Saturday, September 15, 2012

Hantu PP 84/1999







Munculnya wacana beberapa pihak untuk menggabungkan wilayah Agam Timur (10 Kecamatan) ke Bukittinggi mau tidak mau akan mengusik kembali “arwah” Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor  Tahun 1999 Tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam (PP 84/1999). Mau tidak mau jasad PP 84/1999 kembali bergetayangan dan menjadi pembicaraan ditengah masyarakat karena dianggap “mati tidak terkubur” - tidak berbatu nisan, hidup tidak dianggap!. Dikatakan telah mati atau tidak berlaku lagi, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang membatalkan PP 84/1999 atau menyatakan tidak berlaku lagi. Jika dikatakan masih berlaku atau syah, sampai saat ini Pemerintah Daerah (Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam dan Propinsi Sumatera Barat) tidak pernah mengganggap PP 84/1999 sebagai sebuah “hukum” yang harus ditaati dan dilaksanakan.
Membaca PP 84/1999 secara keseluruhan terlihat bahwa tidak kejanggalan dari produk hukum yang diambil pemerintah pusat dengan proses yang terjadi pada Pemerintah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Lahirnya PP 84/1999 adalah karena “bukan hanya kebutuhan” Kota Bukittinggi  yang memerlukan lahan (wilayah) lebih luas tetapi juga untuk memenuhi tuntutan perkembangan pembangunan yang tentunya melibatkan masyarakat disekitarnya (Kabupaten Agam). Dan oleh karena dasar itu pula disebutkan dalam “Diktum Menimbang” pada PP tersebut bahwa Pemerintah Kabupaten Agam  telah menyetujui  untuk menyerahkan  sebagian dari wilayahnya untuk keperluan perluasan wilayah Kota Bukittinggi.
Hal itu diperkuat dengan “catatan sejarah” yang dicantumkan dalam PP 84/1999, proses perluasan Kota Bukittinggi secara administrasi pemerintahan dimulai dengan Keputusan  DPRD  Kabupaten  Daerah  Tingkat  II  Agam  tanggal  27  Desember  1995  Nomor 03/SP DPRD/AG/1995  tentang  Persetujuan  sebagian  Wilayah  Kabupaten  Daerah  Tingkat  II Agam  yang  akan  dimasukkan  untuk  Perluasan  Wilayah  Kotamadya  Daerah  Tingkat  II. Selanjutnya 3 hari kemudian, tanggal 30 Desember 1995 keluar pula Keputusan DPRD Kabupaten Daerah Tingkat  II Bukittinggi  Nomor 08/SK II/DPRD/1995 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Daerah Tingkat  II  Bukittinggi  Mengenai  Perubahan  Batas  Wilayah  Kotamadya  Daerah  Tingkat  II Bukittinggi ke sebagian Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Agam. Wilayah–wilayah Kabupaten Agam yang dimasukan ke Kota Bukittinggi meliputi sebagian Kecamatan Banuhampu Sungai Puar, Kecamatan IV Koto, Kecamatan Tilatang Kamang dan Kecamatan IV Angkek Candung seluas 12.005 Ha. Pada akhirnya Kota Bukittinggi yang semula seluas 2.254 akan mempunyai wilayah seluas 14.529 Ha.
Artinya, pada proses awalnya atau jauh hari sebelum PP itu “dilahirkan” Pemerintah Pusat kedua dareh ini (Bukittinggi dan Agam) telah baiyo-batido, bakalirahan, lah ba-ijab Kabul dan telah dilegitimasi dengan Keputusan DPRD Agam dan Bukittinggi tahun 1995 tersebut .  Tidak ada gejolak yang tumbuh dimasyarakat, tidak ada penolakan dari tokoh-tokoh masyarakat di wilayah Agam Timur (sekitar Kota Bukittinggi) apalagi di masyarakat Agam yang berada di wilayah barat. Kondisinya waktu itu hampir sama dengan proses pemindahan Ibukota Kabupaten Agam dari Bukittinggi ke Kota Lubuk Basung.  Tidak ada yang merasa kalah dan tidak ada pula yang merasa menang.
Persoalan baru timbul setelah PP 84/1999 lahir atau satu tahun setelah reformasi bergulir di Republik ini, suara penolakan berbunyi nyaring dari Kabupaten Agam. Gelombang reformasi tahun yang terjadi tahun 1988 ternyata sampai ke daerah-daerah, semua kembali mengutak-atik semua yang ada dan syah ketika Orde Baru termasuk PP 84/1999. Memang tidak ada salahnya menyampaikan aspirasi tidak setuju atau menolak sebuah peraturan perundang-undang apalagi “hanya” sebuah Peraturan Pemerintah karena Undang-undang bahkan UUD 1945 pun di-Amandemen. Tetapi akhirnya menjadi persoalan tidak berujung adalah karena aspirasi penolakan itu tidak ditindaklanjuti melalui mekanisme atau prosedur hukum yang berlaku.
Yang muncul adalah perang statemen di-media dengan mengatasnamakan masyarakat Agam. Beberapa ungkapan “heroik” muncul kepermukaan yang menggelorakan suara penolakan dari seluruh masyarakat Kabupaten Agam. “Tidak sejengkal tanah Agam pun akan diserahkan ke Bukittinggi untuk melaksanakan PP 84/1999!” atau "Jika kerapatan KAN dan pemuka-pemuka masyarakat sepakat bulat untuk menolak masuk kota maka tidak siapapun yang bisa memaksakannya!". Para tokoh tersebut men-klaim bahwa “masyarakat Agam menentang pelaksanaan PP 84/1999” padahal sebagian besar masyarakat Agam tidak tahu PP itu apa, tentang apa, isinya apa.
Ketika persoalan ini dibicarakan dalam forum-forum resmi, para pihak yang terlibat saling lempar tanggungjawab. Ketika Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri memerintahkan kepada Kepala Daerah untuk melaksanakan PP tersebut, Bupati mengatakan “Saya menyerahkan semuanya kepada rakyat dan wakil mereka di DPRD Agam”.  Di lain kesempatan, ketika DPR RI ikut mempertanyakan pelaksanaan PP tersebut, pihak Kabupaten Agam dan Bukittinggi melemparkan tanggungjawab ke Pemerintah Propinsi Sumatera Barat.
Setelah memakan waktu selama 13 tahun dengan 4 orang Presiden, 3 orang Gubernur Sumbar, 3 orang Bupati Agam, 3 orang Walikota Bukittinggi, ratusan Anggota DPRD Agam, Kota Bukittinggi Propinsi Sumbar dan DPR RI, PP 84/1999 tetap menjadi “hantu” atau arwah yang bergetayangan. Katakanlah bahwa awal proses adalah karena adanya “pemaksaan” Pemerintah Pusat (Orde Baru) sebagaimana diungkapkan beberapa mantan Anggota DPRD Agam tahun 1995 tetapi selama “alun jaleh duduak tagaknyo”, PP 84/1999 akan selalu menghantui dan mengganggu setiap ada pembicaraan mengenai penggabungan Agam Wilayah Timur ke Kota Bukittinggi, termasuk aspirasi menjadikan Agam jadi dua.
Sudahlah! dunia terus berputar, pemimpin silih berganti!, kebutuhan dan keinginan rakyat juga berkembang. Sebelum wacana yang Agam Wilayah Timur bergabung ke Kota Bukittinggi yang juga didukung masyarakat di Agam Wilyah Barat terus mengkristal lebih jauh, pastikan dulu keberadaan PP 84/1999! Diterima atau ditolak! Kalau diterima, laksanakan! Kalau tidak, batalkan melalui mekanisme yang tersedia. 

Tulisan ini dimuat di Rubrik Refleksi Harian Haluan, Hari Kamis 22 Maret 2012 (hal.1)
http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=13620:hantu-pp-841999&catid=12:refleksi&Itemid=82

3 comments:

  1. hebat... ambo baru mengenal seorang yang kaya akan tulisan seperti ini, seorang PNS lagi, biasanya PNS itu rata-rata "malas", sekali lagi hebat, salam kenal

    ReplyDelete
  2. Terimakasih....salam kenal kembali,...

    ReplyDelete
  3. Mohon koreksinya terhadap tulisan...tentang isi, judul ataupun gaya tulisan... ditunggu (dimana saya bisa kontak anda??)

    ReplyDelete