Mengapa
saya menulis tentang Cinta, Ekstrimis dan Penguasa? Imajinasi saya menerawang
ketika keluarga dan masyarakat dengan support dari Pemda Lima Puluh Kota berusaha
memulangkan jenazah Tan Malaka dari Kediri ke Suliki Lima Puluh Kota. Walaupun
tidak berhasil memulangkan kerangka jenazah, tetapi langkah itu telah membuat
Tan Malaka “semakin hidup” semakin ramai dibicarakan ditengah-tengah
masyarakat.
Seingat
saya Tan Malaka adalah tokoh yang dilarang untuk “dibicarakan” pada zaman orde
baru. Secara samar-samar dalam ingatan saya Tan Malaka adalah tokoh yang
dianggap ekstrim dan berhaluan kiri serta pembuat onar oleh penguasa. Oleh karena itu ketika beliau kembali ramai
dibicarakan, saya berusaha mencari tahu dengan membaca beberapa literatur.
Presiden Soekarno dengan Keputusan
Presiden RI No. 53, mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional
pada 28 Maret 1963. Tetapi
ketika zaman berganti Sang Pahlawan “disingkirkan”dari sejarah Indonesia, di era Orde Baru namanya dicoret dari daftar nama Pahlawan Nasional dan hampir tidak pernah dibahas
dalam pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah.
Tan Malakan memiliki semangat militan ketika membela
kaum yang tertindas, membenci ketidakadilan dan peduli terhadap penderitaan
para buruh serta memiliki pengetahuan
sosial politik yang didapat selama belajar di Eropa, berbekal itu Tan
Malaka memutuskan untuk bergabung dengan organisasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).
Pergerakan organisasi ISDV ini berbasis ideologi Marxisme yang pada intinya
memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan alat produksi kepada rakyat agar tidak
dimonopoli oleh kaum pemilik modal dan kolonial asing.
Perkumpulan
ISDV ini sangat ekstrim melawan
"penindasan" dari kolonial Belanda. Lambat laun, gerakan itu didominasi oleh
kaum pribumi muslim. Sampai akhirnya pada tahun 1920, ISDV resmi berganti nama
menjadi "Perkumpulan Komunis di Hindia" (PKH) cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) di
kemudian hari. Dalam tulisan Asvi Warman Adam dengan judul “Menggali Makam Tan Malaka”,
disebutkan bahwa oleh sebab itulah Tan
Malaka dianggap sebagai Tokoh Penting dalam lingkaran generasi pertama PKI. Selanjutnya
diceritakan bahwa tokoh-tokoh PKH masa itu sebagian juga pemimpin Islam yang
gigih seperti Haji Misbach di Jawa dan Datuak Batuah, guru sekolah Sumatera
Thawalib di Padang Panjang. Para aktifis PKH ini tidak pernah meninggalkan
shalat meskipun dikejar-kejar oleh Politieke Inlichtingen Dients (intel Belanda).
Dalam perkembangan selanjutnya tergambar jelas
bahwa Tan Malaka tidak terlibat dalam gerakan Komunis tahun 1926 dan 1948, dimana
Tan Malaka menentang kebijakan PKH dan kemudian pada tahun 1927 mendirikan
Partai Republik Indonesia. Bahkan pentolan PKI, Muso pernah berkata;, “jika
punya kesempatan, yang pertama akan dia gantung adalah Tan Malaka”. Itu
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Tan Malaka
merasa para pemimpin seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir terlalu lembek terhadap
Belanda yang masih terus berusaha menguasai Indonesia. Bagi Tan Malaka,
kemerdekaan dengan adanya Proklamasi itu sudah diraih
sepenuhnya, jadi tidak perlu melakukan perundingan apapun dengan Belanda. Ia
khawatir perjanjian-perjanjian seperti Linggarjati dan Renville justru
merugikan Indonesia nantinya. Hingga pada saat itu muncullah pemikirannya yang sangat terkenal, “Berunding setelah ada pengakuan kemerdekaan
seratus persen” dan “Tuan Rumah tidak
akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”.
Itulah Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang dikenal
dengan Tan Malaka, lahir di Nagari
Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949, yang berjuang dengan cara “ekstrim” dan benar-benar
dianggap ekstrimis hingga terbunuh oleh peluru bangsanya sendiri. Sampai akhir
hayatnya itu tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Tan Malaka pernah
menikah.
Dalam buku Adam Malik Mengabdi Republik, Tan Malaka
pernah ditanya,”Apa Bung Pernah Jatuh Cinta?”. “Pernah, tiga kali malahan.
Sekali di Belanda. Sekali di Filipina dan sekali lagi di Indonesia. Tapi
semuanya itu katakanlah hanya cinta tidak sampai, perhatian saya terlalu besar
untuk perjuangan!”, jawab Tan Malaka.
**000**
Bahwa cinta itu mungkin seperti Laila dan Qais atau
Siti Nurbaya, kasih tak sampai ke pelaminan! Walaupun bermacam-macam penghalang,
teruslah berdoa “Kalau memang cinta itu sakti, persatukan sebelum mati atau biarkan
dia menjadi bidadariku surga!”. Dan mungkin pula sebegitu romantis Romeo dan
Juliet. Atau bahkan mungkin sebaliknya. Menyedihkan, membuat hati terasa perih.
Dipandang jahat atau pun jalang oleh orang yang memang membenci kita, tidak lah menjadi beban di hati malahan memacu semangat untuk membalasnya pada saatnya nanti. Tapi dibenci oleh orang yang kita cintai dan sesungguhnya pula dia juga mencintai. Ah! itu jauh lebih berat dan menyakitkan
rasanya. Ada keinginan mereguk segenggam kebahagian tetapi selalu tersingkir dan terlempar jauh. Apa yang dicari seolah sudah nyaris
tergenggam
di tangan.
Pun begitu bagi orang yang “membenci” itu, di bibir ia mengusir, menyuruh kita pergi
jauh. Tapi dalam hati sebenarnya dia ingin mengatakan “jangan pergi!”, ada rindu yang se
rindu-rindunya. Didepan orang menampakkan muka penuh amarah, namun disaat sendiri
airmatanya mengalir deras seiring goncangan dadanya karena rasa sedih yang
teramat dalam.
Begitu pula cinta para Pahlawan, dianggap ekstrim dan
dicap ekstrimis karena mengganggu atau membahayakan kekuasaan penguasa. Dan
mungkin di zaman itu dilabeli ekstrimis, bahkan dizaman lain dihapus pula dari catatan
sejarah tetapi dizaman yang lain pula kebenaran itu terungkap.
Ketika Kompeni berkuasa, para pejuang kita dicap
pengacau, pemberontak, Ekstrimis!! Toh akhirnya pada hari ini kita menikmati
hidup di negeri yang merdeka ini karena perjuangan dan cinta para
ekstrimis-ekstrimis itu.
Terimaksih Tan Malaka, terimakasih atas cintamu pada
negeri ini. Dimanapun makammu berada, dimanapun jasadmu terkubur perjuangan dan
cintamu akan selalu hidup di bumi pertiwi ini.
Lubuk Basung, 8 Maret 2017
No comments:
Post a Comment