Sunday, December 20, 2015

Peluang Calon Independen

Akhirnya, Makamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan bahwa calon dari Non Partai Politik (Parpol) atau calon independen boleh ikut Pemilihan Kepala Daerah. UU Pemda Pasal 56 ayat (2), 59 ayat (1,2 dan 3) yang mengharuskan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan tertentu dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan MK ini bagi banyak pihak tentu disambut suka-cita, karena tanpa berpolitik dalam arti tidak berhubungan, tidak menjadi anggota/pengurus bahkan tak perlu mendaftar untuk dicalonkan oleh Parpol bisa ikut kegiatan (Politik ) pemilihan kepala pemerintah daerah. Pilkada di Nangro Aceh Darussalam telah memberi contoh, Gubernur dan Wakilnya, serta Bupati dan Wakil bupati terpilih berasal dari calon independen alias bukan dari yang diusulkan Parpol.
Di sisi lain banyak Parpol yang meradang dengan keputsan tersebut. Bagaimana tidak, selama ini Parpol merupakan satu-satunya loket penjualan tiket untuk ikut ajang Pilkada. Partai Golkar dan PDIP sebagai pengusung terbanyak Kepala Daerah menganggap Keputusan Hakim MK tersebut sebagai hal yang aneh ditengah realita sosial Politik.
Ajang lima tahunan tersebut cenderung menjadi lahan bisnis, Parpol seakan hanya berfungsi sebagai mobil rental karena jarang sekali calon yang berasal dari pengurus/anggota Parpol. “penyewa” yang berasal dari luar partai harus membayar ongkos tanda jadi (DP) yang mahal untuk ikut proses sebagai peserta Pilkada. Mereka cenderung menjadi objek pemerasan, sebab “tanda jadi” tersebut baru untuk sebagai pendaftaran calon kepala daerah saja dan belum tentu diterima dan diloloskan menjadi calon yang diajukan dan diikutkan dalam Pilkada.
Terbukanya kesempatan bagi calon independen akan banyak membawa kebaikan, mau tidak mau Parpol harus berbenah dan mempersiapkan kadernya untuk diterjunkan dalam ajang Pilkada. Sebab dukungan Parpol bukan lagi syarat mutlak, karena dengan dukungan Non Parpol pun bisa. Para akademisi, birokrat, pakar, kaum professional dan tokoh masyarakat yang mempunyai popularitas dan selama ini menahan diri, berposisi netral yang tidak menjadi pengurus, anggota dan simpatisan Parpol tentunya akan menjadi lawan tangguh bagi calon-calon dari Parpol.
Calon independen juga akan (diharapkan) mengurangi ongkos politik, tidak harus membeli dukungan atau dengan kata lain tidak mesti menghabiskan atau menghambur-hamburkan uang milyaran rupiah untuk mendapatkan posisi Gubernur, Bupati/Walikota. Karena semakin besar uang diinvestasikan untuk meraih kursi Kepala Pemerintah Daerah Otonom maka semakin banyak APBD yang dialokasikan untuk mengembalikan modal tersebut.
Dengan ‘kado’ dari MK tersebut imej pencalonan menjadi Kepala Daerah hanya boleh diikuti oleh milyader dan hampir tidak ada peluang bagi tokoh berkantong tipis, sekalipun mungkin mereka memiliki komitmen, tekat dan program yang bagus, bisa dihilangkan. Agar persepsi bahwa demokrasi atau politik itu memang mahal, perlu investasi besar, seolah-olah tanpa uang yang banyak demokrasi tidak bisa berjalan adalah keliru. Karena sesungguhnya kita sudah bisa melihat dan merasakan pesta politik dengan biaya murah dan hemat tanpa mengurangi nilai-nilai demokratis yaitu pemilihan Wali Nagari atau dulunya Pilkades. Bukankah Wali Nagari itu berasal dari calon independen yang dipilih secara langsung.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 26 Juli 2007, Hal 1

No comments:

Post a Comment