pernah sampai kesana, pikirannya hanya kapan dapat bertemu lagi dengan gadis yang mempesona itu, Aida. Dia memang telah berniat untuk mencari Gadis itu setelah urusan pulang kampungnya selesai, tetapi HP Aida tidak pernah lagi bisa dihubungi. Oo..rupanya disini memamg belum ada signal. Kalo mau menelpon harus pergi ke pasar Sungai Batang.
Dan tanpa diduga, pucuk dicinta ulam tiba, gadis itu bersua dengannya. Namun Irwan masih tidak tenang, diantara rasa senangnya bertemu dengan gadis yang diangan-angankannya. Dia sadar, bukan pertemuan seperti ini yang dia angankan. Gadis itu adalah saudara sesuku, adiknya, masih satu keturunan yang sangat dekat. Oh mengapa situasinya begini sulit.
Didapur. Aida juga resah. Berkali-kali kentang yang sedang dia pegang terlepas, namun dia terus mengupasnya, terlepas lagi. “Hati-hati Aida, beko luko tangan tu!, apo nan sadang bapikiakan?” peringatan dan pertanyaan ibunya itu kontan membuat dia terkejut. Mukanya memerah.
“Ndak ada mak!”, Dia kembali berusaha konsentrasi. Tidak ada, bohong!. Hatinya bimbang, memikirkan kejadian 2 hari yang lalu di mulai dari peasawat dari Surabaya, di Bandara Soekarno Hatta. Seorang Pria yang memikat hatinya walau pertemuan itu baru pertama kali. Lelaki yang berwajah tampan, berbudi, mempunyai tutur kata dan pembawaan yang sopan. Ah, lelaki yang pantas diidamkan menjadi junjungan sampai hari tua.

Dan kini dia bertemu lagi dengan laki-laki itu. Ternyata laki-laki itu adalah saudaranya, sasuku, satu keturunan. Oh, hidup ini luar biasa dan tidak bisa diduga.

Bersambung...

Saturday, August 27, 2016

Sipatokah

Manjua gantang balilih
Mambali gantang balanjuang
Gadang batuka jo nan ketek, nan ketek maimbuah pulo...nan kalamak untuk nyo surang,
Ciluah...., diharago lai samo tapi timbangan dimainkannyo
Takaran gantang diagiahnyo ganja
Sitokar baganti ganti, nan duduak di cc nan itu juo...mangutuak panumpang sa oto
Bak si lupak raok di buruan, cangok makan ka kanyang surang, sia mandakek kanai birunguih kalua saiang panjangnyo ....padohal basamo mangko ka rabah.
Dalam maangkek Dubalang jo Manti..
Walau mamatuih kapandaian, utak jalang karajo sungguah tapi ndak sasalero jo Sipatokah jan diharok ka tapakai...
Bialah binguang utak maampek namuah mairik aua songsang karambia rabah dipanjeknyo tapi pandai mauruik kaki Sipatokah atau santiang manjujai Ratu diangkek juo jadi Dubalang atau Manti.
Sipatokah juo bak kacang lupo jo kulik, kawan lamo disisiah dicimburui, bahkan ditundo kalua kampuang. Balupoan jaso pandayuang katiko lah tibo di subarang, lupo pulo jo jaso tanah dek manih raso tabu. Padohal mereka tu dulunyo banyak sato bajariah, basangkan bakuhampeh manaiakkan Sipatokah ka Balai Janggo.


Sumber : Rajo Sipatokah karya Yus Dt Parpatiah.

Friday, February 5, 2016

Cerita Asal Usul Danau Maninjau.



Alkisah, di sebuah daerah di Sumatera Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit...! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.  
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
* * *



Diceritakan oleh Samsuni


Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatera Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu :
siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat