Showing posts with label Opini Politik. Show all posts
Showing posts with label Opini Politik. Show all posts

Wednesday, January 15, 2020

Catatan Pilkada: Mencari Harapan Baru (3)


Pemilihan Gubernur Sumatera Barat itu laksana "Mencari Harapan" baru. Mencari harapan pengganti harapan yang sebelumnya diberikan kepada Irwan Prayitno. Harapan yang harusnya lebih besar dari apa yang diharapkan dan telah diberikan Irwan Prayitno.

Pada Pemilihan Gubernur tahun 2010, Irwan Prayitno bersama pasangannya lebih dipercaya masyarakat untuk bisa memberikan harapan dibandingkan 4 kandidat lainnya. 650 ribu atau 33% pemilih mempercayai Irwan Prayitno mampu memberikan dan akan memenuhi harapan.
Lima tahun kemudian, Irwan Prayitno kembali memenangi   suara rakyat, 1,2 juta atau 57% suara menjatuhkan pilihan kepadanya. Secara prosentase Irwan Prayitno memang belum mampu menjadi atau memenuhi harapan mayoritas (2/3) rakyatnya jika indikator nya hasil pilkada.

Seharusnya jika memang dianggap berhasil maka pada  pilkada periode keduanya para petahana itu mampu merebut mayoritas (2/3) suara pemilih. Keberhasilan mendapatkan dukungan dua per tiga rakyat bahkan lebih adalah bukti bahwa petahana itu masih menjadi harapan.

Hal itu telah dibuktikan banyak Petahana seperti Jokowi di Solo (91%), Tri Rismaharini di Surabaya (86%), Abdulah Azwar Anas di Banyuwangi (89%), Nurdin Abdullah di Bantaeng (80%), Samanhudi Azwar di Blitar (93%) dan lainnya.

Berkaca dari hal itu maka  mengukur para petahana (Bupati/Walikota) yang ingin naik kelas menjadi Gubernur, bisa kita lihat rekam jejaknya. Mereka yang rata-rata adalah  Bupati/Walikota yang sudah menjabat di periode kedua bisa dilihat "lakek tangan"nya. Apa yang telah mereka perbuat selama jadi Bupati/Walikota? Bagaimana pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan di daerahnya?

Wednesday, January 31, 2018

Tataruang si Bunian Proyek e-KTP

Dalam Sidang Korupsi e-KTP dengan Terdakwa Setya Novanto, Senin 29/1/2018 kemarin Gamawan Fauzi terlihat sangat gamang, padahal status beliau hanyalah saksi. Diantara keyakinan (sesuai perspektif beliau) bahwa tidak melakukan korupsi, Gamawan membela diri dengan bersumpah Demi Allah dan mengatakan dirinya adalah anak seorang Ulama.
Ketika Hakim bertanya apakah Gamawan pernah menerima aliran dana korupsi e-KTP? Gamawan Fauzi membantah bahkan siap dihukum mati jika memang terbukti menerima uang.
Kegamangan Gamawan Fauzi terlihat ketika beliau melakukan pembelaan diri dengan apa yang beliau ungkapkan tersebut bukanlah alasan atau alat bukti yang dapat melepaskan dari tuduhan perbuatan Korupsi. Dan bukan hanya kali ini Gamawan Fauzi melontarkan argumentasi diluar hukum. Ketika hadir sebagai saksi dalam sidang untuk terdakwa Andi Narogong tanggal 9 Oktober 2017, beliau mengatakan bersedia dikutuk dan siap dihukum dunia akhirat.
Terseret-seretnya Gamawan Fauzi dalam kasus e-KTT tentu membuat kita sangat prihatin. Karir panjang dan track record beliau sebagai Pemimpin yang Bersih diuji lagi di masa tuanya.
Penerima Bintang Mahaputra Utama, Penghargaan Sipil yang Tertinggi tahun 2009 ini melalui perjalanan karir yang mulus dan terus menanjak. Setelah tamat kuliah Hukum di Unibersitas Andalas, beliau menjadi volunteer di LBH Padang, kemudian menjadi PNS di Pemprop Sumbar. Mulai dari Staf, Kepala Seksi hingga Kepala Biro Humas.
Tidak berhenti disitu, Gamawan Fauzi mengikuti Pemilihan Bupati Solok periode 1995-2009. Gamawan yang waktu itu masih berusia 38 tahun berhasil meraih 28 suara dari 42 anggota DPRD Kab. Solok, mengalahkan dua kompetitornya.
Dengan keberhasilannya menjadi Bupati, Gamawan juga dianggap berhasil menerobos pakem di Orde Baru bahwa Bupati itu harus berlatar belakang militer. Setelah dilantik, Gamawan melakukan apa yang disebut sebut saat ini yaitu Reformasi Birokrasi dan revolusi mental di lingkungan pemerintahan Kabupaten Solok.
Gamawan tampil sebagai pribadi yang merakyat dan anti-KKN. Menciptakan pelayanan yang ramah terhadap masyarakat, meningkatkan penhasilan tambahan bagi Pegawai. Membuat terobosan birokrasi dengan mendelegasian wewenang pemerintahan ke nagari atau desa dalam urusan konservasi lingkungan hidup. Membuat sistem perizinan menjadi satu pintu, transparansi dengan standar yang jelas. Tarif perizinan diterbitkan secara terbuka termasuk penunjuk jangka waktunya. Atas komitmentnya tersebut dia dianugerahi Bung Hatta Award.
Dua periode menjadi Bupati Solok, karier Gamawan semakin meroket setelah ia berhasil memenangi Pilgub Sumatera Barat tahun 2005. Padahal Gamawan yang berpasangan dengan Marlis Rahman hampir saja tidak mendapat kendaraan untuk maju sebagai kontestan Pilgub Sumbar. Untung "Masih ada Kapal ke Padang", disaat terakhir Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang pada Pemilu 2004 tidak mendapat suara signifikan di Sumatera Barat menjadi kendaraan bagi Gamawan Fauzi dan Marlis Rahman.
Menjelang Pilpres 2009, Gamawan Fauzi yang pada waktu itu menjabat Gubernur Sumatera Barat periode 2005 – 2010 mengambil “Langkah Politik Praktis” dengan menjadi Deklarator pasangan Capres SBY-Budiono. Beberapa pihak termasuk penulis menyayangkan langkah Gamawan yang memasuki ranah politik praktis dan tidak mengambil posisi netral karena figur beliau lebih dikenal sebagai Pamong ketimbang Politikus apalagi beliau bukan kader atau pengurus Partai Politik.
Langkah Politik Gamawan tersebut kemudian memang berbuah kursi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Indonesia Bersatu. Tetapi itu tetap disesalkan karena tanpa menjadi deklarator pasangan Capres SBY-Budiono, kursi Menteri memang layak untuk Gamawan yang sudah sangat banyak berprestasi. Artinya siapapun yang pemenang Pilpres 2009 mau tidak mau akan melirik Gamawan untuk dijadikan menteri. Apalagi sudah menjadi "kebiasaan" Gubernur Sumbar diakhir jabatannya akan naik kelas jadi Menteri. Hal yang telah terjadi sebelumnya pada Harun Zain, Azwar Anas dan Hasan Basri Durin.
Pekerjaan berat sebagai Menteri sepertinya akan bisa diselesaikan dengan baik oleh Gamawan. Menyusun grand design otonomi daerah, mewujudkan aparatur pemerintahan yang bersih korupsi, pembenahan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) yang sarat permasalahan dan pungutan liar.
Pada akhir tahun 2011, SBY menyampaikan Pidato bahwa mulai tahun 2011 Kartu Tanda Penduduk akan dibuat secara Elektronik (e-KTP). Sebagai Mendagri, Gamawan adalah pelaksana utama program e-KTP di Indonesia. Dan pada awalnya "proyek" e-KTP senilai Rp.5,9 triliyun itu sepertinya aman-aman saja. Tetapi seiring berakhirnya rezim SBY dan nyanyian mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin membuat proyek e-KTP mulai memasuki ranah hukum.
Pada tahun 2016, Nazaruddin menyebut nama Gamawan Fauzi sebagai salah satu penerima gratifikasi proyek e-KTP usai dirinya diperiksa KPK sebagai saksi pada 27 September 2016. Sebulan kemudian Gamawan diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Saat itu Gamawan membantah segala tudingan Nazaruddin. Ia menyebut bahwa proyek e-KTP di bawah kepemimpinannya selama 2009-2014 lalu dilakukan secara transparan. Bahkan, dalam menjalankan proyek itu, ia menyebut telah melibatkan KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.
Dalam BAP, Nazaruddin menyebut bahwa Gamawan dua kali menerima uang e-KTP. Total yang diterima Gamawan, menurut Nazar, 4,5 juta dollar AS. Nazaruddin tetap berkeyakinan bahwa Gamawan ikut menerima uang walau Gamawan telah membantah bahkan bersedia dikutuk jika menerima uang itu. Menurut Nazaruddin, saat itu adik kandung Gamawan Fauzi, Azmin Aulia, ingin membeli ruko miliknya. Namun, yang membayar ruko ternyata salah satu pengusaha dalam proyek e-KTP, yakni Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tanos. Pun dalam dakwaan dan tuntutan terhadap dua mantan Pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto, Gamawan disebut menerima aliran dana USD 4,5 juta dan Rp 50 juta terkait proyek tersebut.
Gamawan mengaku tidak mengetahui adanya dugaan mark up dalam proyek e-KTP karena atas permintaannya Auditor BPKP dua kali mengaudit proyek tersebut. Selain itu BPK juga telah memeriksa sebanyak tiga kali dan tidak ada yang menyatakan ada KKN.
Sekarang kasus korupsi e-KTP semakin terbuka dan diduga melibatkan banyak pihak. Belasan orang yang disebut-sebut menerima uang proyek e-KTP telah mengembalikannya. Dan yang paling menghebohkan adalah dugaan keterlibatan Ketua DPR Setya Novanto yang telah jadi terdakwa.
Apakah Gamawan juga terlibat dan akan tersangka korupsi e-KTP?
Sepertinya kita masih menunggu kelanjutan drama kolosal ini.  Diantara kenyakinan banyak orang bahwa memang telah terjadi korupsi pada proyek e-KTP, banyak juga yang berpendapat ini adalah politisasi menjelang Pemilu dan Pilpres 2019. Ada pula yang sentimentil berpendapat bahwa tokoh-tokoh sumbar sengaja dihabisi pasca Pilpres yang lalu. Setelah Irman Gusman dan Patrialis Akbar maka target selanjutnya adalah Gamawan Fauzi.
Mudah-mudahan ini hanya ujian semata yang mengharuskan Gamawan Fauzi bolak-balik ke KPK dan menghadiri sidang sebagai saksi kasus korupsi e-KTP. Ujian sebagaimana dulu ketika masih menjadi Bupati Solok tersesat di hutan selama 5 hari ketika sedang melakukan survey alternatif Solok - Padang, yang konon kabarnya karena tataruang (tertarung, tersandung) si Bunian (makhluk ghaib) penghuni Hutan Raya Bukik Sambuang. 
Kini Gamawan Fauzi diuji karena tersandung di proyek e-KTP, membuatnya harus bolak-balik menghadiri Sidang. Membuat beliau kembali seperti Tataruang si Bunian di Proyek e-KTP, makhluk yang tidak terlihat tetapi diyakini ada.
Sebagaimana lagu ciptaan Agus Taher yang pernah beliau nyanyikan;
"Gontai langkah tangah rimbo pasawangan
Makin jauah makin dalam maramang badan
Raso bakubua banisan tido di jurang dalam

Si bunian bukik sambuang nan tataruang
Mangko kalam makin hilang jalan pulang
Oi urang den sayang
Saru juo tiok sumbayang"


Thursday, January 25, 2018

Mahar Politik

Sekedar berbagi cerita tentang Mahar Politik atau Uang Politik atau apapun istilahnya, ada beberapa peristiwa yang saya alami terkait dengan itu.
Suatu waktu saya dikunjungi seorang kawan. Kedatangannya cukup mengagetkan saya karena ia datang bersama seorang yang saya kenal sebagai salah satu Bakal Calon Wakil Kepala Daerah.
Singkat cerita, kawan itu sengaja membawa orang itu untuk "bercerita" atas permasalahan yang dialaminya. Bahwa ia mendaftar dan mengikuti proses sebagai Bakal Calon Kepala Daerah pada sebuah Parpol. Sampai pada akhirnya terjadi Deal bahwa ia akan mendapatkan Rekomendasi sebagai Calon dengan  mahar Rp.250 juta.
Tetapi ketika ia telah menyiapkan dan akan menyerahkan uang tersebut, tiba-tiba disampaikan bahwa ia tidak jadi direkomendasikan menjadi Calon. Calon yang akhirnya mendapatkan rekomendasi dari Parpol itu adalah orang yang secara finansial sangat kuat. Itu kejadian di era Pilkada pada zaman Reformasi.
Dilain waktu pada zaman ketika Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD saya juga mendapat informasi bahwa ada Uang Mahar untuk suara anggota DPRD itu. Meskipun siapa yang akan jadi pemenang serta komposisi suara telah diatur oleh Pusat. Dan besaran uang mahar masih sangat kecil, tidak sampai jutaan, apalagi puluhan milyar seperti gosip saat ini.
Tahun 1990, pengakuan seorang anggota DPRD Kota ketika akan dilakukan pemilihan Walikota ia mendapat amplop yang isinya uang Rp.250 ribu. Tahun 2000, seorang Anggota DPRD Kabupaten mengaku diberi amplop yang berisi uang Rp.600.000 menjelang pemilihan Bupati.
Tahun 2003, menjelang pemilihan Gubernur seorang pengusaha mengaku terang-terangan siap dan sanggup mengeluarkan uang sebesar Rp.100 milyar untuk membayar perahu menuju kursi Gubernur yang dipilih DPRD.
Tetapi pengusaha itu tidak jadi ikut Pilgub karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan dalam kasus kredit fiktif. Proses Pilgub di Propinsi itu sediri dituding sebagai ajang perang uang. Satu suara dibanderol Rp. 1 milyar. Kekalahan Calon lain yang juga Petahana diduga karena maharnya kalah besar dengan pesaingnya.
Ceritanya, sebelum pemilihan telah diantarkan uang masing-masing Rp. 1 milyar kepada beberapa anggota DPRD. Ia telah mengeluarkan uang lebih dari Rp.20 milyar untuk membayar separo lebih anggota DPRD. Tetapi oleh pesaingnya juga memberikan uang jauh lebih besar dari Rp. 1 milyar. Malam hari setelah pemilihan uang yang semilyar tersebut ditagih kembali oleh
Calon yang kalah.
Disaat heboh-heboh uang mahar La Nyala dengan Prabowo muncul lagi wacana mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah kepada DPRD. Pengembalian ini diantaranya bertujuan mengurangi Uang Politik yang dikeluarkan dalam Pemilihan Kepala Daerah yang mencapai puluhan bahkan ratusan milyar untuk daerah pemilihan di pulau Jawa. 
Saya meyakini cara ini tidak efektif mengurangi uang politik karena dulunya juga telah terjadi transaksi politik dengan uang. Meskipun pemilihan dilakukan di DPRD perang tarif akan terus terjadi, yang paling banyak uangnya akan mendapatkan jalan mulus menuju Jabatan Kepala Daerah. Hampir tidak ada proses Pengambilan Keputusan (termasuk Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah) oleh DPRD yang bersih dari gosip transaksi. Untuk persetujuan hal-hal rutin saja seperti pembuatan Perda atau Persetujuan APBD masih dibumbui transaksi uang. Banyak kasus yang diungkap KPK terkait pengambilan Keputusan di DPRD, contoh terbaru yang terjadi di Jambi.
Pemilihan oleh DPRD membuat peluang keterpilihan Calon yang memiliki banyak uang semakin besar karena hak suara pemilih yang akan dibeli tidak sebanyak pemilihan langsung oleh rakyat. Pemilih (pemilik hak suara) akan mudah dikendalikan.
Disisi lain Calon-Calon Pemimpin bukan kader Parpol yang tidak memiliki kekuatan finansial akan sulit masuk sebagai Calon Kepala Daerah.
Kita tentu masih ingat pada tahun 2005, seorang Gamawan Fauzi nyaris tidak mendapatkan dukungan Parpol untuk maju sebagai Calon Gubernur Sumbar. Gamawan Fauzi waktu itu bukan seorang kader Parpol dan bukan pula milyader. Untung saja masih ada Kapal bermerek PDIP dan PBB yang belum memiliki penumpang menuju ke Padang, Gamawan akhirnya berangkat juga walau dengan kapal kecil (PDIP dan PBB pada Pemilu 2004 tidak mendapat suara signifikan di Sumbar). Proses pencalonan Gamawan yang last minute itu terkenal dengan istilah Masih ada kapal kepadang.
Disisi lain kita tidak bisa menutup mata bahwa Parpol gagal menciptakan kadernya sebagai calon pemimpin yang memiliki kualitas dan elektabilitas mumpuni. Pada akhirnya Parpol terpaksa merekrut orang luar untuk dicalonkan, Ahok, Anies Baswedan, Sudirman Said, Ridwan Kamil, Dedy Mizwar dan banyak lagi lainnya adalah contoh calon bukan dari kader Parpol.
Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD patut dicurigai sebagai upaya Parpol melarikan diri dari tanggungjawab. Parpol mengelak dari aturan bahwa tidak boleh ada Mahar Politik dengan dalih apapun. Biaya saksi, honor, upah, uang makan atau apapun namanya tidak tepat dijadikan alasan untuk membuat kesimpulan Pemilihan Kepala Daerah langsung oleh rakyat membutuhkan biaya yang banyak. Kalau semua kegiatan politik diukur dengan uang, maka berpolitik akan dianggap sebagai lapangan pekerjaan untuk mencari nafkah dan kekayaan.
Seharusnya Politik tidak sekedar mengejar kekuasaan apalagi uang, tetapi ada niat tulus dan keikhlasan tanpa keterpaksaan yang dicampur dengan transaksi atau imbalan.
Seperti kata Intelektual muda Yudi Latief, hakikat politik yang sebenarnya adalah membuat warga negaranya berbahagia. Tujuan berpolitik, menurutnya, bukanlah semata meraih kekuasaan, tapi memastikan kekuasaan digunakan untuk kebajikan dan kebahagian bagi warga negara.
Lubuk Basung, 23 Januari 2018


Wednesday, November 9, 2016

Adakah Perang Melawan Nepotisme?

Beberapa media televisi dan media cetak belakangan memberitakan suhu politik di Korea Selatan memanas setelah sahabat Presiden Park Geun-hye, Choi Soon-sil, ditangkap polisi karena dianggap telah campur tangan dalam urusan pemerintahan. Namun, ditangkapnya kawan Presiden tersebut tidak membuat protes warga mereda karena mereka juga menuntut Presiden Park Geun-hye mengundurkan diri. Karena perlakuan Presiden Park Geun-hye terhadap sahabatnya Choi Soon-sil termasuk bagian dari Nepotisme yang melanggar hukum.
Jaksa penuntut yang menginvestigasi kasus kedekatan Presiden Park Geun-hye dengan kawannya Choi Soon-sil menilai bahwa hubungan kedekatan keduanya tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, Presiden telah membiarkan kawannya yang warga sipil itu mendapatkan akses ke sejumlah dokumen rahasia negara yang membuatnya bisa mempengaruhi isu-isu pemerintahan. Choi Soon-sil juga dituding telah menggunakan "perkawanannya" dengan Presiden untuk mendapatkan keuntungan pribadi lewat sejumlah yayasan nonprofit.
Di Korea Selatan, Nepotisme juga merupakan perbuatan melanggar hukum. Jauh sebelum kasus yang melibatkan Presiden Perempuan Korsel tersebut, pada tahun 2010 semasa Presiden Lee Myung-bak, Menteri Luar Negeri Korsel waktu itu Yu Myung-hwan, mengundurkan diri jabatannya karena ketahuan melakukan nepotisme dengan mengangkat putrinya menduduki posisi strategis di Kementerian yang dia pimpin.
Apa yang terjadi di Korea Selatan saat ini mau tidak mau mengingatkan kita pada gerakan Reformasi 1998 yang memaksa Presiden Soeharto mengakhiri kekuasaannya setelah 32 tahun! Dimana salah satu pemicu gelombang reformasi tersebut adalah adanya tuduhan Nepotisme terhadap Presiden Soeharto.
Pertanyaannya, apa itu Nepotisme sehingga mampu memicu gejolak sebuah negara dan memaksa mundur seorang Presiden? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; atau kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan walaupun objek yang diuntungkan tidak kompeten. 
Nepotisme diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menegaskan bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara”.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, jelas dan tegas bahwa Nepotisme adalah sebuah pelanggaran hukum. Persoalannya adalah sampai saat ini kita belum melihat ada perang melawan Nepotisme, belum ada Vonis Hakim yang menghukum terdakwa yang melakukan perbuatan nepotisme. Perang hanya dilakukan pada Korupsi, Vonis dijatuhkan hanya karena melakukan Korupsi, padahal korupsi tersebut dilakukan dan diawali dengan melakukan Kolusi dan Nepotisme.
Sejak Era Reformasi, Pemberantasan Korupsi memang terasa gencar dilakukan. Lembaga Anti Rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, puluhan pelaku Korupsi ditangkap dan dihukum. Para Pejabat Pemerintahan, Menteri, Gubernur, Bupati/walikota; para tokoh Partai Politik, Ketua Partai, Anggota DPR dan Para Penegak Hukum itu sendiri Hakim, Jaksa dan Polisi ditangkapi dan dihukum karena kasus korupsi.
Tetapi kasus-kasus Nepotisme sepertinya lenyap dan terlupakan begitu saja. Contohnya, Nepotisme yang dilakukan Presiden Soeharto. Nepotisme yang dilakukan Presiden Soeharto benar-benar telah membuat rakyat sakit hati karena seluruh anak-anak Soeharto dan istrinya menjadi anggota DPR, disamping merangkap sebagai pengusaha, begitupula dengan sanak saudaranya yang lain.
Nepotisme yang dilakukan Presiden Soeharto tidak pernah tersentuh hukum. Dan yang mutakhir adalah nepotisme yang dilakukan oleh Ratu Atut Chosiyah di Banten. Kejahatan nepotisme yang dilakukan keluarga Atut tidak ubahnya dengan keluarga Suharto dimana seluruh anak-anak Suharto dan istrinya menjadi anggota DPR, disamping merangkap sebagai pengusaha kakap. Ratu Atut Chosiyah “hanya” dituntut Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi karena perbuatan Korupsi yang dilakukan secara, terstruktur, sistematis, dan massif atau disingkat TSM. Ratu Atut Chosiyah menguasai elit-elit birokrasi di pemerintahan dan elit-elit politik di Banten sehingga dia bisa dengan mudah mengatur dan menguasai semua proyek yang ada.
Kini kejahatan Nepotisme seperti itu terus bermunculan, terutama dalam pengangkatan pejabat birokrasi dan penunjukan pelaksana proyek-proyek setelah berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah. Ada candaan yang sering terdengar, setelah Pilkada semua pejabat sampai ajudan bahkan sopir akan berganti, begitu pula rekanan penyedia/pelaksana proyek.
Walau telah dibungkus sistim dan prosedur “kompetisi” tetap saja dengan mata awam sekalipun banyak sekali terlihat bahwa yang terpilih, diangkat atau ditunjuk itu adalah para keluarga, kerabat atau teman-temannya. Orang-orang yang lebih berkualitas dan memiliki kompetensi telah duluan tersingkir, tidak diberi kesempatan untuk berkompetisi menunjukan ilmu dan keahliannya.
Nepotisme sangat kentara terjadi pada birokrasi pemerintahan daerah sekaligus terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah adalah dengan adanya gelombang mutasi Pejabat Aparatur Sipil Negera (ASN) antar daerah. Ketika jagoannya kalah dalam Pilkada maka mereka segera mengajukan permohonan pindah ke daerah yang Kepala Daerahnya mempunyai “hubungan kekerabatan” dengannya. Dan lima tahun kemudian akan kembali ke daerah tersebut jika yang menang adalah jagoan mereka. Petualang-petualang jabatan yang mengandalkan Nepotisme tersebut dapat dilihat pada pelantikan pejabat ASN setelah Pilkada. Pada daerah tersebut mudah terlihat siapa yang orang dekat dan tidak dengan Kepala Daerah.
Berkembangnya praktek Nepotisme membuat ASN terpaksa ikut-ikut berpolitik dukung-mendukung calon kepala daerah dengan motif imbalan jabatan. Walau secara kualitas ASN itu sesungguhnya memiliki pendidikan, kualifikasi dan keahlian memadai untuk berkompetisi secara fair dalam menduduki jabatan dimaksud. Tetapi adanya praktek nepotisme itu yang membuat pada akhirnya mereka “terpaksa” ikut berpolitik, atau paling tidak mencari orang dekat/tangan kanan Kepala Daerah untuk mengamankan jalan menuju menduduki jabatan tertentu.
Hal itu pulalah yang menyebabkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota,  ada aturan bahwa petahana atau incumbent dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum masa jabatannya berakhir !
Lantas bagaimana caranya agar nepotisme tidak terus terjadi? Sesungguhnya momentum itu telah terjadi pada tahun 1998 dengan adanya tuntutan penghapusan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang pada akhirnya mampu memmbuat Presiden Soehato mengundurkan diri. Bahkan telah ditetapkan oleh MPR sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan hasil sebagaima pemberantasan korupsi. Oleh karenanya perlu “kampanye memerangi nepotisme”. Publik harus diberi tahu betapa destruktifnya praktik Nepotisme jika terus terjadi dan rakyat diminta untuk bersikap kritis terhadap praktek-praktek Nepotisme yang terjadi seperti halnya yang terjadi di Korea Selatan. Nepotisme harus diperangi sebagaimana halnya perang melawan korupsi yang telah dilakukan Presiden-presiden setelah era Reformasi. Presiden Megawati memerangi Korupsi dengan membentuk Komisi Pemberarantasn Korupsi (KPK) di era pemerintahannya. SBY memerangi korupsi dengan dengan slogan “Katakan TIDAK pada korupsi” dan “Saya akan berdiri paling depan menghunus pedang melawan korupsi”. Joko Widodo memerangi korupsi dengan memberantas pungli, bahkan "Bukan hanya Rp. 500 ribu atau Rp. 1 juta, urusan Sepuluh Ribu Rupiah pun akan saya urus!,"

Bagi sebagian orang “Perang Melawan Nepotisme” mungkin akan membuat gaduh karena telah merasa nyaman dengan kondisi seperti ini. Sama halnya dengan sinisme terhadap gerakan pemberantasan pungli yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Pada awalnya banyak yang mengatakan “ngapain presiden mengurus yang ecek-ecek!” Tetapi baru sebulan jalan masyarakat sudah merasakan dampaknya, urusan di kantor Polisi, urusan di Samsat, urusan di Pencatatan Sipil  betul-betul murah. Dengan perang melawan Nepotisme maka akan terjadi perusakan, bila perlu penghancuran comfort zone (zona nyaman) Nepotisme yang dinikmati sebagian orang! Tetapi akan membuat lebih banyak rasa keadilan yang dinikmati lebih banyak orang. Semoga.
Lubuk Basung, 9 Nopember 2016

Thursday, February 11, 2016

Catatan Pllkada Agam : Pertandingan Final

Pertandingan Final itu telah usai, Peluit panjang tanda berakhirnya permainan telah dibunyikan wasit, ball possesions menunjukkan angka 47% - 53%, Tidak ada lagi tambahan waktu, apalagi adu pinalti !
Sebagian penonton telah meninggalkan stadion, pulang...dan umumnya itu suporter Tim yang kalah.
Sekarang tinggal menunggu waktu penyerahan Piala dan bonus bagi Sang Juara !
Anehnya, biarpun pertandingan telah game over, masih terdengar gemuruh suara dari para suporter. Bukan hanya dari suporter dan tim yang kalah, tetapi juga dari suporter dan tim yang telah dinyatakan menang.
Suporter dan Tim yang kalah....biasa lah, meratap....menuding pertandingan tidak berjalan normal, Wasit tidak fair, hakim garis tidak becus.
Suporter dan Tim yang menang pun....anehnya berlaku seperti kelompok yang kalah pula. Meratap !..Saling unjuk jasa, bahkan juga saling tuding...seharusnya kita lebih mendominasi permainan. Lebih parahnya, mereka ikut meratap melihat yg kalah meratapi kekalahan.
Sudah lah,...yang kalah biarkan meratap,...biarkan saja. Yang menang, bersorak lah, bergembira lah.
Seharusnya setelah pertandingan usai, saling bersalaman dan bertukar baju kaos....!
‪#‎catatanpilkada‬


Serangan Balik!
Usainya Pilkada tak membuat suhu Kabupaten Agam mereda walaupun pemenang telah dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Agam periode 2016 – 2021. Hari ini dari berita di koran, ada 2 peristiwa yang membuat panasnya Pilkada Agam kemarin masih terasa hingga kini.
Pertama, pengunduran diri Syafirman, SH dari jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Agam. Syafirman mengundurkan diri menjelang usia pensiun sebagai Aparatur Sipil Negara (PNS). Kedua, Ketua DPRD Agam Marga Indra Putra melaporkan Wakil Ketua DPRD Agam Suherman ke Badan Kehormatan (BK).
PNS dan masyarakat Agam khususnya di Lubuk Basung bertanya-tanya ada apa gerangan Syafirman sampai minta mundur? bukankah sampai waktu pensiun itu Bupati juga tidak akan memberhentikan/mutasi Sekda maupun PNS lainnya karena ada aturan yang melarangnya.
Setelah pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Agam terpilih, suasana dipermukaan terlihat biasa-biasa tetapi di media sosial Facebook terjadi pem-buly-an terhadap beberapa pejabat yang dianggap tidak mendukung pasangan pemenang Pilkada. Dari situ publik jadi tahu bahwa ada pertarungan diantara para pejabat di Kabupaten Agam selama Pilkada kemarin, ada praktek dukung-mendukung.
Apa yang kita baca dari pengunduran diri Syafirman atau yang akrab disapa Pak Cap atau Uncu Cap ? berbagai pandangan dan komentar dapat kita lihat dari status2 yang ada di FB maupun media cetak.
Bagi saya, pengunduran Syafirman yang merupakan salah seorang pemangku Jabatan Sekda terlama di republik ini, 8 tahun! Ini bukan pengunduran biasa!!. Pak Syafirman merupakan pejabat yang sangat loyal terhadap atasannya, tidak pernah menolak atau membantah perintah atasan. Beliau juga dikenal sangat sabar, dari raut wajahnya tergambar bahwa beliau “bersih” dan bahu serta gestur beliau selalu menunjukkan bahwa beliau bukanlah orang yang tinggi hati. Artinya, beliau sangat kuat terhadap tekanan! Artinya beliau mundur bukan karena tekanan.
Saya melihat, pengunduran diri yang dilakukan beliau merupakan sebuah “serangan balik” dan pukulan telak terhadap pihak2 tertentu. Bisa jadi mereka yang mengharap sesuatu menjadi buluih. 

Lubuk Basung 23 Februari 2016

Monday, December 21, 2015

Kalau Saya Jadi Bupati

Setelah membaca tulisan pada Rubric Detak Jam Gadang dengan judul “Bisik-bisik Bupati Agam” oleh Kasra Scorpi Jum’at tanggal 26/12 sulit untuk dipungkiri bahwa jabatan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) memang jadi incaran semua orang. Di Agam sebagaimana diungkap Kesra Scorpi pada tahun 2010 ketika berakhirnya masa jabatan Bupati Aristo Munandar-Wabup Adrinal Hasan peta persaingan untuk jabatan Bupati Agam “indak jauah lenggang dari katiak”.
Persaingan akan terjadi antara orang-orang yang selama ini telah berkiprah di daerah Kabupaten Agam seperti Wabup Ardinal Hasan, Sekda Azwar Riman Thaher, Kadispenda Drs. Abdi Murtani, Kadinas Pendidikan Prof. Dr. Sufyarma Marsidin, M.Pd dimana mereka itu sampai saat ini masih tercatat sebagai “Anggota Kabinet” Bupati Aristo Munandar.
Sama dengan pemilihan Bupati (pilkada) Agam tahun 2005 ketika Aristo bersaing dengan Gustiar Agus (mantan atasan) dan dengan Syafrudin Hasan (mantan Wabupnya) atau dengan mantan bawahanya Kepala Dinas Nakerdukcapil.
Dalam aturan demokrasi yang berlaku di Republic ini “lago sakandang ataupun batandiang sasudah basandiang” boleh-boleh saja. Sejak bergulirnya era reformasi hampir di setiap pilkada bahkan dalam Pilpres “lago sakandang” juga terjadi yaitu Gus Dur vs Mega, Mega vs Hamzah, Mega vs SBY. Dalam Pilpres 2009 banyak pengamat memperkirakan Duet SBY-JK akan berubah jadi SBY vs JK.
Tetapi bagi masyarakat “permainan politik” seperti itu akan membuat rakyat menjadi bosan dan enggan untuk memilih. Bosan, be-te…. Capek deeh! Setiap pemilu yang muncul sebagai caon itu ke itu juga loe lagi-loe lagi atau 4 L kata orang Betawi!. Padahal ketika sebelumnya mempunyai jabatan entah itu sebagai Wabup, Sekda atau Kepala Dinas mereka tidak mampu menyenangkan hati dan mengenyangkan perut rakyat.
Lucunya ketika menjadi calon kepala Daerah dan berkampanye mereka mengatakan : jika saya menang Pilkada dan jadi Kepala Daerah, saya mampu berbuat lebih baik dari pejabat sebelumya kalaupun ada yang bertanya kenapa sewaktu jadi Wakil, Sekda atau Kepala Dians tidak ada Prestasi? O,saya kan masih jadi anak buah, kaalu saya yang jadi Bupati saya akan begini akan begitu.. pokoknya saya akan berbuat lebih baik, percayalah!.
Seharusnya karena tujuan akhir dari Jabatan Politik seperti kepala Daerah maupun Anggota Legistalif adalah memperjuangkan hak-hak rakyat dan mensejahterahkan masyarakat, maka para tokoh tersebut telah harus berbuat sejak awal dan tidak harus menunggu jadi pejabat nomor satu dulu baru berbuat. Kalau saat ini menjabat sebagai wakil Kepala Daerah, sebagai Sekda, atau Kepala Dinas maka berbuatlah demi rakyat dengan jabatan tesebut.
Kian hari masyarakat kita semakin pintar, kalau ada pejabat yang berkoar-koar dan mengatakan “kalau saya jadi Bupati saya berbuat lebih baik demi rakyat”. Maka rakyat badarai pun akan berkata, “Kalau den jadi Bupati! den bisa lo co itu! Rakyat butuh bukti bukan janji, dan bagi rakyat kita yang terpenting adalah lebih baik makan karupuak hari ini dari pada makan roti tapi besok.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 3 Januari 2008, Hal 1

Sunday, December 20, 2015

Salah Kita Memilih Pemimpin(n)!

Melihat aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang terungkap pada kasus korupsi dengan terdakwa Rokhmin Dahuri, sungguh membuat kita para rakyat (pemilih) tapurangah. Kenapa tidak, sebagaimana diungkapkan terdakwa pada persidangan bahwa dana nonbudgeter DKP mengalir kesemua pasangan calon pilpres 2004. Yang membantah (siapapun) mungkin secara personal tidak menerima langsung uang haram tersebut tatapi sebagai seorang khalifah seharusnya ia bisa membentengi orang-orang yang dipimpin dan disekitarnya (Tim Sukses dan Simpatisan) untuk tidak melangar hukum formal. Dengan kata lain semua pasangan calon Pilpres 2004 telah tercela yaitu patut dicurigai melakukan perbuatan yang merugikan keuangan Negara memakai dana Negara (nonbudgeter DKP) untuk kepentingan kampanye.
Patut kita renungkan, menjelang pemilu Tahun 2004 ada iklan yang berbunyi “Dalam Pemilu sebelumnnya kita memilih Kucing dalam karung maka kani ini Kucingnya tidak lagi dalam karung” sebagai cara mensosialisasikan bahwa pada Pemilu 2004 memilih langsung siapa orang yang akan jadi Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia.
Doeloe, sewaktu memilih kucing dalam karung kita berspekulatif, kita memilih tapi tidak tahu apakah akan mendapatkan kucing baik atau kucing jelek. Kita hanya bisa melihat ada 3(tiga) karung berwarna hijau, kuning dan merah yang bertuliskan Pilihlah Karung ini! Tanpa tahu kualitas kucingnya.
Pada pilpres 2004 kucingnya tidak lagi dalam karung dan memilih di antara pilihan yang terlihat jelas membuat kita akan leluasa memakai bermacam kriteria dalam memutuskan pilihan, apakah yang berkelamin jantan atau betina, warna belangnya yang merah ngejreng atau kuning yang keemasan atau biru muda yang lembut, bentuk muka dan posturnya yang tegap atau karena bunyi meongnya yang nyaring. Dan bisa juga dengan pertimbangan untuk apa kucing itu kita pilih, apakah akan digunakan sebagai pembasmi tikus atau sekedar dielus-esus!
Dengan terungkapnya aliran dana nonbudgeter DKP harusnya membuat kita rakyat pemilih menyadari dan hati-hati bahwa semua yang ditampilkan oleh pasangan Capres dan Cawapres pada saat kampanye Pilpres (2004 dan nanti 2009) bukanlah sosok Pemimpin Sejati tapi mungkin saja hanya Pemimpi. Mereka adalah Pemimpi tentang pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, Pemimpi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, Pemimpi mengangkat harkat dan martabat bangsa, Pemimpi untuk membuka lapangan kerja guna mengatasi pengguran dan kemiskinan, serta Pemimpin untuk mewujukan keadilan dan kesejaterahan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin yang ketika benar-benar menjadi Pemimpin merasa masih di alam mimpi.
Harusnya kita menyadari dan hati-hati dengan kata Pemimpin karena salah sedikit maka artinya adalah orang yang suka bermimpi, dan mimpinya hanyalah sebatas bunga dalam tidur.
Secara ekstrim mungkin lebih baik kita kembali ke zaman doeloe, memilih kucing dalam karung, spekulatif tetapi masih ada secercah harapan siapa tau dalam karung itu ada yang bagus dan kita beruntung memilihnya, daripada terbuka dan tampak belangnya tetapi tidak satupun yang bisa diharapkan. Seperti kata urang awak “dulu ndak tau nan da dipiliah, antah rancak antah buruak, kini lah dibuka karuangyo, ee ruponyo kuciang aia sadonyo, ado nan lain tapi kuciang ijuak pulo”.

Catatan :

Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 31 Mei 2007, Hal 1

Wednesday, November 18, 2015

Aroma Kolusi dari Mulut Novanto

”Freeport jalan, bapak itu happy, kita ikut happy. Kumpul-kumpul/kita golf, kita beli private jet yang bagus dan representatif”. 
Demikian salah sa­tu isi pem­bi­ca­raan yang tertera pada transkrip pem­­­bi­ca­raan antara Ketua DPR RI Setya Novanto de­ngan Petinggi PT Free­port Indo­nesia di kawasan Pacific Place yang dila­po­ran seba­gai perbuatan ter­cela oleh Menteri Energi Sumber Da­ya Mineral Su­dir­man Said ke Mahkamah Kehor­ma­tan De­wan (MKD) DPR RI.
 Lantas, berapa sih harga Private Jet (Jet Pribadi)?. Dari penelusuran di google, didapat harga Jet Pribadi itu beragam, mulai dari 50-an miliar sampai ratusan mi­liar rupiah. 
Yang “murah” mungkin adalah HondaJet, yang di­kem­­bangkan Honda Air­craft Company yang ber­basis di AS, mematok harga 4,5 juta dollar AS atau seki­tar Rp 58 miliar. Pesawat jet dengan tujuh kursi penum­pang dengan panjang sekitar 13 meter itu mampu ter­bang sejauh 2.000 kilometer tanpa perlu mengisi ulang bahan bakar. Pesawat ini mampu terbang dari Los Angeles dan Denver atau dari London dan Roma de­ngan kecepatan hingga 778 kilometer per jam, jauh lebih cepat dari pesawat sejenisnya. 
Atau yang lebih bagus dan representatif dimaksud dalam transkrip itu adalah Jet Pribadi Tipe Gulfs­tream G200 produksi Israel Aircraft Industries seperti yang dimiliki Pesepakbola Cristiano Ronaldo asal Por­tugal seharga 19 juta euro (sekitar Rp 278 miliar). Pesawat itu mampu me­ngang­kut delapan hingga sepuluh penumpang. Di dalamnya, ada toilet khusus terpisah untuk penumpang dan kru, ruang ganti, serta dapur. Selain Ronaldo, Jet Pribadi sejenis juga dimiliki oleh selebriti papan atas lainnya yakni  Arnold Sch­war­zenegger dan Jim Carey. 
Jika kita cermati trans­krip pembicaraan antara Setya Novanto dengan Pe­ting­gi PT Freeport Indo­nesia yang sudah tersebar luas tersebut, ada bau kolusi dari mulut (pembicaraan) itu. Sulit dibantah bahwa ada usaha melakukan pemu­fakatan yang dibumbui de­ngan uang (dalam bentuk saham) didalamnya atau hadiah atau fasilitas (privat jet) tertentu untuk terca­painya keadaan yang di­ingin­kan (freeport jalan). Memang, perbuatan me­la­wan hukum atau kerugian negara (mungkin) belum terjadi, tetapi jika kasus ”pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapre Jusuf Kalla untuk keper­luan memperpanjang kon­trak Freeport Indonesia” ini tidak terbongkar ke publik, maka bukan tidak mungkin terjadi Kolusi yang akan berujung pada Korupsi se­ba­gaimana dimaksud Un­dang-undang Nomor 28 Ta­hun 1999 tentang Penye­lenggara Negara yang Ber­sih dan Bebas Dari Korup­si, Kolusi dan Nepotisme. Menurut Undang-undang tersebut  Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hu­kum antar Penyelenggara Negara atau antara Penye­lenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. 
Modus Operandi Kolu­si telah dimulai sejak peren­canaan suatu “proyek”. Bagaimana anggaran untuk pengadaan barang dan jasa dalam APBN sudah dimu­lai sejak pengajuan ang­garan di DPR. Beberapa kasus korupsi yang diung­kap KPK membuktikan di DPR ada praktek perca­loan atau makelar yang dapat “menggoalkan” suatu “pro­­yek”, tentu dengan “fee” atau ba­ya­ran tertentu. Kolusi atau per­sengko­kolan meru­pa­kan sebuah bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan Ko­rup­si. Ko­­lusi meru­pakan pintu masuk terja­dinya Korupsi di­mana sebelum ter­ja­dinya korupsi akan di­awali de­ngan kong­kaling­kong atau per­mufa­katan yang me­­lawan hukum yang pada akhir­nya akan me­nga­­­ki­bat ke­ru­gian ke­uangan ne­ga­ra. Ko­lu­si meru­pa­kan per­buatan yang men­do­rong terja­di­nya tindak pidana korupsi. Kolusi se­ja­ti­nya lebih tua dari Ko­rup­si kare­na sejak di zaman Presiden So­harto ber­kuasa dengan Orde Baru-nya, kolusi se­ca­ra besar-besaran itu sudah terjadi, uang negara dikuras melalui kerjasama atau ko­lu­si para pengu­saha de­ngan para pejabat di tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, provinsi dan kabupaten/kota. Kolusi pula-lah yang menjadi salah satu issu sen­tral dalam gerakan re­for­masi yang menum­bang­kan kekua­saan Presiden Soeharto. Pada era Re­formasi tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 kosa ka­ta Kolusi sa­ngat “popular” namanya sehingga dihujat dimana-mana, mahasiswa tidak hen­ti-hentinya mene­riakan “bas­mi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” 
Kita tentu masih ingat Eddy Tansil atau Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan yang berhasil membobol Bank Bapindo sebesar sebe­sar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,3 triliun rupiah dengan kurs saat itu) dengan kredit fiktif melalui grup perusahaan Golden Key Group. Santer terdengar kasus itu berawal dari Ko­lusi yang terjadi antara Eddy Tansil dengan orang-orang kesayangan Presiden Soe­harto waktu itu yaitu mantan Menko Polkam Sudomo dan mantan Menteri Ke­uangan J.B Sumarlin. 
Keduanya disebut-sebut memberikan referensi atau kate­belece (surat pe­ngan­tar dari pejabat un­tuk urusan ter­tentu), dalam kasus mega skan­dal pembobolan Bapin­do Rp.1,3 triliun oleh Eddy Tansil. Hal itu diakui sendiri oleh Sudomo dalam ke­sak­siannya di Pe­ngadilan Ne­geri Ja­karta Pusat pa­da 19 Juni 1989.
Terlepas apakah ujung laporan Menteri ESDM ter­se­but bermuara pada ranah hukum atau tidak, apa yang telah dilakukan Setya No­vanto bersama-sama peting­gi PT. Freeport Indonesia telah menyebarkan aroma tidak sedap kemana-mana. Publik mencium ada bau Kolusi ditengah hiruk pikuk perpanjangan kontrak tam­bang emas yang beromzet puluhan triliunan rupiah pertahun.
Kalau melihat nilai se­buah Jet Pribadi type Gulfs­tream G200 yang Rp. 278 miliar dibandingkan dengan omzet yang didapat per­tahun, maka itu adalah nilai yang “cemen”. Dan happy-happy dan kumpul-kumpul, main golf serta membeli private jet itu sangat mung­kin terjadi. Pada tahun 2013 sebagaimana diungkapkan Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto pendapatan PT Freeeport Indonesia dari tam­bang emas dan tem­ba­ga­nya di Papua diperkirakan mencapai US$ 3,8 miliar atau sekitar Rp 38 triliun. Itu di bawah perkiraan awal yang sebesar US$ 5,8 miliar atau sekitar Rp 58 triliun (sumber-detik.com).
Apalagi Setya Novanto merupakan sosok yang kon­troversial belakangan ini, kehadirannya dalam kon­ferensi pers Capres Ame­rika Donald Trump disela-sela kegiatan pertemuan perwakilan parlemen dari berbagai penjuru dunia di Markas Besar PBB, New York. Kemudian juga kon­troversi Mobil Jaguar ber­plat RI 6, plat resmi mobil dinas Ketua DPR RI. Jauh sebelumnya, nama Setya Novanto juga pernah di­sebut-sebut terkait kasus dugaan korupsi pengalihan hak piutang (cassie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang terjadi pada tahun 1999.
Apakah aroma Kolusi itu akan menguap begitu saja dan Setya Novanto lolos dari sanksi dari Mahkamah Ke­hormatan Dewan (MKD)? Mari kita tunggu. ***

Wednesday, November 4, 2015

Pilkada dan Janji Jabatan Untuk PNS

Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilakukan serentak pada 9 Desember nanti akan menghasilkan pasangan Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Barat dan pasangan Bupati/Walikota baru di 13 Kabupaten/Kota di Ranah Minang tercinta ini. Melihat kondisi 5 tahun lalu, kita patut optimis Pilkada yang dilakukan urang awak tidak akan berdarah-darah seperti yang terjadi di daerah lain. Semua akan berjalan secara Badunsanak, lancar dan aman sampai para “pengantin” resmi dilantik dan bekerja di rumah bagonjong.
Saat ini yang menjadi cerita hangat disetiap daerah yang akan memilih Kepala Daerah tersebut selain prediksi siapa yang akan menang, adalah cerita tentang mutasi pejabat yang akan dilakukan para pengantin tersebut nantinya. Hal itu tidak terlepas dengan keterlibatan para Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS terutama pejabat Struktural, yang secara kasat mata aktif dalam mendukung Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terutama para Paslon dari Petahana.
Orang mulai menghitung-hitung, jika Paslon yang itu menang maka para Pejabat A, B, C dan D akan tetap pada jabatannya sekarang. Sebaliknya jika Paslon yang itu kalah maka mereka hampir bisa dipastikan akan non job.
Untuk mengantisipasi hal itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi dalam beberapa kesempatan mengingatkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk netral dalam pilkada serentak Desember 2015, dan melarang Kepala Daerah untuk mengambil keputusan merotasi pejabat sesuka hatinya.
Hal itu dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Edaran MenPAN-RB nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak.
Kemudian UU No.5/2014 tentang ASN, PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, akan dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dengan tidak hormat.
Selain itu, dalam PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS, juga menegaskan bahwa PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Walaupun larangan PNS terlibat dalam kancah politik dan telah diatur dengan peraturan perundang-undangan serta himbauan dari MenPAN-RB,  nyatanya hal itu tidak mangkus. PNS secara sukarela, terpaksa dan dipaksa terseret dan diseret masuk dalam pusaran politik karena dipastikan akan “ada pesta” usai Pilkada yaitu mutasi/promosi PNS.
Sesungguhnya, ada suasana dilematis pada para PNS ketika Calon Kepala Daerahnya berasal dari Petahana. Apalagi jika di daerah tersebut kontestan hanya terdiri dari dua Paslon yang semula bersatu pecah kongsi kemudian masing-masing mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.
Mau pilih siapa dan akan berpihak pada siapa? Keduanya pernah menjadi atasannya, dan jika salah pilih masa depan karirnya akan terancam, masuk dalam daftar PNS yang akan dimutasi atau di-non job-kan setelah Pilkada.  Secara tak langsung mereka juga mendapat isyarat ancaman dan intimidasi, dan dari pengalaman masa lalu sudah banyak bukti PNS yang ikut “berperan” pada pihak yang menang, akan mendapat imbalan jasa dan balas budi berupa jabatan pada Mutasi yang dilakukan setelah Pilkada oleh Kepala Daerah (pemenang Pilkada).
Tidak heran, akhirnya banyak PNS yang berani secara terbuka dan terang-terangan mendukung Paslon tertentu. Bahkan ada pula yang kebablasan atau sangat berlebihan dalam bertindak tanduk, cari muka sambil merunduk–runduk. Bekerja tanpa didasarkan pada “Tupoksi” yang benar melainkan menuruti keinginan sang penguasa. Melakukan pembelokan fakta kebenaran hanya karena ingin mendapatkan kekuasaan. Yang hitam dijadikan putih, yang benar bisa menjadi salah, yang salah bisa tampak benar atau menciptakan kondisi agar semuanya dibuat “Rancak Di Labuah”, demi sebuah jabatan.
Sebaliknya PNS yang berada dipihak lain, hanya tinggal menunggu waktu dimatikan karirnya. Banyak di antara mereka yang berada dipihak yang kalah, langsung mengundurkan diri, minta pindah ke daerah lain sebelum sanksi mutasi atau non job diberikan kepadanya. 
Mutasi yang dilakukan pasca Pilkada, sulit dibantah memang sarat dengan kepentingan politik sehingga banyak aturan yang dilanggar. Jelas sekali bahwa yang menentukan bukan lagi Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) melainkan “keinginan” Kepala Daerah yang berupa balas jasa dan balas budi dukungan waktu Pilkada.
Istilah “sakali aia gadang sakali tapian barubah” benar-benar terjadi, bergantinya Kepala Daerah segaligus diikuti pergantian para pejabat struktural, bahkan sopir dan ajudan pun berganti. Konon, para kepala sekolahpun berganti terkait Pilkada.
Mutasi/promosi usai Pilkada inilah yang menjadi biang kegaduhan dan kehancuran birokrasi di daerah. Kenapa gaduh? Penyebabnya, karena dilakukan sekaligus dalam jumlah besar. Bagi yang terkena mutasi apalagi promosi biasanya akan menerimanya, tetapi bagi yang terdemosi (turun eselon) tidak akan tinggal diam bahkah tidak jarang sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Balas budi dan balas dendam terkait Pilkada yang dibungkus Mutasi PNS inilah yang sering terjadi di Tanah Air beberapa tahun terakhir. 
Bahkan tidak jarang mutasi/promosi PNS membuat bibit-bibit pecahnya kongsi Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah. Karena terlalu kuatnya dominasi Kepala Daerah sehingga dia berjalan sendiri dengan tidak melibatkan Wakil Kepala Daerah dalam proses pengisian jabatan struktural. Hal ini pernah terekspose di media cetak dan televisi nasional ketika Wakil Gubernur Riau tidak tahu tentang adanya mutasi dan pelantikan pejabat di lingkungannya bahkan diusir ketika mencoba mendatangi acara pelantikan tersebut.
Mereka (Kepala Daerah) memang mempunyai kewenangan yang besar terhadap PNS dilingkungan Pemerintahan Daerahnya, berwenang untuk mengangkat, memutasi, memberi promosi, menghukum bahkan memberhentikan seorang dari jabatannya. Hal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan PNS dalam jabatan sekaligus sebagai Pembina bagi PNS di daerahnya.
Tetapi kewenangan itu tidak bisa dilakukan semau-maunya sendiri. Dan kewenangan itu tidak lah sama dengan “prerogatif” Presiden dalam membentuk kabinetnya,  karena ada aturan kepegawaian yang harus dipedomani. Dan dalam hal “mengatur” PNS di lingkungannya Gubernur, Bupati dan Walikota berstatus dan harus bertindak sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, bukan mengedepankan status sebagai Kepala Daerah yang notabene adalah jabatan politis.
Sangat disayangkan para Kepala Daerah kita banyak yang mentang-mentang!, mentang-mentang dengan jabatan Gubernur, Bupati/Walikota-nya dengan sengaja melanggar aturan kepegawaian dan menyeret-nyeret PNS ke ranah politik. Menjanjikan jabatan sebagai konpensasi dukungan dalam Pilkada, “jika saya menang, saya akan mengangkat Sekda dari putra daerah ini”. Tetapi tidak jarang banyak janji jabatan tersebut tidak dipenuhi sama halnya janji-janji kampanye lainnya. Dan banyak PNS yang jadi korban PHP atau di PHP-in alias diberi harapan palsu. Oleh karena itu PNS seharusnya tidak berharap jabatan dan Netral dalam Pilkada dan selalu menjaga integritasnya dengan bersikap jujur, menjaga komitmen dan berperilaku konsisten sesuai aturan yang telah ada. Semoga!.


Monday, October 26, 2015

Prestasi dan Kewajiban Formal Kepala Daerah

Sejauh ini praktis tidak ada gangguan keamanan yang ditimbulkan oleh rakyat dalam proses Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) di Sumatera Barat. Ini adalah bukti bahwa masyarakat kita sangat siap berdemokrasi secara damai dan badunsanak.
Pilkada serentak yang akan berlangsung di 14 daerah(1 Propinsi, 11 Kabupaten dan 2 Kota) di Ranah Minang ini melibatkan Petahana (Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah) di seluruh daerah. Bahkan juga terjadi pertarungan duel sesama Petahana di Pilkada Sumbar dan Pilkada Kabupaten Agam. Pasangan Gubernur dan Wagub periode 2010-2015, Irwan Prayitno dan Muslim Kasim dan Pasangan Bupati dan Wabup Agam periode 2010-2015, Indra Catri dan Irwan Fikri (Irwan Fikri dilantik sebagai Wabup pada awal 2013) akan bertarung head to head. Hanya di Kabupaten Pasaman dan Solok Selatan pasangan petahana yang tetap berpasangan dalam Pilkada serentak ini. 
Bagi Calon dari petahana, Pilkada kali ini ibarat pertandingan mempertahankan trophy gelar juara yang diperoleh pada pilkada sebelumnya. Dan adalah sangat pantas para Calon dari Petahana sangat diunggulkan karena sudah teruji (terbukti menang pada Pilkada sebelumnya), telah berbuat yaitu memimpin pelaksanakan pembangunan didaerahnya. Wajar mereka memilih slogan “Bukan Hanya Janji, Telah terbukti!, Lanjutkan!” dalam Pilkada ini. Adalah wajar pula mereka memajang berbagai gambar infrastruktur yang telah dibangun selama 5 tahun terakhir.
Pertanyaannya, apakah sederet infrastruktur itu telah membuktikan kehebatan seorang Kepala Daerah ?
Berkaca pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah, para Kepala Daerah dan Wakilnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mempunyai kewajiban untuk  meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 12, UU 23/2014 dimana Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan Rakyat, Kawasan Pemukiman, Trantibum, Perlindungan Masyarakat dan Sosial merupakan Pelayanan Dasar yang menjadi kewajiban pemerintah untuk mengurusnya.
Selanjutnya juga ditegaskan dalam Undang-undang tersebut, bahwa Penyelenggara Pemerintah Daerah berkewajiban memprioritaskan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar tersebut dibandingkan urusan-urusan wajib lainnya.
Tentunya dari pelaksanaan urusan wajib terkait Pelayanan Dasar tersebut lah yang dijadikan standar tolak ukur keberhasilan Petahana dalam memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahkan, Undang-Undang Dasar 1945 kita secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Negara memprioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Artinya, menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia merupakan tugas pemerintah. Namun cita-cita menyelenggarakan pendidikan nasional yang merata dan bermutu ini masih berbenturan dengan kenyataan bahwa pendidikan gratis itu masih sangat jauh dari harapan. Bermacam biaya mesti dikeluarkan, mulai dari iuran wajib, SPP, iuran komite, uang buku dan lain-lain. Harus diakui masih banyak anak-anak putus sekolah karena tidak sanggup memenuhi biaya-biaya itu.
Itu baru pada tataran meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan dan memperluas keterjangkauan layanan pendidikan. Kalau kita bicara lebih jauh tentang meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan tata kelola, maka hal yang akan terlihat  bahwa pemerintah belum pantas mendapat acungan jempol dalam hal prioritas pelayanan dasar di bidang pendidikan..
Selanjutnya dalam pelayanan di bidang kesehatan, dimana Kesehatan adalah hak dasar setiap rakyat Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 45:" Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Bahasa Konstitusi ini dalam UU Kesehatan no 36 tahun 2009 dijabarkan menjadi ketentuan bahwa kesehatan menjadi hak seluruh warganegara Indonesia. Secara khusus dalam UU Kesehatan pasal 5 dinyatakan bahwa: ”Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”.
Masalah-masalah klasik di bidang kesehatan yang sampai saat ini masih sering kita temui yaitu, masyarakat seringkali dihadapkan pada berbagai rumitnya prosedur dan administrasi untuk  mendapatkan pelayanan yang layak, jumlah kematian ibu dan bayi yang masih tinggi, penanganan masalah gizi buruk, dan lain-lain.
Dengan mempertimbangkan permasalahan-permasalahan tersebut seharusnya ada prioritas misalnya dalam Pogram Peningkatan Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan, dan Meningkatkan Keadaan Gizi Masyarakat
Peningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan antara lain melalui penyelenggaraan pelayanan kesehatan gratis dan mudah bagi penduduk. Agar tingkat ketimpangan status kesehatan dan pelayanannya antara penduduk kaya dan miskin semakin berkurang. Seringkali karena adanya prosedur dan administrasi yang belum terpenuhi penanganan terhadap pasisen menjadi tertunda. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan status gizi mayarakat terutama pada ibu hamil, bayi, dan anak balita perlu dilakukan pendidikan gizi dan pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi.
Akhirnya, melalui tulisan ini sudah sepatutnya kita lebih selektif dan menerapkan standar yang tinggi dalam memberikan penilaian terhadap keberhasilan seorang Kepala Daerah. Kalau hanya berdasarkan “kampanye” berupa baliho dan publikasi di media massa tentang piagam-piagam atau piala-piala yang tidak ada hubungannya dengan Kewajiban Formal yang sudah diperintah oleh peraturan perundang-undangan maka itu hanya kamuflase bahwa sesungguhnya dia belum mengerjakan urusan dan tanggungjawab pokoknya. Jangan kita terpukau dengan megahnya perkantoran sementara dibelakang kita banyak masyarakat yang kesulitan mendapatkan pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan.
Bahkan ketika Kepala Daerah tersebut telah berhasil mewujudkan pelayanan dasar dibidang pendidikan secara gratis dan pelayanan kesehatan yang layak, maka sesungguhnya pun dia belum berhak dikatakan “Berprestasi” atau “Hebat” karena itu memang kewajibannya secara formal. Banyak kewajiban lain yang juga harus menjadi prioritas untuk dilaksanakan selama menjadi pemimpin penyelenggaraan pemerintahan didaerahnya.
Oleh karena itu, janganlah kita dengan cepat mengatakan cukup ketika melihat gelas yang terisi separuh. Bagi kita mungkin cukup, lihatlah tetangga dibelakang atau disamping kita, di kampung sebelah apakah mereka telah dapat menikmati pendidikan itu secara gratis dan kesehatan itu secara mudah.

Mari kita lihat apa yang telah dilakukan para calon dari petahana dalam 5 tahun terakhir, apakah mereka masih layak atau tidak untuk melanjutkan periode 5 tahun berikutnya.
Lubuk Basung, 26 Oktober 2015

http://www.harianhaluan.com/index.php/opini/44490-prestasi-dan-kewajiban-formal-kepala-daerah