Sunday, December 20, 2015

Budaya Suap Menyuap

Heboh tertangkap tangannya Irawady Joenoes Anggota Komisi Yudisial (KY) oleh Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin mempertegas bahwa di Negara kita praktek suap dan korupsi sudah menjadi budaya yang “tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan”. Korupsi bukan dianggap perbuatan yang memalukan, sanksi hukum yang disiapkan untuk para Koruptor tidak membuat banyak orang takut untuk melakukan perbuatan maling tersebut.
Kita hampir tak pernah istirahat untuk terus membaca dan menyimak berita kasus-kasus korupsi. Belum reda tudingan PBB terhadap mantan Presidan Soeharto yang menguasai asset negara kita antara 15-35 Milyar Dolar AS atau Rp. 135-315 Triliyun!, kita dikejutkan lagi dengan dugaan uang suap sebesar Rp. 600 juta + 30 ribu Dolar AS yang diterima oleh Irwady Joenoes yang bertugas sebagai Pengawas Kinerja Hakim dengan jabatan Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim.
Dan kita tentunya juga masih ingat kasus para perwira tinggi Mabes Polri yang menerima uang suap sebesar Rp. 500 juta dari Adrian Woworuntu tersangka korupsi penilapan dana BNI senilai Rp. 1.2 triliun. Atau kasus Mulyana W Kusumah anggota KPU yang tertangkap tangan ketika menyuap Hariansyah staf auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp. 150 juta. Disamping “kasus-kasus super suap” tersebut, setiap hari kita bisa melihat dengan kasat mata pratek suap menyuap di sekeliling kita, bisa dikatakan tidak ada satu urusan pun yang terbebas dari suap. Dan sangatlah sulit mencari orang yang tidak pernah ikut pratek suap  menyuap, kecuali (mungkin) bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil dan tidak pernah berurusan birokrasi.
Dari kebiasaan memberikan imbalan uang atau benda kepada pihak tertentu agar urusannya di permudah inilah lingkaran setan korupsi menjadi budaya. Seorang yang memberi suap ketika menjadi pegawai/aparat dan menyuap untuk dapat jabatan, akan meminta imbalan ketika menjalankan tugasnya. Atau calon Kepala Daerah yang membayar rakyat untuk memilihnya, ketika terpilih akan berusaha mengembalikan modal politiknya. Selanjutnya untuk mengamankan posisi; bawahan memberikan setoran (suap) ke atasannya, Eksekutif menyuap Legislatif, Polisi, Jaksa, KPK, BPK, dan lain-lain, sehingga terjadilah apa yang di sebut dengan korupsi atau pencuri uang Negara, yang seharusnya menjadi hak rakyat ternyata masuk kedalam saku, tas dan rekening pribadi.
Secara sistem hukum dan administari publik kita telah mempunyai institusi dan regulasi yang mendukung pemberantasan pratek suap dan korupsi. Kita banyak punya lembaga pengawasan mulai dari Bawasda di tingkat daerah sampai  KPK di tingkat pusat, kita juga punya puluhan peraturan perundang-undang yang “ anti korupsi”. Kini tinggal masalah perilaku, budaya dan kebiasaan melakukan suap menyuap, yang juga telah  sampai ke daerah kita sehingga ada yang mengartikan Sumbar “Semua Urusan Mesti Bayar”. Untuk itu diperlukan komitmen kita secara bersama-sama menegakkan dan mengembalikan moralitas sebagai umat yang beragama dan masyarakat yang beradat sebagai dasar motivasi, inspirasi dan pedoman dalam langkah memberantas budaya suap menyuap maupun korupsi. Malu awak Pak!, kalau daerah yang dijuluki Serambi Mekkah, Daerah Madani atau ditengah-tengah masyarakat yang terkenal adat istiadatnya ternyata perilaku suap menyuap juga telah membudaya.    

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Senin tanggal 1 Oktober 2007, Hal 1

No comments:

Post a Comment