Pada
abad pertengahan di jazirah Arab tersebutlah kisah cinta romantis dua anak
manusia, Laila binti Al-Mahi, Putri Bangsawan yang cantik
jelita dengan Qais bin Al-Mulawwah seorang hartawan yang budiman keturunan
Bani Ami. Hubungan cinta kedua sejoli ini bergetar ketika umur Laila 12
tahun dan Qais 13 tahun. Percintaan yang terlalu dini ini tidak direstui
oleh keluarga kedua belah pihak, sehingga terjadilah pemkasaan
pemutusan
hubungan. Laila dikurung ketat di dalam kamarnya sehingga Qais tak dapat
lagi menemuinya. Jangankan berbicara dengannya, mendengar suaranya pun tak bisa
lagi. Hingga suatu ketika Qais mendengar kabar Laila akan dinikahkan
ayahnya dengan seorang saudagar kaya asal dari Irak dengan mas kawin 1.000 dinar.
Laila tak berdaya melawan perintah ayahnya karena adat memang menyatakan bahwa
laki-laki bekuasa atas perempuan.
Ketika ia mendengar kabar Laila akan dinikahkan oleh orangtuanya dengan lelaki lain, Qais menangis sejadi-jadinya. Ialah tangisan yang merobek langit, mencerca rembulan, memaki bumi.
Ketika ia mendengar kabar Laila akan dinikahkan oleh orangtuanya dengan lelaki lain, Qais menangis sejadi-jadinya. Ialah tangisan yang merobek langit, mencerca rembulan, memaki bumi.
Ayah
qais menemui ayah Laila dan menawarkan 100 unta sebagai pengganti uang 1.000 dinar
yang diberikan Sa’d bin Munif. Tetapi lamaran ayah Qais ditolak. Pesta perkawinan
Laila dan Sa’d bin Munif tetap dilaksanakan secara besar-besaran. Hancur
luluhlah hati Qais, tak satupun obat yang dapat menyembuhkan walau telah banyak
tabib yang mencoba mengobati.
Qais
tidak mau lagi bicara dengan siapapun, dia sibuk dengan dirinya sendiri, sampai
pada akhirnya orang-orang menyebutnya dengan Majnun yang berarti Gila ! dan
sebaliknya, Laila meskipun telah menjadi isteri Sa’d bin Munif, hatinya tetap
mencintai Qais.
Hingga
dalam
satu kesempatan Laila dan Qais bertemu. Ketika itu
mereka hanya mampu saling berpandangan, dan Qais menunjukkan
penderitaannya hingga menjadi orang gila sebagai
bukti cintanya. Melihat itu Laila berkata: “Engkau
dapat melampiaskan kerinduanmu dengan puisi, dengan berlaku gila, dengan
berteriak sesuka hati. Tetapi aku memendamnya seorang diri, membiarkan api membakar
tubuhku dari dalam, bertahun-tahun. Jadi, siapa di antara kita yang paling
menderita?”
Itu adalah
pertemuan terakhir mereka.
Ketika
mendapat kabar Laila meninggal dunia, Qais datang menjiarahi
makamnya. Di pusara itu sekali lagi Qais menangis, menyandarkan
kepalanya di atas pusara itu, dalam nikmat cinta. Ia membiarkan takdir
menjemputnya dalam kerelaan untuk menyempurnakan kebahagiaanya dalam memiliki
kekasih. Qais meninggal dunia di pusara itu dengan tenang, tanpa seorang
pun tahu!
Itulah
kisah cinta Laila dan Qais atau yang lebih dikenal dengan kisah Laila Majnun,
sebuah kisah tentang kekuatan Cinta. Kekuatan
cinta memang luar biasa. Orang yang jatuh cinta akan rela mengorbankan apa saja
demi yang ia cintai. Cinta menjadikan segalanya indah, meski harus dilalui
dengan penderitaan. Cinta
memang tidak mengenal logika. Ketika rasa itu sudah tertanam kuat di hati,
semua hal bisa dengan mudah berubah 180 derajat. Tak heran, nyawa pun
seringkali kalah mulia dibanding cinta.
Sangat banyak kisah lain yang
menceritakan tentang dahsyatnya cinta, cerita Romeo dan Juliet, atau kisah
kasih tak sampai Siti Nurbaya. Bangunan Tajmahal yang salah satu keajaiban
dunia merupakan monumen cinta Shah Jahan terhadap Arjumand Begum Bann yang meninggal ketika melahirkan anak mereka. Atau kisah
Sampek dan Engtay yang berubah menjadi kupu-kupu setelah keduanya
meninggal. Bahkan kononkabarnya candi Prambanan adalah bukti Cinta Bertepuk
Sebelah Tangan. Raden Bandung Bondowoso jatuh hati pada Puteri Roro Jonggrang.
Tetapi cinta itu ditolak karena Bandung Bondowoso adalah pria yang membunuh
ayah Roro Jonggrang. Cinta juga meninggalkan kisah romantis, sedih dan bahkan
memilukan.
Cinta juga-lah yang membuat para pejuang berani
menghadang maut, melawan senjata api hanya dengan bambu runcing. Tanpa rasa takut, hart, darah, dan nyawa, mereka pertaruhkan
dengan hadangan peluru
bedil dan meriam demi membuktikan
cinta pada Tanah Air
Indonesia. Betapa luar biasa beraninya Siti Manggopoh, yang
waktu itu berusia sekitar 28 tahun melakukan perlawanan terhadap penindasan
yang dilakukan Tentara Kolonial Belanda. Memimpin 16 orang rekannya melakukan penyerbuan ke markas pasukan
kavaleri, 53
dari 55 pasukan Belanda berhasil dibunuh oleh Siti Manggopoh bersama
rekan-rekannya hanya dengan bersenjatan ruduih (golok) dan keris. Pun begitu, Jenderal Besar Soedirman, yang tetap bergerilya memimpin para
pejuang walau kondisi tubuhnya dalam keadaan sakit.
Cinta itu juga yang membuat banyak para Tokoh Republik
ini yang tidak menikah sebelum Indonesia Merdeka, salah satunya Tan Malaka.
Bersambung...
Cinta juga yg melahirkan sigiran dan sani menjadi legenda bujang sambilan di kampung saya pak komar...
ReplyDelete