Saat ini yang menjadi cerita hangat disetiap daerah yang akan
memilih Kepala Daerah tersebut selain prediksi siapa yang akan menang, adalah
cerita tentang mutasi pejabat yang akan dilakukan para pengantin tersebut
nantinya. Hal itu tidak terlepas dengan keterlibatan para Aparatur
Sipil Negara (ASN) atau PNS terutama pejabat Struktural, yang secara kasat mata aktif
dalam mendukung Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
terutama para Paslon dari Petahana.
Orang mulai menghitung-hitung, jika Paslon yang itu menang maka
para Pejabat A, B, C dan D akan tetap pada jabatannya sekarang. Sebaliknya jika
Paslon yang itu kalah maka mereka hampir bisa dipastikan akan non job.
Untuk
mengantisipasi hal itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi dalam beberapa kesempatan mengingatkan
seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk netral dalam pilkada serentak
Desember 2015, dan melarang Kepala
Daerah untuk mengambil keputusan merotasi pejabat sesuka hatinya.
Hal
itu dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Edaran MenPAN-RB nomor
B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan
Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak.
Kemudian
UU No.5/2014 tentang ASN, PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik, akan dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dengan tidak hormat.
Selain
itu, dalam PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS, juga menegaskan bahwa PNS
dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Walaupun larangan PNS terlibat dalam kancah politik dan telah
diatur dengan peraturan perundang-undangan serta himbauan dari MenPAN-RB,
nyatanya hal itu tidak mangkus. PNS secara sukarela, terpaksa dan dipaksa
terseret dan diseret masuk dalam pusaran politik karena dipastikan akan “ada
pesta” usai Pilkada yaitu mutasi/promosi PNS.
Sesungguhnya,
ada suasana dilematis pada para PNS ketika Calon Kepala Daerahnya berasal dari
Petahana. Apalagi jika di daerah tersebut kontestan hanya terdiri dari dua
Paslon yang semula bersatu pecah kongsi kemudian masing-masing mencalonkan diri
sebagai calon kepala daerah.
Mau
pilih siapa dan akan berpihak pada siapa? Keduanya pernah menjadi atasannya,
dan jika salah pilih masa depan karirnya akan terancam, masuk dalam daftar PNS
yang akan dimutasi atau di-non job-kan setelah Pilkada. Secara tak
langsung mereka juga mendapat isyarat ancaman dan intimidasi, dan dari
pengalaman masa lalu sudah banyak bukti PNS yang ikut “berperan” pada pihak
yang menang, akan mendapat imbalan jasa dan balas budi berupa jabatan pada
Mutasi yang dilakukan setelah Pilkada oleh Kepala Daerah (pemenang Pilkada).
Tidak
heran, akhirnya banyak PNS yang berani secara terbuka dan terang-terangan
mendukung Paslon tertentu. Bahkan ada pula yang kebablasan atau sangat
berlebihan dalam bertindak tanduk, cari muka sambil merunduk–runduk. Bekerja
tanpa didasarkan pada “Tupoksi” yang benar melainkan menuruti keinginan sang
penguasa. Melakukan pembelokan fakta kebenaran hanya karena ingin mendapatkan
kekuasaan. Yang hitam dijadikan putih, yang benar bisa menjadi salah, yang
salah bisa tampak benar atau menciptakan kondisi agar semuanya dibuat “Rancak
Di Labuah”, demi sebuah jabatan.
Sebaliknya
PNS yang berada dipihak lain, hanya tinggal menunggu waktu dimatikan karirnya.
Banyak di antara mereka yang berada dipihak yang kalah, langsung mengundurkan
diri, minta pindah ke daerah lain sebelum sanksi mutasi atau non job diberikan
kepadanya.
Mutasi yang dilakukan pasca Pilkada, sulit dibantah memang sarat
dengan kepentingan politik sehingga banyak aturan yang dilanggar. Jelas sekali
bahwa yang menentukan bukan lagi Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan
(Baperjakat) melainkan “keinginan” Kepala Daerah yang berupa balas jasa dan
balas budi dukungan waktu Pilkada.
Istilah “sakali aia gadang sakali tapian barubah” benar-benar
terjadi, bergantinya Kepala Daerah segaligus diikuti pergantian para pejabat
struktural, bahkan sopir dan ajudan pun berganti. Konon, para kepala sekolahpun
berganti terkait Pilkada.
Mutasi/promosi usai
Pilkada inilah yang menjadi biang kegaduhan dan kehancuran birokrasi di daerah.
Kenapa gaduh? Penyebabnya, karena
dilakukan sekaligus dalam jumlah besar. Bagi yang terkena mutasi apalagi
promosi biasanya akan menerimanya, tetapi bagi yang terdemosi (turun
eselon) tidak akan tinggal diam bahkah tidak jarang sampai ke Pengadilan Tata
Usaha Negara. Balas budi dan balas dendam terkait Pilkada yang dibungkus Mutasi
PNS inilah yang sering terjadi di Tanah Air beberapa tahun terakhir.
Bahkan
tidak jarang mutasi/promosi PNS membuat bibit-bibit pecahnya kongsi Kepala
Daerah dengan Wakil Kepala Daerah. Karena terlalu kuatnya dominasi Kepala
Daerah sehingga dia berjalan sendiri dengan tidak melibatkan Wakil Kepala
Daerah dalam proses pengisian jabatan struktural. Hal ini pernah terekspose di
media cetak dan televisi nasional ketika Wakil Gubernur Riau tidak tahu tentang
adanya mutasi dan pelantikan pejabat di lingkungannya bahkan diusir ketika
mencoba mendatangi acara pelantikan tersebut.
Mereka (Kepala Daerah) memang mempunyai kewenangan yang besar terhadap
PNS dilingkungan Pemerintahan Daerahnya, berwenang untuk mengangkat, memutasi,
memberi promosi, menghukum bahkan memberhentikan seorang dari jabatannya. Hal
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 memiliki
kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan PNS dalam jabatan sekaligus
sebagai Pembina bagi PNS di daerahnya.
Tetapi kewenangan itu tidak bisa dilakukan semau-maunya sendiri.
Dan kewenangan itu tidak lah sama dengan “prerogatif” Presiden dalam membentuk
kabinetnya, karena ada aturan
kepegawaian yang harus dipedomani. Dan dalam hal “mengatur” PNS di
lingkungannya Gubernur, Bupati dan Walikota berstatus dan harus bertindak
sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, bukan mengedepankan status sebagai Kepala
Daerah yang notabene adalah jabatan politis.
Sangat disayangkan para Kepala Daerah kita banyak yang
mentang-mentang!, mentang-mentang dengan jabatan Gubernur, Bupati/Walikota-nya
dengan sengaja melanggar aturan kepegawaian dan menyeret-nyeret PNS ke ranah
politik. Menjanjikan jabatan sebagai konpensasi dukungan dalam Pilkada, “jika
saya menang, saya akan mengangkat Sekda dari putra daerah ini”. Tetapi tidak
jarang banyak janji jabatan tersebut tidak dipenuhi sama halnya janji-janji
kampanye lainnya. Dan banyak PNS yang jadi korban PHP atau di PHP-in alias
diberi harapan palsu. Oleh karena itu PNS seharusnya tidak berharap jabatan dan
Netral dalam Pilkada dan selalu menjaga integritasnya dengan bersikap jujur, menjaga komitmen
dan berperilaku konsisten sesuai aturan yang telah ada. Semoga!.
No comments:
Post a Comment