Monday, September 17, 2012

RUUPD, Pilkada dan Mutasi PNS



Rancangan undang-undang tentang pemerintahan daerah (RUUPD) yang merupakan inisiatif pemerintah telah dibahas DPR dan diharapkan segera selesai dan disahkan menjadi undang-undang sehingga sudah bisa diterapkan.
Banyak hal “seksi” dalam RUUPD ini, salah satunya tentang kepala daerah dan wakil Kepala daerah terkait persyaratan serta tata cara pemilihannya. Posisi kepala daerah dan tata cara pemilihannya merupakan “kunci” permasalahan yang menyebabkan undang-undang tentang pemerintahan daerah harus direnovasi hingga be­berapa kali.
Di zaman Orde Baru, pe­merintahan daerah (Pemda) diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.  Undang-undang ini walau tidak pernah digugat secara formal sesung­guhnya banyak menimbulkan masalah dalam pemilihan kepala daerah. Kepala daerah (disebut Kepala Daerah Tingkat I/Gubernur dan Kepala Daerah Tingkat II/Bupati/Wakilota­madya) waktu itu dipilih oleh DPRD tetapi bukan berarti yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan suara di DPRD akan diangkat menjadi Kepala Daerah.
Hal ini dikarenakan UU Nomor 5 Tahun 1974 menya­takan bahwa Presiden atau Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden berwenang mengangkat salah satu calon Kepala Daerah yang diajukan DPRD tanpa terikat pada perolehan suara dengan karena hal tersebut Hak Prerogatif Presiden. Contoh kasus, pada Pemilihan Gubernur Riau periode 1985–1990, Drs H Ismail Suko yang menggungguli Mayjend (purn) H. Imam Mu­nan­dar ternyata tidak diangkat atau dilantik menjadi Gubernur Riau. Sebaliknya calon yang kalah suara-lah (Imam Munan­dar) yang diangkat dan dilantik menjadi Kepala Daerah.
Di samping itu UU Nomor 5 Tahun 1974 mengangkangi aspirasi politik rakyat daerah karena proses pemilihan Kepala Daerah tidak dilakukan secara transparan dan tidak demokratis sejak awal tahapan penjaringan bakal calon, penetapan calon hingga proses pemilihan calon. Banyak rakyat daerah tidak tahu siapa-siapa saja yang menjadi calon bahkan yang terpilih menjadi Kepala Daerah. Banyak calon Kepala Daerah yang akhirnya terpilih itu “dida­tangkan atau dititipkan” oleh Pemerintah Pusat.
Terjadinya proses pemilihan kepala daerah yang seperti itu karena UU Nomor 5 Tahun 1974 memang memberi “peranan” yang sangat kuat kepada Peme­rintah Pusat. Peranan pemerintah pusat sangat kuat dilegitimasi dengan peranan “Pejabat Yang Berwenang” dalam setiap taha­pan proses pemilihan, yaitu perlunya persetujuan tertulis dari pimpinan instansi induk di tingkat pusat sebagai syarat pecalonan dan persetujuan Mendagri terhadap calon-calon yang berhak ikut dalam pemilihan, serta Hak Prerogatif Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah yang tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh calon.
Seiring gejolak reformasi tahun 1998, UU Nomor 5 Tahun 1974 akhirnya ditumbangkan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 yang “mencabut” peran besar pemerintah pusat terhadap daerah termasuk dalam hal Pemilihan Kepala Daerah. Bahk­an UU Nomor 22 Tahun 1999 memberi kebebasan kepada rakyat daerah untuk memilih Kepala Daerahnya dan sekaligus memberi kekuasaan yang besar kepada Kepala Daerah. Tidak ada lagi keharusan mendapatkan izin atasan sebagai syarat menjadi calon, tidak ada lagi persetujuan pejabat yang berwe­nang untuk ikut pemilihan dan yang diangkat dan dilantik adalah pemenang atau peraih suara terbanyak pada pemilihan yang dilakukan DPRD.
Jika sebelumnya Kepala Daerah didominasi dari kalangan TNI dan Birokrat, di era UU Nomor 22 Tahun 1999 banyak Kepala Daerah terpilih berasal dari kalangan yang beragam, mulai dari Mantan Kepala Desa, Ustad, Pedagang, bahkan ada yang disebut dari kalangan preman. Disisi kewenangan pun berubah drastis dimana Kepala Daerah tidak lagi sekadar menjadi “boneka” pemerintah pusat. Kepala Daerah terutama Bupati/Walikota berubah menjadi “Raja” di daerah otonomnya karena mempunyai kekuasaan sangat besar. Penafsiran bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota yang tidak lagi terstruktur di bawah Pemerintah Propinsi membuat banyak Bupati/Walikota tidak loyal terhadap Gubernur. Banyak kewenangan Pemerintah Pusat terutama dari sumber pendapatan yang digerogoti Kepala Daerah dengan dalih kewenangan daerah otonom.
Selanjutnya, mengiringi amandemen terhadap UUD 1945 pada tahun 2004 disahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999. Perubahan substansial dalam undang-undang ini adalah Kabupaten/Kota kembali masuk dalam tatanan hirarki pemerin­tahan dimana Kabupaten/Kota berada dibawah pengawasan, pembinaan dan koordinasi Pemerintah Propinsi. Dan peruba­han paling ekstrim adalah simstim pemilihan Kepala Daerah yang tidak lagi dilakukan oleh DPRD melainkan secara langsung oleh rakyat.
Implikasi dari Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung dapat kita rasakan dan saksikan beberapa tahun belakangan dimana terjadi gejolak politik di daerah yang mengakibatkan konflik horinzontal dikalangan masyarakat. Tidak sedikit Pilkada yang berujung pada kerusuhan massal dan sengketa di Mah­kamah Konstitusi. Fenomena lain adalah munculnya Nepotisme pada kekuasaan daerah bahkan cenderung berubah pada keingi­nan membentuk dinasti dimana dominasi incumbent dipaksakan dengan memunculkan keluarga­nya sebagai pengganti. Fenomena kerjaaan daerah ini dapat dilihat di Propinsi Banten yang dikuasai dinasti seorang tokoh bernama Tubagus Chasan Sochib dimana isteri, 3 orang anak dan 1 orang menantunya menjadi Kepala Daerah yaitu Ratu Atut Chosiyah menjadi Gubernur Banten (anak), TB Haerul Jaman Walikota Serang (anak), Ratu Tatu Chasanah Wakil Bupati Serang (anak), Heryani Wakil Bupati Pandeglang (isteri) dan Airin Walikota Tanggerang Selatan (menantu).
Contoh lain dari fenomena Pilkada adalah terjadinya pertarungan antara suami dan isteri dalam memperebutkan posisi Kepala Daerah. Kasus ini terjadi di Kabupaten Bone Bolango Gorontalo, dimana sang istri yang maju menantang suaminya dalam Pilkada Bupati. Sang Isteri akhirnya kalah dari sang suami yang incumbent.
Di lain tempat, yaitu di Indramayu Jawa Barat, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kediri di Jawa Timur, sang isteri Bupati sukses menggantikan suaminya yang telah dua periode menjabat.
Jika dicermati, dalam RUUPD memuat aturan yang mengenai pemilihan Kepala Daerah dimana Kepala Daerah Propinsi (Gubernur) dipilih oleh DPRD sedangkan Bupati/Walikota tetap dipilih langsung oleh rakyat. Selanjutnya dalam syarat-syarat Kepala Daerah disebutkan bahwa calon tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan kesamping dengan Kepala Daerah untuk daerah yang sama kecuali ada jarak waktu minimal satu periode masa jabatan. Artinya, suami atau isteri, ayah atau ibu, adik atau kakak dari Incubment tidak diperkenankan untuk maju menjadi calon Kepala Daerah.
Terkait dengan posisi Wakil Kepala Daerah juga terjadi perubahan yang ekstrim dimana Wakil Kepala Daerah tidak lagi dipilih satu paket dengan Kepala Daerah melainkan diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persya­ratan tertentu. Persyaratan itu diantaranya sama dengan persya­ratan untuk menduduki sekretaris daerah (Eselon Jabatan Wakil Kepala Daerah sama dengan Eselon Jabatan Sekretaris Daerah).
Dengan perubahan-peru­bahan yang mendasar tersebut (jika nantinya lolos menjadi UU) apakah persoalan-persoalan yang terjadi sebelum ini akan teratasi? Persoalan pecah kongsi yang menjadi kegagalauan Mendagri Gamawan Fauzi belakangan ini hampir dipastikan sulit terjadi karena wakil kepala daerah bukan produk pilkada dan cenderung disebut sebagai jabatan karir PNS.
Tetapi persoalan-persoalan lain sepertinya belum akan teratasi dengan RUUPD ini, misalnya netralitas PNS dalam politik terutama sejak diberlakukannya sistim pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Walaupun larangan PNS terlibat dalam kancah politik telah diatur dengan peraturan perundang-undangan ( Pasal 61 UU No. 32/2004, Pasal 3 UU No. 43/1999, Pasal 2 PP No. 37/2004 dan Pasal 4 PP No. 53/2010) nyatanya hal itu tidak mangkus. PNS secara sukarela, terpaksa dan dipaksa masuk dalam pusaran politik karena dipastikan akan ada pesta usai Pilkada yaitu mutasi/promosi PNS.
Dalam sebuah acara di televisi swasta beberapa waktu yang lalu terungkap bahwa Mutasi/promosi yang dilakukan pasca Pilkada tersebut ber­dasarkan hasil penelitian Susilo Utomo (Peneliti Politik Fisip Universitas Diponegoro) di 35 Kabupaten/Kota sering pula disebut dengan istilah “SK Lima Menit” yaitu Surat Keputusan (SK)-nya bisa berubah lima menit sebelum pelantikan karena faktor transaksi politik atau faktor pembisik. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Jamil Mu­barok, Koordinator Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dengan mengatakan bahwa mutasi itu dipengaruhi oleh 3D; Dekat, Duit dan Dendam Politik
Mutasi/promosi usai Pilkada inilah yang menjadi biang kegaduhan dan kehancuran birokrasi di daerah. Kepala Daerah terpilih dalam melakukan mutasi/promosi PNS lebih mengutamakan “mendukung atau tidak mendukung ketika Pilkada”, peran Baperjakat digantikan oleh Tim Sukses Kepala Daerah. Tidak mengherankan apabila seusai Pilkada PNS di daerah harus siap untuk jadi korban atau dikorbankan karena dengan bersikap netral pun akan dianggap tidak bagus, tidak berkeringat dalam pemenangan Kepala Daerah terpilih.
Sanksi terhadap kepala daerah yang melakukan mutasi/promosi PNS yang berbau politik usai Pilkada belum diatur secara tegas dan cenderung dianggap sebagai persoalan Hukum Administrasi Negara yang diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Padahal keputusan PTUN dianggap sebagai macan ompong sehingga banyak Kepala Daerah “tidak takut” digugat atau divonis kalah di  PTUN, dan dibanyak tempat banyak Kepala Daerah tidak melaksanakan Keputusan PTUN yang mengalahkannya. Oleh karena itu untuk menciptakan tertib administrasi dan kepatuhan terhadap Hukum yang mengatur hubungan Negara dengan masyarakat sepatutnya sanksi pemberhentian juga dikenakan (dimasukan dalam salah satu pasal RUUPD) terhadap Kepala Daerah yang telah dinyatakan kalah oleh PTUN.

Dimuat Harian Haluan, Kamis 5 Januari 2012 pada Rubrik Opini.
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11584%3Aruupd-pilkada-dan-mutasi-pns&catid=11%3Aopini&Itemid=83

No comments:

Post a Comment