Oleh para pejajar dan siswa keberhasilam melewati UN disikapi
dengan coret-coret seragam dan ramai-ramai raun sabalik. Bagi mereka lulus UN
berarti sama dengan Santiang alias pintar, dan selanjutnya mereka akan
memperoleh tanda lulus atau Sertifikat Tanda Tidak Bodoh.
Secara nasional tahun ini kita berhasil meningkatkan
presentase tidngkat kelulusan bahkan meraih sederet mendali olimpiade adu
pintar se-dunia tetapi disisi lain terjadi juga peningkatan ulah cabul yang
dilakukan anak-anak berseragam sekolah.
Begitu juga di Sumatera Barat, kita mempunyai citra
pendidikan yang bagus tetapi belakagnan kita juga disuguhi berita tentang
bobroknya mental dan pelaku para peserta didik, rekaman mesum mahasiswa pada
salah satu hotel di kota Padang, atau ulah cabul tiga anak SMA beseragam Pramuka
di atas mobil, atau berita sepasang mahasiswa yang ditangkap basah warga di
tempat kosnya, dan yang lebih tragis kasus kriminal anak SMA yang dibunuh pacar
Satu sekolah karena hamil. Hal ini bukti kegagalan kita melakukan Character
Bulding di Ranah yang dikenal sangat religius dan beradat.
Mengelola pendidikan tidak cukup dianggap sebagai tugas
semata tetapi lebih dari itu yakni Responbility, tanggungjawab yang tidak
selesai meskipun 100% lulus UN. Apapun lah namanya, Ujian Akhir, EBTANAS, UAN
atau UN seharusnya menjadi tolak ukur kemampuan kita menyiapkan generasi muda
yang cerdas agar nantinya menjadi urang nan bataratik (professional, religius
dan beradat) yang tidak canggung hidup di rantau dan tak gagap ketika teknologi
kian canggih.
Tolak ukur, apakah para penyelenggara pendidikan telah
menyelengarakan pendidikan dengan benar, guru misalnya apakah terlah benar
dalam mendidik mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi pelajar dan siswanya, apakah pemerintah (termasuk Pemda cq Dinas
Pendidikan) telah jujur melaksanakan fungsi eksekutif, atau hanya sekedar
menghabiskan besarnya uang anggaran pendidikan, pitih abih utang tak lansai!
Menurut penjelasan Pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas, kompetensi
kelulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif)
pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik). Bagi peserta didik,
lulus UN sesungguhnya baru tahap awal larena ujian sesungguhnya adalah ketika
telah berada di tengah-tengah masyarakat, apakah ilmu yang didapat di bangku
sekolah bisa dikonversi sebagai modal mereka untuk menjadi manusia yang berguna
bagi orang tua, Nusa dan Bangsa.
Keberhasilan maupun kegagalan peserta didik dalah cerminan
kita, mereka akan mencontoh dan meniru perilaku serta menerima ataupun ilmu
yang kita berikan misalnya jika kita biasa mengutip iuran maka kelak mereka
akan terbiasa melakukan pungutan, jika guru ber-HP ria ketika sedang mengajar
maka merekapun lebih pintar memanfaatkan HP.
Adalah wajar ketika ada diantara mereka yang berprestasi
juara kita berebut klaim, o.. dia itu
murid saya! Bahkan memang sudah seharusnya Pak Bubernur memberikan reward
untuk 44 orang siswa yang nengantongi nilai tertinggi pada UN kemarin. Dan
tentunya ketika mereka berbuat salah, kita pun tidak boleh memalingkan atau
menutup muka karena apabila kita kencing berdiri, maka akan kencing sambil
berlari.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan, Sabtu tanggal 27 Juni
2007, Hal 1
No comments:
Post a Comment