Friday, September 21, 2012

Teringat Muchlis Ibrahim



Ketika membaca Refleksi Alwi Karmena yang berjudul Terkenang Muchlis Ibrahim (Haluan, Senin 21/11/11), saya pun teringat dengan Putra Panampuang Ampek Angkek Kabupaten Agam yang pernah menjadi orang nomor satu di Ranah Minang ini. Bagi saya bukan karena tidak ada hujan – tidak ada angin, tetapi dipicu tulisan Alwi Karmena itu dan berita utama Haluan Selasa 22/11/11 “Demi Sumatera Barat – Hubungan IP-MK Harus Diperbaiki” telah merangsang ingatan terhadap “sejarah” betapa panasnya suhu politik Ranah Minang 10 tahun yang lalu. Rasanya tidaklah pula salah pabila kembali menceritakan seorang yang menjadi spesial dalam sejarah politik di Sumatera Barat bahkan mungkin di Indonesia, Muchlis Ibrahim!.
Dan sebagai seorang warga Sumatera Barat saya mempunyai “kenangan sesaat” dengan Mayor Jenderal (Purn) Muchlis Ibrahim. Waktu itu sekitar tahun 1997 ketika masih menjadi Wakil Gubernur Sumatera Barat saya bertemu beliau di Rumah Dinas Wakil Gubernur di Jl. Raden Saleh – Padang. Maksud kedatangan bertemu beliau adalah untuk mendapat kan “katabelece” yang waktu itu saya sebut Rekomendasi agar lulus tes penerimaan CPNS tahun 1997.
Ananda! Kata beliau,…Kalau saya menggunakan katabelece, maka bawahan saya akan ikut-ikut main katabelece!. Selanjutnya beliau bercerita bahwa akan ada rasa bangga apabila yang kita raih merupakan hasil kristalisasi keringat sendiri, ada rasa “punya harga diri” jika kita diri sendiri, tidak berada di bawah baying-bayang orang lain. Bahwa banyak bawahan saya yang meminta bantuan agar anak atau kemenakannya diterima sebagai pegawai  negeri tetapi semua mampu saya tolak.
Lebih lanjut  putra Ampek Ankek itu bercerita bahwa dia mempunyai prinsip untuk selalu berjalan di jalan yang benar dan tidak “meminta” atau menengadahkan tangan untuk suatu jabatan atau sejenisnya. Jabatan Wakil Gubernur yang saya emban ini adalah amanah karena saya diminta untuk “berbuat” untuk Sumatera Barat. Oleh karena ketika ada orang yang datang dari Ampek Angkek atau dari Agam saya untuk meminta sesuatu secara khusus datang kepada saya, saya katakana bahwa saya bukan Wakil Gubernur Ampek Angkek, bukan Wakil Gubernur Agam tetapi saya adalah Wakil Gubernur Sumatera Barat. Oleh karena itu ikuti prosedur yang ada, jika melihat atau menemukan hal-hal yang tidak benar silakan lapor ke saya.
Sebuah cerita yang kedengarannya asing dan langka karena waktu itu masih di zaman Orde Baru. Tidak lama setelah itu saya pun merantau dan sepertinya akan melupakan Muchlis Ibrahim. Tetapi, Muchlis Ibrahim agaknya memang ditakdirkan menjadi sejarah, pada akhir Maret 1999 koran-koran lokal dirantau pun gencar memberitakan perihal pengunduran diri beliau dari jabatan Gubernur Sumatera Barat karena “tidak cocok” dengan calon Wakil Gubernur yang “diinginkan” Pemerintah Pusat. Peristiwa menjadi menarik karena waktu itu Muchlis Ibrahim telah memberi sinyal kepada Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid sebagaimana diungkapkan Alwi Karmena  Pado indak sasuai, elok indak dipakai. Pado indak dipakai, elok indak diawai. Indak diawai. Artinya tidak sama sekali. Awak atau inyo”. Tetapi Menteri Dalam Negeri atau Pemerintah Pusat waktu itu “tidak percaya” dengan sinyal yang diberikan Jenderal dari Ranah Minang satu ini. Bahkan banyak orang pun tidak percaya dan menganggap Muchlis Ibrahim “hanya menggertak”, mana mungkin ada pejabat yang memilih mundur dari jabatannya hanya karena tidak cocok dengan wakilnya? Banyak contoh, pejabat yang telah dipaksa mahasiswa dan masyarakat dengan demonstrasi untuk mundur tetapi tetap tersenyum menikmati jabatannya. 
Dilematis memang bagi posisi Mayor Jenderal lulusan Akmil Magelang tahun 1965. Karena kuatnya “sistem” waktu itu, Muchlis Ibrahim hanya mempunyai 2 pilihan, menerima atau menolak calon Wagub yang diinginkan pusat. Menerima berarti akan menjalankan pemerintahan dengan orang yang “sapayuang balain hati”, tidak satu visi!. Menolak berarti kehilangan jabatan Gubernur Kepala Daerah yang belum habis periode-nya. 
Dan Muchlis Ibrahim akhirnya memilih untuk mundur, suatu langkah surprise bagi jagat politik Indonesia. Selanjutnya peristiwa itu berkembang kontroversial, dan para pemain politik saling lempar pendapat. Ada yang menganggap Muchlis Ibrahim telah kalah oleh rekayasa dan skenario politik kelompok-kelompok tertentu. Ada yang mengatakan Muchlis Ibrahim mencari sensasi, tetapi tidak sedikit yang memuji karena itu dilakukan demi harga diri karena tidak ingin ada yang “basilanteh angan” terhadapnya.
Dan silang pendapat terkait langkah mundur yang diambil Muchlis Ibrahim memang membuat asap politik menggebu di Ranah Minang, tetapi Muchlis Ibrahim setelah mundur tidak pernah lagi mengeluarkan statemen politik ke publik. Dan kobaran asap politik tahun 1999 tersebut perlahan hilang karena para pemain politik juga takut dikatakan “angek lo tadah daripado cangkia”.
Akhirnya, karena tulisan Alwi Karmena yang Terkenang Muchlis Ibrahim dan entah kebetulan atau disengaja, esoknya keluar berita hubungan Gubernur dan Wakil Gubernur kita yang kian memburuk, saya dan mungkin akan banyak orang yang akan ikut terkenang Muchlis Ibrahim. Dan kalau ada yang akan meniru-niru “kebagak-an” beliau rasanya juga tidak salah, karena bisa jadi Muchlis Ibrahim juga meniru “kebagak-an”  Bung Hatta yang karena berselisih paham dengan Bung Karno memilih dari jabatan Wakil Presiden RI Tahun 1956. Wassalam!.

Lubuk Basung, 22 Nopember 2011

No comments:

Post a Comment