Saturday, September 15, 2012

Pelajaran dari Lima Puluh Kota


Mutasi massal yang di­lakukan kepala daerah pas­capemilukada akhirnya mendapat perlawanan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) melalui jalur Pe­ngadilan Tata Usaha Nega­ra (PTUN). Seti­daknya hal itu telah terjadi di Ka­bupaten Lima Puluh Kota, dimana 4 orang pejabat struktural eselon III yang dinonjobkan Bupati Alis Marajo menga­jukan gugatan ke PTUN Padang. Sebagaimana diberitakan Haluan, Kamis (11/8), “Bupati Limapuluh Kota Kalah Lagi di PTUN”.
Jika dihitung, hasil skor sementara adalah 2-0 untuk PNS! Bahkan kalau dihitung dari riwayat “perselisihan” Bupati Alis Marajo dengan PNS-nya dalam hal pencopotan jabatan, ini merupakan kekalahan ketiga yang dialami Bupati Alis Marajo.
Pada masa jabatan 2000-2005, Bupati Lima Puluh Kota yang kala itu juga dijabat Alis Marajo kalah di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan dari PNS Ilyas Mawar yang dicopot dari jabatan eselon IV.
Sebagaimana telah sering diung­kapkan, mutasi pejabat struktural yang dilakukan kepala daerah terpilih setelah pemilukada sangat sarat politik, balas jasa bahkan balas dendam. Walau dalam setiap “pi­dato”nya para kepala daerah itu mengatakan bahwa “mutasi me­rupakan hal yang biasa dalam sebuah organisasi dan bertujuan untuk kepentingan organisasi dan pe­nyegaran”, tetapi sesungguhnya kepala daerah tersebut telah me­lakukan mutasi yang “luar biasa”.
Dengan merombak total pejabat struktural (yang diangkat kepala daerah sebelumnya) mulai dari kepala dinas, kepala kantor, camat hingga kepala sekolah membuat organiasasi peme­rintah daerah tersebut seakan baru mulai berjalan dari titik nol kilometer. Inilah yang menjadikan mutasi tersebut menjadi luar biasa karena setiap pergantian pucuk pimpinan para anak buahpun diganti pula.
Akibat banyaknya pejabat yang dicopot jabatannya dengan alasan yang tidak jelas, dan menjadi pecundang di bawah kepala daerah yang baru. Pada akhirnya banyak PNS yang dicopot dari jabatan struktural memilih pindah ke lingkungan pemerintah provinsi atau ke daerah lain.
Fenomena mutasi massal pasca­pemilukada tidak urung membuat “kegoncangan” di Sumatera Barat karena terjadinya juga serentak pascapemilu serentak tahun lalu. Kegoncangan itu terjadi karena pada waktu yang bersamaan banyak per­mo­honan pindah yang diajukan para PNS yang nota bene sebelumnya meru­pakan pejabat struktural eselon II dan III. Kita tentu masih ingat “himbauan” Gubernur Sumbar Irwan Prayitno yang meminta agar proses pindah PNS antardaerah ditunda sementara.
Mutasi pejabat struktural yang dilakukan setelah pemilukada karena sarat politik, balas jasa bahkan balas dendam cenderung tidak mengikuti prosedur yang telah diatur peraturan perundang-undangan. Akibatnya “banyak salah prosedur” bahkan bertentangan dengan prosedur yang ada. Tidak melibatkan Badan Pertimbangan Jabatan dan Ke­pangkatan (Baperjakat) atau bahkan salah dalam memberhentikan seseo­rang dari jabatan dimana PNS yang “tidak bersalah” dicopot jabatannya merupakan hal-hal yang kerap terjadi. Pada gilirannya, ketika ada PNS yang merasa tidak bersalah tetapi diperlakukan seperti orang yang salah akhirnya “melawan” dengan menga­jukan gugatan ke PTUN.
Apa yang dilakukan PNS Lima­puluh Kota merupakan sesuatu yang harus diapresiasi sebagai sebuah bentuk pembelajaran bagi semua pihak. Bagi kepala daerah yang pada dirinya juga melekat fungsi sebagai pejabat pembina kepegawaian sudah sepa­tutnya memilih “gebrakan” lain selain “merombak kabinet” yang dilakukan pertama kali setelah memenangi pemilukada. Pejabat struktural di lingkungan peme­rintahan tidak sama halnya dengan para menteri dalam kabinet yang dibentuk presiden.
Bagi PNS yang jadi “korban” mutasi, mengajukan gugatan ke PTUN merupakan pilihan terbaik untuk menunjukan integritas dan jatidirinya sebagai aparatur negara. Dan kesalahan kepala daerah (dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara) harus dikoreksi dan diperbaiki agar tidak terjadi berulang-ulang. Hal ini bukanlah bentuk “ketidaksopanan” karena melawan atasan sendiri karena yang dilawan secara hukum bu­kanlah pribadi kepala daerah itu melainkan produk tata usaha negara yang dikeluarkannya.
Pilihan mengajukan gugatan ke PTUN juga membuktikan bahwa mereka merupakan PNS yang “me­ngerti hukum” dan berani mem­perjuangkan hak-hak secara terang-terangan. Berbeda dengan kebanyakan PNS korban mutasi lainnya yang memilih pindah dan dengan berbagai dalih mendapatkan jabatan di daerah lain. Anehnya ada pula kepala daerah yang sangat suka menampung PNS-PNS tersebut bahkan mengangkatnya dalam jabatan struktural yang strategis dengan mengesampingkan PNS-PNS yang puluhan tahun meniti karir di daerah itu. Wassalam.

Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Senin 15 Agustus 2011 (Hal. 1)
http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7827:pelajaran-dari-limapuluh-kota&catid=12:refleksi&Itemid=82

No comments:

Post a Comment