Ketika membaca Refleksi Alwi Karmena yang berjudul Terkenang Muchlis Ibrahim
(Haluan, Senin 21/11/11), saya pun teringat dengan Putra Panampuang Ampek
Angkek Kabupaten Agam yang pernah menjadi orang nomor satu di Ranah Minang ini.
Bagi saya bukan karena tidak ada hujan – tidak ada angin, tetapi dipicu tulisan
Alwi Karmena itu dan berita utama Haluan Selasa 22/11/11 “Demi Sumatera Barat –
Hubungan IP-MK Harus Diperbaiki” telah merangsang ingatan terhadap “sejarah” betapa panasnya suhu politik
Ranah Minang 10 tahun yang lalu. Rasanya tidaklah pula salah pabila kembali menceritakan
seorang yang menjadi spesial dalam sejarah politik di Sumatera Barat bahkan
mungkin di Indonesia, Muchlis Ibrahim!.
Dan sebagai seorang warga Sumatera
Barat saya mempunyai “kenangan sesaat”
dengan Mayor Jenderal (Purn) Muchlis Ibrahim. Waktu itu sekitar tahun 1997
ketika masih menjadi Wakil Gubernur Sumatera Barat saya bertemu beliau di Rumah
Dinas Wakil Gubernur di Jl. Raden Saleh – Padang. Maksud kedatangan bertemu
beliau adalah untuk mendapat kan “katabelece”
yang waktu itu saya sebut Rekomendasi agar lulus tes penerimaan CPNS tahun
1997.
Ananda! Kata beliau,…Kalau saya
menggunakan katabelece, maka bawahan saya akan ikut-ikut main katabelece!.
Selanjutnya beliau bercerita bahwa akan ada rasa bangga apabila yang kita raih
merupakan hasil kristalisasi keringat sendiri, ada rasa “punya harga diri” jika kita diri sendiri, tidak berada di bawah
baying-bayang orang lain. Bahwa banyak bawahan saya yang meminta bantuan agar
anak atau kemenakannya diterima sebagai pegawai
negeri tetapi semua mampu saya tolak.
Lebih lanjut putra Ampek Ankek itu bercerita bahwa dia
mempunyai prinsip untuk selalu berjalan di jalan yang benar dan tidak “meminta” atau menengadahkan tangan untuk
suatu jabatan atau sejenisnya. Jabatan Wakil Gubernur yang saya emban ini
adalah amanah karena saya diminta untuk “berbuat”
untuk Sumatera Barat. Oleh karena ketika ada orang yang datang dari Ampek
Angkek atau dari Agam saya untuk meminta sesuatu secara khusus datang kepada
saya, saya katakana bahwa saya bukan Wakil Gubernur Ampek Angkek, bukan Wakil
Gubernur Agam tetapi saya adalah Wakil Gubernur Sumatera Barat. Oleh karena itu
ikuti prosedur yang ada, jika melihat atau menemukan hal-hal yang tidak benar
silakan lapor ke saya.
Sebuah cerita yang kedengarannya asing
dan langka karena waktu itu masih di zaman Orde Baru. Tidak lama
setelah itu saya pun merantau dan sepertinya akan melupakan Muchlis Ibrahim.
Tetapi, Muchlis Ibrahim agaknya memang ditakdirkan menjadi sejarah, pada akhir
Maret 1999 koran-koran lokal dirantau pun gencar memberitakan perihal
pengunduran diri beliau dari jabatan Gubernur Sumatera Barat karena “tidak cocok” dengan calon Wakil Gubernur
yang “diinginkan” Pemerintah Pusat. Peristiwa
menjadi menarik karena waktu itu Muchlis Ibrahim telah memberi sinyal kepada Menteri Dalam Negeri Syarwan
Hamid sebagaimana diungkapkan Alwi Karmena
“Pado indak sasuai, elok indak
dipakai. Pado indak dipakai, elok indak diawai. Indak diawai. Artinya
tidak sama sekali. Awak atau inyo”. Tetapi Menteri
Dalam Negeri atau Pemerintah Pusat waktu itu “tidak percaya” dengan sinyal yang diberikan Jenderal dari Ranah
Minang satu ini. Bahkan banyak orang pun tidak percaya dan menganggap Muchlis
Ibrahim “hanya menggertak”, mana
mungkin ada pejabat yang memilih mundur dari jabatannya hanya karena tidak
cocok dengan wakilnya? Banyak contoh, pejabat yang telah dipaksa mahasiswa dan
masyarakat dengan demonstrasi untuk mundur tetapi tetap tersenyum menikmati
jabatannya.
Dilematis memang bagi posisi Mayor Jenderal lulusan Akmil Magelang tahun 1965. Karena kuatnya “sistem” waktu itu, Muchlis Ibrahim hanya mempunyai 2 pilihan, menerima atau menolak calon Wagub yang diinginkan pusat. Menerima berarti akan menjalankan pemerintahan dengan orang yang “sapayuang balain hati”, tidak satu visi!. Menolak berarti kehilangan jabatan Gubernur Kepala Daerah yang belum habis periode-nya.
Dan Muchlis Ibrahim akhirnya memilih untuk mundur, suatu langkah surprise bagi jagat politik Indonesia. Selanjutnya peristiwa itu berkembang kontroversial, dan para pemain politik saling lempar pendapat. Ada yang menganggap Muchlis Ibrahim telah kalah oleh rekayasa dan skenario politik kelompok-kelompok tertentu. Ada yang mengatakan Muchlis Ibrahim mencari sensasi, tetapi tidak sedikit yang memuji karena itu dilakukan demi harga diri karena tidak ingin ada yang “basilanteh angan” terhadapnya.
Dan silang pendapat terkait langkah mundur yang diambil Muchlis Ibrahim memang membuat asap politik menggebu di Ranah Minang, tetapi Muchlis Ibrahim setelah mundur tidak pernah lagi mengeluarkan statemen politik ke publik. Dan kobaran asap politik tahun 1999 tersebut perlahan hilang karena para pemain politik juga takut dikatakan “angek lo tadah daripado cangkia”.
Akhirnya, karena tulisan Alwi Karmena yang Terkenang Muchlis Ibrahim dan entah kebetulan atau disengaja, esoknya keluar berita hubungan Gubernur dan Wakil Gubernur kita yang kian memburuk, saya dan mungkin akan banyak orang yang akan ikut terkenang Muchlis Ibrahim. Dan kalau ada yang akan meniru-niru “kebagak-an” beliau rasanya juga tidak salah, karena bisa jadi Muchlis Ibrahim juga meniru “kebagak-an” Bung Hatta yang karena berselisih paham dengan Bung Karno memilih dari jabatan Wakil Presiden RI Tahun 1956. Wassalam!.
Lubuk Basung, 22 Nopember 2011
Dilematis memang bagi posisi Mayor Jenderal lulusan Akmil Magelang tahun 1965. Karena kuatnya “sistem” waktu itu, Muchlis Ibrahim hanya mempunyai 2 pilihan, menerima atau menolak calon Wagub yang diinginkan pusat. Menerima berarti akan menjalankan pemerintahan dengan orang yang “sapayuang balain hati”, tidak satu visi!. Menolak berarti kehilangan jabatan Gubernur Kepala Daerah yang belum habis periode-nya.
Dan Muchlis Ibrahim akhirnya memilih untuk mundur, suatu langkah surprise bagi jagat politik Indonesia. Selanjutnya peristiwa itu berkembang kontroversial, dan para pemain politik saling lempar pendapat. Ada yang menganggap Muchlis Ibrahim telah kalah oleh rekayasa dan skenario politik kelompok-kelompok tertentu. Ada yang mengatakan Muchlis Ibrahim mencari sensasi, tetapi tidak sedikit yang memuji karena itu dilakukan demi harga diri karena tidak ingin ada yang “basilanteh angan” terhadapnya.
Dan silang pendapat terkait langkah mundur yang diambil Muchlis Ibrahim memang membuat asap politik menggebu di Ranah Minang, tetapi Muchlis Ibrahim setelah mundur tidak pernah lagi mengeluarkan statemen politik ke publik. Dan kobaran asap politik tahun 1999 tersebut perlahan hilang karena para pemain politik juga takut dikatakan “angek lo tadah daripado cangkia”.
Akhirnya, karena tulisan Alwi Karmena yang Terkenang Muchlis Ibrahim dan entah kebetulan atau disengaja, esoknya keluar berita hubungan Gubernur dan Wakil Gubernur kita yang kian memburuk, saya dan mungkin akan banyak orang yang akan ikut terkenang Muchlis Ibrahim. Dan kalau ada yang akan meniru-niru “kebagak-an” beliau rasanya juga tidak salah, karena bisa jadi Muchlis Ibrahim juga meniru “kebagak-an” Bung Hatta yang karena berselisih paham dengan Bung Karno memilih dari jabatan Wakil Presiden RI Tahun 1956. Wassalam!.
Lubuk Basung, 22 Nopember 2011
No comments:
Post a Comment