Thursday, January 25, 2018

Mahar Politik

Sekedar berbagi cerita tentang Mahar Politik atau Uang Politik atau apapun istilahnya, ada beberapa peristiwa yang saya alami terkait dengan itu.
Suatu waktu saya dikunjungi seorang kawan. Kedatangannya cukup mengagetkan saya karena ia datang bersama seorang yang saya kenal sebagai salah satu Bakal Calon Wakil Kepala Daerah.
Singkat cerita, kawan itu sengaja membawa orang itu untuk "bercerita" atas permasalahan yang dialaminya. Bahwa ia mendaftar dan mengikuti proses sebagai Bakal Calon Kepala Daerah pada sebuah Parpol. Sampai pada akhirnya terjadi Deal bahwa ia akan mendapatkan Rekomendasi sebagai Calon dengan  mahar Rp.250 juta.
Tetapi ketika ia telah menyiapkan dan akan menyerahkan uang tersebut, tiba-tiba disampaikan bahwa ia tidak jadi direkomendasikan menjadi Calon. Calon yang akhirnya mendapatkan rekomendasi dari Parpol itu adalah orang yang secara finansial sangat kuat. Itu kejadian di era Pilkada pada zaman Reformasi.
Dilain waktu pada zaman ketika Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD saya juga mendapat informasi bahwa ada Uang Mahar untuk suara anggota DPRD itu. Meskipun siapa yang akan jadi pemenang serta komposisi suara telah diatur oleh Pusat. Dan besaran uang mahar masih sangat kecil, tidak sampai jutaan, apalagi puluhan milyar seperti gosip saat ini.
Tahun 1990, pengakuan seorang anggota DPRD Kota ketika akan dilakukan pemilihan Walikota ia mendapat amplop yang isinya uang Rp.250 ribu. Tahun 2000, seorang Anggota DPRD Kabupaten mengaku diberi amplop yang berisi uang Rp.600.000 menjelang pemilihan Bupati.
Tahun 2003, menjelang pemilihan Gubernur seorang pengusaha mengaku terang-terangan siap dan sanggup mengeluarkan uang sebesar Rp.100 milyar untuk membayar perahu menuju kursi Gubernur yang dipilih DPRD.
Tetapi pengusaha itu tidak jadi ikut Pilgub karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan dalam kasus kredit fiktif. Proses Pilgub di Propinsi itu sediri dituding sebagai ajang perang uang. Satu suara dibanderol Rp. 1 milyar. Kekalahan Calon lain yang juga Petahana diduga karena maharnya kalah besar dengan pesaingnya.
Ceritanya, sebelum pemilihan telah diantarkan uang masing-masing Rp. 1 milyar kepada beberapa anggota DPRD. Ia telah mengeluarkan uang lebih dari Rp.20 milyar untuk membayar separo lebih anggota DPRD. Tetapi oleh pesaingnya juga memberikan uang jauh lebih besar dari Rp. 1 milyar. Malam hari setelah pemilihan uang yang semilyar tersebut ditagih kembali oleh
Calon yang kalah.
Disaat heboh-heboh uang mahar La Nyala dengan Prabowo muncul lagi wacana mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah kepada DPRD. Pengembalian ini diantaranya bertujuan mengurangi Uang Politik yang dikeluarkan dalam Pemilihan Kepala Daerah yang mencapai puluhan bahkan ratusan milyar untuk daerah pemilihan di pulau Jawa. 
Saya meyakini cara ini tidak efektif mengurangi uang politik karena dulunya juga telah terjadi transaksi politik dengan uang. Meskipun pemilihan dilakukan di DPRD perang tarif akan terus terjadi, yang paling banyak uangnya akan mendapatkan jalan mulus menuju Jabatan Kepala Daerah. Hampir tidak ada proses Pengambilan Keputusan (termasuk Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah) oleh DPRD yang bersih dari gosip transaksi. Untuk persetujuan hal-hal rutin saja seperti pembuatan Perda atau Persetujuan APBD masih dibumbui transaksi uang. Banyak kasus yang diungkap KPK terkait pengambilan Keputusan di DPRD, contoh terbaru yang terjadi di Jambi.
Pemilihan oleh DPRD membuat peluang keterpilihan Calon yang memiliki banyak uang semakin besar karena hak suara pemilih yang akan dibeli tidak sebanyak pemilihan langsung oleh rakyat. Pemilih (pemilik hak suara) akan mudah dikendalikan.
Disisi lain Calon-Calon Pemimpin bukan kader Parpol yang tidak memiliki kekuatan finansial akan sulit masuk sebagai Calon Kepala Daerah.
Kita tentu masih ingat pada tahun 2005, seorang Gamawan Fauzi nyaris tidak mendapatkan dukungan Parpol untuk maju sebagai Calon Gubernur Sumbar. Gamawan Fauzi waktu itu bukan seorang kader Parpol dan bukan pula milyader. Untung saja masih ada Kapal bermerek PDIP dan PBB yang belum memiliki penumpang menuju ke Padang, Gamawan akhirnya berangkat juga walau dengan kapal kecil (PDIP dan PBB pada Pemilu 2004 tidak mendapat suara signifikan di Sumbar). Proses pencalonan Gamawan yang last minute itu terkenal dengan istilah Masih ada kapal kepadang.
Disisi lain kita tidak bisa menutup mata bahwa Parpol gagal menciptakan kadernya sebagai calon pemimpin yang memiliki kualitas dan elektabilitas mumpuni. Pada akhirnya Parpol terpaksa merekrut orang luar untuk dicalonkan, Ahok, Anies Baswedan, Sudirman Said, Ridwan Kamil, Dedy Mizwar dan banyak lagi lainnya adalah contoh calon bukan dari kader Parpol.
Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD patut dicurigai sebagai upaya Parpol melarikan diri dari tanggungjawab. Parpol mengelak dari aturan bahwa tidak boleh ada Mahar Politik dengan dalih apapun. Biaya saksi, honor, upah, uang makan atau apapun namanya tidak tepat dijadikan alasan untuk membuat kesimpulan Pemilihan Kepala Daerah langsung oleh rakyat membutuhkan biaya yang banyak. Kalau semua kegiatan politik diukur dengan uang, maka berpolitik akan dianggap sebagai lapangan pekerjaan untuk mencari nafkah dan kekayaan.
Seharusnya Politik tidak sekedar mengejar kekuasaan apalagi uang, tetapi ada niat tulus dan keikhlasan tanpa keterpaksaan yang dicampur dengan transaksi atau imbalan.
Seperti kata Intelektual muda Yudi Latief, hakikat politik yang sebenarnya adalah membuat warga negaranya berbahagia. Tujuan berpolitik, menurutnya, bukanlah semata meraih kekuasaan, tapi memastikan kekuasaan digunakan untuk kebajikan dan kebahagian bagi warga negara.
Lubuk Basung, 23 Januari 2018


No comments:

Post a Comment