Salah satu kejahatan yang diancam dengan hukuman mati adalah
pembuhuhan berencana sebagaiman dinyatakan dalam pasal 340 KUHP “barang siapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Unsur rencana adalah adanya
tenggang waktu pendek atau panjang dalam mana dilakukan pertimbangan dan
pemikiran yang tenang, pelaku juga dapat memperhitungkan makna dan
akibat-akibat perbuatannya dalam suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk
berpikir (arrest Hoge Reaad 22 maret 1909).
Belakangan warga Sumatera Barat disuguhkan dengan berita
terungkapnya kasus-kasus korupsi hampir di setiap daerah Kabupten/Kota;
Kabupaten Agam dengan kasus GNHRI. Pasaman dengan kasus Bantuan Depsos, Tanah
Datar dengan kasus bagi-bagi Bunga Deposito, Lima Puluh Kota dengan Kasus
Pinjam dari Pihak ke-tiga dan kasus-kasus lainnya. Pemunculan kasus-kasus
tersebut dilanjutkan dengan langkah progesif pihak Kejaksaan dengan menahan
para pelaku, tercatat mulai dari Kepala Dinas hingga Mantan Bupati meringkuk
dalam tahanan. Kasus demi kasus tampaknya akan terus bergulir seakan tiada
kendali, tanpa pandang bulu Bupati, Sekretaris Daerah, Eselon II, bendahara
rutin bahkan staf-pun tak akan luput dari jerat korupsi.
Korupsi berasal dari kata Latin Corruption (kata kerjanya
corrumpere) berarti pengrusakan, penghancuran, penyuapan. Tidak ada kata lain
didunia ini yang hanya bermakna negatif sebagaimana kata korupsi. Korupsi
seperti virus penyakit epidemi yang menular bahkan merasuk ke seluruh aspek
kehidupan, bukan hanya di eksekutif, legislatif, yudikatif, sektor swasta
bahkan institusi militerpun dijangkiti oleh penyakit korupsi.
Dilihat dari jumlah nominal dari kasus korupsi yang terungkap
Sumatera Barat belakangan adalah “sangat kecil” jika dibandingan dengan jumlah
nominal hasil korupsi yang luput atau belum disentuh penyidik, yaitu korupsi
secara struktural, sistematis dan terencana. Berlabel Peraturan Daerah atau Keputusan
Gubernur/Bupati/Walikota hampir disetiap daerah telah terjadi pengerogotan dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui belanja pegawai.
Pengadaan barang dan jasa, tunjangan daerah, kegiatan kepanitiaan dan lain-lain
itu terjadi sesaat data menunjukan tingginya jumlah rakyat dan keluarga miskin
di Ranah Minang ini.
Indikasi korupsi secara sitematis dan berencana ini dapat
dilihat dengan disyahkannya seluruh ABPD Kabupaten/Kota di Sumatera Barat yang
rata-rata sebesar Rp. 500 Milyar, tidak satupun ABPD Kabupaten/Kota yang
belanja publiknya lebih besar dari belanja pegawai. Rata-rata 70 persen dari
keseluruhan dana APBD dipergunakan untuk Belanja Pegawai, sisanya untuk belanja
Barang dan Jasa, Bantuan Keuangan, Bantuan Sosial dan Lain-lain. Kalau
dicermati lebih dalam, anggaran yang langsung menyentuh masyarakat baik berupa
pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial sangat kecil jumlahnya tidak
mencapai 10 persen!
Yang paling berpesta pora dalam korupsi berencana adalah para
pembuat keputusan, Bupati/Wakil Bupati, Sekda, Pejabat Eselon II (Kepala
Dinas). Dari hitung-hitungan kasar kita bisa mengetahui betapa lapok-lapaknya
mereka. Kita ambil contoh seorang kepala Dinas atau pejabat eselon II yang
mempunyai golongan kepangkatan IV/a, disamping gaji pokok, tunjangan keluarga
dan tunjangan beras yang berkisar Rp. 2 juta, setiap bulan juga menerima
tunjangan jabatan Rp. 1,5 juta, uang makan R. 10.000/hari (sebulan sekitar Rp.
200 ribu), sebuah mobil plat merah berikut seorang sopir plus BBM perhari
sebesar Rp. 100 ribu berikutnya dangan perencanaan yang matang juga melakukan
perjalanan dinas luar kota 10 hari X Rp. 300 ribu (sebulan Rp. 3 juta)
tunjangan beban kerja (tunjnganan daerah) Rp.2 juta sebagai penanggung jawab
kegiatan Rpi. 300 ribu, penanggung jawab anggaran Rp.300 ribu, sehingga take
home pay pejabat eselon II setiap bulan nya tidak kurang dari 7,5 juta rupiah
tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi ketempat kerja dan tagian telepon.
Apalagi kalau dihitung pemasukan seorang Bupati/Walikota, disamping menerima
dana taktis, tunjangan kesehatan, tunjangan pakaian masih juga pada posisi
pertama dan tertinggi menerima Tunjangan Daerah!. Hal tersebut adalah
penghasilan-penghasilan yang ilegal dan syah karena telah ada payung hukumnya baik
Peraturan Menteri Keuangan maupun Perda atau Keputusan Kepala Daerah.
Jika semua penghasilan tersebut ada Perda dan Keputusan
Bupati/Walikotanya lantas dimana letak korupsi berencana-nya? Hal ini lah yang
penting untuk kita ketahui dan telaah dengan cermat, Prof. Mr.Dr. L.J. Van
Apeldoom dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum terbitan PT. Pradnya Paramita
mengatakan “Juris praecepta sunt
haec:honeste vivere, alterum non laedere, sun cuique trubuere” yang artinya
peraturan dasar dari hukum adalah hidup dengan patut, tak merugikan orang lain
dan memberikan pada orang lain apa yang menjadi haknya. Sejalan dengan
pemikiran ilmuwan Belanda tersebut, adanya pemerintahan adalah untuk
menyelenggarakan pembangunan disetiap sendi kehidupan untuk mencapai tujuan
masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Lapi pula,
hakikatnya Otonomi daerah mengemban misi tanggung jawab pembangunan untuk
mensejaterahkan masyarakat di daerahnya masing-masing. Sejak otonomi daerah
mulai dilaksanakan pada Januari tahun 2001 juga dilaksanakan kebijakan
desentralisasi fiskal yang membawa perubahan peta pengelolaan fiskal sehingga
uang yang berputar tidak lagi terpusat di Jakarta dan pada gilirannya ada
perbaikan perekonomian rakyat. Untuk itu Pemerintah dalam hal ini Bupati/Walikota
beserta jajarannya bersama-sama DPRD diberi wewenang menyusun dan mengesahkan
APBD. Kenyataan yang kita lihat saat ini adalah Bupati/Walikota bersama-sama
DPRD dengan secara sadar dan terencana merancang dan mengesahkan serta
menghabiskan APBB, yang jelas-jelas tidak berdampak banyak untuk kesejaterahan
masyarakat, tidak berdampak banyak untuk mengatasi kebodohan dan kemiskinan.
Mungkin di Sumatera Barat yang kita cintai sangat jarang ada
orang mati karena tidak makan, tetapi banyak orang mati bunuh diri karenan
masalah ekonomi, karena beratnya resiko bertahan untuk hidup atau mencari upah
untuk makan sangat gampang untuk dilihat, rumah-rumah penduduk yang masih
berlantai tanah, berdinding bambu dan beratap rumbia, rumah penduduk di daerah
rawan bencana sangat banyak pada Kabupaten / Kota. Tidakkah disadari bahwa hal
tesebut langsung maupun tidak langsung telah dengan sengaja dan terencana
mencabut kesempatan hidup orang lain, atau dengan kalimat halus dengan sengaja
membiarkan orang lain dalam resiko kematian. Di sini kita melihat bahwa
mentalitas yang lemah pejabat kita karena tidak memiliki sensilibilitas
terhadap kondisi di sekitarnya misalnya masih banyaknya keluarga miskin di
daerahnya atau nasib pegawai/staf rendahan yang berada di bawahnya.
Berpedoman pada pasal 340 KUHP, karena APBD tersebut
nyata-nyata dirancang, dibuat dan disusun tetapi tidak berpihak kepada kondisi
masyarakat saat ini dililit kemiskinan, lantas disyahkan dan dipakai juga maka
unsur menghilangkan nyawa (kesempatan hidup), dengan rencana dan sengaja
terpenuhi. Dan para pejabat yang bertanggung jawab dalam proses pembuatan
hingga pengesahan APBD terseut pantas diberi hukuman mati.
Awalnya kita optimis dengan berbagai upaya telah dilakukan
untuk mengatasi Korupsi, membuat undang-undang Tidank Pidana Korupsi,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), membentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), di samping Perangkat-perangkat yang telah ada
seperti KUHP, Kejaksaan, Polisi, Peradilan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
bahkan disetiap daerah juga telah ada Badan Pengawas Daerah atau Inspektorat,
Tetapi, mengapa belum juga bisa mewujudkan pemberantasan korupsi secara nyata
dengan langkah-langkah secara tegas dan tidak pandang bulu. Apakah perangkatnya
kurang ? tidak. Apakah tidak ada tauladan? juga tidak, karena kita pernah punya
Muhammad Hatta yang hidup sederhana walau dia seorang Proklamator dan Wakil
Presiden.
Atau mungkinkah kita memerlukan sosok Zhu Rongji yang
terkenal karena ketika menjadi Perdana Menteri Cina berhasil menjadikan Cina
sebagai Negara paling aman untuk berinvestasi dengan memesan 100 peti mati
(salah satu untuk dirinya sendiri) untuk pejabat pemerintah Cina yang terbukti
melakukan korupsi?.
Entahlah, yang jelas pelaku korupsi harus dihukum berat, apalagi
para pelaku yang melakukan korupsi secara sistematis dan terencana sangat
pantas untuk dihukum mati.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan, edisi Kamis tanggal 10 Mei
2007, Hal 5
No comments:
Post a Comment