Beberapa media televisi dan media
cetak belakangan memberitakan suhu politik di Korea Selatan memanas setelah
sahabat Presiden Park Geun-hye, Choi Soon-sil, ditangkap polisi karena dianggap
telah campur tangan dalam urusan pemerintahan. Namun, ditangkapnya kawan Presiden
tersebut tidak membuat protes warga mereda karena mereka juga menuntut Presiden
Park Geun-hye mengundurkan diri. Karena perlakuan Presiden Park Geun-hye terhadap
sahabatnya Choi Soon-sil termasuk bagian dari Nepotisme yang melanggar hukum.
Jaksa penuntut yang
menginvestigasi kasus kedekatan Presiden Park Geun-hye dengan kawannya Choi
Soon-sil menilai bahwa hubungan kedekatan keduanya tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya, Presiden telah membiarkan kawannya yang warga sipil itu mendapatkan
akses ke sejumlah dokumen rahasia negara yang membuatnya bisa mempengaruhi
isu-isu pemerintahan. Choi Soon-sil juga dituding telah menggunakan "perkawanannya"
dengan Presiden untuk mendapatkan keuntungan pribadi lewat sejumlah yayasan
nonprofit.
Di Korea Selatan, Nepotisme juga merupakan
perbuatan melanggar hukum. Jauh sebelum kasus yang melibatkan Presiden Perempuan
Korsel tersebut, pada tahun 2010 semasa Presiden Lee Myung-bak, Menteri Luar
Negeri Korsel waktu itu Yu Myung-hwan, mengundurkan diri jabatannya karena
ketahuan melakukan nepotisme dengan mengangkat putrinya menduduki posisi
strategis di Kementerian yang dia pimpin.
Apa yang terjadi di Korea Selatan
saat ini mau tidak mau mengingatkan kita pada gerakan Reformasi 1998 yang
memaksa Presiden Soeharto mengakhiri kekuasaannya setelah 32 tahun! Dimana salah
satu pemicu gelombang reformasi tersebut adalah adanya tuduhan Nepotisme
terhadap Presiden Soeharto.
Pertanyaannya, apa itu Nepotisme
sehingga mampu memicu gejolak sebuah negara dan memaksa mundur seorang Presiden?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Nepotisme adalah perilaku yang
memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; atau
kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri,
terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; atau tindakan memilih
kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan walaupun objek
yang diuntungkan tidak kompeten.
Nepotisme diatur secara tegas
dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, menegaskan bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara
Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara”.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, jelas dan
tegas bahwa Nepotisme adalah sebuah pelanggaran hukum. Persoalannya adalah
sampai saat ini kita belum melihat ada perang melawan Nepotisme, belum ada Vonis
Hakim yang menghukum terdakwa yang melakukan perbuatan nepotisme. Perang hanya
dilakukan pada Korupsi, Vonis dijatuhkan hanya karena melakukan Korupsi,
padahal korupsi tersebut dilakukan dan diawali dengan melakukan Kolusi dan
Nepotisme.
Sejak Era Reformasi,
Pemberantasan Korupsi memang terasa gencar dilakukan. Lembaga Anti Rasuah,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, puluhan pelaku Korupsi ditangkap
dan dihukum. Para Pejabat Pemerintahan, Menteri, Gubernur, Bupati/walikota;
para tokoh Partai Politik, Ketua Partai, Anggota DPR dan Para Penegak Hukum itu
sendiri Hakim, Jaksa dan Polisi ditangkapi dan dihukum karena kasus korupsi.
Tetapi kasus-kasus Nepotisme
sepertinya lenyap dan terlupakan begitu saja. Contohnya, Nepotisme yang
dilakukan Presiden Soeharto. Nepotisme yang dilakukan Presiden Soeharto
benar-benar telah membuat rakyat sakit hati karena seluruh anak-anak Soeharto dan istrinya menjadi anggota DPR, disamping
merangkap sebagai pengusaha, begitupula dengan sanak saudaranya yang lain.
Nepotisme yang dilakukan Presiden
Soeharto tidak pernah tersentuh hukum. Dan yang mutakhir adalah nepotisme yang
dilakukan oleh Ratu Atut Chosiyah di
Banten. Kejahatan nepotisme yang dilakukan
keluarga Atut tidak ubahnya dengan keluarga Suharto dimana seluruh anak-anak
Suharto dan istrinya menjadi anggota DPR, disamping merangkap sebagai pengusaha
kakap. Ratu Atut Chosiyah “hanya” dituntut Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi karena perbuatan Korupsi yang
dilakukan secara, terstruktur, sistematis, dan massif atau disingkat TSM. Ratu
Atut Chosiyah menguasai elit-elit
birokrasi di pemerintahan dan elit-elit politik di Banten sehingga dia bisa
dengan mudah mengatur dan menguasai semua proyek yang ada.
Kini kejahatan Nepotisme
seperti itu terus bermunculan, terutama dalam pengangkatan pejabat birokrasi dan
penunjukan pelaksana proyek-proyek setelah berlangsungnya Pemilihan Kepala
Daerah. Ada candaan yang sering terdengar, setelah Pilkada semua pejabat sampai
ajudan bahkan sopir akan berganti, begitu pula rekanan penyedia/pelaksana
proyek.
Walau telah
dibungkus sistim dan prosedur “kompetisi” tetap saja dengan mata awam sekalipun
banyak sekali terlihat bahwa yang terpilih, diangkat atau ditunjuk itu adalah
para keluarga, kerabat atau teman-temannya. Orang-orang yang lebih berkualitas dan memiliki kompetensi telah duluan tersingkir, tidak diberi
kesempatan untuk berkompetisi menunjukan ilmu dan
keahliannya.
Nepotisme sangat kentara terjadi
pada birokrasi pemerintahan daerah sekaligus terkait dengan Pemilihan Kepala
Daerah adalah dengan adanya gelombang mutasi Pejabat Aparatur Sipil Negera (ASN)
antar daerah. Ketika jagoannya kalah dalam Pilkada maka mereka segera
mengajukan permohonan pindah ke daerah yang Kepala Daerahnya mempunyai
“hubungan kekerabatan” dengannya. Dan lima tahun kemudian akan kembali ke
daerah tersebut jika yang menang adalah jagoan mereka. Petualang-petualang
jabatan yang mengandalkan Nepotisme tersebut dapat dilihat pada pelantikan
pejabat ASN setelah Pilkada. Pada daerah tersebut mudah terlihat siapa yang
orang dekat dan tidak dengan Kepala Daerah.
Berkembangnya praktek Nepotisme
membuat ASN terpaksa ikut-ikut berpolitik dukung-mendukung calon kepala daerah
dengan motif imbalan jabatan. Walau secara kualitas ASN itu sesungguhnya memiliki
pendidikan, kualifikasi dan keahlian memadai untuk berkompetisi secara fair
dalam menduduki jabatan dimaksud. Tetapi adanya praktek nepotisme itu yang
membuat pada akhirnya mereka “terpaksa” ikut berpolitik, atau paling tidak
mencari orang dekat/tangan kanan Kepala Daerah untuk mengamankan jalan menuju menduduki
jabatan tertentu.
Hal itu pulalah yang menyebabkan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, ada aturan bahwa petahana atau incumbent
dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum masa jabatannya berakhir
!
Lantas bagaimana caranya agar nepotisme tidak terus terjadi?
Sesungguhnya momentum itu telah terjadi pada tahun 1998 dengan adanya tuntutan
penghapusan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang pada akhirnya mampu
memmbuat Presiden Soehato mengundurkan diri. Bahkan telah ditetapkan oleh MPR
sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan hasil sebagaima
pemberantasan korupsi. Oleh karenanya perlu “kampanye memerangi
nepotisme”. Publik harus diberi tahu betapa destruktifnya praktik Nepotisme
jika terus terjadi dan rakyat diminta untuk bersikap kritis terhadap
praktek-praktek Nepotisme yang terjadi seperti halnya yang terjadi di Korea
Selatan. Nepotisme harus diperangi sebagaimana halnya perang melawan korupsi yang
telah dilakukan Presiden-presiden setelah era Reformasi. Presiden Megawati
memerangi Korupsi dengan membentuk Komisi Pemberarantasn Korupsi (KPK) di era
pemerintahannya. SBY memerangi korupsi dengan dengan slogan “Katakan TIDAK
pada korupsi” dan “Saya akan berdiri paling depan menghunus pedang melawan
korupsi”. Joko Widodo memerangi korupsi
dengan memberantas pungli, bahkan "Bukan hanya Rp. 500 ribu atau
Rp. 1 juta, urusan Sepuluh Ribu Rupiah pun akan saya urus!,"
Bagi sebagian orang “Perang
Melawan Nepotisme” mungkin akan membuat gaduh karena telah merasa nyaman dengan
kondisi seperti ini. Sama halnya dengan sinisme terhadap gerakan pemberantasan
pungli yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Pada awalnya banyak yang mengatakan
“ngapain presiden mengurus yang ecek-ecek!” Tetapi baru sebulan jalan
masyarakat sudah merasakan dampaknya, urusan di kantor Polisi, urusan di
Samsat, urusan di Pencatatan Sipil
betul-betul murah. Dengan perang melawan Nepotisme maka akan terjadi perusakan,
bila perlu penghancuran comfort zone (zona nyaman) Nepotisme yang dinikmati
sebagian orang! Tetapi akan membuat lebih banyak rasa keadilan yang dinikmati lebih
banyak orang. Semoga.
Lubuk Basung, 9 Nopember 2016
No comments:
Post a Comment