Friday, September 14, 2012

Testimoni : Korban Tragedi Birokrasi




Oleh : Kamaruddin

Pengantar: Apa yang saya alami adalah kenyataan yang bisa saja dialami oleh Pegawai Negeri Sipil lainnya ketika Kepala Daerah melakukan proses mutasi pejabat struktural di lingkungan Pemerintah Daerah. Dan hal ini saya ceritakan terbuka dengan maksud agar kejadian ini tidak terulang terhadap siapapun dan dimanapun. Banyak kejanggalan yang saya alami bahkan ketika ini telah diketahui secara terang-terangan oleh publik didaerah tersebut, persoalan ini tidak menjadi “berita” di media massa keesokan harinya, kecuali sebuah tulisan seorang wartawan yang secara terbuka mengkritisi bahwa peristiwa yang saya alami sebagai sebagai salah satu masalah serius dalam mutasi yang dilakukan di pemerintah daerah tersebut. Mudah-mudahan ini bermanfaat.

Pada suatu hari saya diberitahu oleh Kepala Badan Kepegawaian Daerah untuk ikut berkumpul di rumah dinas Bupati. Bersama-sama dengan beberapa orang PNS yang bertugas sebagai pejabat struktural di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA). Kami diterima oleh Bupati serta Anggota Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (BAPERJAKAT) Sekretaris Daerah (Sekda), Inspektur Kabupaten dan Asisten I Sekretaris Daerah .
Selanjutnya Bupati membuka pembicaraan dengan mengatakan bahwa proses mutasi kali ini dilakukan secara transparan alias “bajaleh-jaleh” karena ketika dilakukan secara diam-diam pun tetap bocor ke luar. Oleh karena itu dalam rangka pengisian Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK) yang baru kepada calon Kepala SKPD yang baru diberi kesempatan untuk menyusun sendiri kabinetnya dan diaudiensi langsung dihadapan Baperjakat dan Bupati..
Dalam kesempatan itu Bupati membacakan sendiri susunan para pejabat struktural DPPKA yang baru yang akan dikomadoi Kepala BKD sebagai calon Kepala DPPKA. Selanjutnya kepada calon Kepala DPPKA yang baru diminta untuk menyampaikan rencana kerja dan program prioritas-nya setelah dilantik nanti.
Setelah melakukan beberapa kali tanya jawab yang pada intinya apakah ada keberatan atau tidak terhadap susunan organisasi pejabat struktural DPPKA yang baru, kepada masing-masing calon pejabat struktural disuruh untuk men-paraf susunan organiasi pejabat struktural DPPKA. Saya juga ikut membubuhkan paraf pada nama saya sebagai Kepala Bidang Pendapatan (eselon IIIb). Setelah itu kami dipersilakan keluar sementara Kepala BKD tetap diruangan tersebut dalam kapasitas sebagai Anggota Baperjakat untuk melanjutkan audiensi dengan SKPD lain.
Dua hari berikutnyanya saya menerima surat undangan pelantikan yang ditandatangani  Sekretaris Daerah Kabupaten yang mengundang saya bersama isteri untuk mengikuti acara Pengucapan Sumpah Jabatan dan Pelantikan Pejabat Struktural yang akan dilaksanakan pada siang harinya.
Pada pukul 13.00 WIB dengan berpakaian stelan jas, saya bersama isteri tiba di lokasi pelantikan dan ikut antre untuk menandatangani daftar hadir. Saat itu saya menandatangi daftar hadir pada nomor urut 47. Berdasarkan pengumuman panitia pelantikan, nomor urut absensi sama dengan nomor kursi tempat duduk calon yang akan dilantik. Berdasarkan kebiasaan yang dilakukan, nomor absen disusun dari urutan eselon jabatan struktural tertinggi sampai terendah begitu juga tempat duduknya.    
Saya duduk pada kursi nomor urut 47 yang merupakan baris kedua dari mimbar utama. Di sebelah kanan saya adalah pejabat struktural eselon III di Dinas Pemuda dan Olah Raga yang sewaktu audiensi dengan Baperjakat dan Bupati dikatakan akan menduduki sebagai Kepala Bidang di DPKA. Disisi kiri saya pejabat struktural di Dinas Kesehatan sementara di barisan depan merupakan orang-orang yang sebelumnya dikenal sebagai para Pejabat Eselon II.
Ketika acara dimulai dan Bupati dan Ketua DPRD sudah duduk di mimbar utama, saya dibisiki oleh Kepala BKD (lama) bahwa “sabar ya, ada perubahan skenario, kamu tidak jadi di eselon III tapi hanya eselon IV”. Saya bertanya “kata siapa?”. Kepala BKD mengatakan Sekda yang suruh dan alasannya, “ kalau kamu dilantik jadi eselon III akan ada orang yang ribut”.
Setelah berpikir sejenak saya mengatakan kepada Kepala BKD bahwa saya akan keluar ruangan itu, tetapi oleh Kepala BKD saya disuruh tetap didalam karena kalau keluar bisa menimbulkan suasana tidak kondusif. Saya tetap mengatakan akan keluar, dan setelah memberitahu isteri via HP saya memutuskan tetap keluar dari ruang itu. Selanjutnya saya keluar ruang tersebut dengan disaksikan keheranan para undangan yang ada disisi kiri ruang tersebut.
Diluar dekat pintu masuk rupanya telah ada Sekda yang sedang berdialog dengan isteri saya. Kepada Isteri saya Sekda mengatakan ada kesalahan teknis meletakan nama saya di eselon III. Ketika saya dengan tegas kembali bertanya, Sekda mengatakan bahwa pengusulan saya jadi Kepala Bidang tanpa sepengetahuan Anggota Baperjakat dan hanya “pandai-pandai Kepala BKD saja”. Saya mengatakan bahwa saya tidak menerima perlakuan seperti ini. Ketika dialog terjadi antara Sekda dengan Isteri dan Saya, beberapa orang wartawan menyaksikan langsung hal tersebut.  
Pukul 17.00 saya dipanggil oleh Kepala DPPKA (Kepala BKD lama). Apa yang disampaikan Sekda saya konfirmasi. Oleh Kepala DPPKA dikeluarkan surat-surat terkait pengusulan nama saya yang telah dilakukan pada rapat Baparjakat jauh-jauh hari sebelumnya. Secara tegas Kepala DPPKA mengatakan bahwa dia siap untuk membuktikan bahwa pengusulan saya menjadi menjadi pejabat eselon III tidak menyalahi prosedur dan tidak ada rapat yang memutuskan bahwa saya tidak disetujui menjadi pejabat eselon III. Bahkan pada saat acara pelantikan akan dimulai Surat Keputusan (SK) Bupati tentang pengangkatan pejabat struktural termasuk saya sebagai Kepala Bidang telah ditandatangani Bupati dan nama saya ada pada nomor urut 47 sebagai Pejabat Kepala Bidang. Dan SK tersebut dicoret ketika acara akan dimulai.
Sekitar pukul 20.00 WIB ketika sedang dirumah, salah seorang wartawan datang menyampaikan pesan dari Sekda untuk datang bersama isteri kerumahnya. Sekitar 21.00 WIB dalam pembicaraan bertiga, Sekda tidak sekalipun menawarkan solusi atas kejadian siang itu dan lebih banyak memberikan nasehat dan menyuruh saya bersabar dan menganggap ini sebagai ujian. Dalam kesempatan tersebut Sekda mengatakan bahwa bahwa dia tidak akan melakukan sesuatu tanpa persetujuan pimpinnan.
Satu hari setelah bertemu Sekda, saya dan isteri berinisiatif menemui Bupati karena informasi tentang penyelesaian masalah kami tidak ada kepastian dan khawatir persoalan ini meluas.
Dalam pembicaraan dengan Bupati, saya mengungkapkan perasaan dipermalukan dihadapan banyak pegawai bahkan masyarakat. Bupati mengatakan bahwa dia tidak tahu kejadian itu, dan ketika saya bertanya bertanya” apakah bukan Bapak Bupati yang menyuruh?”. Bupati dengan tegas mengatakan “Saya tidak tahu!, dan jangan tanya apakah saya menyuruh atau tidak”.
Bupati juga bertanya, atas kejadian ini apa yang harus dilakukan?. Saya menjawab, pulihkan nama baik saya dan kembalikan jabatan itu kepada saya. Bupati mengatakan tidak bisa karena untuk menyelesaikan masalah ini harus dipanggil seluruh Anggota Baperjakat dan itu baru dapat dilaksanakan 1 bulan lagi setelah dia kembali dari suatu urusan dinas ke luar negeri.
Saya bersikukuh harus diselesaikan sebelum Bupati berangkat keluar negeri, pertimbangan saya adalah perlakukan yang saya terima begitu cepat dan tiba-tiba, maka penyelesaiannya harus cepat pula.
Karena tidak mencapai titik temu, saya menyampaikan 4 skenario yang akan saya lakukan setelah ini, itu pun kalau saya mempunyai keberanian. Oleh Bupati,  saya diingatkan untuk berpikir dengan matang, tetapi saya mengatakan bahwa saya harus menegakkan harkat dan martabat yang terasa dilecehkan.

-000-

Secara kebetulan pula hari Rabu malam tanggal 13 September 2011 saya menyaksikan acara “Mata Najwa” di Metro TV yang berjudul “Tragedi Birokrasi”. Dalam acara tersebut Susilo Utomo, Penelitik Politik Fisip Universitas Diponegoro yang melakukan penelitian di 35 Kabupaten/Kota mengatakan “SK Lima Menit” yaitu mutasi yang dilakukan Kepala Daerah pasca Pemilukada,  Surat Keputusan (SK)-nya bisa berubah lima menit sebelum pelantikan karena faktor transaksi politik atau faktor pembisik. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Jamil Mubarok, Koordinator Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dengan mengatakan bahwa mutasi itu dipengaruhi oleh 3D; Dekat, Duit dan Dendam Politik.
Apa yang saya alami ini mungkin saja jarang terjadi, tetapi mungkin saja akan menimpa PNS-PNS lainnya. Apa yang saya alami merupakan salah satu bentuk tragedi birokrasi sebagaimana “dibahas” dalam  acara televisi tersebut. Apakah saya merupakan korban dari transaksi politik atau pembisik? Atau karena pengaruh dekat, duit dan dendam politik? Entahlah.****

No comments:

Post a Comment