Showing posts with label Refleksi. Show all posts
Showing posts with label Refleksi. Show all posts

Tuesday, November 13, 2018

“Hoe at het met jou?”


Pagi ini, imajinasi saya melayang mengenang Persahabatan Soekarno dengan Moh. Hatta. Persahabatan yang melahirkan Proklamasi Kemerdekaan, Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Dwi Tunggal dan pada akhirnya berpisah dengan mundurnya Hatta dari jabatan Wapres.

Semua orang tahu bahwa antara Soekarno dan Hatta sangat berbeda dalam banyak hal, terutama aliran pemikiran dan perfomance. Soekarno sangat stylish, blak-blakan, dan egois. Sebaliknya, Hatta sangat sederhana, lembut dan demokratis.

Hatta adalah pengkritik sejati terhadap pemikiran dan kebijakan Soekarno. Apapun yang dilakukan Soekarno yang tidak tepat selalu mendapar kritikan oleh Hatta, mereka ibarat perang yang tidak usai. Tetapi itu tidak mengurangi persahabatan keduanya.

Sampai pada suatu waktu, ketika Soekarno bersikeras akan memasukan unsur Komunis ke dalam kabinet, Hatta tidak menyetujuinya. Bahkan Hatta memutuskan mengundurkan diri sebagai Wapres karena pertimbangannya tidak lagi didengar Soekarno. Sepeninggal Hatta, Soekarno semakin egois, kekuasaannya makin sentralistik dan dia menginginkan kekuasaan yang abadi, semua keinginannya tidak ada yang mengkritik.

Dari sanalah cerita persahabatan itu mulai terasa sangat berarti. Soekarno dengan segala kekuasaannya merasa kesepian karena tidak ada lagi Hatta disisinya. Tidak ada lagi orang yang mengkritiknya, tidak ada lagi orang yang membantah omongannya, tidak ada lagi mendebat pendapatnya. Soekarno hanya dikelilingi anak buah yang selalu menurut apapun kemauannya. Tetapi itulah yang membuatknya makin tidak disukai dan pada akhirnya akan membuat kekuasaannya mulai digerogoti dan semakin melemah.

Hatta adalah Konco Arek - Lawan Barek bagi Soekarno, kawan sejati sekaligus lawan sejati. Disaat kesendirian Hatta sangat dirindukan oleh Soekarno, Istana terasa sepi dan dingin, tidak ada suasana panas, tidak ada kritikan, tidak ada bantahan. Yang ada hanya ada anggukan diiringi bungkukan badan, “siap Tuang Presiden, Panglima Tertinggi!! kami siap laksanakan!. Semua hanya mengabarkan “aman terkendali”. Tidak ada kabar bahwa rakyat tidak suka, marah. Tidak ada kabar bahwa banyak pihak yang tidak setuju dengan kebijakan Soekarno.

Dalam imajinasi saya, ada kejadian ketika sedang sendiri itu, seorang pelayan Istana berkata kepada Soekarno;

“Apa yang tuan menungkan?, kenapa wajah tuan murung?’

Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Soekarno, dia tetap melamun dengan wajah yang murung. Tatapannya jauh menembus tebalnya dinding Istana.

“Biasanya disaat-saat seperti ini ada Bung Hatta disini menemani Tuan, dan Tuan tidak pernah murung jika ada Hatta”, ucap pelayan itu.

“Jangan kau ingat-ingatkan juga Hatta itu pada saya, itu membuat saya semakin bersedih”, jawab Soekarno tanpa menoleh.

“Tuan telah salah, tuan lebih mendengarkan orang lain, tidak mendengarkan Hatta. Tuan membuat Hatta pergi meninggalkan Tuan. Tetapi hamba yakin, Hatta tidak membenci Tuan. Hatta hanya ingin agar Tuan bisa lebih leluasa mewujudkan keinginan Tuan, Hatta tidak ingin Tuan terganggu dengan pendapatnya”.

Soekarno masih diam terpaku, tubuhnya diam, tetapi dadanya berguncang menahan beragam rasa.

“Tahukah Tuan? Sepeninggal Hatta, Tuan semakin otoriter, tidak terkontrol. Semakin banyak orang dan pihak yang tidak suka, bahkan membenci Tuan. Orang yang Tuan percaya sepeninggal Hatta, bukan membuat Tuan semakin dekat dengan rakyat tetapi semakin menjauhkan. Membuat semakin banyak yang ingin melawan dan memberontak kepada Tuan”.

Soekarno tersentak, berdiri dan bergegas meninggalkan pelayan itu sambil menghempaskan pintu.

Hingga pada akhirnya ketika Soekarno bukan lagi jadi Penguasa, kesehatannya menurun dan dia diisolasi dan dirawat di RSPAD.

“Hoe at het met jou?”, sapa Soekarno sambil menggenggam erat tangan Hatta. Sapaan seorang sahabat sejati sudah lama tidak bertemu. Sapaan antara dua orang manusia tanpa ada lagi embel-embel keuasaaan. Tidak ada lagi Soekarno yang gagah perkasa dengan segunung kekuasaan.

Sapaan Soekarno menggambarkan kesedihan dan penyesalannya telah berpisah dengan Hatta. Sapaan itu juga merupakan pengakuan bahwa Hatta benar, apa yang disampaikan Hatta selama ini benar adanya.

Hatta larut dalam kesedihan, airmatanya tumpah, bahunya berguncang. Hatta tetap menggenggam erat tangan Soekarno, tidak ingin melepaskannya. Bahkan ketika Soekarno berusaha memakai kacamata untuk dapat melihat wajah Hatta, sahabatnya itu. Seperti melihat untuk yang terakhir kali.

Soekarno meninggal dunia pada 21 Juni 1970 dan Hatta meninggal dunia 10 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 14 Maret 1980. Keduanya meninggalkan sejarah panjang yang tidak akan pernah berhenti untuk diingat bangsa ini. Sejarah perjuangan memerdekakan dan memimpin Republik ini.

Sejarah persahabatan sejati, yang berpisah karena perbedaan pandangan politik tetapi tetap bersahabat hingga akhir hayat. Setelah meninggal pun mereka tetap bersatu, pada banyak tempat nama keduanya selalu diabadikan berdua, Soekarno - Hatta.

Sahabat sejati, tidak selalu mengiyakan atau menyetujui omongan kita. Dia ibarat cermin yang memantulkan kebaikan ataupun keburukan kita. Jangan biarkan orang lain membuat kita menjauh dari sabahat sejati.

Lubuk Basung, 15 Nopember 2018

Saturday, June 9, 2018

Mega Gaji Megawati


Heboh2 gaji Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Idiologi Pancasila ternyata hanya bagai letusan balon, duarr.....dussss ! Senyap seketika setelah anginnya habis Mengapa tiba-tiba diam?Apakah kita sudah maklum dan mengakui Megawati memang pantas dibayar sebesar itu sebulan?
Padahal "gaji" Rp.112 juta itu memang sangat "mega" untuk ukuran Pejabat di Indonesia. Bayangkan saja berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pendapatan per kapita atau rata-rata orang Indonesia adalah Rp 47,96 juta per tahun atau sekitar Rp 4 juta per bulan. Artinya gaji Megawati itu adalah 28 kali lipat diatas rata2 pendapatan orang Indonesia.
BPS menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp 387.160 per kapita.
Atau jika dibandingkan dengan data penduduk miskin, gaji Mega itu bisa mengentaskan 280 orang miskin di Indonesia. Garis kemiskinan berdasarkan data BPS adalah orang yang berpenghasilan dibawah Rp.400 ribu perbulan.
Tidakkah kita merasa malu dengan keadaan seperti itu. Apalagi jika tudingan "hanya ongkang-ongkang kaki" benar, artinya upah yang diterima itu tidak sebandingkan dengan "keringat" yang dikeluarkan, kerja dikit gaji besar.
Ini bukan hanya terhadap Megawati, tetapi juga terhadap semua yang menikmati uang negara. Para pejabat pemerintahan dari pusat sampai daerah, para anggota DPR, DPRD dan yang lainnya. Jika sudah menyangkut fasilitas gaji, uang, banyak alasan dan argumentasi yang disampaikan.
Pihak-pihak yang berwenang mengesahkan Anggaran seakan berlomba mengeruk uang untuk dialokasikan untuk kemakmuran pihak mereka. 
Dengan bermacam dalih mereka melakukan konspirasi untuk saling meningkatkan penghasilan mereka. APBN dan APBD mereka kapling sesuai selera dan kepentingan mereka. Aparatur mengalokasikan gaji ke 13, 14 dan lainnya, disamping gaji ada pula remunirasi dan bermacam tunjangan lainnya. Para anggota legilatif menganggarkan uang sidang, uang panitia, tunjangan rumah, komunikasi, transportasi dan lainnya. Akhirnya mereka menerima upah berlipat-lipat padahal kerja hanya itu-itu saja.
Tidak salah Ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa Belanja Pegawai membuat utang luar negeri makin membengkak, terutama biaya perjalanan dinas. Struktur Anggaran porsinya lebih banyak untuk belanja pegawai ketimbang pembangunan.
Padahal jumlah Aparatur Sipil, Polri, TNI, Anggota Legislatif itu jauh lebih kecil dari jumlah orang miskin yang mencapai 27 juta orang.
Memang, jika sudah bicara uang sulit rasanya mendapatkan kepedulian dan keadilan. Mereka yang memegang wewenang seakan dihinggapi penyakit tidak mau mengalah, tidak mau mendengar, tidak mau melihat dan tidak mau peduli. Mereka dengan senang hati tetap memutuskan kebijakan yang menguntungkan pihak mereka padahal banyak orang miskin diaekitar mereka. Mereka tidak peduli walau orang miskin itu masih terlihat nyata, bahkan tiap hari kantor mereka itu disinggahi peminta-minta.
Solusi yang mereka pilih hanyalah keuntungan pribadi.
Sementara orang miskin dipaksa untuk bersikap ikhlas, harus menerima apapun kenyataan, tidak mengeluh apalagi menjerit walau yang dirasakan sakit sekali. 
Wasaalam.
Lubuk Basung, 4 Juni 2018.

Friday, May 25, 2018

Rasis


Ketika Adam dan Hawa diusir Tuhan dari Surga, pada saat itu Planet Bumi ini tidak berpenghuni. Adam dan Hawa adalah penduduk pertama yang mendiami Bumi.
Belum ada Batas Wilayah, belum ada perbedaan bahasa, belum ada perbedaan Suku, dan juga belum ada perbedaan Agama. Adam dan Hawa adalah pemilik bumi, pemilik seluruh hamparan tanah daratan, pemilik laut dan seluruh isinya.
Adam dan Hawa yang diletakan pada jarak yang sangat jauh, puluhan tahun perjalanan. Mereka dipisahkan hampir 5 ribu KM, Adam di Srilangka dan Hawa di Jeddah tetapi karena cinta akhirnya bertemu di Bukit Jabal Rahmah (Arafah).
Adam dan Hawa setelah bertemu membangun Rumah Tangga dan mempunyai keturunan. Hidup di atas Bumi yang luasnya lebih dari 500 juta KM2 dengan memanfaatkan seluruh yang ada di bumi ini. 
Hingga berabad-abad kemudian, Bumi terasa semakin sempit. Setiap jengkal tanah dimuka Bumi telah dikavling-kapling menjadi Negara-negara.
Pengkaplingan tanah bumi menjadi Negara merupakan buah dari nafsu untuk menguasai. Nafsu menguasai yang pertamakali telah terlihat pada kisah Qabil dan Habil. Bukan sekedar memperebutkan sesuatu tetapi lebih dari itu, yaitu nafsu memperlihatkan bahwa ia (Qabil) lebih powerfull dari yang lain.
Karena angkara Nafsu itu peradaban manusia mendekati perangai binatang, jahiliyah dan hanya memakai hukum rimba.
Hingga pada saat yang sangat mengkhawatirkan, Tuhan mengutus Nabi Muhammad untuk merobah peradaban manusia. Misi yang diemban Muhammad adalah memperbaiki akhlak manusia.
Akhlak manusia adalah nilai-nilai yang bersifat universal. Tidak membedakan status sosial, fisik dan warna kulit, suku dan garis keturunan. 
Akhlak manusia berangsur pulih dan ajaran Nabi Muhammad melintas batas wilayah dan ruang waktu. Membawa, kedamaian, rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh apa yang ada di bumi, bukan hanya manusia tetapi juga hewan dan tumbuhan.
Perbedaan-perbedaan antara manusia, suku, agama, keturunan bukanlah dimaksudkan untuk memberi label bahwa ada yang lebih terhormat dan ada yang hina. Karena tingkatan itu hanyalah berdasarkan Akhlak.
 Oleh karenanya tindakan rasis, melecehkan atau merendahkan manusia lain adalah tindakan yang hina. Bahkan, tidak lah berakhlak tertawa ketika melihat orang jatuh, sekalipun orang yang jatuh terlihat konyol bahkan lucu.
Saat ini perbedaan-perbedaan itu semakin terasa disaat kita hidup pada bumi yang telah dikavling-kavling. Bahkan Agama pun tidak dijadikan alat pemersatu dan pedoman akhlak. Bermacam kelompok menonjolkan perbedaan bahkan eklusifitas dari kelompok lainnya, mengklaim bahwa mereka lah yang benar dan berkeyakinan bahwa mereka lah yang paling berhak atas surga. 
Padahal mereka menjauhi nilai-nilai akhlak yang berlaku universal sebagaimana diajarkan para utusan Tuhan. Mereka mencaci, menghina dan rasis.
Lubuk Basung, 7 Mei 2018
(Status FB)

Ada Sengkuni diantara Kabil dan Maharaja Negeri Tumasik


Dalam cerita Wayang Mahabarata, Sengkuni adalah Mahapatih sekaligus merangkap penasehat Raja di Kerajaan Astina yang dikuasai keluarga Kurawa. Patih Sengkuni terkenal dengan prinsip hidupnya yang ekstrem “biarlah orang lain menderita yang penting hidupnya bahagia” Dengan prinsip hidup seperti itulah Sengkuni menjalani karirnya yang munafik, licin, licik, culas, hasut, penuh tipu muslihat.
Sengkuni mempunyai perfomance yang sangat mempesona, pintar dan berpendidikan tinggi sehingga sangat lihai mengumpulkan masa. Dia mempunyai beragam ilmu mulai dari ilmu supaya mendapat simpati yaitu Pamanih, Pakasiah, dan juga ilmu kebal seperti Ilmu Basipakak, haha.
Tokoh Sengkuni dengan Ilmu Pamanih dan Pakasiahnya serta ilmu kebalnya adalah model atau gambaran kemunafikan, keserakahan, arogansi, dan keangkaramurkaan. Sejak zaman dahulu kala sampai saat ini manusia-manusia berkarakter Sengkuni akan selalu ada dilingkaran penguasa. Anas Urbaningrum dan Amien Rais pernah mengatakan bahwa ada Sengkuni dilingkaran kekuasaan.
Dalam sebuah cerita rakyat pada abad ke 14 yang melegenda mengenai keberadaan Batu Berantai atau Batu Rantai, gugusan karang yang berada di perairan antara Pulau Belakang Padang dan Pulau Sambu, Kepulauan Riau, keberadaan Sengkuni juga terlihat jelas. Andai Sengkuni itu tidak ada maka seorang Budak yang bernama Kabil tidak akan ditenggelamkan hidup-hidup oleh Maharaja Tumasik. Padahal Kabil telah memberikan saran kepada Maharaja dan sarannya itu lah yang menyelamatkan Negeri Tumasik.
***
Suatu waktu dahulu kala, Negeri Tumasik(Singapura) mendapatkan musibah. Secara tak terduga, ratusan ribu ikan todak (swordfish) datang menyerang masyarakat.
Tidak hanya mereka yang tinggal di pantai, warga yang tinggal di daerah pedalaman pun tak luput dari serangan ikan berparuh panjang yang runcing lagi tajam itu. Banyak rakyat yang menjadi korban keganasan ikan todak.
Mendapati keganasan ikan todak, Paduka Seri Maharaja lantas memerintahkan agar rakyat berpagar betis untuk menghadapi serangan ikan todak. Namun, usaha itu pun tidak membuahkan hasil. Ikan-ikan todak terus mengamuk dan meningkatkan serangan hingga kian banyak rakyat yang menjadi korban.
Dalam keadaan bingung dan resah, seorang anak lelaki kecil datang menghadap Paduka Seri Maharaja dan dengan lantang berujar, "Ampun Baginda Raja, sia-sia saja rakyat Paduka minta berpagar betis. Semua itu tidak akan dapat menghentikan serangan ikan-ikan todak. Sebaliknya, rakyat akan semakin banyak menjadi korban.
Paduka Seri Maharaja amat murka mendengar ucapan si anak lelaki bernama Kabil tersebut. "Engkau pikir siapa engkau ini, hei budak, hingga berani-beraninya engkau memberikan nasihat kepadaku?"
Lantas anak kecil itu menjawab, "Hamba ini seorang budak (anak) yang seharian mencari ikan, Baginda Raja. Hamba sangat mengenal perilaku ikan todak itu. Serangan ikan todak tidak akan dapat dihentikan dengan betis manusia. Hanya dengan batang-batang pisang saja ikan-ikan todak itu dapat dilumpuhkan."
Meski sebenarnya sangat jengkel dengan keberadaan Kabil, akhirnya Paduka Seri Maharaja menuruti saran bocah itu. Ia tidak mempunyai pilihan Iain. Ia lantas memerintahkan pemagaran daerah Tumasik dengan batang-batang pisang.
Segenap rakyat bersatu-padu memagar dengan batang pohon pisang hingga di pelosok Negeri Tumasik. Banyak ikan todak yang tersangkut di batang pisang, sehingga serangan terhenti.
Kendati menjadi penyelamat Negeri Tumasik, bocah lelaki nan bijak itu kemudian ditenggelamkan di lokasi Batu Berantai. Ini lantaran ulah penasihat Baginda Raja yang menghasut bahwa anak tersebut setelah besar nanti dengan kepandaiannya dianggap akan membahayakan kekuasaan raja.
***
Sebuah cerita rakyat mengenai keberadaan Batu Berantai atau Batu Rantai, gugusan karang yang berada di perairan antara Pulau Belakang Padang dan Pulau Sambu, Kepulauan Riau. Batu Berantai juga berada di perbatasan dengan negeri jiran Singapura. Lokasi yang dalam cerita merupakan tempat ditenggelamkannya Buda bernama Kabil itu hingga saat ini oleh masyarakat yang mayoritas nelayan dianggap sebagai lokasi terlarang/angker.
Juga cerita tentang Penasehat Raja yang berwatak seperti Sengkuni.
Sumber :liputan6,com, kompasiana dll

Lubuk Basung, 25 April 2018-05-25
(Status FB)

Sunday, November 19, 2017

Dunia Panggung Sandiwara

Beberapa waktu lalu saya menyaksikan sebuah film yang berjudul Phone Booth yang dibintangi actor Collin Farrel. Itu adalah kedua kalinya saya menyaksikan film tersebut setelah pada awal tahun 2000an ketika film tersebut baru beredar.
Dari sinopsis "resmi" yang beredar film ini menceritakan tentang seorang lelaki bernama Stu Shepard (Collin Farrel) yang disandera seorang sniper dalam ruangan Telepon Umum.
Dari dialog2 yang disajikan, saya melihat bahwa ada hal sangat menarik yang bisa diambil dari Film yang disutradarai oleh Joel Schumacher dan ditulis oleh Larry Cohen itu.
Dalam film itu sosok Stu adalah Seorang publisher yang ambisius, mempunyai hubungan yang cukup luas tapi sayang ia mempunyai karakter yang buruk, Arogan, Suka obral janji, menipu, meremehkan orang, dengan uang segalanya bisa ia beli termasuk menyuap.
Peran Stu Shepard sangat mewakili kondisi saat ini, dimana banyak Tokoh Publik yang berpenampilan seperti seorang Hero tetapi sesungguhnya adalah Bandit. Berperan sebagai Protagonis tetapi sesungguhnya dia seorang yang Atagonis. Berkesan sebagai seorang yang ramah dan lemah lembut tetapi sesungguhnya dia seorang yang sangat Arogan dan kasar.
Stu merasa nyaman dengan kondisi itu karena merasa tidak ada yang mengetahui kebohongan yang ia lakoni. Hingga pada suatu saat seorang Sniper menyaderanya.
Sniper itu menceritakan bahwa ini bukan pertama kali dia menyandera seseorang. Dan korban-korban sebelumnya dia bunuh karena tidak mau mengikuti kemauannya.
Bagi Stu, sesungguhnya bukan hanya ancaman peluru dari senjata sniper saja yang dia takuti. Tetapi juga rahasia kebohongannya yang diketahui si sniper secara detail.
Stu dipaksa mengakui semua kebohongan yang telah ia lakukan. Mengakui didepan publik termasuk didepan isterinya dan orang-orang yang dia bohongi. Mulanya Stu tidak mau dan lebih memilih ditembak daripada harus melakukan itu. Tetapi si sniper mengatakan bahwa sebelum membunuh Stu terlebih dahulu dia akan membunuh orang orang yang disayangi Stu.
Akhirnya Stu terpaksa melakukan keinginan Sniper itu. Menceritakan semua yang dia kerjakan selama ini adalah bohong dan hanya rekayasa, pencitraan dan manipulasi. Membuat pengakuan bahwa dia bukanlah seseorang Hero yang patut untuk diharapkan karena sesungguhnya dia adalah Bandit, pembohong!!
Pada ending Film tersebut, Stu selamat karena telah membuat pengakuan itu dan diberi maaf oleh orang-orang yang dibohonginya. Tetapi Sniper yang melakukan penyanderaan itu juga lolos dari pencarian aparat kepolisian karena memanipulasi orang lain yang dijadikan korban seolah olah itu dirinya.
Apakah itu sebuah cerita yang sederhana atau membosankan? silakan tonton.
Bagi saya cerita itu sangat menarik karena ada "pesan" hebat yang disampaikan. Pesan bahwa kebohongan itu suatu saat bisa terbongkar dengan cara yang tidak pernah diduga.
Peran Antagonis pada sosok Sniper dalam Film itu mempunyai pengaruh yang luar biasa. Dia memang menjadi sosok penjahat, tetapi dia juga menjadi sosok hero karena membongkar "kejahatan" yang dilakukan sosok Protagonis. Peran Utama bukan hanya pada sosok Protgagonis, sosok Antagonis juga menjadi Bintang Utama dalam film Phone Booth tersebut.
Dengan cara mengetahui secara detail kebohongan-kebohongan yang dilakukan seseorang, dia mampu memaksa orang itu untuk tobat dan membuat pengakuan serta meminta maaf. Dan dia melakukan itu tanpa motif uang seperti pemeras. Kartu truf yang dia pegang tidak digunakan untuk menangguk keuntungan
Untuk membongkar kebohongan yang dilakukan seperti Stu itu memang diperlukan Tokoh Antagonis seperti dalam film itu. Yang bukan sekedar mengancam dengan senjata tajam tetapi juga dengan bukti yang komprehensif. Mengetahui secara detail dan menyeluruh apa saja kebohongan yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan.
Karena orang seperti Stu tidak akan takut dengan Undang-undang walau berisi ancaman hukuman penjara puluhan tahun. Mereka tidak akan takut dengan pengalaman orang lain yang pernah dihukum
Saangat sulit untuk merubah image seseorang yang sudah menjadi brand kebaikan (super hero) menjadi seorang bandit sebagaimana sesungguhnya. Bandit seperti itu adalah sangat licin seperti belut, sering lolos walau sudah dalam genggaman. Perlu trik khusus untuk membuatknya tidak berkutik.
Jika hidup di Dunia ini hanya panggung sandiwara, silakan pilih peran apa yang kita sukai. Apakah akan menjadi pemeran Protagonis atau Antagonis. Apakah akan berlakon sebagai Hero atau Bandit. Apakah akan menjadi pemeran utama atau hanya sekedar figuran, pemeran pembantu.
Beraktinglah secara total, jangan hanya senyum di bibir tetapi kepalan tangannya menunjukkan kemarahan. Raut muka menunjukan kesedihan terapi bahu tetap terangkat menunjukan orang happy. Apa yang diucapkan berlainan dengan gesturnya. Berlako seperti orang sakit tetapi terlihat seperti orang sehat wal afiat.
Semua orang akan melihat panggung, memperhatikan sandiwara itu dan akhirnya akan menilai apakah anda aktor yang bagus atau tidak. Sekian.


Lubuk Basung, 19 Nopember 2017

Saturday, August 19, 2017

Ayo Merdeka

"Mati Bulando karano pangkaik, mati Cino karano harato, mati Kaliang karano salero...mati Melayu karano angan-angan"
Konon Asbabun Nuzul pepatah ini karena dizaman Penjajahan dulu sudah sangat kasat mata perbedaan antara orang Belanda, China, India dan Indonesia. Ini hanya sebagian, bukan keseluruhan tetapi perangai ini mampu membuat ciri khas yang membedakan. Orang-orang Belanda dalam mengejar Jabatan atau Pangkat rela melakukan apa saja. Menfitnah, menghasut dan mengadu domba. Orang China juga begitu, mereka melakukan hal-hal tidak jujur dalam mengumpulkan harta. Dalam berdagang mereka kerap berbohong dan menipu serta menjadi rentenir. Lain pula Keling atau India, mereka terkenal sangat doyan kuliner bahkan cenderung rakus. Tetapi kalau perut mereka sudah kenyang maka mereka pun akan tenang, tidak macam-macam atau berbuat ulah.
Dan yang miris itu Bangsa kita, Pribumi...orang kita sibuk berangan-angan. Memboroskan energi dan mental untuk memimpikan sesuatu tanpa disertai usaha untuk mendapatkan apa yang diangan-angankan itu. Mereka hanya mengandalkan "nasib baik" untuk memperoleh sesuatu.
Mereka tidak ikut berjuang melawan penjajah seperti kebanyakan orang. Bergerilya di hutan menyandang bambu runcing atau senjata sederhana. 
Mereka sibuk berangan-angan; Kalo den punyo badia geren, den tembak Bulando kalera tu. Kalo den kayo, den pabini anak Cino nan putiah barasiah tu. Kalo den bapitih banyak, den bae makan lamak tiok hari!!.
Itu dulu, sebelum Soekarno dan Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. 
Sekarang, Negara kita telah merdeka, telah terlepas dari bangsa penjajah selama 72 tahun. Pertanyaannya, apakah kita telah benar-benar merdeka?
Kalau dilihat dari unsur Merdekanya suatu negara yaitu adanya Rakyat, Wilayah, Pemerintahan yang berdaulat dan Pengakuan secara de facto dan de jure dari negara lain maka secara formal kita bisa berkata; Iya, kita telah Merdeka!
Tetapi kalau mau berkata secara lugas, kita masih merasakan belum benar-benar Merdeka. Banyak hal yang sesungguhnya masih seperti di zaman penjajahan. Kelakuan para elit di eksekutif maupun di legislatif bagaikan tabiat para bangsa kolonial. Memaksakan kehendak dan menggunakan kekuasaan dengan mempertakut rakyat. Tiap sebentar mengkampanyekan bahwa mereka lah Pemegang Prerogatif dan kalian harus ikut aturan yang dia buat bahkan harus mengistimewakan mereka.
Sekali lagi, Ini hanya sebagian, bukan keseluruhan.
Mereka bertindak laksana penjajah sehingga banyak diantara kita merasakan hidup seakan masih dizaman belum merdeka. Di hantui kecemasan dan rasa takut terhadap para elit itu.
Tetapi sesungguhnya para elit itu juga berada dalam penjajahan. Mereka tidak mampu melepaskan diri dari ketakutan yang tumbuh dalam hati mereka. Takut kehilangan Pangkat dan Jababatan, takut kehilangan popularitas. Takut terhadap kritikan dan badnews.
Dan ketakutan itu mereka tutupi dengan berbuat seperti Bulando dan Cino dizaman penjajahan dulu. Menganggap rakyat pribumi sebagai ekstrimis, menganggap pengkritik sebagai perusak, menganggap badnews sebagi hoax. Mereka dengan gampang melakukan blaming, menyalahkan rakyat sebagai pemalas, menyalahkan pengkritik yang tidak konstruktif, menyalahkan medsos yang dipenuhi akun palsu.
Mereka juga tidak bisa bersikap adil bahkan fair karena banyak hutang yang belum dilunasi. Hutang janji kampanye yang belum ditepati, hutang budi yang belum dibalas, hutang materi yang belum lunas. Akibatnya perlakuan terhadap rakyat tidak sama karena hutang budi itu. Pada kelompok yang ini mereka sangat keras terhadap kelompok yang lain terlihat "sangat bersahabat".
Merdeka marilah kita merdeka, bebaskan diri kungkungan rasa takut karena akan kehilangan pangkat, jabatan, makanan enak. Merdeka dari rasa segan akan ditagih hutang budi, janji dan materi. Merdeka dari pengaruh dan tekanan.
Seperti kata Bung Karno; Merdeka itu Berdikari, berdiri di kaki sendiri!
Merdeka mengendalikan diri ! Dirgahayu bangsaku!
Lubuk Basung, 16 Agustus 2017.

Wednesday, March 8, 2017

Cinta, Ekstrimis dan Penguasa (part 2)

Mengapa saya menulis tentang Cinta, Ekstrimis dan Penguasa? Imajinasi saya menerawang ketika keluarga dan masyarakat dengan support dari Pemda Lima Puluh Kota berusaha memulangkan jenazah Tan Malaka dari Kediri ke Suliki Lima Puluh Kota. Walaupun tidak berhasil memulangkan kerangka jenazah, tetapi langkah itu telah membuat Tan Malaka “semakin hidup” semakin ramai dibicarakan ditengah-tengah masyarakat.
Seingat saya Tan Malaka adalah tokoh yang dilarang untuk “dibicarakan” pada zaman orde baru. Secara samar-samar dalam ingatan saya Tan Malaka adalah tokoh yang dianggap ekstrim dan berhaluan kiri serta pembuat onar oleh penguasa.  Oleh karena itu ketika beliau kembali ramai dibicarakan, saya berusaha mencari tahu dengan membaca beberapa literatur.
Presiden Soekarno dengan Keputusan Presiden RI No. 53, mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963. Tetapi ketika zaman berganti Sang Pahlawan “disingkirkan”dari sejarah Indonesia, di era Orde Baru namanya dicoret dari daftar nama Pahlawan Nasional dan hampir tidak pernah dibahas dalam pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah.
Tan Malakan memiliki semangat militan ketika membela kaum yang tertindas, membenci ketidakadilan dan peduli terhadap penderitaan para buruh serta memiliki pengetahuan sosial politik yang didapat selama belajar di Eropa, berbekal itu Tan Malaka memutuskan untuk bergabung dengan organisasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Pergerakan organisasi ISDV ini berbasis ideologi Marxisme yang pada intinya memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan alat produksi kepada rakyat agar tidak dimonopoli oleh kaum pemilik modal dan kolonial asing.
Perkumpulan ISDV ini sangat ekstrim melawan "penindasan" dari kolonial Belanda. Lambat laun, gerakan itu didominasi oleh kaum pribumi muslim. Sampai akhirnya pada tahun 1920, ISDV resmi berganti nama menjadi "Perkumpulan Komunis di Hindia" (PKH) cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) di kemudian hari. Dalam tulisan Asvi Warman Adam dengan judul “Menggali Makam Tan Malaka”, disebutkan bahwa oleh sebab itulah  Tan Malaka dianggap sebagai Tokoh Penting dalam lingkaran generasi pertama PKI. Selanjutnya diceritakan bahwa tokoh-tokoh PKH masa itu sebagian juga pemimpin Islam yang gigih seperti Haji Misbach di Jawa dan Datuak Batuah, guru sekolah Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Para aktifis PKH ini tidak pernah meninggalkan shalat meskipun dikejar-kejar oleh Politieke Inlichtingen Dients (intel Belanda).
Dalam perkembangan selanjutnya tergambar jelas bahwa Tan Malaka tidak terlibat dalam gerakan Komunis tahun 1926 dan 1948, dimana Tan Malaka menentang kebijakan PKH dan kemudian pada tahun 1927 mendirikan Partai Republik Indonesia. Bahkan pentolan PKI, Muso pernah berkata;, “jika punya kesempatan, yang pertama akan dia gantung adalah Tan Malaka”. Itu
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Tan Malaka merasa para pemimpin seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir terlalu lembek terhadap Belanda yang masih terus berusaha menguasai Indonesia. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan dengan adanya Proklamasi itu sudah diraih sepenuhnya, jadi tidak perlu melakukan perundingan apapun dengan Belanda. Ia khawatir perjanjian-perjanjian seperti Linggarjati dan Renville justru merugikan Indonesia nantinya. Hingga pada saat itu muncullah pemikirannya yang sangat terkenal, “Berunding setelah ada pengakuan kemerdekaan seratus persen” dan “Tuan Rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”.
Itulah Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang dikenal dengan Tan Malaka, lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949, yang berjuang dengan cara “ekstrim” dan benar-benar dianggap ekstrimis hingga terbunuh oleh peluru bangsanya sendiri. Sampai akhir hayatnya itu tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Tan Malaka pernah menikah.
Dalam buku Adam Malik Mengabdi Republik, Tan Malaka pernah ditanya,”Apa Bung Pernah Jatuh Cinta?”. “Pernah, tiga kali malahan. Sekali di Belanda. Sekali di Filipina dan sekali lagi di Indonesia. Tapi semuanya itu katakanlah hanya cinta tidak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan!”, jawab Tan Malaka.
**000**
Bahwa cinta itu mungkin seperti Laila dan Qais atau Siti Nurbaya, kasih tak sampai ke pelaminan! Walaupun bermacam-macam penghalang, teruslah berdoa “Kalau memang cinta itu sakti, persatukan sebelum mati atau biarkan dia menjadi bidadariku surga!”. Dan mungkin pula sebegitu romantis Romeo dan Juliet. Atau bahkan mungkin sebaliknya. Menyedihkan, membuat hati terasa perih.
Dipandang jahat atau pun jalang oleh orang yang memang membenci kita, tidak lah menjadi beban di hati malahan memacu semangat untuk membalasnya pada saatnya nanti. Tapi dibenci oleh orang yang kita cintai dan sesungguhnya pula dia juga mencintai. Ah! itu jauh lebih berat dan menyakitkan rasanya. Ada keinginan mereguk segenggam kebahagian tetapi selalu tersingkir dan terlempar jauh. Apa yang dicari seolah sudah nyaris tergenggam di tangan.
Pun begitu bagi orang yang “membenci” itu, di bibir ia mengusir, menyuruh kita pergi jauh. Tapi dalam hati sebenarnya dia ingin mengatakan “jangan pergi!”, ada rindu yang se rindu-rindunya. Didepan orang menampakkan muka penuh amarah, namun disaat sendiri airmatanya mengalir deras seiring goncangan dadanya karena rasa sedih yang teramat dalam.
Begitu pula cinta para Pahlawan, dianggap ekstrim dan dicap ekstrimis karena mengganggu atau membahayakan kekuasaan penguasa. Dan mungkin di zaman itu dilabeli ekstrimis, bahkan dizaman lain dihapus pula dari catatan sejarah tetapi dizaman yang lain pula kebenaran itu terungkap.
Ketika Kompeni berkuasa, para pejuang kita dicap pengacau, pemberontak, Ekstrimis!! Toh akhirnya pada hari ini kita menikmati hidup di negeri yang merdeka ini karena perjuangan dan cinta para ekstrimis-ekstrimis itu.   
Terimaksih Tan Malaka, terimakasih atas cintamu pada negeri ini. Dimanapun makammu berada, dimanapun jasadmu terkubur perjuangan dan cintamu akan selalu hidup di bumi pertiwi ini.


Lubuk Basung, 8 Maret 2017