Oleh : Kamaruddin
Pengantar: Apa yang saya alami adalah kenyataan yang bisa saja dialami oleh
Pegawai Negeri Sipil lainnya ketika Kepala Daerah melakukan proses mutasi
pejabat struktural di lingkungan Pemerintah Daerah. Dan hal ini saya ceritakan
terbuka dengan maksud agar kejadian ini tidak terulang terhadap siapapun dan
dimanapun. Banyak kejanggalan yang saya alami bahkan ketika ini telah diketahui
secara terang-terangan oleh publik didaerah tersebut, persoalan ini tidak
menjadi “berita” di media massa keesokan harinya, kecuali sebuah tulisan seorang
wartawan yang secara terbuka mengkritisi bahwa peristiwa yang saya alami sebagai
sebagai salah satu masalah serius dalam mutasi yang dilakukan di pemerintah
daerah tersebut. Mudah-mudahan ini bermanfaat.
Pada suatu hari saya diberitahu
oleh Kepala Badan Kepegawaian Daerah untuk ikut berkumpul di rumah dinas
Bupati. Bersama-sama dengan beberapa orang PNS yang bertugas sebagai pejabat
struktural di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA). Kami
diterima oleh Bupati serta Anggota Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan
(BAPERJAKAT) Sekretaris Daerah (Sekda), Inspektur Kabupaten dan Asisten I
Sekretaris Daerah .
Selanjutnya Bupati membuka
pembicaraan dengan mengatakan bahwa proses mutasi kali ini dilakukan secara
transparan alias “bajaleh-jaleh” karena ketika dilakukan secara diam-diam pun
tetap bocor ke luar. Oleh karena itu dalam rangka pengisian Struktur Organisasi
Tata Kerja (SOTK) yang baru kepada calon Kepala SKPD yang baru diberi
kesempatan untuk menyusun sendiri kabinetnya dan diaudiensi langsung dihadapan
Baperjakat dan Bupati..
Dalam kesempatan itu Bupati
membacakan sendiri susunan para pejabat struktural DPPKA yang baru yang akan
dikomadoi Kepala BKD sebagai calon Kepala DPPKA. Selanjutnya kepada calon
Kepala DPPKA yang baru diminta untuk menyampaikan rencana kerja dan program
prioritas-nya setelah dilantik nanti.
Setelah melakukan beberapa kali
tanya jawab yang pada intinya apakah ada keberatan atau tidak terhadap susunan
organisasi pejabat struktural DPPKA yang baru, kepada masing-masing calon
pejabat struktural disuruh untuk men-paraf susunan organiasi pejabat struktural
DPPKA. Saya juga ikut membubuhkan paraf pada nama saya sebagai Kepala Bidang
Pendapatan (eselon IIIb). Setelah itu kami dipersilakan keluar sementara Kepala
BKD tetap diruangan tersebut dalam kapasitas sebagai Anggota Baperjakat untuk
melanjutkan audiensi dengan SKPD lain.
Dua hari berikutnyanya saya
menerima surat undangan pelantikan yang ditandatangani Sekretaris Daerah Kabupaten yang mengundang
saya bersama isteri untuk mengikuti acara Pengucapan Sumpah Jabatan dan
Pelantikan Pejabat Struktural yang akan dilaksanakan pada siang harinya.
Pada pukul 13.00 WIB dengan
berpakaian stelan jas, saya bersama isteri tiba di lokasi pelantikan dan ikut
antre untuk menandatangani daftar hadir. Saat itu saya menandatangi daftar
hadir pada nomor urut 47. Berdasarkan pengumuman panitia pelantikan, nomor urut
absensi sama dengan nomor kursi tempat duduk calon yang akan dilantik.
Berdasarkan kebiasaan yang dilakukan, nomor absen disusun dari urutan eselon
jabatan struktural tertinggi sampai terendah begitu juga tempat duduknya.
Saya duduk pada kursi nomor urut
47 yang merupakan baris kedua dari mimbar utama. Di sebelah kanan saya adalah
pejabat struktural eselon III di Dinas Pemuda dan Olah Raga yang sewaktu
audiensi dengan Baperjakat dan Bupati dikatakan akan menduduki sebagai Kepala
Bidang di DPKA. Disisi kiri saya pejabat struktural di Dinas Kesehatan sementara
di barisan depan merupakan orang-orang yang sebelumnya dikenal sebagai para
Pejabat Eselon II.
Ketika acara dimulai dan Bupati
dan Ketua DPRD sudah duduk di mimbar utama, saya dibisiki oleh Kepala BKD
(lama) bahwa “sabar ya, ada perubahan skenario, kamu tidak jadi di eselon III
tapi hanya eselon IV”. Saya bertanya “kata siapa?”. Kepala BKD mengatakan Sekda
yang suruh dan alasannya, “ kalau kamu dilantik jadi eselon III akan ada orang
yang ribut”.
Setelah berpikir sejenak saya
mengatakan kepada Kepala BKD bahwa saya akan keluar ruangan itu, tetapi oleh Kepala
BKD saya disuruh tetap didalam karena kalau keluar bisa menimbulkan suasana
tidak kondusif. Saya tetap mengatakan akan keluar, dan setelah memberitahu
isteri via HP saya memutuskan tetap keluar dari ruang itu. Selanjutnya saya
keluar ruang tersebut dengan disaksikan keheranan para undangan yang ada disisi
kiri ruang tersebut.
Diluar dekat pintu masuk rupanya
telah ada Sekda yang sedang berdialog dengan isteri saya. Kepada Isteri saya
Sekda mengatakan ada kesalahan teknis meletakan nama saya di eselon III. Ketika
saya dengan tegas kembali bertanya, Sekda mengatakan bahwa pengusulan saya jadi
Kepala Bidang tanpa sepengetahuan Anggota Baperjakat dan hanya “pandai-pandai Kepala
BKD saja”. Saya mengatakan bahwa saya tidak menerima perlakuan seperti ini.
Ketika dialog terjadi antara Sekda dengan Isteri dan Saya, beberapa orang
wartawan menyaksikan langsung hal tersebut.
Pukul 17.00 saya dipanggil oleh Kepala
DPPKA (Kepala BKD lama). Apa yang disampaikan Sekda saya konfirmasi. Oleh Kepala
DPPKA dikeluarkan surat-surat terkait pengusulan nama saya yang telah dilakukan
pada rapat Baparjakat jauh-jauh hari sebelumnya. Secara tegas Kepala DPPKA
mengatakan bahwa dia siap untuk membuktikan bahwa pengusulan saya menjadi
menjadi pejabat eselon III tidak menyalahi prosedur dan tidak ada rapat yang
memutuskan bahwa saya tidak disetujui menjadi pejabat eselon III. Bahkan pada
saat acara pelantikan akan dimulai Surat Keputusan (SK) Bupati tentang
pengangkatan pejabat struktural termasuk saya sebagai Kepala Bidang telah
ditandatangani Bupati dan nama saya ada pada nomor urut 47 sebagai Pejabat
Kepala Bidang. Dan SK tersebut dicoret ketika acara akan dimulai.
Sekitar pukul 20.00 WIB ketika
sedang dirumah, salah seorang wartawan datang menyampaikan pesan dari Sekda
untuk datang bersama isteri kerumahnya. Sekitar 21.00 WIB dalam pembicaraan
bertiga, Sekda tidak sekalipun menawarkan solusi atas kejadian siang itu dan
lebih banyak memberikan nasehat dan menyuruh saya bersabar dan menganggap ini
sebagai ujian. Dalam kesempatan tersebut Sekda mengatakan bahwa bahwa dia tidak
akan melakukan sesuatu tanpa persetujuan pimpinnan.
Satu hari setelah bertemu Sekda,
saya dan isteri berinisiatif menemui Bupati karena informasi tentang
penyelesaian masalah kami tidak ada kepastian dan khawatir persoalan ini
meluas.
Dalam pembicaraan dengan Bupati,
saya mengungkapkan perasaan dipermalukan dihadapan banyak pegawai bahkan
masyarakat. Bupati mengatakan bahwa dia tidak tahu kejadian itu, dan ketika
saya bertanya bertanya” apakah bukan Bapak Bupati yang menyuruh?”. Bupati
dengan tegas mengatakan “Saya tidak tahu!, dan jangan tanya apakah saya
menyuruh atau tidak”.
Bupati juga bertanya, atas
kejadian ini apa yang harus dilakukan?. Saya menjawab, pulihkan nama baik saya
dan kembalikan jabatan itu kepada saya. Bupati mengatakan tidak bisa karena
untuk menyelesaikan masalah ini harus dipanggil seluruh Anggota Baperjakat dan
itu baru dapat dilaksanakan 1 bulan lagi setelah dia kembali dari suatu urusan
dinas ke luar negeri.
Saya bersikukuh harus
diselesaikan sebelum Bupati berangkat keluar negeri, pertimbangan saya adalah
perlakukan yang saya terima begitu cepat dan tiba-tiba, maka penyelesaiannya
harus cepat pula.
Karena tidak mencapai titik temu,
saya menyampaikan 4 skenario yang akan saya lakukan setelah ini, itu pun kalau
saya mempunyai keberanian. Oleh Bupati,
saya diingatkan untuk berpikir dengan matang, tetapi saya mengatakan
bahwa saya harus menegakkan harkat dan martabat yang terasa dilecehkan.
-000-
Secara kebetulan pula hari Rabu
malam tanggal 13 September 2011 saya menyaksikan acara “Mata Najwa” di Metro TV
yang berjudul “Tragedi Birokrasi”. Dalam acara tersebut Susilo Utomo, Penelitik
Politik Fisip Universitas Diponegoro yang melakukan penelitian di 35
Kabupaten/Kota mengatakan “SK Lima Menit” yaitu mutasi yang dilakukan Kepala
Daerah pasca Pemilukada, Surat Keputusan
(SK)-nya bisa berubah lima menit sebelum pelantikan karena faktor transaksi
politik atau faktor pembisik. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Jamil
Mubarok, Koordinator Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dengan mengatakan
bahwa mutasi itu dipengaruhi oleh 3D; Dekat, Duit dan Dendam Politik.
Apa yang saya alami ini mungkin
saja jarang terjadi, tetapi mungkin saja akan menimpa PNS-PNS lainnya. Apa yang
saya alami merupakan salah satu bentuk tragedi birokrasi sebagaimana “dibahas”
dalam acara televisi tersebut. Apakah
saya merupakan korban dari transaksi politik atau pembisik? Atau karena
pengaruh dekat, duit dan dendam politik? Entahlah.****
No comments:
Post a Comment