Heboh tertangkap tangannya Irawady Joenoes Anggota Komisi
Yudisial (KY) oleh Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin
mempertegas bahwa di Negara kita praktek suap dan korupsi sudah menjadi budaya
yang “tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan”. Korupsi bukan dianggap
perbuatan yang memalukan, sanksi hukum yang disiapkan untuk para Koruptor tidak
membuat banyak orang takut untuk melakukan perbuatan maling tersebut.
Kita hampir tak pernah istirahat untuk terus membaca dan
menyimak berita kasus-kasus korupsi. Belum reda tudingan PBB terhadap mantan
Presidan Soeharto yang menguasai asset negara kita antara 15-35 Milyar Dolar AS
atau Rp. 135-315 Triliyun!, kita dikejutkan lagi dengan dugaan uang suap
sebesar Rp. 600 juta + 30 ribu Dolar AS yang diterima oleh Irwady Joenoes yang
bertugas sebagai Pengawas Kinerja Hakim dengan jabatan Koordinator Bidang
Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim.
Dan kita tentunya juga masih ingat kasus para perwira tinggi
Mabes Polri yang menerima uang suap sebesar Rp. 500 juta dari Adrian Woworuntu tersangka
korupsi penilapan dana BNI senilai Rp. 1.2 triliun. Atau kasus Mulyana W
Kusumah anggota KPU yang tertangkap tangan ketika menyuap Hariansyah staf
auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp. 150 juta. Disamping
“kasus-kasus super suap” tersebut, setiap hari kita bisa melihat dengan kasat
mata pratek suap menyuap di sekeliling kita, bisa dikatakan tidak ada satu
urusan pun yang terbebas dari suap. Dan sangatlah sulit mencari orang yang
tidak pernah ikut pratek suap menyuap,
kecuali (mungkin) bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil dan tidak pernah
berurusan birokrasi.
Dari kebiasaan memberikan imbalan uang atau benda kepada
pihak tertentu agar urusannya di permudah inilah lingkaran setan korupsi
menjadi budaya. Seorang yang memberi suap ketika menjadi pegawai/aparat dan
menyuap untuk dapat jabatan, akan meminta imbalan ketika menjalankan tugasnya.
Atau calon Kepala Daerah yang membayar rakyat untuk memilihnya, ketika terpilih
akan berusaha mengembalikan modal politiknya. Selanjutnya untuk mengamankan
posisi; bawahan memberikan setoran (suap) ke atasannya, Eksekutif menyuap
Legislatif, Polisi, Jaksa, KPK, BPK, dan lain-lain, sehingga terjadilah apa yang
di sebut dengan korupsi atau pencuri uang Negara, yang seharusnya menjadi hak
rakyat ternyata masuk kedalam saku, tas dan rekening pribadi.
Secara sistem hukum dan administari publik kita telah
mempunyai institusi dan regulasi yang mendukung pemberantasan pratek suap dan
korupsi. Kita banyak punya lembaga pengawasan mulai dari Bawasda di tingkat
daerah sampai KPK di tingkat pusat, kita
juga punya puluhan peraturan perundang-undang yang “ anti korupsi”. Kini
tinggal masalah perilaku, budaya dan kebiasaan melakukan suap menyuap, yang
juga telah sampai ke daerah kita
sehingga ada yang mengartikan Sumbar “Semua Urusan Mesti Bayar”. Untuk itu
diperlukan komitmen kita secara bersama-sama menegakkan dan mengembalikan
moralitas sebagai umat yang beragama dan masyarakat yang beradat sebagai dasar
motivasi, inspirasi dan pedoman dalam langkah memberantas budaya suap menyuap
maupun korupsi. Malu awak Pak!, kalau daerah yang dijuluki Serambi Mekkah,
Daerah Madani atau ditengah-tengah masyarakat yang terkenal adat istiadatnya
ternyata perilaku suap menyuap juga telah membudaya.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan, Senin tanggal 1
Oktober 2007, Hal 1
No comments:
Post a Comment