Reformasi yang terjadi pada
tahun 1998 dilihat dari satu sisi dapat dianggap
sebagai kemenangan bagi rakyat. Salah satu bentuk kemenangan itu adalah rakyat lebih
merdeka dalam menentukan pemimpin sendiri, mulai dari memilih Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota, dan Wakil Rakyat (Anggota DPR/DPRD/DPD). Rakyat
tidak lagi memilih kucing dalam karung tetapi dapat melihat dan memilih sendiri secara langsung
wajah dan nama yang mereka suka.
Rakyat dalam memilih pemimpin
tentunya yang cocok dengan keinginan dan harapan untuk kebaikan mereka. Pilihan
itu tentu saja dipengaruhi “proses” yang terjadi sebelum hari “H” pemilihan,
apakah itu karena track record atau janji-janji dan harapan yang disampaikan
sosok calon pemimpin tersebut.
Setelah lebih 15 tahun Era
Reformasi tersebut berjalan dan dalam setiap pesta politik (Pemilu maupun
Pemilukada) rakyat selalu beharap untuk mendapatkan pemimpin yang mampu
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Rakyat masih mau memberikan suaranya
untuk mendapatkan seorang pemimpin, agar setelah terpilih pemimpin tersebut
akan mempunyai kekuasaan dan akan memperhatikan nasib rakyat serta bekerja demi
kemaslahatan rakyat. Paling tidak itu sebagai balas budi kepada rakyat yang
telah memilihnya, Itu asumsinya!.
Namun, faktanya sungguh
jauh berbeda. Yang terjadi, penguasa daerah (Kepala Daerah dan wakil
kepadadaerah) hanya sibuk bekerja demi kepentingannya sendiri, kepentingan
kelompoknya dan membalas budi hanya kepda pihak-pihak yang mendanainya dalam
memenangkan Pemilukada.
Bahkan belum beberapa
tahun menduduki Kursi Kepala Daerah, mereka telah dirasuki nafsu kekuasaan
untuk kembali menjabat pada periode berikutnya. Bukannya fokus membangun daerah
dan memberdayakan masyarakatnya tetapi malah sibuk mempersiapkan diri untuk
Pemilukada berikutnya.
Ciri-ciri atau tanda-tanda
para Kepala Daerah yang bernafsu mengejar kekuasaan 2 periode tersebut secara
kasat mata dapat dilihat dari gelagat dan “kelakuan” mereka setelah pertama
kali dilantik menjadi Kepala Daerah. Yang paling kasat mata adalah mereka selalu
mencari momentum politik pencitraan di mata masyarakat. Rajin menghadiri
seremoni-seremoni walaupun hanya acara tingkat Rukun Tetangga (RT) atau Rukun
Warga (RW), yang penting acara itu juga dihadiri ratusan calon pemilih pada
Pemilukada berikutnya. Berkelakuan layaknya “orang baik” santun, ramah dan
pemurah kepada rakyat walau pribadi sesungguhnya tidak paralel dengan itu,
bahkan bertolak belakang karena sesungguhnya pribadinya "parabo" angker. Untuk mendukung
politik pencitraan tersebut ratusan spanduk atau baliho dipasang disetiap sudut
daerah. Padahal spanduk, baliho atau poster-poster itu tidak mempunyai korelasi
apapun dengan subtansi peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan rakyat serta
pembangunan daerah.
Momentum lain yang sering
dimanfaatkan para “pemburu kekuasaan” tersebut adalah bencana atau musibah yang
menimpa rakyat. Mareka rela berlumpur-lumpur ria didaerah bencana ditengah
sorotan fotografer dan kameramen agar esoknya mendapat tempat sebagai “news” di media. Inilah yang disebut
politik pencitraan atau “Politik Cari Muka” demi popularitas menjelang Pemilukada
berikut.
Dalam tataran ini
seharusnya masyarakat kita harus lebih kritis melihat publikasi yang hanya
berisi puja-puji terhadap sosok tokoh politik dengan membandingkannya terhadap
substansi kebutuhan masyarakat. Apakah muka-muka yang sering muncul dimedia massa itu mampu dan
telah melakukan pembenahan dan perubahan kearah yang leibih baik. Mudah-mudahan
masyarakat lebih cerdas lagi dalam memilih sosok pemimpin yang ikhlas mengabdi
untuk kepentingan rakyat.**
Satu banan jo tulisan ko, karano lah dipraktekan dek Komar samaso PILPRES
ReplyDeleteHahaha....
ReplyDelete