Showing posts with label Hukum. Show all posts
Showing posts with label Hukum. Show all posts

Wednesday, November 9, 2016

Adakah Perang Melawan Nepotisme?

Beberapa media televisi dan media cetak belakangan memberitakan suhu politik di Korea Selatan memanas setelah sahabat Presiden Park Geun-hye, Choi Soon-sil, ditangkap polisi karena dianggap telah campur tangan dalam urusan pemerintahan. Namun, ditangkapnya kawan Presiden tersebut tidak membuat protes warga mereda karena mereka juga menuntut Presiden Park Geun-hye mengundurkan diri. Karena perlakuan Presiden Park Geun-hye terhadap sahabatnya Choi Soon-sil termasuk bagian dari Nepotisme yang melanggar hukum.
Jaksa penuntut yang menginvestigasi kasus kedekatan Presiden Park Geun-hye dengan kawannya Choi Soon-sil menilai bahwa hubungan kedekatan keduanya tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, Presiden telah membiarkan kawannya yang warga sipil itu mendapatkan akses ke sejumlah dokumen rahasia negara yang membuatnya bisa mempengaruhi isu-isu pemerintahan. Choi Soon-sil juga dituding telah menggunakan "perkawanannya" dengan Presiden untuk mendapatkan keuntungan pribadi lewat sejumlah yayasan nonprofit.
Di Korea Selatan, Nepotisme juga merupakan perbuatan melanggar hukum. Jauh sebelum kasus yang melibatkan Presiden Perempuan Korsel tersebut, pada tahun 2010 semasa Presiden Lee Myung-bak, Menteri Luar Negeri Korsel waktu itu Yu Myung-hwan, mengundurkan diri jabatannya karena ketahuan melakukan nepotisme dengan mengangkat putrinya menduduki posisi strategis di Kementerian yang dia pimpin.
Apa yang terjadi di Korea Selatan saat ini mau tidak mau mengingatkan kita pada gerakan Reformasi 1998 yang memaksa Presiden Soeharto mengakhiri kekuasaannya setelah 32 tahun! Dimana salah satu pemicu gelombang reformasi tersebut adalah adanya tuduhan Nepotisme terhadap Presiden Soeharto.
Pertanyaannya, apa itu Nepotisme sehingga mampu memicu gejolak sebuah negara dan memaksa mundur seorang Presiden? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; atau kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan walaupun objek yang diuntungkan tidak kompeten. 
Nepotisme diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menegaskan bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara”.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, jelas dan tegas bahwa Nepotisme adalah sebuah pelanggaran hukum. Persoalannya adalah sampai saat ini kita belum melihat ada perang melawan Nepotisme, belum ada Vonis Hakim yang menghukum terdakwa yang melakukan perbuatan nepotisme. Perang hanya dilakukan pada Korupsi, Vonis dijatuhkan hanya karena melakukan Korupsi, padahal korupsi tersebut dilakukan dan diawali dengan melakukan Kolusi dan Nepotisme.
Sejak Era Reformasi, Pemberantasan Korupsi memang terasa gencar dilakukan. Lembaga Anti Rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, puluhan pelaku Korupsi ditangkap dan dihukum. Para Pejabat Pemerintahan, Menteri, Gubernur, Bupati/walikota; para tokoh Partai Politik, Ketua Partai, Anggota DPR dan Para Penegak Hukum itu sendiri Hakim, Jaksa dan Polisi ditangkapi dan dihukum karena kasus korupsi.
Tetapi kasus-kasus Nepotisme sepertinya lenyap dan terlupakan begitu saja. Contohnya, Nepotisme yang dilakukan Presiden Soeharto. Nepotisme yang dilakukan Presiden Soeharto benar-benar telah membuat rakyat sakit hati karena seluruh anak-anak Soeharto dan istrinya menjadi anggota DPR, disamping merangkap sebagai pengusaha, begitupula dengan sanak saudaranya yang lain.
Nepotisme yang dilakukan Presiden Soeharto tidak pernah tersentuh hukum. Dan yang mutakhir adalah nepotisme yang dilakukan oleh Ratu Atut Chosiyah di Banten. Kejahatan nepotisme yang dilakukan keluarga Atut tidak ubahnya dengan keluarga Suharto dimana seluruh anak-anak Suharto dan istrinya menjadi anggota DPR, disamping merangkap sebagai pengusaha kakap. Ratu Atut Chosiyah “hanya” dituntut Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi karena perbuatan Korupsi yang dilakukan secara, terstruktur, sistematis, dan massif atau disingkat TSM. Ratu Atut Chosiyah menguasai elit-elit birokrasi di pemerintahan dan elit-elit politik di Banten sehingga dia bisa dengan mudah mengatur dan menguasai semua proyek yang ada.
Kini kejahatan Nepotisme seperti itu terus bermunculan, terutama dalam pengangkatan pejabat birokrasi dan penunjukan pelaksana proyek-proyek setelah berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah. Ada candaan yang sering terdengar, setelah Pilkada semua pejabat sampai ajudan bahkan sopir akan berganti, begitu pula rekanan penyedia/pelaksana proyek.
Walau telah dibungkus sistim dan prosedur “kompetisi” tetap saja dengan mata awam sekalipun banyak sekali terlihat bahwa yang terpilih, diangkat atau ditunjuk itu adalah para keluarga, kerabat atau teman-temannya. Orang-orang yang lebih berkualitas dan memiliki kompetensi telah duluan tersingkir, tidak diberi kesempatan untuk berkompetisi menunjukan ilmu dan keahliannya.
Nepotisme sangat kentara terjadi pada birokrasi pemerintahan daerah sekaligus terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah adalah dengan adanya gelombang mutasi Pejabat Aparatur Sipil Negera (ASN) antar daerah. Ketika jagoannya kalah dalam Pilkada maka mereka segera mengajukan permohonan pindah ke daerah yang Kepala Daerahnya mempunyai “hubungan kekerabatan” dengannya. Dan lima tahun kemudian akan kembali ke daerah tersebut jika yang menang adalah jagoan mereka. Petualang-petualang jabatan yang mengandalkan Nepotisme tersebut dapat dilihat pada pelantikan pejabat ASN setelah Pilkada. Pada daerah tersebut mudah terlihat siapa yang orang dekat dan tidak dengan Kepala Daerah.
Berkembangnya praktek Nepotisme membuat ASN terpaksa ikut-ikut berpolitik dukung-mendukung calon kepala daerah dengan motif imbalan jabatan. Walau secara kualitas ASN itu sesungguhnya memiliki pendidikan, kualifikasi dan keahlian memadai untuk berkompetisi secara fair dalam menduduki jabatan dimaksud. Tetapi adanya praktek nepotisme itu yang membuat pada akhirnya mereka “terpaksa” ikut berpolitik, atau paling tidak mencari orang dekat/tangan kanan Kepala Daerah untuk mengamankan jalan menuju menduduki jabatan tertentu.
Hal itu pulalah yang menyebabkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota,  ada aturan bahwa petahana atau incumbent dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum masa jabatannya berakhir !
Lantas bagaimana caranya agar nepotisme tidak terus terjadi? Sesungguhnya momentum itu telah terjadi pada tahun 1998 dengan adanya tuntutan penghapusan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang pada akhirnya mampu memmbuat Presiden Soehato mengundurkan diri. Bahkan telah ditetapkan oleh MPR sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan hasil sebagaima pemberantasan korupsi. Oleh karenanya perlu “kampanye memerangi nepotisme”. Publik harus diberi tahu betapa destruktifnya praktik Nepotisme jika terus terjadi dan rakyat diminta untuk bersikap kritis terhadap praktek-praktek Nepotisme yang terjadi seperti halnya yang terjadi di Korea Selatan. Nepotisme harus diperangi sebagaimana halnya perang melawan korupsi yang telah dilakukan Presiden-presiden setelah era Reformasi. Presiden Megawati memerangi Korupsi dengan membentuk Komisi Pemberarantasn Korupsi (KPK) di era pemerintahannya. SBY memerangi korupsi dengan dengan slogan “Katakan TIDAK pada korupsi” dan “Saya akan berdiri paling depan menghunus pedang melawan korupsi”. Joko Widodo memerangi korupsi dengan memberantas pungli, bahkan "Bukan hanya Rp. 500 ribu atau Rp. 1 juta, urusan Sepuluh Ribu Rupiah pun akan saya urus!,"

Bagi sebagian orang “Perang Melawan Nepotisme” mungkin akan membuat gaduh karena telah merasa nyaman dengan kondisi seperti ini. Sama halnya dengan sinisme terhadap gerakan pemberantasan pungli yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Pada awalnya banyak yang mengatakan “ngapain presiden mengurus yang ecek-ecek!” Tetapi baru sebulan jalan masyarakat sudah merasakan dampaknya, urusan di kantor Polisi, urusan di Samsat, urusan di Pencatatan Sipil  betul-betul murah. Dengan perang melawan Nepotisme maka akan terjadi perusakan, bila perlu penghancuran comfort zone (zona nyaman) Nepotisme yang dinikmati sebagian orang! Tetapi akan membuat lebih banyak rasa keadilan yang dinikmati lebih banyak orang. Semoga.
Lubuk Basung, 9 Nopember 2016

Sunday, December 20, 2015

Budaya Suap Menyuap

Heboh tertangkap tangannya Irawady Joenoes Anggota Komisi Yudisial (KY) oleh Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin mempertegas bahwa di Negara kita praktek suap dan korupsi sudah menjadi budaya yang “tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan”. Korupsi bukan dianggap perbuatan yang memalukan, sanksi hukum yang disiapkan untuk para Koruptor tidak membuat banyak orang takut untuk melakukan perbuatan maling tersebut.
Kita hampir tak pernah istirahat untuk terus membaca dan menyimak berita kasus-kasus korupsi. Belum reda tudingan PBB terhadap mantan Presidan Soeharto yang menguasai asset negara kita antara 15-35 Milyar Dolar AS atau Rp. 135-315 Triliyun!, kita dikejutkan lagi dengan dugaan uang suap sebesar Rp. 600 juta + 30 ribu Dolar AS yang diterima oleh Irwady Joenoes yang bertugas sebagai Pengawas Kinerja Hakim dengan jabatan Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim.
Dan kita tentunya juga masih ingat kasus para perwira tinggi Mabes Polri yang menerima uang suap sebesar Rp. 500 juta dari Adrian Woworuntu tersangka korupsi penilapan dana BNI senilai Rp. 1.2 triliun. Atau kasus Mulyana W Kusumah anggota KPU yang tertangkap tangan ketika menyuap Hariansyah staf auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp. 150 juta. Disamping “kasus-kasus super suap” tersebut, setiap hari kita bisa melihat dengan kasat mata pratek suap menyuap di sekeliling kita, bisa dikatakan tidak ada satu urusan pun yang terbebas dari suap. Dan sangatlah sulit mencari orang yang tidak pernah ikut pratek suap  menyuap, kecuali (mungkin) bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil dan tidak pernah berurusan birokrasi.
Dari kebiasaan memberikan imbalan uang atau benda kepada pihak tertentu agar urusannya di permudah inilah lingkaran setan korupsi menjadi budaya. Seorang yang memberi suap ketika menjadi pegawai/aparat dan menyuap untuk dapat jabatan, akan meminta imbalan ketika menjalankan tugasnya. Atau calon Kepala Daerah yang membayar rakyat untuk memilihnya, ketika terpilih akan berusaha mengembalikan modal politiknya. Selanjutnya untuk mengamankan posisi; bawahan memberikan setoran (suap) ke atasannya, Eksekutif menyuap Legislatif, Polisi, Jaksa, KPK, BPK, dan lain-lain, sehingga terjadilah apa yang di sebut dengan korupsi atau pencuri uang Negara, yang seharusnya menjadi hak rakyat ternyata masuk kedalam saku, tas dan rekening pribadi.
Secara sistem hukum dan administari publik kita telah mempunyai institusi dan regulasi yang mendukung pemberantasan pratek suap dan korupsi. Kita banyak punya lembaga pengawasan mulai dari Bawasda di tingkat daerah sampai  KPK di tingkat pusat, kita juga punya puluhan peraturan perundang-undang yang “ anti korupsi”. Kini tinggal masalah perilaku, budaya dan kebiasaan melakukan suap menyuap, yang juga telah  sampai ke daerah kita sehingga ada yang mengartikan Sumbar “Semua Urusan Mesti Bayar”. Untuk itu diperlukan komitmen kita secara bersama-sama menegakkan dan mengembalikan moralitas sebagai umat yang beragama dan masyarakat yang beradat sebagai dasar motivasi, inspirasi dan pedoman dalam langkah memberantas budaya suap menyuap maupun korupsi. Malu awak Pak!, kalau daerah yang dijuluki Serambi Mekkah, Daerah Madani atau ditengah-tengah masyarakat yang terkenal adat istiadatnya ternyata perilaku suap menyuap juga telah membudaya.    

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Senin tanggal 1 Oktober 2007, Hal 1

Peluang Calon Independen

Akhirnya, Makamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan bahwa calon dari Non Partai Politik (Parpol) atau calon independen boleh ikut Pemilihan Kepala Daerah. UU Pemda Pasal 56 ayat (2), 59 ayat (1,2 dan 3) yang mengharuskan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan tertentu dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan MK ini bagi banyak pihak tentu disambut suka-cita, karena tanpa berpolitik dalam arti tidak berhubungan, tidak menjadi anggota/pengurus bahkan tak perlu mendaftar untuk dicalonkan oleh Parpol bisa ikut kegiatan (Politik ) pemilihan kepala pemerintah daerah. Pilkada di Nangro Aceh Darussalam telah memberi contoh, Gubernur dan Wakilnya, serta Bupati dan Wakil bupati terpilih berasal dari calon independen alias bukan dari yang diusulkan Parpol.
Di sisi lain banyak Parpol yang meradang dengan keputsan tersebut. Bagaimana tidak, selama ini Parpol merupakan satu-satunya loket penjualan tiket untuk ikut ajang Pilkada. Partai Golkar dan PDIP sebagai pengusung terbanyak Kepala Daerah menganggap Keputusan Hakim MK tersebut sebagai hal yang aneh ditengah realita sosial Politik.
Ajang lima tahunan tersebut cenderung menjadi lahan bisnis, Parpol seakan hanya berfungsi sebagai mobil rental karena jarang sekali calon yang berasal dari pengurus/anggota Parpol. “penyewa” yang berasal dari luar partai harus membayar ongkos tanda jadi (DP) yang mahal untuk ikut proses sebagai peserta Pilkada. Mereka cenderung menjadi objek pemerasan, sebab “tanda jadi” tersebut baru untuk sebagai pendaftaran calon kepala daerah saja dan belum tentu diterima dan diloloskan menjadi calon yang diajukan dan diikutkan dalam Pilkada.
Terbukanya kesempatan bagi calon independen akan banyak membawa kebaikan, mau tidak mau Parpol harus berbenah dan mempersiapkan kadernya untuk diterjunkan dalam ajang Pilkada. Sebab dukungan Parpol bukan lagi syarat mutlak, karena dengan dukungan Non Parpol pun bisa. Para akademisi, birokrat, pakar, kaum professional dan tokoh masyarakat yang mempunyai popularitas dan selama ini menahan diri, berposisi netral yang tidak menjadi pengurus, anggota dan simpatisan Parpol tentunya akan menjadi lawan tangguh bagi calon-calon dari Parpol.
Calon independen juga akan (diharapkan) mengurangi ongkos politik, tidak harus membeli dukungan atau dengan kata lain tidak mesti menghabiskan atau menghambur-hamburkan uang milyaran rupiah untuk mendapatkan posisi Gubernur, Bupati/Walikota. Karena semakin besar uang diinvestasikan untuk meraih kursi Kepala Pemerintah Daerah Otonom maka semakin banyak APBD yang dialokasikan untuk mengembalikan modal tersebut.
Dengan ‘kado’ dari MK tersebut imej pencalonan menjadi Kepala Daerah hanya boleh diikuti oleh milyader dan hampir tidak ada peluang bagi tokoh berkantong tipis, sekalipun mungkin mereka memiliki komitmen, tekat dan program yang bagus, bisa dihilangkan. Agar persepsi bahwa demokrasi atau politik itu memang mahal, perlu investasi besar, seolah-olah tanpa uang yang banyak demokrasi tidak bisa berjalan adalah keliru. Karena sesungguhnya kita sudah bisa melihat dan merasakan pesta politik dengan biaya murah dan hemat tanpa mengurangi nilai-nilai demokratis yaitu pemilihan Wali Nagari atau dulunya Pilkades. Bukankah Wali Nagari itu berasal dari calon independen yang dipilih secara langsung.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 26 Juli 2007, Hal 1

Hukuman Mati Untuk Pelaku Korupsi Berencana

Salah satu kejahatan yang diancam dengan hukuman mati adalah pembuhuhan berencana sebagaiman dinyatakan dalam pasal 340 KUHP “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Unsur rencana adalah adanya tenggang waktu pendek atau panjang dalam mana dilakukan pertimbangan dan pemikiran yang tenang, pelaku juga dapat memperhitungkan makna dan akibat-akibat perbuatannya dalam suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk berpikir (arrest Hoge Reaad 22 maret 1909).
Belakangan warga Sumatera Barat disuguhkan dengan berita terungkapnya kasus-kasus korupsi hampir di setiap daerah Kabupten/Kota; Kabupaten Agam dengan kasus GNHRI. Pasaman dengan kasus Bantuan Depsos, Tanah Datar dengan kasus bagi-bagi Bunga Deposito, Lima Puluh Kota dengan Kasus Pinjam dari Pihak ke-tiga dan kasus-kasus lainnya. Pemunculan kasus-kasus tersebut dilanjutkan dengan langkah progesif pihak Kejaksaan dengan menahan para pelaku, tercatat mulai dari Kepala Dinas hingga Mantan Bupati meringkuk dalam tahanan. Kasus demi kasus tampaknya akan terus bergulir seakan tiada kendali, tanpa pandang bulu Bupati, Sekretaris Daerah, Eselon II, bendahara rutin bahkan staf-pun tak akan luput dari jerat korupsi.
Korupsi berasal dari kata Latin Corruption (kata kerjanya corrumpere) berarti pengrusakan, penghancuran, penyuapan. Tidak ada kata lain didunia ini yang hanya bermakna negatif sebagaimana kata korupsi. Korupsi seperti virus penyakit epidemi yang menular bahkan merasuk ke seluruh aspek kehidupan, bukan hanya di eksekutif, legislatif, yudikatif, sektor swasta bahkan institusi militerpun dijangkiti oleh penyakit korupsi.
Dilihat dari jumlah nominal dari kasus korupsi yang terungkap Sumatera Barat belakangan adalah “sangat kecil” jika dibandingan dengan jumlah nominal hasil korupsi yang luput atau belum disentuh penyidik, yaitu korupsi secara struktural, sistematis dan terencana. Berlabel Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota hampir disetiap daerah telah terjadi pengerogotan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui belanja pegawai. Pengadaan barang dan jasa, tunjangan daerah, kegiatan kepanitiaan dan lain-lain itu terjadi sesaat data menunjukan tingginya jumlah rakyat dan keluarga miskin di Ranah Minang ini.
Indikasi korupsi secara sitematis dan berencana ini dapat dilihat dengan disyahkannya seluruh ABPD Kabupaten/Kota di Sumatera Barat yang rata-rata sebesar Rp. 500 Milyar, tidak satupun ABPD Kabupaten/Kota yang belanja publiknya lebih besar dari belanja pegawai. Rata-rata 70 persen dari keseluruhan dana APBD dipergunakan untuk Belanja Pegawai, sisanya untuk belanja Barang dan Jasa, Bantuan Keuangan, Bantuan Sosial dan Lain-lain. Kalau dicermati lebih dalam, anggaran yang langsung menyentuh masyarakat baik berupa pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial sangat kecil jumlahnya tidak mencapai 10 persen!
Yang paling berpesta pora dalam korupsi berencana adalah para pembuat keputusan, Bupati/Wakil Bupati, Sekda, Pejabat Eselon II (Kepala Dinas). Dari hitung-hitungan kasar kita bisa mengetahui betapa lapok-lapaknya mereka. Kita ambil contoh seorang kepala Dinas atau pejabat eselon II yang mempunyai golongan kepangkatan IV/a, disamping gaji pokok, tunjangan keluarga dan tunjangan beras yang berkisar Rp. 2 juta, setiap bulan juga menerima tunjangan jabatan Rp. 1,5 juta, uang makan R. 10.000/hari (sebulan sekitar Rp. 200 ribu), sebuah mobil plat merah berikut seorang sopir plus BBM perhari sebesar Rp. 100 ribu berikutnya dangan perencanaan yang matang juga melakukan perjalanan dinas luar kota 10 hari X Rp. 300 ribu (sebulan Rp. 3 juta) tunjangan beban kerja (tunjnganan daerah) Rp.2 juta sebagai penanggung jawab kegiatan Rpi. 300 ribu, penanggung jawab anggaran Rp.300 ribu, sehingga take home pay pejabat eselon II setiap bulan nya tidak kurang dari 7,5 juta rupiah tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi ketempat kerja dan tagian telepon. Apalagi kalau dihitung pemasukan seorang Bupati/Walikota, disamping menerima dana taktis, tunjangan kesehatan, tunjangan pakaian masih juga pada posisi pertama dan tertinggi menerima Tunjangan Daerah!. Hal tersebut adalah penghasilan-penghasilan yang ilegal dan syah karena telah ada payung hukumnya baik Peraturan Menteri Keuangan maupun Perda atau Keputusan Kepala Daerah.
Jika semua penghasilan tersebut ada Perda dan Keputusan Bupati/Walikotanya lantas dimana letak korupsi berencana-nya? Hal ini lah yang penting untuk kita ketahui dan telaah dengan cermat, Prof. Mr.Dr. L.J. Van Apeldoom dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum terbitan PT. Pradnya Paramita mengatakan “Juris praecepta sunt haec:honeste vivere, alterum non laedere, sun cuique trubuere” yang artinya peraturan dasar dari hukum adalah hidup dengan patut, tak merugikan orang lain dan memberikan pada orang lain apa yang menjadi haknya. Sejalan dengan pemikiran ilmuwan Belanda tersebut, adanya pemerintahan adalah untuk menyelenggarakan pembangunan disetiap sendi kehidupan untuk mencapai tujuan masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Lapi pula, hakikatnya Otonomi daerah mengemban misi tanggung jawab pembangunan untuk mensejaterahkan masyarakat di daerahnya masing-masing. Sejak otonomi daerah mulai dilaksanakan pada Januari tahun 2001 juga dilaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal yang membawa perubahan peta pengelolaan fiskal sehingga uang yang berputar tidak lagi terpusat di Jakarta dan pada gilirannya ada perbaikan perekonomian rakyat. Untuk itu Pemerintah dalam hal ini Bupati/Walikota beserta jajarannya bersama-sama DPRD diberi wewenang menyusun dan mengesahkan APBD. Kenyataan yang kita lihat saat ini adalah Bupati/Walikota bersama-sama DPRD dengan secara sadar dan terencana merancang dan mengesahkan serta menghabiskan APBB, yang jelas-jelas tidak berdampak banyak untuk kesejaterahan masyarakat, tidak berdampak banyak untuk mengatasi kebodohan dan kemiskinan.
Mungkin di Sumatera Barat yang kita cintai sangat jarang ada orang mati karena tidak makan, tetapi banyak orang mati bunuh diri karenan masalah ekonomi, karena beratnya resiko bertahan untuk hidup atau mencari upah untuk makan sangat gampang untuk dilihat, rumah-rumah penduduk yang masih berlantai tanah, berdinding bambu dan beratap rumbia, rumah penduduk di daerah rawan bencana sangat banyak pada Kabupaten / Kota. Tidakkah disadari bahwa hal tesebut langsung maupun tidak langsung telah dengan sengaja dan terencana mencabut kesempatan hidup orang lain, atau dengan kalimat halus dengan sengaja membiarkan orang lain dalam resiko kematian. Di sini kita melihat bahwa mentalitas yang lemah pejabat kita karena tidak memiliki sensilibilitas terhadap kondisi di sekitarnya misalnya masih banyaknya keluarga miskin di daerahnya atau nasib pegawai/staf rendahan yang berada di bawahnya.
Berpedoman pada pasal 340 KUHP, karena APBD tersebut nyata-nyata dirancang, dibuat dan disusun tetapi tidak berpihak kepada kondisi masyarakat saat ini dililit kemiskinan, lantas disyahkan dan dipakai juga maka unsur menghilangkan nyawa (kesempatan hidup), dengan rencana dan sengaja terpenuhi. Dan para pejabat yang bertanggung jawab dalam proses pembuatan hingga pengesahan APBD terseut pantas diberi hukuman mati.
Awalnya kita optimis dengan berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi Korupsi, membuat undang-undang Tidank Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di samping Perangkat-perangkat yang telah ada seperti KUHP, Kejaksaan, Polisi, Peradilan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan disetiap daerah juga telah ada Badan Pengawas Daerah atau Inspektorat, Tetapi, mengapa belum juga bisa mewujudkan pemberantasan korupsi secara nyata dengan langkah-langkah secara tegas dan tidak pandang bulu. Apakah perangkatnya kurang ? tidak. Apakah tidak ada tauladan? juga tidak, karena kita pernah punya Muhammad Hatta yang hidup sederhana walau dia seorang Proklamator dan Wakil Presiden.
Atau mungkinkah kita memerlukan sosok Zhu Rongji yang terkenal karena ketika menjadi Perdana Menteri Cina berhasil menjadikan Cina sebagai Negara paling aman untuk berinvestasi dengan memesan 100 peti mati (salah satu untuk dirinya sendiri) untuk pejabat pemerintah Cina yang terbukti melakukan korupsi?.
Entahlah, yang jelas pelaku korupsi harus dihukum berat, apalagi para pelaku yang melakukan korupsi secara sistematis dan terencana sangat pantas untuk dihukum mati.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, edisi Kamis tanggal 10 Mei 2007, Hal 5

Saturday, July 11, 2015

OTT PTUN Medan, (Dulu, saya hampir tangkap salah satu tersangka itu)



Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT), Kamis (9/7/2015) siang. Pada OTT tersebut, KPK mencokok lima orang di Kantor PTUN Medan, mereka adalah Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, Hakim Amir Fauzi, Hakim Ginting, panitera PTUN Medan Syamsir Yusfan, dan seorang pengacara anak buah OC Kaligis bernama Yagari Bastara.
Setelah memperhatikan salah seorang yang ditangkap. saya menghubungi PTUN Padang untuk memastikan apakah salah seorang tersangka yang ditangkap pernah bertugas di PTUN Padang, jawaban yang saya terima adalah benar Syamsir Yusfan pernah bertugas di PTUN Padang.
Saya teringat kejadian yang saya alami pada tahun 2011 di PTUN Padang. Waktu itu, beberapa hari setelah memasukan gugatan ke PTUN Padang, saya dihubungi seseorang yang mengaku sebagai Kepala PTUN Padang. Setelah memperkenalkan diri (nama yang disebutkan persis sama dengan Kepala PTUN Padang) orang itu mengatakan telah membaca dan mempelajari gugatan saya. Dia mengatakan bahwa apa yang saya gugat sudah tepat dan benar secara hukum, dia berjanji akan membantu saya dalam sidang nantinya.
Selanjutnya dia meminta nomor faxsimilie untuk mengirimkan surat panggilan, karena itu urusan pribadi saya tidak memberikan nomor fax Instansi tempat saya bertugas melainkan nomor fax telkom dan menunggu surat panggilan disitu. (saya yakin orang itu memang bertugas di PTUN Padang karena dia tahu persis isi gugatan saya dan nomor fax yang tercantum nama PTUN Padang pada pengirim fax yang saya terima)
Setelah menerima fax tersebut insting saya mengatakan bahwa itu tidak mungkin Kepala PTUN Padang karena “berani” menghubungi orang yang akan berperkara dan menjanjikan bantuan serta mengurusi pengirman surat/fax. Keyakinan bahwa itu bukan seorang Kepala PTUN Padang melainkan “mafia hukum” membuat saya segera mempersiapkan diri.
Tidak lama setelah fax saya terima dia menelpon lagi, setelah menanyakan apakah fax diterima dan kembali berbasa-basi tentang gugatan saya. Selanjutnya dia mengatakan butuh uang karena akan berangkat ke Jakarta menemui Ketua Mahkamah Agung. Saya mengatakan tidak punya uang, tetapi dia terus mendesak dengan alasan sangat butuh. Saya mengatakan nanti sore saya usahakan dan bapak silakan telpon lagi.
Setelah percakapan itu, percakapan selanjutnya saya rekam dan simpan sampai saat ini (ada 3 rekaman pembicaraan dengan mr.x tersebut)
Saya berencana akan “menangkap basah” orang itu, saya menghubungi seorang Jaksa di Kejaksaan Tinggi dan dia bersedia membantu. Tetapi “Ketua Pengadilan” ini cukup licin, dia tidak mau menerima uang secara tunai, dia mendesak saya memberikan uang via transfer, dia memberikan 2 buah nomor rekening Bank. Bank BNI Padang dan Bank Mandiri di Jakarta.
Akhirnya transaksi penyerahan uang tidak terlaksana karena sang mafia tidak mau bertemu secara langsung dan rencana operasi tangkap tangan yang saya rencanakan dengan Jaksa tersebut gagal.
Pada proses pengajuan gugatan tahap selanjutnya di PTUN Padang saya tetap bertindak seperti tidak mengalami apa-apa.
Tetapi akhirnya rekaman pembicaraan dengan sang “Ketua PTUN” itu terpaksa saya jadikan senjata ketika sudah 2 kali saya harus bolak balik hanya untuk memperbaiki gugatan.
Ketika batas akhir waktu memperbaiki gugatan hampir habis, saya meminta langsung bertemu dengan Ketua PTUN Padang. Awalnya Ketua Pengadilan menolak dengan alasan sibuk, tetapi ketika saya mengatakan ada hal serius yang harus dibicarakan, dengan terpaksa dia mengajak saya masuk keruangannya.
Saya memprotes para pejabat dan hakim yang tidak profesional dalam menangani perkara; “saya terpaksa bolak-balik hanya untuk memperbaiki gugatan, setelah diperbaiki yang salah, ada lagi yang lain harus diperbaiki, dan saya merasa dipermainkan! Kalau begini cara “mengerjai” saya, maka saya pun bisa mengerjai Bapak dan semua orang yang ada di Pengadilan ini”.
Ketua Pengadilan itu terkejut ketika saya berkata dengan nada tinggi begitu
“Sekarang terserah Bapak apakah gugatan saya akan diproses atau tidak, tetapi saya minta kepada Bapak untuk memproses apa yang ada dalam rekaman saya ini, kalau Bapak tidak  mau, saya akan membeberkan ini kepada Publik!”,
“Apa itu?”, tanya Ketua Pengadilan dengan  kaget.
“Saya menerima telepon dari orang yang mengaku sebagai Ketua PTUN Padang, saya sangat yakin ini orang PTUN, dan ini rekamannya!”, jawab saya dan lantas memutarkan 1 buah rekaman pembicaraan itu. Kepala PTUN itu sangat kaget, dan saya mengatakan mempunyai 3 buah rekaman.
(salah satu transkrip rekaman itu)
Mr X : Halloo, Assalamualaikum...
Saya : Waalaikumsalam, Pak Mr X?(Saya menyebut nama Ketua Pengadilan)
Mr X : hehe iya...Pak Komar?
Saya : Saya sudah mau berangkat ke padang ini pak, saya mau kasih tunai ke bapak..
Mr X : masalahnya kalau bawa tunai ndak enak, jadi tinggal bukti kwitansi pak komar terima nanti..
Saya : Kita di luar kantor saja Pak ketemunya..
Mr X : Masalahnya sekarang KPK lagi gencar-gencarnya.... Bapak tidak mau ada gimana-gimana
Saya : Saya mau terus terang saja ke Bapak, mohon maaf ini...mohon maaf! jadi saya kalau ketemu Bapak kan sekalian bisa teken tanda terima...
Mr X : Itu nanti saya teken,..
Saya : Iya pak, tapi saya ndak berani kalau seperti itu karena ini uang mertua saya..
Mr X : Bapak mengerti, bapak mengerti...cuma ini persoalan waktu saja ini pak kamaruddin
Saya : Saya maunya ketemu langsung dengan Bapak..
Mr X : Nanti ketemu langsung dengan saya...cuma sekarang lagi gencar-gencarnya satgas, seperti halnya kemarin itu penangkapan jaksa di cibinong..yang ditangkap sama kpk. Sekali saya sampaikan...saya tidak mau terima dana tunai..apalagi ada keterlambatan, saya janjinya kemarin kemudian minta undur sampai jam 9 hari ini....sekali lagi saya minta itu dikirim saja
Saya : Saya mau membantu tapi kita ketemu dulu..
Mr X : Nanti kita ketemu, tapi dana itu harus masuk sebelum jam 9..
Saya : Ya Bapak kirim nomor rekening bapak... uangnya sekarang saya pegang pak bukan dalam rekening
Mr X : Dana nya sudah dipegang sekarang
Saya : iya
Mr X : Jadi saya kirimkan nomor akun staf saya....saya tidak mau gimana-gimana seperti jaksa yang ditangkap itu.
Saya : Staf bapak yang di Padang pak? pegawai pengadilan juga pak?....saya juga takut ditangkap pak,..
Mr X :  Iya..iya...
==000==
Ketua PTUN Padang meminta saya untuk tidak “mempublikasikan” rekaman itu, dan berjanji akan mengusut oknum tersebut. Ketua PTUN tersebut juga berjanji membantu perkara saya, bahkan dia langsung memanggil salah seorang panitera untuk memperbaiki surat gugatan saya.
Pada akhirnya, PTUN Padang dapat memastikan siapa oknum yang melakukan pembicaraan dengan saya tersebut dan yang bersangkutan di pindahkan dari PTUN Padang. Saya sempat menyalami yang bersangkutan, wajahnya terlihat getir ketika menjabat tangan saya.
Seharusnya kejadian ketika dia bertugas di PTUN Padang menjadi pelajaran untuk tidak lagi melakukan perbuatan Korupsi, dan harus bersyukur karena waktu itu dia hanya diberikan “hukuman” berupa Mutasi. Tetapi kini, sanksi atau hukuman bukan hanya  mutasi tetapi berhenti dari PNS bahkan penjara!!

Thursday, May 28, 2015

Transkrip Persidangan (4)

H

JH
J

JH
J
H
J
:

:
:

:
:
:
:
Saudara DK Jaya Motor itu apa hanya menjual toyota saja, atau ada yang lain??
Ada yang lain
Apakah bisa menjual kepada user pribadi langsung?
Kebanyakan pribadi
Selain kepada pribadi ada juga ke perusahaan lain?
Ada
Dalam hal ini mobil yang dimaksud ini, itu sudah dijual kepada ??
JH
J

JH
J

JH

J
JH
H
H
JH
H



JH

H

JH
H
JH
H
JH
H
JH
H
JH
H

:
:

:
:

:

:
:
:
:
:
:



:

:

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Iya
Yang menerbitkan faktur apakah showroom, atau hanya importir
Hanya importir pak
Kenapa harus lewat saudara ?? tidak langsung Kencana ke importir
Tidak bisa pak, karena Kencana beli ke kita dan kita beli ke Multicentra
Berarti yang pertama yang importir??
Iya
Saudara Jono Hans
Saudara kenal sama PT Baladewa??
Tidak
Saudara tadi dapat untung 5 juta. Permintaan dari PT Kencana Utama untuk penerbitan itu atas permintaan sekretariat pemda Pasaman Barat. Ada dilampirkan tidak selain dari Pasaman Barat??
Tidak
(Hakim memperlihatkan berkas)
Jadi hanya sampai Kencana saja saudara?? Dari Kencana kemana saudara tidak tahu..
Tidak tahu
Nanti Kencana ke Baladewa saudara tidak tahu??
Tidak tahu
Sampai hasil akhirnya saudara tidak tahu??
Tidak tahu
Bisa tidak pemda itu langsung ke saudara??
Tidak bisa pak
Membeli??
Kalau membeli bisa saja
Ini kan jadi memperpanjang. Jadi ini tidak ada manfaat survey. Ini ada beberapa tempat. Apa ini tidak ada di Sumbar. Disini kan ada auto 2000. Apa tidak ada didaerah??
JH
H
JH
H
JH
J

JH
H
JH
J


JH
J
JH
J
JH
J

JH
J

JH
:
:
:
:
:
:

:
:
:
:


:
:
:
:
:
:

:
:

:
PT Kencana Utama Sakti
PT Kencana itu apa??
Showroom
Dari Kencana kemana lagi saudara tahu?
Tidak tahu
Saudara apakah pernah melihat langsung dengan mata saudara Prado TX-L ini?
Pernah
Dimana??
Di showroom kami
Di showroom saudara. Apa benar itu bedanya Electric seat di bangku ketiganya? Apa saudara waktu itu didampingi penyidik lainnya??
Didampingi
Kalau yang lainnya, beda speknya
Saya tidak ingat pak
Kencana Utama itu dimana tempatnya??
Kelapa Gading pak
Kelapa Gading, jadi dari Kencana kemana lagi alurnya saudara tidak tahu lagi ya??
Tidak tahu pak
Berarti saudara menerima permintaan fakturnya atas nama??
Pemda Pasaman Barat
Itu yang saudara lanjutkan lagi ke PT Multicentra
JH
H
H

JH
H

H

JH
H

H
JH
H

JH
H
JH
H

JH
H
H



JH
H
PH


H
:
:
:

:
:

:

:
:

:
:
:

:
:
:
:

:
:
:



:
:
:


:
Auto 2000 tidak ada Prado pak
Tidak ada
Kalau misalnya dimintakan ke auto. Bisa tidak survey kita cuma sampai auto??
Mungkin-mungkin saja pak
Ini saya lihat, mutar-mutar ini, padahal saya liat bisa saja di auto. Tidak habis-habis kan uang
Harapan dan pemintaan dari bupati itu Limited. Siapa yang hantar mobil itu ke pemda?
Saya tidak tahu
Ini yang saya pertanyakan, kenapa harus memperpanjang birokrasi nya.. Bisa dipersingkat kan bisa.
Bisa tidak pemda suvey ke kantor saudara??
Kalau tanya harga saja bisa
Bisa kan.. kenapa harus berputar-putar. Kantor saudara dimana??
Jl. Batu Tulis Raya
Nomor berapa??
15
Bisa saja kan tanya auto 2000, nanti auto 2000 yang mecarikan, atau langsung ke importir
Importir belum tentu mau menjualnya pak
Maksud saya kita survey harga dulu..
Saksi JONO ya. Tadi katanya saudara dari DK Jaya menjualnya ke Kencana, tapi kok dalam ini perusahaan saudara melakukan tanggal penyerahan kepada Suwandi dari Showroom Star mobil mobil punya CV Kurnia Selaras.
Kirim mobilnya kesana tidak bu
Coba saudara liat ini ( memperlihatkan berkas)
Saudara saksi, saudara pernah membaca media Tempo. Pernah saudara membaca tentang pengadaan mobil Prado Pemda Kabupaten Pasaman?
Tidak
H
PH
JH
PH
JH
PH
JH
PH


JH


PH

JH
PH

JH

PH
JH
PH
JH
PH


JH
PH
JH
PH
JH
J
:
:
:
:
:
:
:
:


:


:

:
:

:

:
:
:
:
:


:
:
:
:
:
:
Perusahaan saudara ini adalah showroom. Apakah juga sebagai importir??
Tidak
Perusahaan saudara bisa menjual langsung kepada user?
Bisa
Jadi bukan importir ya??
Iya bukan importir
Tadi saudara mengatakan bahwa unit yang dijual kepada Kencana seperti ini. Utuh seperti yang saudara liat seperti ini
Kalau sampai sekarang saya pastikan ini karena chasisnya pak. Tapi kalau udah ada tambahan accesoris, saya tidak tahu.
Tadi saudara mengatakan adtomaa perbedaan antara TX  dengan TXL hanya 25 juta
Pada saat itu
Iya pada saat itu, yang 25 juta itu seperti apa saja tambahan nya?
Sepengetahuan saya kursi yang dibelakangnya itu automatic.
Jadi cuma itu saja??
Sepengetahuan saya itu saja pak
Tahun 2010 tu prediksi saudara 25 juta
Iya
Kalau perusahaan saudara bisa mengikuti proyek-proyek yang diadakan pemerintah daerah, yang nanti pembayarannya terakhir.. sanggup??
Nanti itu kebijakan bos
Kebiasaannya bagaimana??
Selama ini tidak pernah
Selama ini bagaimana??
Hanya jual lepas
Saudara pernah lihat spek seperti ini??
JH
JH
H

JH
H
JH
PH
JH
PH

JH
PH

JH
PH
JH
JH
PH
JH
H
T

:
:
:

:
:
:
:
:
:

:
:

:
:
:
:
:
:
:
:

Kalau ini ada pakai audio
Belum tentu ya pak ya, sesuai yang mesan
Saudara kan tidak tahu bedanya, yang saudara tahu ? Apakah ditambah kemudian saudara tidak tahu
Tidak. Waktu dijual tidak ada audio
Sekarang ada audio?
Ada
Saudara kenal dengan ini??
Tidak
Terhadap mobil ini, pada waktu bapak menjual ini ada jok kulit??
Saya pribadi tidak ingat.
Apakah perusahaan saudara pernah mempublish harga 680 juta ini??
Maksud mempublish??
Mengumumkan di media, brosur
Tidak ada
Kalau ditelpon baru di kasih tahu
Apakah itu harga pasar?
Harga pasar off the road
Gimana keterangan saksi
Saya tidak kenal bu...