Wednesday, January 31, 2018

Tataruang si Bunian Proyek e-KTP

Dalam Sidang Korupsi e-KTP dengan Terdakwa Setya Novanto, Senin 29/1/2018 kemarin Gamawan Fauzi terlihat sangat gamang, padahal status beliau hanyalah saksi. Diantara keyakinan (sesuai perspektif beliau) bahwa tidak melakukan korupsi, Gamawan membela diri dengan bersumpah Demi Allah dan mengatakan dirinya adalah anak seorang Ulama.
Ketika Hakim bertanya apakah Gamawan pernah menerima aliran dana korupsi e-KTP? Gamawan Fauzi membantah bahkan siap dihukum mati jika memang terbukti menerima uang.
Kegamangan Gamawan Fauzi terlihat ketika beliau melakukan pembelaan diri dengan apa yang beliau ungkapkan tersebut bukanlah alasan atau alat bukti yang dapat melepaskan dari tuduhan perbuatan Korupsi. Dan bukan hanya kali ini Gamawan Fauzi melontarkan argumentasi diluar hukum. Ketika hadir sebagai saksi dalam sidang untuk terdakwa Andi Narogong tanggal 9 Oktober 2017, beliau mengatakan bersedia dikutuk dan siap dihukum dunia akhirat.
Terseret-seretnya Gamawan Fauzi dalam kasus e-KTT tentu membuat kita sangat prihatin. Karir panjang dan track record beliau sebagai Pemimpin yang Bersih diuji lagi di masa tuanya.
Penerima Bintang Mahaputra Utama, Penghargaan Sipil yang Tertinggi tahun 2009 ini melalui perjalanan karir yang mulus dan terus menanjak. Setelah tamat kuliah Hukum di Unibersitas Andalas, beliau menjadi volunteer di LBH Padang, kemudian menjadi PNS di Pemprop Sumbar. Mulai dari Staf, Kepala Seksi hingga Kepala Biro Humas.
Tidak berhenti disitu, Gamawan Fauzi mengikuti Pemilihan Bupati Solok periode 1995-2009. Gamawan yang waktu itu masih berusia 38 tahun berhasil meraih 28 suara dari 42 anggota DPRD Kab. Solok, mengalahkan dua kompetitornya.
Dengan keberhasilannya menjadi Bupati, Gamawan juga dianggap berhasil menerobos pakem di Orde Baru bahwa Bupati itu harus berlatar belakang militer. Setelah dilantik, Gamawan melakukan apa yang disebut sebut saat ini yaitu Reformasi Birokrasi dan revolusi mental di lingkungan pemerintahan Kabupaten Solok.
Gamawan tampil sebagai pribadi yang merakyat dan anti-KKN. Menciptakan pelayanan yang ramah terhadap masyarakat, meningkatkan penhasilan tambahan bagi Pegawai. Membuat terobosan birokrasi dengan mendelegasian wewenang pemerintahan ke nagari atau desa dalam urusan konservasi lingkungan hidup. Membuat sistem perizinan menjadi satu pintu, transparansi dengan standar yang jelas. Tarif perizinan diterbitkan secara terbuka termasuk penunjuk jangka waktunya. Atas komitmentnya tersebut dia dianugerahi Bung Hatta Award.
Dua periode menjadi Bupati Solok, karier Gamawan semakin meroket setelah ia berhasil memenangi Pilgub Sumatera Barat tahun 2005. Padahal Gamawan yang berpasangan dengan Marlis Rahman hampir saja tidak mendapat kendaraan untuk maju sebagai kontestan Pilgub Sumbar. Untung "Masih ada Kapal ke Padang", disaat terakhir Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang pada Pemilu 2004 tidak mendapat suara signifikan di Sumatera Barat menjadi kendaraan bagi Gamawan Fauzi dan Marlis Rahman.
Menjelang Pilpres 2009, Gamawan Fauzi yang pada waktu itu menjabat Gubernur Sumatera Barat periode 2005 – 2010 mengambil “Langkah Politik Praktis” dengan menjadi Deklarator pasangan Capres SBY-Budiono. Beberapa pihak termasuk penulis menyayangkan langkah Gamawan yang memasuki ranah politik praktis dan tidak mengambil posisi netral karena figur beliau lebih dikenal sebagai Pamong ketimbang Politikus apalagi beliau bukan kader atau pengurus Partai Politik.
Langkah Politik Gamawan tersebut kemudian memang berbuah kursi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Indonesia Bersatu. Tetapi itu tetap disesalkan karena tanpa menjadi deklarator pasangan Capres SBY-Budiono, kursi Menteri memang layak untuk Gamawan yang sudah sangat banyak berprestasi. Artinya siapapun yang pemenang Pilpres 2009 mau tidak mau akan melirik Gamawan untuk dijadikan menteri. Apalagi sudah menjadi "kebiasaan" Gubernur Sumbar diakhir jabatannya akan naik kelas jadi Menteri. Hal yang telah terjadi sebelumnya pada Harun Zain, Azwar Anas dan Hasan Basri Durin.
Pekerjaan berat sebagai Menteri sepertinya akan bisa diselesaikan dengan baik oleh Gamawan. Menyusun grand design otonomi daerah, mewujudkan aparatur pemerintahan yang bersih korupsi, pembenahan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) yang sarat permasalahan dan pungutan liar.
Pada akhir tahun 2011, SBY menyampaikan Pidato bahwa mulai tahun 2011 Kartu Tanda Penduduk akan dibuat secara Elektronik (e-KTP). Sebagai Mendagri, Gamawan adalah pelaksana utama program e-KTP di Indonesia. Dan pada awalnya "proyek" e-KTP senilai Rp.5,9 triliyun itu sepertinya aman-aman saja. Tetapi seiring berakhirnya rezim SBY dan nyanyian mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin membuat proyek e-KTP mulai memasuki ranah hukum.
Pada tahun 2016, Nazaruddin menyebut nama Gamawan Fauzi sebagai salah satu penerima gratifikasi proyek e-KTP usai dirinya diperiksa KPK sebagai saksi pada 27 September 2016. Sebulan kemudian Gamawan diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Saat itu Gamawan membantah segala tudingan Nazaruddin. Ia menyebut bahwa proyek e-KTP di bawah kepemimpinannya selama 2009-2014 lalu dilakukan secara transparan. Bahkan, dalam menjalankan proyek itu, ia menyebut telah melibatkan KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.
Dalam BAP, Nazaruddin menyebut bahwa Gamawan dua kali menerima uang e-KTP. Total yang diterima Gamawan, menurut Nazar, 4,5 juta dollar AS. Nazaruddin tetap berkeyakinan bahwa Gamawan ikut menerima uang walau Gamawan telah membantah bahkan bersedia dikutuk jika menerima uang itu. Menurut Nazaruddin, saat itu adik kandung Gamawan Fauzi, Azmin Aulia, ingin membeli ruko miliknya. Namun, yang membayar ruko ternyata salah satu pengusaha dalam proyek e-KTP, yakni Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tanos. Pun dalam dakwaan dan tuntutan terhadap dua mantan Pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto, Gamawan disebut menerima aliran dana USD 4,5 juta dan Rp 50 juta terkait proyek tersebut.
Gamawan mengaku tidak mengetahui adanya dugaan mark up dalam proyek e-KTP karena atas permintaannya Auditor BPKP dua kali mengaudit proyek tersebut. Selain itu BPK juga telah memeriksa sebanyak tiga kali dan tidak ada yang menyatakan ada KKN.
Sekarang kasus korupsi e-KTP semakin terbuka dan diduga melibatkan banyak pihak. Belasan orang yang disebut-sebut menerima uang proyek e-KTP telah mengembalikannya. Dan yang paling menghebohkan adalah dugaan keterlibatan Ketua DPR Setya Novanto yang telah jadi terdakwa.
Apakah Gamawan juga terlibat dan akan tersangka korupsi e-KTP?
Sepertinya kita masih menunggu kelanjutan drama kolosal ini.  Diantara kenyakinan banyak orang bahwa memang telah terjadi korupsi pada proyek e-KTP, banyak juga yang berpendapat ini adalah politisasi menjelang Pemilu dan Pilpres 2019. Ada pula yang sentimentil berpendapat bahwa tokoh-tokoh sumbar sengaja dihabisi pasca Pilpres yang lalu. Setelah Irman Gusman dan Patrialis Akbar maka target selanjutnya adalah Gamawan Fauzi.
Mudah-mudahan ini hanya ujian semata yang mengharuskan Gamawan Fauzi bolak-balik ke KPK dan menghadiri sidang sebagai saksi kasus korupsi e-KTP. Ujian sebagaimana dulu ketika masih menjadi Bupati Solok tersesat di hutan selama 5 hari ketika sedang melakukan survey alternatif Solok - Padang, yang konon kabarnya karena tataruang (tertarung, tersandung) si Bunian (makhluk ghaib) penghuni Hutan Raya Bukik Sambuang. 
Kini Gamawan Fauzi diuji karena tersandung di proyek e-KTP, membuatnya harus bolak-balik menghadiri Sidang. Membuat beliau kembali seperti Tataruang si Bunian di Proyek e-KTP, makhluk yang tidak terlihat tetapi diyakini ada.
Sebagaimana lagu ciptaan Agus Taher yang pernah beliau nyanyikan;
"Gontai langkah tangah rimbo pasawangan
Makin jauah makin dalam maramang badan
Raso bakubua banisan tido di jurang dalam

Si bunian bukik sambuang nan tataruang
Mangko kalam makin hilang jalan pulang
Oi urang den sayang
Saru juo tiok sumbayang"


No comments:

Post a Comment