Akhirnya, Makamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan
bahwa calon dari Non Partai Politik (Parpol) atau calon independen boleh ikut
Pemilihan Kepala Daerah. UU Pemda Pasal 56 ayat (2), 59 ayat (1,2 dan 3) yang
mengharuskan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan
oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan
tertentu dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan MK ini bagi banyak pihak tentu disambut suka-cita,
karena tanpa berpolitik dalam arti tidak berhubungan, tidak menjadi
anggota/pengurus bahkan tak perlu mendaftar untuk dicalonkan oleh Parpol bisa
ikut kegiatan (Politik ) pemilihan kepala pemerintah daerah. Pilkada di Nangro
Aceh Darussalam telah memberi contoh, Gubernur dan Wakilnya, serta Bupati dan
Wakil bupati terpilih berasal dari calon independen alias bukan dari yang
diusulkan Parpol.
Di sisi lain banyak Parpol yang meradang dengan keputsan
tersebut. Bagaimana tidak, selama ini Parpol merupakan satu-satunya loket
penjualan tiket untuk ikut ajang Pilkada. Partai Golkar dan PDIP sebagai
pengusung terbanyak Kepala Daerah menganggap Keputusan Hakim MK tersebut
sebagai hal yang aneh ditengah realita sosial Politik.
Ajang lima tahunan tersebut cenderung menjadi lahan bisnis,
Parpol seakan hanya berfungsi sebagai mobil rental karena jarang sekali calon
yang berasal dari pengurus/anggota Parpol. “penyewa” yang berasal dari luar
partai harus membayar ongkos tanda jadi (DP) yang mahal untuk ikut proses
sebagai peserta Pilkada. Mereka cenderung menjadi objek pemerasan, sebab “tanda
jadi” tersebut baru untuk sebagai pendaftaran calon kepala daerah saja dan
belum tentu diterima dan diloloskan menjadi calon yang diajukan dan diikutkan
dalam Pilkada.
Terbukanya kesempatan bagi calon independen akan banyak
membawa kebaikan, mau tidak mau Parpol harus berbenah dan mempersiapkan
kadernya untuk diterjunkan dalam ajang Pilkada. Sebab dukungan Parpol bukan
lagi syarat mutlak, karena dengan dukungan Non Parpol pun bisa. Para akademisi,
birokrat, pakar, kaum professional dan tokoh masyarakat yang mempunyai popularitas
dan selama ini menahan diri, berposisi netral yang tidak menjadi pengurus,
anggota dan simpatisan Parpol tentunya akan menjadi lawan tangguh bagi
calon-calon dari Parpol.
Calon independen juga akan (diharapkan) mengurangi ongkos
politik, tidak harus membeli dukungan atau dengan kata lain tidak mesti
menghabiskan atau menghambur-hamburkan uang milyaran rupiah untuk mendapatkan
posisi Gubernur, Bupati/Walikota. Karena semakin besar uang diinvestasikan
untuk meraih kursi Kepala Pemerintah Daerah Otonom maka semakin banyak APBD
yang dialokasikan untuk mengembalikan modal tersebut.
Dengan ‘kado’ dari MK tersebut imej pencalonan menjadi Kepala
Daerah hanya boleh diikuti oleh milyader dan hampir tidak ada peluang bagi
tokoh berkantong tipis, sekalipun mungkin mereka memiliki komitmen, tekat dan
program yang bagus, bisa dihilangkan. Agar persepsi bahwa demokrasi atau
politik itu memang mahal, perlu investasi besar, seolah-olah tanpa uang yang
banyak demokrasi tidak bisa berjalan adalah keliru. Karena sesungguhnya kita
sudah bisa melihat dan merasakan pesta politik dengan biaya murah dan hemat
tanpa mengurangi nilai-nilai demokratis yaitu pemilihan Wali Nagari atau
dulunya Pilkades. Bukankah Wali Nagari itu berasal dari calon independen yang
dipilih secara langsung.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan, Kamis tanggal 26 Juli
2007, Hal 1
No comments:
Post a Comment