Seorang sangat kaya-raya yang
mengalami depresi, membuang-buang tumpukan uangnya begitu saja hingga
seolah-olah terjadi hujan uang. Kejadian nyata ini terjadi di negeri Sakura.
Apa yang terjadi kemudian? Ternyata tak seorang pun dari masyarakat yang berada
di sekitar situ yang mengambil uang tersebut. Walaupun uang itu berserakan di
mana-mana tak ada yang berani mengambilnya. Bagi mereka, adalah pekerjaan hina
mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Kisah di atas mengingatkan
kita pada peristiwa yang terjadi pertengahan Agustus lalu, ketika seorang
korban Lumpur Lapindo mengembalikan kelebihan uang pengganti sebesar Rp. 429
juta. Berdasarkan perjanjian, pada pembayaran pertama
ia hanya akan menerima Rp. 56 juta yaitu 20% dari total Rp.285 juta yang berhak
ia terima. Namun ia menerima
transfer sekitar Rp. 486 juta. Laki-laki berhati mulia yang bernama Waras (56
th) tersebut kemudian lapor dan mengembalikan sebagian besar kelebihannya itu.
Hal ini tentu saja dianggap
sebagai peristiwa langka. Betapa tidak ,Waras, bukan seorang kaya raya yang
berlebih sehingga merasa tidak perlu uang. Anak dan menantunya pengangguran
karena pabrik tempat bekerjanya terendam lumpur. Ia juga juga bukan seseorang
yang berpendidikan tinggi. Ia hanya seorang
petani biasa yang memegang prinsip kejujuran.
Dalam wawancaranya di sebuah
televisi ia menyatakan alasan yang mendasarinya mengembalikan uang ratusan juta itu. Dalam
bahasa Jawa -karena tak mampu berbicara dalam bahasa Indonesia- ia menjawabnya,
"Kulo wedi dosa pak, niku sanes hak kulo!" Yang artinya, ”Saya takut dosa
pak, itu bukan hak saya!”
Apa yang dilakukan Waras,
tentu saja menjadi hal yang aneh di tengah maraknya berbagai praktek korupsi di
negara kita. Saat ini korupsi
menjadi menjadi kata yang sangat akrab di telinga kita. Hampir setiap hari berita skandal korupsi
bertebaran di berbagai media massa. Lewat laporan berita media masa tersebut, kita
kerap melihat begitu tragisnya nasib para koruptor. Dengan nama yang sudah
tercoreng, sebagian dari mereka harus menghabiskan umurnya di balik jeruji
besi, ada pula –seperti yang baru-baru ini terjadi- mengakhiri hidupnya dengan
menggantung diri. Mungkin agak mengherankan, terbongkarnya begitu banyak kasus
korupsi di berbagai instansi dan departemen, tak menurunkan angka korupsi di
Indonesia.
Dari tahun ke tahun, angka corruption
perceptions index (CPI) negara Indonesia tidak pernah beranjak jauh. Berdasarkan penelitian Transparency
International Indonesia (TII), peringkat korupsi Indonesia selalu berada di
10 besar untuk tingkat dunia. Sedang dalam lingkup Asia Tenggara, Hanya Myanmar
yang CPI nya lebih rendah dari Indonesia.
Korupsi kini seolah
merupakan budaya bangsa. Padahal
kata korupsi sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia. Entah sejak kapan
kata yang berasal dari bahasa Latin (corruptio/corrumpere, artinya busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, atau menyogok) itu
menyerap ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut Transparency
International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan dalam arti yang
luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Mengapa Indonesia saat ini senantiasa
menjadi negara yang tinggi tingkat korupsinya, padahal sudah sejak lama bangsa
ini berjuang memeranginya. Pada masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk
badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dibentuk lembaga Panitia
Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan yang dipimpin oleh A.H. Nasution ini
ternyata gagal karena para pejabat yang diharuskan menyampaikan data tidak mau menyerahkan
formulir data tersebut pada Paran.
Pada 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, untuk memberantas korupsi dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Tugas kali ini cukup
berat, karena harus berhasil menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan
sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Karena berbagai alasan politis operasi ini
pun mengalami kemandekan sehingga Operasi Budhi itu pun dihentikan kemudian
diganti menjadi Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya. Seiring dengan lahirnya lembaga
ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun terhambat.
Pada masa awal Orde Baru, dibentuk
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK),
yang diketuai Jaksa Agung. Karena TPK dinilai kurang efektif, maka presiden saat itu, Soeharto menunjuk
Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Ketika Komite Empat menyampaikan hasil
temuan atas kasus korupsi di Pertamina, ternyata
tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hal itu membuktikan bahwa posisi komite
ini lemah.
Upaya pemberantasan korupsi belanjut ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib. Pada saat itu dibentuklah Operasi Tertib
(Opstib) dengan tugas antara lain memberantas korupsi. Perselisihan pendapat
mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down
di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang.
Pada era reformasi, usaha pemberantasan
korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, TGPTPK akhirnya
dibubarkan dan dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN yang kemudian
melebur masuk ke dalam KPK.
Demikianlah
perjalanan panjang upaya pemerintah untuk memberantas penyakit yang merusak bangsa
ini. Begitu sulitnya memberantas korupsi, padahal Indonesia adalah negara yang mayoritas
penduduknya beragama. Sedangkan tak ada satu ajaran agama pun yang melegalkan
korupsi. Korupsi hampir
setara dengan tindakan pencurian yang sangat dilarang agama.
Jika kita mencermati upaya
pencegahan korupsi, selama ini lebih bertumpu pada upaya penegakkan hukum.
Padahal kasus korupsi yang mengemuka belakangan ini sebagian justru terjadi di
lingkungan aparat penegak hukum.
Hukum yang tegas tidaklah akan
efektif jika niat untuk korupsi masih tetap ada. Selalu ada celah untuk
melakukan tindak korupsi, dan berbagai upaya akan dapat ditempuh. Ibarat menanggulangi
lumpur Lapindo, yang dilakukan hanya membuat benteng-benteng yang tangguh tapi
sumber lumpurnya tidak dihentikan.
Untuk menghentikan korupsi
sistem dan mekanisme hukum saja tidak cukup, perlu dilakukan edukasi moral
sehingga apa yang diharapkan dengan adanya Good
Corporate Governance (GCG) dalam artian yang seutuhnya dapat terlaksana.
Tanpa pendekatan moralitas target GCG untuk menjalankan accountability, trasnparancy, resposibility dan participacy, hanya
akan sebatas formalitas dalam bentuk laporan. Namun, selama ini belum ada upaya
nyata dari pemerintah untuk melakukan pendidikan moral baik bagi para birokrat,
pejabat, maupun masyarakat secara luas agar dapat mengantisipasi menggejalanya
tindak korupsi di berbagai kalangan.
Berkaitan dengan hal ini saya
memiliki pengalaman menarik. Suatu kali, ketika training ESQ sedang berlangsung
di Makassar, saya dikejutkan oleh kehadiran salah seorang peserta training yang
maju menghampiri saya. Dengan
air mata bercucuran peserta tersebut menyerahkan serangkaian kunci. Ia mengaku
rumah dan kendaraan yang kini dimilikinya adalah hasil korupsi di tempat
kerjanya, dan ia ingin mengembalikan harta yang tidak halal tersebut. Ia
berkata, ”Apa yang selama ini saya cari ternyata menipu dan sangat mudah
hilang. Saya ternyata tidak merasa bahagia dengan semua ini. Sekarang saya
merasa lebih berbahagia dengan mengenal Tuhan. Insya Allah, karena saya merasakan mendapat ini
dengan tidak halal, maka saya akan kembalikan semua ini.”
Arifuddin Amir, demikian nama
peserta training tersebut adalah karyawan PT Samudra Indonesia cabang Makassar.
Ia kemudian menemui atasannya
untuk menyerahkan hartanya tersebut. Ketika ia sudah mengaku pada atasannya, ia
merasa beban yang ia pikul menjadi hilang.
Apa yang
terjadi pada Arifuddin dapat dijadikan sebuah gambaran bahwa nilai-nilai moral
yang berlandaskan pada kecerdasan emosi dan spiritual yang ditanamkan dalam
training ESQ ternyata tidak hanya mengubah paradigma berpikirnya, namun juga
memberikan penyadaran. Tanpa adanya unsur paksaan dari pihak luar, ia dengan
kerelaannya sendiri berupaya mengembalikan
semua harta yang dia peroleh dengan cara tidak sah.
Apa yang
dilakukan Arifuddin atau Waras yang oleh sebagian orang digelari ”Bapak
Kejujuran” itu merupakan bukti komitmen spiritual. Meskipun tak ada seorang pun
yang mengetahui, ia yakin Tuhan akan tetap mengetahuinya. Hal ini membuktikan
bahwa penanaman nilai moralitas dengan landasan nilai spiritual dapat
menurunkan angka korupsi. Hal ini pula yang dilakukan oleh ESQ yaitu memberikan
pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual, sehingga diharapkan masyarakat dan
bangsa Indonesia kembali memegang nilai-nilai spiritual. Jika karakter ini
dimiliki oleh sebagian besar komponen masyarakat bangsa ini, korupsi tak kan
lagi mempunyai tempat.Tegaknya nilai-nilai moral dan spiritual-lah yang akan
menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat praktek korupsi.
Mencegah Korupsi dengan Mengasah Nurani
Oleh:
Dr (HC) Ary Ginanjar Agustian
ESQ
Leadership Center
Disampaikan
dalam Seminar Nasional “Mencari Solusi Dalam Pencegahan Korupsi Guna Menunjang
Pembangunan Nasional Berkelanjutan”
Kantor
Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Jakarta,
05 Maret 2008
No comments:
Post a Comment