Sunday, December 20, 2015

Mutasi, Prerogatif Siapa?

Mutasi yang ditunggn-tunggu datang juga, sebanyak 32 pejabat eselon II Provinsi Sumatra Barat telah dilantik oleh Gunawan Fauzi, selasa 28 Agustus 2007 kemarin. Kasak-kusuk, bisik-bisik dan spekulasi siapa menggeser siapa, yang naik kelas atau non job jelas sudah. “Aia gadang” itu juga akan  mengakibatkan “galodo”, karena mutasi tersebut ibarat lokomotif yang menarik gerbong di belakangnya, atau dengan kata lain juga akan terjadi mutasi promosi susulan untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan pejabat yang naik kelas. Gunawan Fauzi dan Marlis Rahman (Gama) berencana mempersiapkan kontrak kerja dengan para Anggota Kabinet barunya, kalau dalam enam bulan berkinerja bagus “go ahead”, kalau tidak belum akan dapat tempat.
Banyak yang memuji langkah Gama merekrut 3 (tiga) pejabat dari daerah (Kabupaten) untuk ikut berkiprah di Pemerintahan Provinsi. Walau pun bukan hal yang baru, tetapi langkah kali ini cenderung bermakna karena para pejabat tersebut sebelumnya “hanya” Eselon II-b di kabupaten. Langkah ini mungkin “meniru” apa yang dilakukan Presiden ketika mengangkat Pejabat Daerah (Gubernur) jadi Menteri.
Satu hal yang mungkin terlupakan adalah “kapasitas” Sekretaris Daerah (Sekda) dalam proses mutasi promosi pejabat struktural tersebut. Hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah kabupaten/kota bahkan di seluruh Indonesia. Pertanyaanya,  siapa sesungguhnya yang punya hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan pejabat struktural? Gubernur, Bupati/Walikota atau Sekda?
Pada saat ini masih terdapat kerancuan mengenai siapa Pembina kepegawaian di Daerah. Dalam Pasal 30 UU No. 32 Tahun 2004 (UU Pemda) dinyatakan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur. Jika pasal ini yang dijadikan dasar, jelas Gubernur atau kepala Daerah yang punya Hak Prerogatif, seperti Hak Prerogatif Presidan dalam mengangkat dan memberhentikan Mentri.
Tetapi prinsip lain yang dianut UU pemda tersebut adalah memberikan suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier baik mengenai tata cara rekruitmennya maupun kedudukan, tugas, wewenag, fungsi dan pembinaannya. Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada Pemerintah Daerah. Untuk itu seharusnya Sekda sebagai pejabat Struktural tertinggi atas nama pemerintah pusat bertanggung jawab sebagai Pembina Kepegawaian di daeahnya.
Adalah tidak logis jika Kepala Daerah yang notabene pejabat politis membina pejabat karier karena bagaimanapun juga sangat sulit untuk menghindari nuansa politis dalam setiap kebijakannya.
Hendaknya hal ini jadi wacana kita semua, bahwa perlu ketegasan perbedaan dan pemisahan antara jabatan karier dengan jabatan politis, agar Kepala Daerah tidak terjebak seperti layaknya seorang Presiden ketika mengangkat/memberhentikan Mentri, karena Menteri bukanlah jabatan karier seperti halnya jabatan Sruktural bagi PNS. Juga, supaya kapasitas dan posisi Sekda sebagai Top Career di daerah bisa lebih “terlihat”, bukan lagi sekedar tukang paraf.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Jum’at tanggal 31 Agustus 2007, Hal 1

No comments:

Post a Comment