Kemungkinan turunnya Anggaran Pendidikan dari 11,8% pada APBN
2007 menjadi hanya 9,8% pada APBN 2008, membuktikan bahwa tidak adanya
kepedulian otoritas Negara terhadap Bangsa ini. Di samping itu sekaligus
membuktikan bahwa penyelenggaraan pemerintah tidak “menghargai” konstitusi,
karena sebelumnya Makamah Konstitusi (MK) telah menvonis APBN 2007 melanggar
Pasal 31 UUD 1945 yang mewajibkan 20% dari APBN dialokasikan untuk pendidikan.
Jika kita renungkan lebih dalam, keinginan para Faunding
Father Republik Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kesejahteraan umum yang telah diwasiatkan dalam mukadimah UUD 1945 masih
laksana cita-cita yang tergantung di langit tinggi.
Bukankah rahasia, jika Alokasi Anggaran Pendidikan yang
terdapat dalam APBN muapun APBD selama ini adalah Anggaran untuk Departemen
atau Dinas/Kantor Pendidikan. Yang jika dilihat, lebih dari setengahnya
dipergunakan untuk belanja Pegawai seperti untuk gaji, tunjangan, honor dan
perjalanan dinas, sisanya untuk belanja barang dan jasa. Sedangkan jumlah uang
yang dipergunakan dan berhubungan
langsung atau memberi efek bagi kemajuan pendidikan hanyalah sebagian kecil
saja. Padahal, dalam UU 20/2003 (UU Sisdiknas) ditegaskan bahwa yang dimaksud
dana pendidikan itu tidak termasuk gaji pendidikan dan biaya pendidikan
kedinasan.
Ketika MK menyatakan APBN 2007 yang diundangkan dengan nomor
18 Tahun 2006 melanggar Konstitusi, otomatis seluruh APBD tahun 2007 yang telah
di-Perda-kan juga telah menyalahi PerturanPerundang-Undangan yang masih berlaku karena dalam konsiderannya
pada dictum mengingat mencantumkan UU APBN, kecuali yang meanggarkan 20 persen
atau lebih untuk kemajuan pendidikan di daerahnya.
Bukan itu saja, mentang-mentang ada lagunya, kita cenderung
kurang menghargai jasa para Guru dengan memberikan gaji dan tunjangan serta
fasilitas yang minim. Kita memujinya sebagai pahlawan tetapi dengan tega tidak
memberikan imbalan atau tanda jasa padahal guru adalah profesi yang mestinya
dihargai dan diposisikan sebagai mana aparatur pemerintah lainnya seperti
Dokter, TNI, Polri, Jaksa dan lain-lain.
Mudah-mudahan kita masih sadar dan mempercayai, “bahwa faktor
utama penyebab kemiskinan adalah karena rendahnya ilmu pengetahuan yang
dimiliki, dan solusi terbaik mengatasi kemiskinan adalah dengan cara
meningkatkan pendidikan.”
Akhirnya, kepala Gubernur, Bupati atau Walikota beserta DPRD
yang memegang otoritas untuk menyusun, merancang hingga mengesahkan APBD, kita
do’a kan tidak berpengaruh dan ikut-ikutan menurunkan Alokasi Anggaran untuk
pendidikan di daerah ini sebagaimana yang diindikasikan oleh Pemerintah Pusat,
supaya cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekedar mimpi. Semoga!
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan, Kamis tanggal 9
Agustus 2007, Hal 1
No comments:
Post a Comment