Ini tentang Rufriadi kawan semasa kuliah di Fakultas Hukum UMSB - Bukittinggi yang telah berpulang pada tanggal 30 Mei 2007 di Banda Aceh, mungkin banyak kawan-kawan yang tidak tahu.Mungkin sewaktu kuliah dia dianggap mahasiswa biasa tetapi di Aceh dia merupakan seorang Tokoh yang luar biasa. Untuk mengetahui kiprahnya silakan telusuri dengan mengetik namanya di google.
http://www.rakyataceh.com/print.php?newsid=2151
RABU (30/5) pagi kemarin sebuah SMS (short message service) dari seorang sobat menggetarkan telepon seluler. Sekumpulan kalimat pesan singkat itu membuat hati tak percaya. Padahal baru beberapa hari terakhir, nama yang disebutkan dalam SMS, sempat di wawancarai.
“Innalillahi wainna illahi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah saudara kita Rufriadi SH, Direktur Komunikasi BRR NAD-Nias.†Begitulah bunyi pesan singkat itu Seolah-olah tak percaya, tapi itu kenyataan yang terjadi.
Putra kelahiran Sabang itu menghembuskan nafas terakhir, Selasa (29/5) sekitar pukul 23.00 WIB di RSUZA. Jenazah sempat disemayamkan di rumah keluarganya di Lam Ara Geuceu. Keesokan harinya, pada pukul 09.30 WIB, jenazah dipulangkan ke Pulau Weh untuk dikebumikan pada hari itu juga.
Kepala BRR Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto melepas jenazah itu di Pelabuhan Penyeberangan Feri Ulee Lheue untuk diberangkatkan ke Sabang dengan Kapal Seulaku milik Dan Lanal Sabang.
Juru Bicara BRR Tuanku Mirza Keumala, Deputi Pengawasan Ramli Ibrahim, Sekretaris Jenderal BRR Teuku Kamaruzzaman dan sejumlah petinggi dan pegawai BRR ikut mengantar jenazah ke rumah duka di Sabang.
Sulung lima bersaudara anak dari pasangan Rambius, Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh, Kota Sabang itu, dan Rufaidah, kepala SD di Sabang itu dimakamkan di pemakaman umum Ujung Kareung, Sabang, sekitar pukul dua siang. Seratusan pelayat mengantarkan aktivis era akhir 90-an itu.
Kepergian lelaki kelahiran 10 Februari 1973 itu sempat membuat para kerabatnya tidak percaya.
Namun, rasa ketidakpercayaan itu mencair, setelah pesan singkat seluler silih berganti masuk mengabarkan kepergiannya
Rufriadi – yang lebih dikenal sebagai seorang aktivis bersuara kritis itu --meninggalkan seorang istri bernama Aida Fitriana dan M. Thalqis Syandi berusia empat tahun, putra semata wayangnya. Saat ini, Aida Fitriana tercatat sebagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemko Sabang.
Ia juga tercatat sebagai korban tsunami. Rumah yang baru dilunasinya sehari di kawasan Kahju, Aceh Besar tinggal fondasinya saja setelah diterjang tsunami. Saat itu, Rufriadi sekeluarga sedang di Sabang melepas keberangkatan orang tuanya ke Tanah Suci. Keluarga mereka semuanya selamat pada waktu musibah itu.
Rufriadi, sosok yang begitu akrab dengan para wartawan. Jauh sebelum almarhum menjabat sebagai Direktur komunikasi BRR, ia sudah dikenal sebagai narasumber kritis. Tidak hanya pada masa recovery Aceh – tentunya sebelum bergabung di BRR— tetapi juga pada masa konflik.
Semasa Aceh dalam status Darurat Militer, nyalinya tidak menciut memberi kritik kerasnya kepada penguasa. Tentunya melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Ujung-ujungnya, Rufriadi mengaku kerap dipanggil penguasa darurat.
Bagi wartawan, Rufriadi seorang narasumber fleksibel. Tidak butuh waktu berlama-lama mencarinya. Tinggal menghubunginya janji bersua, ia datang lalu wawancara. Ia rela meninggalkan aktivitasnya, jika ada sekelompok wartawan menunggunya.
Nama Rufriadi mencuat ketika menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. Sebagai pembela di lembaga itu, ia kerap menangani berbagai perkara besar, melibatkan orang asing maupun juru runding GAM.
Pada Oktober tahun 2002, Rufriadi dan rekan-rekannya di LBH Banda Aceh sempat menjadi sorotan internasional. Ketika itu, dia menangani dua warga asing, Joy Lee Sandler asal Amerika Serikat dan Lesley McCulloh, warga Skotlandia saat bermasalah dengan hukum.
Oleh kepolisian, kedua klien Rufriadi itu dituduh terlibat dengan kelompok GAM. Keduanya ditangkap ketika kedapatan berseliweran di Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan.
Hasil pembelaannya, kedua warga asing itu dihukum di bawah enam bulan.
Setahun kemudian, lagi-lagi Rufriadi dan kawan-kawannya di LBH Banda Aceh menangani perkara besar lainnya. Ia menjadi pembela terhadap lima juru runding GAM karena dituduh berbuat makar, melawan pemerintah RI.
Kelimanya, yakni Usman Lampoh Awe, T Kamaruzzaman, Amni bin Ahmad Marzuki, T Nasiruddin dan Syarifuddin Tiba. Upaya Rufriadi yang didukung sejumlah pengacara kondang Indonesia, seperti Adnan Buyung Nasution.
Usai dari LBH, Rufriadi tidak langsung terjun menjadi pengacara. Walau kemampuannya bisa dikatakan luar biasa. Sikap kritisnya terhadap peradilan membuat Rufriadi dan kalangan hukum lainnya membentuk lembaga monitoring peradilan.
Di mata sohibnya, Rufriadi dikenal sosok yang supel. Wawasan dan pengetahuannya begitu luas. Berbagai titian muhibah ke berbagai negara pernah dilakoninya. Misalnya ke wilayah konflik di Thailand Selatan.
Belum lagi diundang sebagai pemateri dalam berbagai pertemuan tentang konflik, termasuk di negeri Pam Sam. Terakhir, dia pernah bersilaturahmi dengan Hasan Tiro di Swedia. Bersama empat tokoh Aceh, Rufriadi yang termuda, menemui Wali Nanggroe GAM itu.
Ada sepenggal kisah menarik usai Kepulangannya bertemu dengan Hasan Biro. “Ketika bersalaman dengan wali nanggroe, yang lain memperkenalkan diri seraya menyebut keturunannya. Karena bukan keturunan tokoh, saya menyebutkan Rufriadi dari Sabang,†kata dia sambil berkelakar saat itu.
Ia mengaku, terkesan dengan wibawa Hasan Tiro. Jiwa kepemimpinannya terpancar dari wajahnya. Walau usai Hasan Tiro sudah lanjut, kesehatannya tampak terjaga. “Dia masih kuat,†sebut Rufriadi ketika bertemu penulis pada Agustus 2006.
Sebelum bergabung dengan BRR NAD-Nias, dia sempat bekerja di Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Namun, karena merasa porsi kerjanya tidak sesuai, akhirnya Rufriadi cabut dari tempat itu. Bayangkan saja, aku dia ketika itu, kerjaan hanya urusan proposal.
Namun, sayangnya ketika bergabung dengan badan yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto mengurusi rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan dilanda tsunami, daya kritis Rufriadi terbenam. Mulai saat itu para wartawan kehilangan sosok pengkritik.
Namun, dia pernah berujar, “Rufriadi juga manusia, butuh pekerjaan,†ketusnya saat penulis bertemu dua minggu setelah ia bergabung dengan BRR NAD-Nias. Saat itu, dia mengakui tidak lagi bisa berkomentar keras kepada wartawan.
Di mata teman dekatnya sewaktu kecil, sosok pemimpin dan jiwa intelektual dari Rufriadi sudah terlihat jelas. Walau terbilang cerdas, ia termasuk sosok low profil. “Banyak kenangan bersamanya. Kami kehilangan sosok Rufriadi,†kata Kurnia Maulizar.
Sohib almarhum semasa SMP itu mengenang kisah mereka di masa kanak-kanak. Rufriadi dikenal jago mencincang makanan ayam. Sebelum bermain, ia ditemani radio dual band menyelesaikan tugas rumahnya itu. Selamat jalan sobat. (har/fau)
Rufriadi, SH (paling kiri) bersama kami di Bukittinggi tahun 1995.
Bersama ibunda Rufriadi di Bukittinggi (tahun 2010)
Bersama ayahnda Rufriadi di Bukittinggi (tahun 2010)
Tahun 2010, ayah dan bunda berkunjung ke Bukittinggi dan beliau bercerita banyak kepadaku tentang Rufriadi sejak balik (tamat) kuliah di Bukittinggi hingga akhir hayatnya.
No comments:
Post a Comment