Wednesday, November 4, 2015

Pilkada dan Janji Jabatan Untuk PNS

Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilakukan serentak pada 9 Desember nanti akan menghasilkan pasangan Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Barat dan pasangan Bupati/Walikota baru di 13 Kabupaten/Kota di Ranah Minang tercinta ini. Melihat kondisi 5 tahun lalu, kita patut optimis Pilkada yang dilakukan urang awak tidak akan berdarah-darah seperti yang terjadi di daerah lain. Semua akan berjalan secara Badunsanak, lancar dan aman sampai para “pengantin” resmi dilantik dan bekerja di rumah bagonjong.
Saat ini yang menjadi cerita hangat disetiap daerah yang akan memilih Kepala Daerah tersebut selain prediksi siapa yang akan menang, adalah cerita tentang mutasi pejabat yang akan dilakukan para pengantin tersebut nantinya. Hal itu tidak terlepas dengan keterlibatan para Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS terutama pejabat Struktural, yang secara kasat mata aktif dalam mendukung Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terutama para Paslon dari Petahana.
Orang mulai menghitung-hitung, jika Paslon yang itu menang maka para Pejabat A, B, C dan D akan tetap pada jabatannya sekarang. Sebaliknya jika Paslon yang itu kalah maka mereka hampir bisa dipastikan akan non job.
Untuk mengantisipasi hal itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi dalam beberapa kesempatan mengingatkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk netral dalam pilkada serentak Desember 2015, dan melarang Kepala Daerah untuk mengambil keputusan merotasi pejabat sesuka hatinya.
Hal itu dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Edaran MenPAN-RB nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak.
Kemudian UU No.5/2014 tentang ASN, PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, akan dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dengan tidak hormat.
Selain itu, dalam PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS, juga menegaskan bahwa PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Walaupun larangan PNS terlibat dalam kancah politik dan telah diatur dengan peraturan perundang-undangan serta himbauan dari MenPAN-RB,  nyatanya hal itu tidak mangkus. PNS secara sukarela, terpaksa dan dipaksa terseret dan diseret masuk dalam pusaran politik karena dipastikan akan “ada pesta” usai Pilkada yaitu mutasi/promosi PNS.
Sesungguhnya, ada suasana dilematis pada para PNS ketika Calon Kepala Daerahnya berasal dari Petahana. Apalagi jika di daerah tersebut kontestan hanya terdiri dari dua Paslon yang semula bersatu pecah kongsi kemudian masing-masing mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.
Mau pilih siapa dan akan berpihak pada siapa? Keduanya pernah menjadi atasannya, dan jika salah pilih masa depan karirnya akan terancam, masuk dalam daftar PNS yang akan dimutasi atau di-non job-kan setelah Pilkada.  Secara tak langsung mereka juga mendapat isyarat ancaman dan intimidasi, dan dari pengalaman masa lalu sudah banyak bukti PNS yang ikut “berperan” pada pihak yang menang, akan mendapat imbalan jasa dan balas budi berupa jabatan pada Mutasi yang dilakukan setelah Pilkada oleh Kepala Daerah (pemenang Pilkada).
Tidak heran, akhirnya banyak PNS yang berani secara terbuka dan terang-terangan mendukung Paslon tertentu. Bahkan ada pula yang kebablasan atau sangat berlebihan dalam bertindak tanduk, cari muka sambil merunduk–runduk. Bekerja tanpa didasarkan pada “Tupoksi” yang benar melainkan menuruti keinginan sang penguasa. Melakukan pembelokan fakta kebenaran hanya karena ingin mendapatkan kekuasaan. Yang hitam dijadikan putih, yang benar bisa menjadi salah, yang salah bisa tampak benar atau menciptakan kondisi agar semuanya dibuat “Rancak Di Labuah”, demi sebuah jabatan.
Sebaliknya PNS yang berada dipihak lain, hanya tinggal menunggu waktu dimatikan karirnya. Banyak di antara mereka yang berada dipihak yang kalah, langsung mengundurkan diri, minta pindah ke daerah lain sebelum sanksi mutasi atau non job diberikan kepadanya. 
Mutasi yang dilakukan pasca Pilkada, sulit dibantah memang sarat dengan kepentingan politik sehingga banyak aturan yang dilanggar. Jelas sekali bahwa yang menentukan bukan lagi Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) melainkan “keinginan” Kepala Daerah yang berupa balas jasa dan balas budi dukungan waktu Pilkada.
Istilah “sakali aia gadang sakali tapian barubah” benar-benar terjadi, bergantinya Kepala Daerah segaligus diikuti pergantian para pejabat struktural, bahkan sopir dan ajudan pun berganti. Konon, para kepala sekolahpun berganti terkait Pilkada.
Mutasi/promosi usai Pilkada inilah yang menjadi biang kegaduhan dan kehancuran birokrasi di daerah. Kenapa gaduh? Penyebabnya, karena dilakukan sekaligus dalam jumlah besar. Bagi yang terkena mutasi apalagi promosi biasanya akan menerimanya, tetapi bagi yang terdemosi (turun eselon) tidak akan tinggal diam bahkah tidak jarang sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Balas budi dan balas dendam terkait Pilkada yang dibungkus Mutasi PNS inilah yang sering terjadi di Tanah Air beberapa tahun terakhir. 
Bahkan tidak jarang mutasi/promosi PNS membuat bibit-bibit pecahnya kongsi Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah. Karena terlalu kuatnya dominasi Kepala Daerah sehingga dia berjalan sendiri dengan tidak melibatkan Wakil Kepala Daerah dalam proses pengisian jabatan struktural. Hal ini pernah terekspose di media cetak dan televisi nasional ketika Wakil Gubernur Riau tidak tahu tentang adanya mutasi dan pelantikan pejabat di lingkungannya bahkan diusir ketika mencoba mendatangi acara pelantikan tersebut.
Mereka (Kepala Daerah) memang mempunyai kewenangan yang besar terhadap PNS dilingkungan Pemerintahan Daerahnya, berwenang untuk mengangkat, memutasi, memberi promosi, menghukum bahkan memberhentikan seorang dari jabatannya. Hal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan PNS dalam jabatan sekaligus sebagai Pembina bagi PNS di daerahnya.
Tetapi kewenangan itu tidak bisa dilakukan semau-maunya sendiri. Dan kewenangan itu tidak lah sama dengan “prerogatif” Presiden dalam membentuk kabinetnya,  karena ada aturan kepegawaian yang harus dipedomani. Dan dalam hal “mengatur” PNS di lingkungannya Gubernur, Bupati dan Walikota berstatus dan harus bertindak sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, bukan mengedepankan status sebagai Kepala Daerah yang notabene adalah jabatan politis.
Sangat disayangkan para Kepala Daerah kita banyak yang mentang-mentang!, mentang-mentang dengan jabatan Gubernur, Bupati/Walikota-nya dengan sengaja melanggar aturan kepegawaian dan menyeret-nyeret PNS ke ranah politik. Menjanjikan jabatan sebagai konpensasi dukungan dalam Pilkada, “jika saya menang, saya akan mengangkat Sekda dari putra daerah ini”. Tetapi tidak jarang banyak janji jabatan tersebut tidak dipenuhi sama halnya janji-janji kampanye lainnya. Dan banyak PNS yang jadi korban PHP atau di PHP-in alias diberi harapan palsu. Oleh karena itu PNS seharusnya tidak berharap jabatan dan Netral dalam Pilkada dan selalu menjaga integritasnya dengan bersikap jujur, menjaga komitmen dan berperilaku konsisten sesuai aturan yang telah ada. Semoga!.


No comments:

Post a Comment