Showing posts with label Religi. Show all posts
Showing posts with label Religi. Show all posts

Wednesday, September 20, 2017

Keberanian Menunggu Ajal

Beberapa waktu lalu saya kehilangan orang dekat. Beliau adalah Guru saya di Sekolah Dasar, yang mengajarkan saya membaca, menulis dan berhitung. Beliau seusia Indonesia Merdeka.
Sebelum meninggal, beliau sangat jarang sakit. Bahkan Kartu Kuning (kartu asuransi kesehatan untuk PNS) tidak pernah beliau pergunakan.
Itu saya ketahui ketika membezuk beliau ketika dirawat di rumah sakit. Beliau bercerita ini pertama kali Ibuk dirawat. Ibu belum pernah mempergunakan Kartu Kuning.
Waktu itu beliau direncanakan akan dioperasi tetapi harus menunggu beberapa hari karena ada beberapa kondisi tubuh beliau harus distabilkan sesuai persyaratan seseorang harus dioperasi.
Kondisi itu ternyata membuat beliau resah. Beliau tidak betah menunggu lama untuk dioperasi.
Ketika mendapatkan kunjungam dokter, beliau langsung menyampaikan,; "Pak Dokter apa lagi yang ditunggu? Operasi saja sekarang!"
Seminggu setelah membezuk itu saya mendapat kabar bahwa beliau meninggal. Diantara kesedihan saya ada syukur karena sempat membezuk beliau.
Sangat banyak orang Bagak bahkan berteriak-teriak Saya tidak taku mati! ketika sedang bertemgkar dengan lawannya.
Tetapi saya melihat Beliau-lah orang yang benar-benar tidak takut mati. Ah, atau lebih tepatnya Beliau adalah orang yang telah siap untuk mati, telah siap ketika ajal itu datang.
Keberanian beliau, kesiapan beliau untuk mati tidak pernah secara dikatakan dengan bahasa lisan. Tetapi apa yang beliau lakukan membuktikan bahwa beliau benar-benar siap. Mungkin saja karena usia beliau yang telah melebihi angka 70.
Beliau mempersiapkan Kain Kafan dan kelengkapan jenazah lainnya. Ya, Beliau siapkan semua itu untuk jenazah beliau nantinya. Bukan karena khawatir nanti ketika meninggal tidak ada ahli waris atau sanak saudara yang akan menyediakan perlengkapan itu. Bukan.
Anak-anak Beliau sangat mapan secara ekonomi. Dan beliau sendiri adalah orang yang dihormati dilingkungannya sehingga bawaan orang yang takziah akan melebihi kebutuhan untuk satu jenazah.
Keberanian beliau menunggu ajal bukan pula sebagai bentuk orang yang pasrah apalagi berputus asa hingga terpakaa menunggu ajal. Beliau tetap melakukan aktifitas seperti orang yang akan berumur panjang. Berkebun, menanam tanaman tetap bersemangat beliau lakukan. Tidak peduli apakah buah dari tanaman yang beliau tanam itu akan dapat beliau nikmati.
Terimakasih Ibu Guru, sampai akhir hayat masih memberikan Ilmu yang luar biasa.
Lubuk Basung, 19 September 2017

Wednesday, June 17, 2015

Khalifah Umar Bin Khatab, Pemimpin Yang Penuh Tanggung Jawab



Khalifah Umar bin Khatab dikenal sebagai pemimpin yang sangat disayangi rakyatnya karena perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa pada rakyatnya. Salah satu kebiasaannya adalah melakukan pengawasan langsung dan sendirian berkeliling kota mengawasi kehidupan rakyatnya. Inilah beberapa kisahnya.
Pada suatu malam hartawan Abdurrahman bin Auf dipanggil oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk diajak pergi ke pinggir kota Madinah.
“Malam ini akan ada serombongan kafilah yang hendak bermalam di pinggir kota, dalam perjalanan pulang”, kata Khalifah Umar kepada Abdurrahman bin Auf.
“Lalu apa masalahnya?” tanya Abdurrahman.
“Kafilah ini akan membawa barang dagangan yang banyak, maka kita sebaiknya ikut menjaga keselamatan barang dari gangguan tangan-tangan usil. Jadi nanti malam kita bersama-sama harus mengawal mereka”, sahut sang Khalifah. Abdurahman dengan senang hati membantu dan siap mengorbankan jiwa raganya menemani tugas khalifah yang ia cintai ini.
Demikianlah sang khalifah menjalankan tugasnya, turun tangan langsung untuk memastikan rakyatnya tidur dan hidup dengan tenang. Bahkan malam itu khalifah Umar mendesak Abdurahman untuk tidur sambil siaga sementara ia sendiri tetap terjaga hingga pagi hari.
Khalifah Umar bin Khattab memang dikenal sebagai seorang pemimpin yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik secara diam-diam. Orang yang ditolongnya sering tidak tahu, bahwa penolongnya adalah khalifah yang sangat mereka cintai.
Pernah suatu malam Auza’iy pernah ‘memergoki’ Khalifah Umar masuk rumah seseorang. Ketika keesokan harinya Auza’iy datang ke rumah itu, ternyata penghuninya seorang janda tua yang buta dan sedang menderita sakit. Janda itu mengatakan, bahwa tiap malam ada orang yang datang ke rumahnya untuk mengirim makanan dan obat-obatan. Tetapi janda tua itu tidak pernah tahu siapa orang tersebut! Padahal orang yang mengunjunginya tiap malam tersebut tak lain adalah adalah khalifah yang sangat ia kagumi selama ini.
Pada suatu malam lainnya ketika Khalifah Umar berjalan-jalan di pinggir kota, tiba-tiba ia mendengar rintihan seorang wanita dari dalam sebuah kemah yang lusuh. Ternyata yang merintih itu seorang wanita yang akan melahirkan . Di sampingnya, duduk suaminya yang kebingungan. Maka pulanglah sang Khalifah ke rumahnya untuk membawa isterinya, Ummu Kalsum, untuk menolong wanita yang akan melahirkan anak itu. Tetapi wanita yang ditolongnya itu pun tidak tahu bahwa orang yang menolongnya dirinya adalah Khalifah Umar, Amirul Mukminin yang mereka cintai.
Pada kisah lainnya, ketika sang Khalifah sedang ’meronda’, ia mendengar tangisan anak-anak dari sebuah rumah kumuh. Dari pinggiran jendela ia mendengar, sang ibu sedang berusaha menenangkan anaknya. Rupanya anaknya menangis karena kelaparan sementara sang ibu tidak memiliki apapun untuk dimasak malam itu. Sang ibupun berusaha menenangkan sang anak dengan berpura-pura merebus sesuatu yang tak lain adalah batu, agar anaknya tenang dan berharap anaknya tertidur karena kelelahan menunggu. Sambil merebus batu dan tanpa mengetahui kehadiran Khalifah Umar diluar jendela, sang ibupun bergumam mengenai betapa enaknya hidup khalifah negeri ini dibanding hidupnya yang serba susah. Khalifah Umar yang mendengar hal ini tak dapat menahan tangisnya, iapun pergi saat itu juga meninggalkan rumah itu. Malam itu juga ia menuju ke gudang makanan yang ada di kota, dan mengambil sekarung bahan makanan untuk diberikan kepada keluarga yang sedang kelaparan itu. Bahkan ia sendiri yang memanggul karung makanan itu dan tidak mengizinkan seorang pegawainya yang menemaninya untuk membantunya. Ia sendiri pula yang memasak makanan itu, kemudian menemani keluarga itu makan, dan bahkan masih sempat pula menghibur sang anak hingga tertidur sebelum ia pamit untuk pulang. Dan keluarga itu tak pernah tahu bahwa yang datang mempersiapkan makanan buat mereka malam itu adalah khalifah Umar bin Khatab !

Abu Nawas, episode : Menipu Tuhan



Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit. Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya, "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang pertama.
"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.
Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang kedua.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang ketiga.
"Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas.
Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.
Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.
"Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang
berbeda?"
"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati."
"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata." jawab Abu Nawas mengandaikan.
"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.
"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.
"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa
menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.
"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?"
"Mungkin." jawab Abu Nawas.
"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
"Dengan merayuNya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas
"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta murid Abu Nawas
"Doa itu adalah : llahi lastu HI firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi.
Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.

Abu Nawas, episode : Pintu Akhirat



Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.
Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata, "Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. La merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa.
Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilingi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau
pulang kembali ke istana.
Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri
"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan syarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti.
“Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu.
"Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu."
Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.
Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi, "Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.

Thursday, February 26, 2015

Mencegah Korupsi dengan Mengasah Nurani



Seorang sangat kaya-raya yang mengalami depresi, membuang-buang tumpukan uangnya begitu saja hingga seolah-olah terjadi hujan uang. Kejadian nyata ini terjadi di negeri Sakura. Apa yang terjadi kemudian? Ternyata tak seorang pun dari masyarakat yang berada di sekitar situ yang mengambil uang tersebut. Walaupun uang itu berserakan di mana-mana tak ada yang berani mengambilnya. Bagi mereka, adalah pekerjaan hina mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Kisah di atas mengingatkan kita pada peristiwa yang terjadi pertengahan Agustus lalu, ketika seorang korban Lumpur Lapindo mengembalikan kelebihan uang pengganti sebesar Rp. 429 juta. Berdasarkan perjanjian, pada pembayaran pertama ia hanya akan menerima Rp. 56 juta yaitu 20% dari total Rp.285 juta yang berhak ia terima. Namun ia  menerima transfer sekitar Rp. 486 juta. Laki-laki berhati mulia yang bernama Waras (56 th) tersebut kemudian lapor dan mengembalikan sebagian besar kelebihannya itu.
Hal ini tentu saja dianggap sebagai peristiwa langka. Betapa tidak ,Waras, bukan seorang kaya raya yang berlebih sehingga merasa tidak perlu uang. Anak dan menantunya pengangguran karena pabrik tempat bekerjanya terendam lumpur. Ia juga juga bukan seseorang yang berpendidikan tinggi. Ia hanya seorang  petani biasa yang memegang prinsip kejujuran.
Dalam wawancaranya di sebuah televisi ia menyatakan alasan yang mendasarinya  mengembalikan uang ratusan juta itu. Dalam bahasa Jawa -karena tak mampu berbicara dalam bahasa Indonesia- ia menjawabnya, "Kulo wedi dosa pak, niku sanes hak kulo!" Yang artinya, ”Saya takut dosa pak, itu bukan hak saya!”
Apa yang dilakukan Waras, tentu saja menjadi hal yang aneh di tengah maraknya berbagai praktek korupsi di negara kita. Saat ini korupsi menjadi menjadi kata yang sangat akrab di telinga kita. Hampir setiap hari berita skandal korupsi bertebaran di berbagai media massa. Lewat laporan berita media masa tersebut, kita kerap melihat begitu tragisnya nasib para koruptor. Dengan nama yang sudah tercoreng, sebagian dari mereka harus menghabiskan umurnya di balik jeruji besi, ada pula –seperti yang baru-baru ini terjadi- mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Mungkin agak mengherankan, terbongkarnya begitu banyak kasus korupsi di berbagai instansi dan departemen, tak menurunkan angka korupsi di Indonesia.
           
Dari tahun ke tahun, angka corruption perceptions index (CPI) negara Indonesia tidak pernah beranjak jauh. Berdasarkan penelitian Transparency International Indonesia (TII), peringkat korupsi Indonesia selalu berada di 10 besar untuk tingkat dunia. Sedang dalam lingkup Asia Tenggara, Hanya Myanmar yang CPI nya lebih rendah dari Indonesia.
            Korupsi kini seolah merupakan budaya bangsa. Padahal kata korupsi sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia. Entah sejak kapan kata yang berasal dari bahasa Latin (corruptio/corrumpere, artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok)  itu menyerap ke dalam bahasa Indonesia.  
Menurut Transparency International,  korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Mengapa Indonesia saat ini senantiasa menjadi negara yang tinggi tingkat korupsinya, padahal sudah sejak lama bangsa ini berjuang memeranginya. Pada masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dibentuk lembaga Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan yang dipimpin oleh A.H. Nasution  ini ternyata gagal karena para pejabat yang diharuskan menyampaikan data tidak mau menyerahkan formulir data tersebut pada Paran.
Pada 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, untuk memberantas korupsi dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Tugas kali ini cukup berat, karena harus berhasil menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Karena berbagai alasan politis operasi ini pun mengalami kemandekan sehingga Operasi Budhi itu pun dihentikan kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya. Seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun terhambat.
Pada masa awal Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Karena TPK dinilai kurang efektif, maka presiden saat itu, Soeharto menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Ketika Komite Empat menyampaikan hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, ternyata tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hal itu membuktikan bahwa posisi komite ini lemah.
Upaya pemberantasan korupsi belanjut ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib. Pada saat itu dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang.
Pada era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, TGPTPK akhirnya dibubarkan dan dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN yang kemudian melebur masuk ke dalam KPK.
            Demikianlah perjalanan panjang upaya pemerintah untuk memberantas penyakit yang merusak bangsa ini. Begitu sulitnya memberantas korupsi, padahal Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama. Sedangkan tak ada satu ajaran agama pun yang melegalkan korupsi. Korupsi hampir setara dengan tindakan pencurian yang sangat dilarang agama.
Jika kita mencermati upaya pencegahan korupsi, selama ini lebih bertumpu pada upaya penegakkan hukum. Padahal kasus korupsi yang mengemuka belakangan ini sebagian justru terjadi di lingkungan aparat penegak hukum.

Hukum yang tegas tidaklah akan efektif jika niat untuk korupsi masih tetap ada. Selalu ada celah untuk melakukan tindak korupsi, dan berbagai upaya akan dapat ditempuh. Ibarat menanggulangi lumpur Lapindo, yang dilakukan hanya membuat benteng-benteng yang tangguh tapi sumber lumpurnya tidak dihentikan.
Untuk menghentikan korupsi sistem dan mekanisme hukum saja tidak cukup, perlu dilakukan edukasi moral sehingga apa yang diharapkan dengan adanya Good Corporate Governance (GCG) dalam artian yang seutuhnya dapat terlaksana. Tanpa pendekatan moralitas target GCG untuk menjalankan accountability, trasnparancy, resposibility dan participacy, hanya akan sebatas formalitas dalam bentuk laporan. Namun, selama ini belum ada upaya nyata dari pemerintah untuk melakukan pendidikan moral baik bagi para birokrat, pejabat, maupun masyarakat secara luas agar dapat mengantisipasi menggejalanya tindak korupsi di berbagai kalangan.
Berkaitan dengan hal ini saya memiliki pengalaman menarik. Suatu kali, ketika training ESQ sedang berlangsung di Makassar, saya dikejutkan oleh kehadiran salah seorang peserta training yang maju menghampiri saya. Dengan air mata bercucuran peserta tersebut menyerahkan serangkaian kunci. Ia mengaku rumah dan kendaraan yang kini dimilikinya adalah hasil korupsi di tempat kerjanya, dan ia ingin mengembalikan harta yang tidak halal tersebut. Ia berkata, ”Apa yang selama ini saya cari ternyata menipu dan sangat mudah hilang. Saya ternyata tidak merasa bahagia dengan semua ini. Sekarang saya merasa lebih berbahagia dengan mengenal Tuhan. Insya Allah, karena saya merasakan mendapat ini dengan tidak halal, maka saya akan kembalikan semua ini.”
Arifuddin Amir, demikian nama peserta training tersebut adalah karyawan PT Samudra Indonesia cabang Makassar. Ia kemudian menemui atasannya untuk menyerahkan hartanya tersebut. Ketika ia sudah mengaku pada atasannya, ia merasa beban yang ia pikul menjadi hilang.
Apa yang terjadi pada Arifuddin dapat dijadikan sebuah gambaran bahwa nilai-nilai moral yang berlandaskan pada kecerdasan emosi dan spiritual yang ditanamkan dalam training ESQ ternyata tidak hanya mengubah paradigma berpikirnya, namun juga memberikan penyadaran. Tanpa adanya unsur paksaan dari pihak luar, ia dengan


kerelaannya sendiri berupaya mengembalikan semua harta yang dia peroleh dengan cara tidak sah.
Apa yang dilakukan Arifuddin atau Waras yang oleh sebagian orang digelari ”Bapak Kejujuran” itu merupakan bukti komitmen spiritual. Meskipun tak ada seorang pun yang mengetahui, ia yakin Tuhan akan tetap mengetahuinya. Hal ini membuktikan bahwa penanaman nilai moralitas dengan landasan nilai spiritual dapat menurunkan angka korupsi. Hal ini pula yang dilakukan oleh ESQ yaitu memberikan pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual, sehingga diharapkan masyarakat dan bangsa Indonesia kembali memegang nilai-nilai spiritual. Jika karakter ini dimiliki oleh sebagian besar komponen masyarakat bangsa ini, korupsi tak kan lagi mempunyai tempat.Tegaknya nilai-nilai moral dan spiritual-lah yang akan menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat praktek korupsi.


 Mencegah Korupsi dengan Mengasah Nurani

Oleh: Dr (HC) Ary Ginanjar Agustian
ESQ Leadership Center
Disampaikan dalam Seminar Nasional “Mencari Solusi Dalam Pencegahan Korupsi Guna Menunjang Pembangunan Nasional Berkelanjutan”
Kantor Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Jakarta, 05 Maret 2008