Thursday, February 26, 2015

Mencegah Korupsi dengan Mengasah Nurani



Seorang sangat kaya-raya yang mengalami depresi, membuang-buang tumpukan uangnya begitu saja hingga seolah-olah terjadi hujan uang. Kejadian nyata ini terjadi di negeri Sakura. Apa yang terjadi kemudian? Ternyata tak seorang pun dari masyarakat yang berada di sekitar situ yang mengambil uang tersebut. Walaupun uang itu berserakan di mana-mana tak ada yang berani mengambilnya. Bagi mereka, adalah pekerjaan hina mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Kisah di atas mengingatkan kita pada peristiwa yang terjadi pertengahan Agustus lalu, ketika seorang korban Lumpur Lapindo mengembalikan kelebihan uang pengganti sebesar Rp. 429 juta. Berdasarkan perjanjian, pada pembayaran pertama ia hanya akan menerima Rp. 56 juta yaitu 20% dari total Rp.285 juta yang berhak ia terima. Namun ia  menerima transfer sekitar Rp. 486 juta. Laki-laki berhati mulia yang bernama Waras (56 th) tersebut kemudian lapor dan mengembalikan sebagian besar kelebihannya itu.
Hal ini tentu saja dianggap sebagai peristiwa langka. Betapa tidak ,Waras, bukan seorang kaya raya yang berlebih sehingga merasa tidak perlu uang. Anak dan menantunya pengangguran karena pabrik tempat bekerjanya terendam lumpur. Ia juga juga bukan seseorang yang berpendidikan tinggi. Ia hanya seorang  petani biasa yang memegang prinsip kejujuran.
Dalam wawancaranya di sebuah televisi ia menyatakan alasan yang mendasarinya  mengembalikan uang ratusan juta itu. Dalam bahasa Jawa -karena tak mampu berbicara dalam bahasa Indonesia- ia menjawabnya, "Kulo wedi dosa pak, niku sanes hak kulo!" Yang artinya, ”Saya takut dosa pak, itu bukan hak saya!”
Apa yang dilakukan Waras, tentu saja menjadi hal yang aneh di tengah maraknya berbagai praktek korupsi di negara kita. Saat ini korupsi menjadi menjadi kata yang sangat akrab di telinga kita. Hampir setiap hari berita skandal korupsi bertebaran di berbagai media massa. Lewat laporan berita media masa tersebut, kita kerap melihat begitu tragisnya nasib para koruptor. Dengan nama yang sudah tercoreng, sebagian dari mereka harus menghabiskan umurnya di balik jeruji besi, ada pula –seperti yang baru-baru ini terjadi- mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Mungkin agak mengherankan, terbongkarnya begitu banyak kasus korupsi di berbagai instansi dan departemen, tak menurunkan angka korupsi di Indonesia.
           
Dari tahun ke tahun, angka corruption perceptions index (CPI) negara Indonesia tidak pernah beranjak jauh. Berdasarkan penelitian Transparency International Indonesia (TII), peringkat korupsi Indonesia selalu berada di 10 besar untuk tingkat dunia. Sedang dalam lingkup Asia Tenggara, Hanya Myanmar yang CPI nya lebih rendah dari Indonesia.
            Korupsi kini seolah merupakan budaya bangsa. Padahal kata korupsi sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia. Entah sejak kapan kata yang berasal dari bahasa Latin (corruptio/corrumpere, artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok)  itu menyerap ke dalam bahasa Indonesia.  
Menurut Transparency International,  korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Mengapa Indonesia saat ini senantiasa menjadi negara yang tinggi tingkat korupsinya, padahal sudah sejak lama bangsa ini berjuang memeranginya. Pada masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dibentuk lembaga Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan yang dipimpin oleh A.H. Nasution  ini ternyata gagal karena para pejabat yang diharuskan menyampaikan data tidak mau menyerahkan formulir data tersebut pada Paran.
Pada 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, untuk memberantas korupsi dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Tugas kali ini cukup berat, karena harus berhasil menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Karena berbagai alasan politis operasi ini pun mengalami kemandekan sehingga Operasi Budhi itu pun dihentikan kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya. Seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun terhambat.
Pada masa awal Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Karena TPK dinilai kurang efektif, maka presiden saat itu, Soeharto menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Ketika Komite Empat menyampaikan hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, ternyata tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hal itu membuktikan bahwa posisi komite ini lemah.
Upaya pemberantasan korupsi belanjut ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib. Pada saat itu dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang.
Pada era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, TGPTPK akhirnya dibubarkan dan dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN yang kemudian melebur masuk ke dalam KPK.
            Demikianlah perjalanan panjang upaya pemerintah untuk memberantas penyakit yang merusak bangsa ini. Begitu sulitnya memberantas korupsi, padahal Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama. Sedangkan tak ada satu ajaran agama pun yang melegalkan korupsi. Korupsi hampir setara dengan tindakan pencurian yang sangat dilarang agama.
Jika kita mencermati upaya pencegahan korupsi, selama ini lebih bertumpu pada upaya penegakkan hukum. Padahal kasus korupsi yang mengemuka belakangan ini sebagian justru terjadi di lingkungan aparat penegak hukum.

Hukum yang tegas tidaklah akan efektif jika niat untuk korupsi masih tetap ada. Selalu ada celah untuk melakukan tindak korupsi, dan berbagai upaya akan dapat ditempuh. Ibarat menanggulangi lumpur Lapindo, yang dilakukan hanya membuat benteng-benteng yang tangguh tapi sumber lumpurnya tidak dihentikan.
Untuk menghentikan korupsi sistem dan mekanisme hukum saja tidak cukup, perlu dilakukan edukasi moral sehingga apa yang diharapkan dengan adanya Good Corporate Governance (GCG) dalam artian yang seutuhnya dapat terlaksana. Tanpa pendekatan moralitas target GCG untuk menjalankan accountability, trasnparancy, resposibility dan participacy, hanya akan sebatas formalitas dalam bentuk laporan. Namun, selama ini belum ada upaya nyata dari pemerintah untuk melakukan pendidikan moral baik bagi para birokrat, pejabat, maupun masyarakat secara luas agar dapat mengantisipasi menggejalanya tindak korupsi di berbagai kalangan.
Berkaitan dengan hal ini saya memiliki pengalaman menarik. Suatu kali, ketika training ESQ sedang berlangsung di Makassar, saya dikejutkan oleh kehadiran salah seorang peserta training yang maju menghampiri saya. Dengan air mata bercucuran peserta tersebut menyerahkan serangkaian kunci. Ia mengaku rumah dan kendaraan yang kini dimilikinya adalah hasil korupsi di tempat kerjanya, dan ia ingin mengembalikan harta yang tidak halal tersebut. Ia berkata, ”Apa yang selama ini saya cari ternyata menipu dan sangat mudah hilang. Saya ternyata tidak merasa bahagia dengan semua ini. Sekarang saya merasa lebih berbahagia dengan mengenal Tuhan. Insya Allah, karena saya merasakan mendapat ini dengan tidak halal, maka saya akan kembalikan semua ini.”
Arifuddin Amir, demikian nama peserta training tersebut adalah karyawan PT Samudra Indonesia cabang Makassar. Ia kemudian menemui atasannya untuk menyerahkan hartanya tersebut. Ketika ia sudah mengaku pada atasannya, ia merasa beban yang ia pikul menjadi hilang.
Apa yang terjadi pada Arifuddin dapat dijadikan sebuah gambaran bahwa nilai-nilai moral yang berlandaskan pada kecerdasan emosi dan spiritual yang ditanamkan dalam training ESQ ternyata tidak hanya mengubah paradigma berpikirnya, namun juga memberikan penyadaran. Tanpa adanya unsur paksaan dari pihak luar, ia dengan


kerelaannya sendiri berupaya mengembalikan semua harta yang dia peroleh dengan cara tidak sah.
Apa yang dilakukan Arifuddin atau Waras yang oleh sebagian orang digelari ”Bapak Kejujuran” itu merupakan bukti komitmen spiritual. Meskipun tak ada seorang pun yang mengetahui, ia yakin Tuhan akan tetap mengetahuinya. Hal ini membuktikan bahwa penanaman nilai moralitas dengan landasan nilai spiritual dapat menurunkan angka korupsi. Hal ini pula yang dilakukan oleh ESQ yaitu memberikan pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual, sehingga diharapkan masyarakat dan bangsa Indonesia kembali memegang nilai-nilai spiritual. Jika karakter ini dimiliki oleh sebagian besar komponen masyarakat bangsa ini, korupsi tak kan lagi mempunyai tempat.Tegaknya nilai-nilai moral dan spiritual-lah yang akan menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat praktek korupsi.


 Mencegah Korupsi dengan Mengasah Nurani

Oleh: Dr (HC) Ary Ginanjar Agustian
ESQ Leadership Center
Disampaikan dalam Seminar Nasional “Mencari Solusi Dalam Pencegahan Korupsi Guna Menunjang Pembangunan Nasional Berkelanjutan”
Kantor Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Jakarta, 05 Maret 2008







No comments:

Post a Comment