Tuesday, September 25, 2012

Politik Cari Muka


Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 dilihat dari satu sisi  dapat dianggap sebagai kemenangan bagi rakyat. Salah satu bentuk kemenangan itu adalah rakyat lebih merdeka dalam menentukan pemimpin sendiri, mulai dari memilih Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Wakil Rakyat (Anggota DPR/DPRD/DPD). Rakyat tidak lagi memilih kucing dalam karung tetapi dapat  melihat dan memilih sendiri secara langsung wajah dan nama yang mereka suka.
Rakyat dalam memilih pemimpin tentunya yang cocok dengan keinginan dan harapan untuk kebaikan mereka. Pilihan itu tentu saja dipengaruhi “proses” yang terjadi sebelum hari “H” pemilihan, apakah itu karena track record atau janji-janji dan harapan yang disampaikan sosok calon pemimpin tersebut.
Setelah lebih 15 tahun Era Reformasi tersebut berjalan dan dalam setiap pesta politik (Pemilu maupun Pemilukada) rakyat selalu beharap untuk mendapatkan pemimpin yang mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Rakyat masih mau memberikan suaranya untuk mendapatkan seorang pemimpin, agar setelah terpilih pemimpin tersebut akan mempunyai kekuasaan dan akan memperhatikan nasib rakyat serta bekerja demi kemaslahatan rakyat. Paling tidak itu sebagai balas budi kepada rakyat yang telah memilihnya, Itu asumsinya!.
Namun, faktanya sungguh jauh berbeda. Yang terjadi, penguasa daerah (Kepala Daerah dan wakil kepadadaerah) hanya sibuk bekerja demi kepentingannya sendiri, kepentingan kelompoknya dan membalas budi hanya kepda pihak-pihak yang mendanainya dalam memenangkan Pemilukada.
Bahkan belum beberapa tahun menduduki Kursi Kepala Daerah, mereka telah dirasuki nafsu kekuasaan untuk kembali menjabat pada periode berikutnya. Bukannya fokus membangun daerah dan memberdayakan masyarakatnya tetapi malah sibuk mempersiapkan diri untuk Pemilukada berikutnya.
Ciri-ciri atau tanda-tanda para Kepala Daerah yang bernafsu mengejar kekuasaan 2 periode tersebut secara kasat mata dapat dilihat dari gelagat dan “kelakuan” mereka setelah pertama kali dilantik menjadi Kepala Daerah. Yang paling kasat mata adalah mereka selalu mencari momentum politik pencitraan di mata masyarakat. Rajin menghadiri seremoni-seremoni walaupun hanya acara tingkat Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW), yang penting acara itu juga dihadiri ratusan calon pemilih pada Pemilukada berikutnya. Berkelakuan layaknya “orang baik” santun, ramah dan pemurah kepada rakyat walau pribadi sesungguhnya tidak paralel dengan itu, bahkan bertolak belakang karena sesungguhnya pribadinya "parabo" angker. Untuk mendukung politik pencitraan tersebut ratusan spanduk atau baliho dipasang disetiap sudut daerah. Padahal spanduk, baliho atau poster-poster itu tidak mempunyai korelasi apapun dengan subtansi peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan rakyat serta pembangunan daerah.
Momentum lain yang sering dimanfaatkan para “pemburu kekuasaan” tersebut adalah bencana atau musibah yang menimpa rakyat. Mareka rela berlumpur-lumpur ria didaerah bencana ditengah sorotan fotografer dan kameramen agar esoknya mendapat tempat  sebagai “news” di media. Inilah yang disebut politik pencitraan atau “Politik Cari Muka” demi popularitas menjelang Pemilukada berikut.
Dalam tataran ini seharusnya masyarakat kita harus lebih kritis melihat publikasi yang hanya berisi puja-puji terhadap sosok tokoh politik dengan membandingkannya terhadap substansi kebutuhan masyarakat. Apakah muka-muka yang sering muncul dimedia massa itu mampu dan telah melakukan pembenahan dan perubahan kearah yang leibih baik. Mudah-mudahan masyarakat lebih cerdas lagi dalam memilih sosok pemimpin yang ikhlas mengabdi untuk kepentingan rakyat.**

2 comments: