Wednesday, March 8, 2017

Cinta, Ekstrimis dan Penguasa (part 2)

Mengapa saya menulis tentang Cinta, Ekstrimis dan Penguasa? Imajinasi saya menerawang ketika keluarga dan masyarakat dengan support dari Pemda Lima Puluh Kota berusaha memulangkan jenazah Tan Malaka dari Kediri ke Suliki Lima Puluh Kota. Walaupun tidak berhasil memulangkan kerangka jenazah, tetapi langkah itu telah membuat Tan Malaka “semakin hidup” semakin ramai dibicarakan ditengah-tengah masyarakat.
Seingat saya Tan Malaka adalah tokoh yang dilarang untuk “dibicarakan” pada zaman orde baru. Secara samar-samar dalam ingatan saya Tan Malaka adalah tokoh yang dianggap ekstrim dan berhaluan kiri serta pembuat onar oleh penguasa.  Oleh karena itu ketika beliau kembali ramai dibicarakan, saya berusaha mencari tahu dengan membaca beberapa literatur.
Presiden Soekarno dengan Keputusan Presiden RI No. 53, mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963. Tetapi ketika zaman berganti Sang Pahlawan “disingkirkan”dari sejarah Indonesia, di era Orde Baru namanya dicoret dari daftar nama Pahlawan Nasional dan hampir tidak pernah dibahas dalam pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah.
Tan Malakan memiliki semangat militan ketika membela kaum yang tertindas, membenci ketidakadilan dan peduli terhadap penderitaan para buruh serta memiliki pengetahuan sosial politik yang didapat selama belajar di Eropa, berbekal itu Tan Malaka memutuskan untuk bergabung dengan organisasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Pergerakan organisasi ISDV ini berbasis ideologi Marxisme yang pada intinya memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan alat produksi kepada rakyat agar tidak dimonopoli oleh kaum pemilik modal dan kolonial asing.
Perkumpulan ISDV ini sangat ekstrim melawan "penindasan" dari kolonial Belanda. Lambat laun, gerakan itu didominasi oleh kaum pribumi muslim. Sampai akhirnya pada tahun 1920, ISDV resmi berganti nama menjadi "Perkumpulan Komunis di Hindia" (PKH) cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) di kemudian hari. Dalam tulisan Asvi Warman Adam dengan judul “Menggali Makam Tan Malaka”, disebutkan bahwa oleh sebab itulah  Tan Malaka dianggap sebagai Tokoh Penting dalam lingkaran generasi pertama PKI. Selanjutnya diceritakan bahwa tokoh-tokoh PKH masa itu sebagian juga pemimpin Islam yang gigih seperti Haji Misbach di Jawa dan Datuak Batuah, guru sekolah Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Para aktifis PKH ini tidak pernah meninggalkan shalat meskipun dikejar-kejar oleh Politieke Inlichtingen Dients (intel Belanda).
Dalam perkembangan selanjutnya tergambar jelas bahwa Tan Malaka tidak terlibat dalam gerakan Komunis tahun 1926 dan 1948, dimana Tan Malaka menentang kebijakan PKH dan kemudian pada tahun 1927 mendirikan Partai Republik Indonesia. Bahkan pentolan PKI, Muso pernah berkata;, “jika punya kesempatan, yang pertama akan dia gantung adalah Tan Malaka”. Itu
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Tan Malaka merasa para pemimpin seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir terlalu lembek terhadap Belanda yang masih terus berusaha menguasai Indonesia. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan dengan adanya Proklamasi itu sudah diraih sepenuhnya, jadi tidak perlu melakukan perundingan apapun dengan Belanda. Ia khawatir perjanjian-perjanjian seperti Linggarjati dan Renville justru merugikan Indonesia nantinya. Hingga pada saat itu muncullah pemikirannya yang sangat terkenal, “Berunding setelah ada pengakuan kemerdekaan seratus persen” dan “Tuan Rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”.
Itulah Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang dikenal dengan Tan Malaka, lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949, yang berjuang dengan cara “ekstrim” dan benar-benar dianggap ekstrimis hingga terbunuh oleh peluru bangsanya sendiri. Sampai akhir hayatnya itu tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Tan Malaka pernah menikah.
Dalam buku Adam Malik Mengabdi Republik, Tan Malaka pernah ditanya,”Apa Bung Pernah Jatuh Cinta?”. “Pernah, tiga kali malahan. Sekali di Belanda. Sekali di Filipina dan sekali lagi di Indonesia. Tapi semuanya itu katakanlah hanya cinta tidak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan!”, jawab Tan Malaka.
**000**
Bahwa cinta itu mungkin seperti Laila dan Qais atau Siti Nurbaya, kasih tak sampai ke pelaminan! Walaupun bermacam-macam penghalang, teruslah berdoa “Kalau memang cinta itu sakti, persatukan sebelum mati atau biarkan dia menjadi bidadariku surga!”. Dan mungkin pula sebegitu romantis Romeo dan Juliet. Atau bahkan mungkin sebaliknya. Menyedihkan, membuat hati terasa perih.
Dipandang jahat atau pun jalang oleh orang yang memang membenci kita, tidak lah menjadi beban di hati malahan memacu semangat untuk membalasnya pada saatnya nanti. Tapi dibenci oleh orang yang kita cintai dan sesungguhnya pula dia juga mencintai. Ah! itu jauh lebih berat dan menyakitkan rasanya. Ada keinginan mereguk segenggam kebahagian tetapi selalu tersingkir dan terlempar jauh. Apa yang dicari seolah sudah nyaris tergenggam di tangan.
Pun begitu bagi orang yang “membenci” itu, di bibir ia mengusir, menyuruh kita pergi jauh. Tapi dalam hati sebenarnya dia ingin mengatakan “jangan pergi!”, ada rindu yang se rindu-rindunya. Didepan orang menampakkan muka penuh amarah, namun disaat sendiri airmatanya mengalir deras seiring goncangan dadanya karena rasa sedih yang teramat dalam.
Begitu pula cinta para Pahlawan, dianggap ekstrim dan dicap ekstrimis karena mengganggu atau membahayakan kekuasaan penguasa. Dan mungkin di zaman itu dilabeli ekstrimis, bahkan dizaman lain dihapus pula dari catatan sejarah tetapi dizaman yang lain pula kebenaran itu terungkap.
Ketika Kompeni berkuasa, para pejuang kita dicap pengacau, pemberontak, Ekstrimis!! Toh akhirnya pada hari ini kita menikmati hidup di negeri yang merdeka ini karena perjuangan dan cinta para ekstrimis-ekstrimis itu.   
Terimaksih Tan Malaka, terimakasih atas cintamu pada negeri ini. Dimanapun makammu berada, dimanapun jasadmu terkubur perjuangan dan cintamu akan selalu hidup di bumi pertiwi ini.


Lubuk Basung, 8 Maret 2017

No comments:

Post a Comment