Tuesday, March 7, 2017

Cinta, Ekstrimis dan Penguasa

Pada abad pertengahan di jazirah Arab tersebutlah kisah cinta romantis dua anak manusia, Laila binti Al-Mahi, Putri Bangsawan yang cantik jelita dengan Qais bin Al-Mulawwah seorang hartawan yang budiman keturunan Bani Ami. Hubungan cinta kedua sejoli ini bergetar ketika umur Laila 12 tahun dan Qais 13 tahun. Percintaan yang terlalu dini ini tidak direstui oleh keluarga kedua belah pihak, sehingga terjadilah pemkasaan pemutusan hubungan. Laila dikurung ketat di dalam kamarnya sehingga Qais tak dapat lagi menemuinya. Jangankan berbicara dengannya, mendengar suaranya pun tak bisa lagi. Hingga suatu ketika Qais mendengar kabar Laila akan dinikahkan ayahnya dengan seorang saudagar kaya asal dari Irak dengan mas kawin 1.000 dinar. Laila tak berdaya melawan perintah ayahnya karena adat memang menyatakan bahwa laki-laki bekuasa atas perempuan.
Ketika ia mendengar kabar Laila
akan dinikahkan oleh orangtuanya dengan lelaki lain, Qais menangis sejadi-jadinya. Ialah tangisan yang merobek langit, mencerca rembulan, memaki bumi. 
Ayah qais menemui ayah Laila dan menawarkan 100 unta sebagai pengganti uang 1.000 dinar yang diberikan Sa’d bin Munif. Tetapi lamaran ayah Qais ditolak. Pesta perkawinan Laila dan Sa’d bin Munif tetap dilaksanakan secara besar-besaran. Hancur luluhlah hati Qais, tak satupun obat yang dapat menyembuhkan walau telah banyak tabib yang mencoba mengobati.
Qais tidak mau lagi bicara dengan siapapun, dia sibuk dengan dirinya sendiri, sampai pada akhirnya orang-orang menyebutnya dengan Majnun yang berarti Gila ! dan sebaliknya, Laila meskipun telah menjadi isteri Sa’d bin Munif, hatinya tetap mencintai Qais.
Hingga dalam satu kesempatan Laila dan Qais bertemu. Ketika itu mereka hanya mampu saling berpandangan, dan Qais menunjukkan penderitaannya hingga menjadi orang gila sebagai bukti cintanya. Melihat itu Laila berkata: “Engkau dapat melampiaskan kerinduanmu dengan puisi, dengan berlaku gila, dengan berteriak sesuka hati. Tetapi aku memendamnya seorang diri, membiarkan api membakar tubuhku dari dalam, bertahun-tahun. Jadi, siapa di antara kita yang paling menderita?” 
Itu adalah pertemuan terakhir mereka.
Ketika mendapat kabar Laila meninggal dunia, Qais datang menjiarahi makamnya. Di pusara itu sekali lagi Qais menangis, menyandarkan kepalanya di atas pusara itu, dalam nikmat cinta. Ia membiarkan takdir menjemputnya dalam kerelaan untuk menyempurnakan kebahagiaanya dalam memiliki kekasih. Qais meninggal dunia di pusara itu dengan tenang, tanpa seorang pun tahu!

Itulah kisah cinta Laila dan Qais atau yang lebih dikenal dengan kisah Laila Majnun, sebuah kisah tentang kekuatan Cinta. Kekuatan cinta memang luar biasa. Orang yang jatuh cinta akan rela mengorbankan apa saja demi yang ia cintai. Cinta menjadikan segalanya indah, meski harus dilalui dengan penderitaan. Cinta memang tidak mengenal logika. Ketika rasa itu sudah tertanam kuat di hati, semua hal bisa dengan mudah berubah 180 derajat. Tak heran, nyawa pun seringkali kalah mulia dibanding cinta.
Sangat banyak kisah lain yang menceritakan tentang dahsyatnya cinta, cerita Romeo dan Juliet, atau kisah kasih tak sampai Siti Nurbaya. Bangunan Tajmahal yang salah satu keajaiban dunia merupakan monumen cinta Shah Jahan terhadap Arjumand Begum Bann yang meninggal ketika melahirkan anak mereka. Atau kisah Sampek dan Engtay yang berubah menjadi kupu-kupu setelah keduanya meninggal. Bahkan kononkabarnya candi Prambanan adalah bukti Cinta Bertepuk Sebelah Tangan. Raden Bandung Bondowoso jatuh hati pada Puteri Roro Jonggrang. Tetapi cinta itu ditolak karena Bandung Bondowoso adalah pria yang membunuh ayah Roro Jonggrang. Cinta juga meninggalkan kisah romantis, sedih dan bahkan memilukan.

Cinta juga-lah yang membuat para pejuang berani menghadang maut, melawan senjata api hanya dengan bambu runcing. Tanpa rasa takut, hart, darah, dan nyawa, mereka pertaruhkan dengan hadangan peluru bedil dan meriam demi membuktikan cinta pada Tanah Air Indonesia. Betapa luar biasa beraninya Siti Manggopoh, yang waktu itu berusia sekitar 28 tahun melakukan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Tentara Kolonial Belanda. Memimpin 16 orang rekannya melakukan penyerbuan ke markas pasukan kavaleri, 53 dari 55 pasukan Belanda berhasil dibunuh oleh Siti Manggopoh bersama rekan-rekannya hanya dengan bersenjatan ruduih (golok) dan keris. Pun begitu, Jenderal Besar Soedirman, yang tetap bergerilya memimpin para pejuang walau kondisi tubuhnya dalam keadaan sakit.
Cinta itu juga yang membuat banyak para Tokoh Republik ini yang tidak menikah sebelum Indonesia Merdeka, salah satunya Tan Malaka.

Bersambung...

1 comment:

  1. Cinta juga yg melahirkan sigiran dan sani menjadi legenda bujang sambilan di kampung saya pak komar...

    ReplyDelete