Mutasi yang ditunggn-tunggu datang juga, sebanyak 32 pejabat
eselon II Provinsi Sumatra Barat telah dilantik oleh Gunawan Fauzi, selasa 28
Agustus 2007 kemarin. Kasak-kusuk, bisik-bisik dan spekulasi siapa menggeser
siapa, yang naik kelas atau non job jelas sudah. “Aia gadang” itu juga
akan mengakibatkan “galodo”, karena
mutasi tersebut ibarat lokomotif yang menarik gerbong di belakangnya, atau
dengan kata lain juga akan terjadi mutasi promosi susulan untuk mengisi jabatan
yang ditinggalkan pejabat yang naik kelas. Gunawan Fauzi dan Marlis Rahman
(Gama) berencana mempersiapkan kontrak kerja dengan para Anggota Kabinet
barunya, kalau dalam enam bulan berkinerja bagus “go ahead”, kalau tidak belum
akan dapat tempat.
Banyak yang memuji langkah Gama merekrut 3 (tiga) pejabat
dari daerah (Kabupaten) untuk ikut berkiprah di Pemerintahan Provinsi. Walau
pun bukan hal yang baru, tetapi langkah kali ini cenderung bermakna karena para
pejabat tersebut sebelumnya “hanya” Eselon II-b di kabupaten. Langkah ini
mungkin “meniru” apa yang dilakukan Presiden ketika mengangkat Pejabat Daerah
(Gubernur) jadi Menteri.
Satu hal yang mungkin terlupakan adalah “kapasitas”
Sekretaris Daerah (Sekda) dalam proses mutasi promosi pejabat struktural
tersebut. Hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah kabupaten/kota bahkan di
seluruh Indonesia. Pertanyaanya, siapa
sesungguhnya yang punya hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan pejabat
struktural? Gubernur, Bupati/Walikota atau Sekda?
Pada saat ini masih terdapat kerancuan mengenai siapa Pembina
kepegawaian di Daerah. Dalam Pasal 30 UU No. 32 Tahun 2004 (UU Pemda)
dinyatakan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan
eselon II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur. Jika pasal
ini yang dijadikan dasar, jelas Gubernur atau kepala Daerah yang punya Hak
Prerogatif, seperti Hak Prerogatif Presidan dalam mengangkat dan memberhentikan
Mentri.
Tetapi prinsip lain yang dianut UU pemda tersebut adalah
memberikan suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara pejabat
politik dan pejabat karier baik mengenai tata cara rekruitmennya maupun kedudukan,
tugas, wewenag, fungsi dan pembinaannya. Berdasarkan prinsip dimaksud maka
pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada Pemerintah
Daerah. Untuk itu seharusnya Sekda sebagai pejabat Struktural tertinggi atas
nama pemerintah pusat bertanggung jawab sebagai Pembina Kepegawaian di
daeahnya.
Adalah tidak logis jika Kepala Daerah yang notabene pejabat
politis membina pejabat karier karena bagaimanapun juga sangat sulit untuk
menghindari nuansa politis dalam setiap kebijakannya.
Hendaknya hal ini jadi wacana kita semua, bahwa perlu
ketegasan perbedaan dan pemisahan antara jabatan karier dengan jabatan politis,
agar Kepala Daerah tidak terjebak seperti layaknya seorang Presiden ketika
mengangkat/memberhentikan Mentri, karena Menteri bukanlah jabatan karier
seperti halnya jabatan Sruktural bagi PNS. Juga, supaya kapasitas dan posisi
Sekda sebagai Top Career di daerah bisa lebih “terlihat”, bukan lagi sekedar
tukang paraf.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan, Jum’at tanggal 31
Agustus 2007, Hal 1
No comments:
Post a Comment