Sekedar
berbagi cerita tentang Mahar Politik atau Uang Politik atau apapun istilahnya,
ada beberapa peristiwa yang saya alami terkait dengan itu.
Suatu
waktu saya dikunjungi seorang kawan. Kedatangannya cukup mengagetkan saya
karena ia datang bersama seorang yang saya kenal sebagai salah satu Bakal Calon
Wakil Kepala Daerah.
Singkat
cerita, kawan itu sengaja membawa orang itu untuk "bercerita" atas permasalahan
yang dialaminya. Bahwa ia mendaftar dan mengikuti proses sebagai Bakal Calon
Kepala Daerah pada sebuah Parpol. Sampai pada akhirnya terjadi Deal bahwa ia
akan mendapatkan Rekomendasi sebagai Calon dengan mahar Rp.250 juta.
Tetapi
ketika ia telah menyiapkan dan akan menyerahkan uang tersebut, tiba-tiba
disampaikan bahwa ia tidak jadi direkomendasikan menjadi Calon. Calon yang
akhirnya mendapatkan rekomendasi dari Parpol itu adalah orang yang secara finansial sangat kuat. Itu
kejadian di era Pilkada pada zaman Reformasi.
Dilain
waktu pada zaman ketika Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD
saya juga mendapat informasi bahwa ada Uang Mahar untuk suara anggota DPRD itu.
Meskipun siapa yang akan jadi pemenang serta komposisi suara telah diatur oleh Pusat. Dan besaran uang mahar masih sangat kecil, tidak sampai jutaan,
apalagi puluhan milyar seperti gosip saat ini.
Tahun
1990, pengakuan seorang anggota DPRD Kota ketika akan dilakukan pemilihan
Walikota ia mendapat amplop yang isinya uang Rp.250 ribu. Tahun 2000, seorang
Anggota DPRD Kabupaten mengaku diberi amplop yang berisi uang Rp.600.000 menjelang pemilihan Bupati.
Tahun
2003, menjelang pemilihan Gubernur seorang pengusaha mengaku terang-terangan
siap dan sanggup mengeluarkan uang sebesar Rp.100 milyar untuk membayar perahu menuju kursi Gubernur yang dipilih DPRD.
Tetapi
pengusaha itu tidak jadi ikut Pilgub karena ditetapkan sebagai tersangka oleh
Kejaksaan dalam kasus kredit fiktif. Proses Pilgub di Propinsi itu sediri
dituding sebagai ajang perang uang. Satu
suara dibanderol Rp. 1 milyar. Kekalahan Calon lain yang juga Petahana diduga karena maharnya
kalah besar dengan pesaingnya.
Ceritanya,
sebelum pemilihan telah diantarkan uang masing-masing Rp. 1 milyar kepada beberapa
anggota DPRD. Ia telah mengeluarkan uang lebih dari Rp.20 milyar untuk membayar separo lebih anggota DPRD. Tetapi oleh pesaingnya juga memberikan uang jauh lebih besar dari
Rp. 1 milyar. Malam hari setelah pemilihan uang yang semilyar tersebut ditagih
kembali oleh
Calon
yang kalah.
Disaat
heboh-heboh uang mahar La Nyala dengan Prabowo muncul lagi wacana mengembalikan
Pemilihan Kepala Daerah kepada DPRD. Pengembalian ini diantaranya bertujuan
mengurangi Uang Politik yang dikeluarkan dalam Pemilihan Kepala Daerah yang
mencapai puluhan bahkan ratusan milyar untuk daerah pemilihan di pulau Jawa.
Saya meyakini cara ini tidak efektif mengurangi uang politik karena dulunya
juga telah terjadi transaksi politik dengan uang. Meskipun pemilihan dilakukan
di DPRD perang tarif akan terus terjadi, yang paling banyak uangnya akan
mendapatkan jalan mulus menuju Jabatan Kepala Daerah. Hampir tidak ada proses
Pengambilan Keputusan (termasuk Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah) oleh DPRD
yang bersih dari gosip transaksi. Untuk persetujuan hal-hal rutin saja
seperti pembuatan Perda atau Persetujuan APBD masih dibumbui transaksi uang.
Banyak kasus yang diungkap KPK terkait pengambilan Keputusan di DPRD, contoh
terbaru yang terjadi di Jambi.
Pemilihan
oleh DPRD membuat peluang keterpilihan Calon yang memiliki banyak uang semakin
besar karena hak suara pemilih yang akan dibeli tidak sebanyak pemilihan
langsung oleh rakyat. Pemilih (pemilik hak suara) akan mudah dikendalikan.
Disisi
lain Calon-Calon Pemimpin bukan kader Parpol yang tidak memiliki kekuatan
finansial akan sulit masuk sebagai Calon Kepala Daerah.
Kita
tentu masih ingat pada tahun 2005, seorang Gamawan Fauzi nyaris tidak
mendapatkan dukungan Parpol untuk maju sebagai Calon Gubernur Sumbar. Gamawan
Fauzi waktu itu bukan seorang kader Parpol dan bukan pula milyader. Untung saja
masih ada Kapal bermerek PDIP dan PBB yang belum memiliki penumpang menuju ke
Padang, Gamawan akhirnya berangkat juga walau dengan kapal kecil (PDIP dan PBB
pada Pemilu 2004 tidak mendapat suara signifikan di Sumbar). Proses pencalonan
Gamawan yang last minute itu terkenal dengan istilah Masih ada kapal
kepadang.
Disisi
lain kita tidak bisa menutup mata bahwa Parpol gagal menciptakan kadernya
sebagai calon pemimpin yang memiliki kualitas dan elektabilitas mumpuni. Pada
akhirnya Parpol terpaksa merekrut orang luar untuk dicalonkan, Ahok, Anies
Baswedan, Sudirman Said, Ridwan Kamil, Dedy Mizwar dan banyak lagi lainnya adalah
contoh calon bukan dari kader Parpol.
Wacana
pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD patut dicurigai sebagai upaya Parpol melarikan diri dari tanggungjawab. Parpol mengelak dari aturan bahwa tidak
boleh ada Mahar Politik dengan dalih apapun. Biaya saksi, honor, upah, uang
makan atau apapun namanya tidak tepat dijadikan alasan untuk membuat kesimpulan
Pemilihan Kepala Daerah langsung oleh rakyat membutuhkan biaya yang banyak.
Kalau semua kegiatan politik diukur dengan uang, maka berpolitik akan dianggap
sebagai lapangan pekerjaan untuk mencari nafkah dan kekayaan.
Seharusnya
Politik tidak sekedar mengejar kekuasaan apalagi uang, tetapi ada niat tulus
dan keikhlasan tanpa keterpaksaan yang dicampur dengan transaksi atau imbalan.
Seperti
kata Intelektual muda Yudi Latief, hakikat politik yang sebenarnya adalah
membuat warga negaranya berbahagia. Tujuan berpolitik, menurutnya, bukanlah
semata meraih kekuasaan, tapi memastikan kekuasaan digunakan untuk kebajikan
dan kebahagian bagi warga negara.
Lubuk
Basung, 23 Januari 2018
No comments:
Post a Comment