Sunday, December 20, 2015

Kita Gagal UN!

Kenaikan peringkat ataupun presentase kelulusan Ujian Nasional (UN) disikapi otoritas pendidik di daerah ini sebagai parameter hasil pendidikan. Banyak sorak sorai, puja-puji dan ucapan selamat ketika melihat daerah atau sekolahnya berada di rangking atas daftar presentase kelulusan.
Oleh para pejajar dan siswa keberhasilam melewati UN disikapi dengan coret-coret seragam dan ramai-ramai raun sabalik. Bagi mereka lulus UN berarti sama dengan Santiang alias pintar, dan selanjutnya mereka akan memperoleh tanda lulus atau Sertifikat Tanda Tidak Bodoh.
Secara nasional tahun ini kita berhasil meningkatkan presentase tidngkat kelulusan bahkan meraih sederet mendali olimpiade adu pintar se-dunia tetapi disisi lain terjadi juga peningkatan ulah cabul yang dilakukan anak-anak berseragam sekolah.
Begitu juga di Sumatera Barat, kita mempunyai citra pendidikan yang bagus tetapi belakagnan kita juga disuguhi berita tentang bobroknya mental dan pelaku para peserta didik, rekaman mesum mahasiswa pada salah satu hotel di kota Padang, atau ulah cabul tiga anak SMA beseragam Pramuka di atas mobil, atau berita sepasang mahasiswa yang ditangkap basah warga di tempat kosnya, dan yang lebih tragis kasus kriminal anak SMA yang dibunuh pacar Satu sekolah karena hamil. Hal ini bukti kegagalan kita melakukan Character Bulding di Ranah yang dikenal sangat religius dan beradat.
Mengelola pendidikan tidak cukup dianggap sebagai tugas semata tetapi lebih dari itu yakni Responbility, tanggungjawab yang tidak selesai meskipun 100% lulus UN. Apapun lah namanya, Ujian Akhir, EBTANAS, UAN atau UN seharusnya menjadi tolak ukur kemampuan kita menyiapkan generasi muda yang cerdas agar nantinya menjadi urang nan bataratik (professional, religius dan beradat) yang tidak canggung hidup di rantau dan tak gagap ketika teknologi kian canggih.
Tolak ukur, apakah para penyelenggara pendidikan telah menyelengarakan pendidikan dengan benar, guru misalnya apakah terlah benar dalam mendidik mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi pelajar dan siswanya, apakah pemerintah (termasuk Pemda cq Dinas Pendidikan) telah jujur melaksanakan fungsi eksekutif, atau hanya sekedar menghabiskan besarnya uang anggaran pendidikan, pitih abih utang tak lansai!
Menurut penjelasan Pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas, kompetensi kelulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif) pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik). Bagi peserta didik, lulus UN sesungguhnya baru tahap awal larena ujian sesungguhnya adalah ketika telah berada di tengah-tengah masyarakat, apakah ilmu yang didapat di bangku sekolah bisa dikonversi sebagai modal mereka untuk menjadi manusia yang berguna bagi orang tua, Nusa dan Bangsa.
Keberhasilan maupun kegagalan peserta didik dalah cerminan kita, mereka akan mencontoh dan meniru perilaku serta menerima ataupun ilmu yang kita berikan misalnya jika kita biasa mengutip iuran maka kelak mereka akan terbiasa melakukan pungutan, jika guru ber-HP ria ketika sedang mengajar maka merekapun lebih pintar memanfaatkan HP.
Adalah wajar ketika ada diantara mereka yang berprestasi juara kita berebut klaim, o.. dia itu murid saya! Bahkan memang sudah seharusnya Pak Bubernur memberikan reward untuk 44 orang siswa yang nengantongi nilai tertinggi pada UN kemarin. Dan tentunya ketika mereka berbuat salah, kita pun tidak boleh memalingkan atau menutup muka karena apabila kita kencing berdiri, maka akan kencing sambil berlari.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Sabtu tanggal 27 Juni 2007, Hal 1

No comments:

Post a Comment