Sunday, December 20, 2015

Hukuman Mati Untuk Pelaku Korupsi Berencana

Salah satu kejahatan yang diancam dengan hukuman mati adalah pembuhuhan berencana sebagaiman dinyatakan dalam pasal 340 KUHP “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Unsur rencana adalah adanya tenggang waktu pendek atau panjang dalam mana dilakukan pertimbangan dan pemikiran yang tenang, pelaku juga dapat memperhitungkan makna dan akibat-akibat perbuatannya dalam suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk berpikir (arrest Hoge Reaad 22 maret 1909).
Belakangan warga Sumatera Barat disuguhkan dengan berita terungkapnya kasus-kasus korupsi hampir di setiap daerah Kabupten/Kota; Kabupaten Agam dengan kasus GNHRI. Pasaman dengan kasus Bantuan Depsos, Tanah Datar dengan kasus bagi-bagi Bunga Deposito, Lima Puluh Kota dengan Kasus Pinjam dari Pihak ke-tiga dan kasus-kasus lainnya. Pemunculan kasus-kasus tersebut dilanjutkan dengan langkah progesif pihak Kejaksaan dengan menahan para pelaku, tercatat mulai dari Kepala Dinas hingga Mantan Bupati meringkuk dalam tahanan. Kasus demi kasus tampaknya akan terus bergulir seakan tiada kendali, tanpa pandang bulu Bupati, Sekretaris Daerah, Eselon II, bendahara rutin bahkan staf-pun tak akan luput dari jerat korupsi.
Korupsi berasal dari kata Latin Corruption (kata kerjanya corrumpere) berarti pengrusakan, penghancuran, penyuapan. Tidak ada kata lain didunia ini yang hanya bermakna negatif sebagaimana kata korupsi. Korupsi seperti virus penyakit epidemi yang menular bahkan merasuk ke seluruh aspek kehidupan, bukan hanya di eksekutif, legislatif, yudikatif, sektor swasta bahkan institusi militerpun dijangkiti oleh penyakit korupsi.
Dilihat dari jumlah nominal dari kasus korupsi yang terungkap Sumatera Barat belakangan adalah “sangat kecil” jika dibandingan dengan jumlah nominal hasil korupsi yang luput atau belum disentuh penyidik, yaitu korupsi secara struktural, sistematis dan terencana. Berlabel Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota hampir disetiap daerah telah terjadi pengerogotan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui belanja pegawai. Pengadaan barang dan jasa, tunjangan daerah, kegiatan kepanitiaan dan lain-lain itu terjadi sesaat data menunjukan tingginya jumlah rakyat dan keluarga miskin di Ranah Minang ini.
Indikasi korupsi secara sitematis dan berencana ini dapat dilihat dengan disyahkannya seluruh ABPD Kabupaten/Kota di Sumatera Barat yang rata-rata sebesar Rp. 500 Milyar, tidak satupun ABPD Kabupaten/Kota yang belanja publiknya lebih besar dari belanja pegawai. Rata-rata 70 persen dari keseluruhan dana APBD dipergunakan untuk Belanja Pegawai, sisanya untuk belanja Barang dan Jasa, Bantuan Keuangan, Bantuan Sosial dan Lain-lain. Kalau dicermati lebih dalam, anggaran yang langsung menyentuh masyarakat baik berupa pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial sangat kecil jumlahnya tidak mencapai 10 persen!
Yang paling berpesta pora dalam korupsi berencana adalah para pembuat keputusan, Bupati/Wakil Bupati, Sekda, Pejabat Eselon II (Kepala Dinas). Dari hitung-hitungan kasar kita bisa mengetahui betapa lapok-lapaknya mereka. Kita ambil contoh seorang kepala Dinas atau pejabat eselon II yang mempunyai golongan kepangkatan IV/a, disamping gaji pokok, tunjangan keluarga dan tunjangan beras yang berkisar Rp. 2 juta, setiap bulan juga menerima tunjangan jabatan Rp. 1,5 juta, uang makan R. 10.000/hari (sebulan sekitar Rp. 200 ribu), sebuah mobil plat merah berikut seorang sopir plus BBM perhari sebesar Rp. 100 ribu berikutnya dangan perencanaan yang matang juga melakukan perjalanan dinas luar kota 10 hari X Rp. 300 ribu (sebulan Rp. 3 juta) tunjangan beban kerja (tunjnganan daerah) Rp.2 juta sebagai penanggung jawab kegiatan Rpi. 300 ribu, penanggung jawab anggaran Rp.300 ribu, sehingga take home pay pejabat eselon II setiap bulan nya tidak kurang dari 7,5 juta rupiah tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi ketempat kerja dan tagian telepon. Apalagi kalau dihitung pemasukan seorang Bupati/Walikota, disamping menerima dana taktis, tunjangan kesehatan, tunjangan pakaian masih juga pada posisi pertama dan tertinggi menerima Tunjangan Daerah!. Hal tersebut adalah penghasilan-penghasilan yang ilegal dan syah karena telah ada payung hukumnya baik Peraturan Menteri Keuangan maupun Perda atau Keputusan Kepala Daerah.
Jika semua penghasilan tersebut ada Perda dan Keputusan Bupati/Walikotanya lantas dimana letak korupsi berencana-nya? Hal ini lah yang penting untuk kita ketahui dan telaah dengan cermat, Prof. Mr.Dr. L.J. Van Apeldoom dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum terbitan PT. Pradnya Paramita mengatakan “Juris praecepta sunt haec:honeste vivere, alterum non laedere, sun cuique trubuere” yang artinya peraturan dasar dari hukum adalah hidup dengan patut, tak merugikan orang lain dan memberikan pada orang lain apa yang menjadi haknya. Sejalan dengan pemikiran ilmuwan Belanda tersebut, adanya pemerintahan adalah untuk menyelenggarakan pembangunan disetiap sendi kehidupan untuk mencapai tujuan masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Lapi pula, hakikatnya Otonomi daerah mengemban misi tanggung jawab pembangunan untuk mensejaterahkan masyarakat di daerahnya masing-masing. Sejak otonomi daerah mulai dilaksanakan pada Januari tahun 2001 juga dilaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal yang membawa perubahan peta pengelolaan fiskal sehingga uang yang berputar tidak lagi terpusat di Jakarta dan pada gilirannya ada perbaikan perekonomian rakyat. Untuk itu Pemerintah dalam hal ini Bupati/Walikota beserta jajarannya bersama-sama DPRD diberi wewenang menyusun dan mengesahkan APBD. Kenyataan yang kita lihat saat ini adalah Bupati/Walikota bersama-sama DPRD dengan secara sadar dan terencana merancang dan mengesahkan serta menghabiskan APBB, yang jelas-jelas tidak berdampak banyak untuk kesejaterahan masyarakat, tidak berdampak banyak untuk mengatasi kebodohan dan kemiskinan.
Mungkin di Sumatera Barat yang kita cintai sangat jarang ada orang mati karena tidak makan, tetapi banyak orang mati bunuh diri karenan masalah ekonomi, karena beratnya resiko bertahan untuk hidup atau mencari upah untuk makan sangat gampang untuk dilihat, rumah-rumah penduduk yang masih berlantai tanah, berdinding bambu dan beratap rumbia, rumah penduduk di daerah rawan bencana sangat banyak pada Kabupaten / Kota. Tidakkah disadari bahwa hal tesebut langsung maupun tidak langsung telah dengan sengaja dan terencana mencabut kesempatan hidup orang lain, atau dengan kalimat halus dengan sengaja membiarkan orang lain dalam resiko kematian. Di sini kita melihat bahwa mentalitas yang lemah pejabat kita karena tidak memiliki sensilibilitas terhadap kondisi di sekitarnya misalnya masih banyaknya keluarga miskin di daerahnya atau nasib pegawai/staf rendahan yang berada di bawahnya.
Berpedoman pada pasal 340 KUHP, karena APBD tersebut nyata-nyata dirancang, dibuat dan disusun tetapi tidak berpihak kepada kondisi masyarakat saat ini dililit kemiskinan, lantas disyahkan dan dipakai juga maka unsur menghilangkan nyawa (kesempatan hidup), dengan rencana dan sengaja terpenuhi. Dan para pejabat yang bertanggung jawab dalam proses pembuatan hingga pengesahan APBD terseut pantas diberi hukuman mati.
Awalnya kita optimis dengan berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi Korupsi, membuat undang-undang Tidank Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di samping Perangkat-perangkat yang telah ada seperti KUHP, Kejaksaan, Polisi, Peradilan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan disetiap daerah juga telah ada Badan Pengawas Daerah atau Inspektorat, Tetapi, mengapa belum juga bisa mewujudkan pemberantasan korupsi secara nyata dengan langkah-langkah secara tegas dan tidak pandang bulu. Apakah perangkatnya kurang ? tidak. Apakah tidak ada tauladan? juga tidak, karena kita pernah punya Muhammad Hatta yang hidup sederhana walau dia seorang Proklamator dan Wakil Presiden.
Atau mungkinkah kita memerlukan sosok Zhu Rongji yang terkenal karena ketika menjadi Perdana Menteri Cina berhasil menjadikan Cina sebagai Negara paling aman untuk berinvestasi dengan memesan 100 peti mati (salah satu untuk dirinya sendiri) untuk pejabat pemerintah Cina yang terbukti melakukan korupsi?.
Entahlah, yang jelas pelaku korupsi harus dihukum berat, apalagi para pelaku yang melakukan korupsi secara sistematis dan terencana sangat pantas untuk dihukum mati.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, edisi Kamis tanggal 10 Mei 2007, Hal 5

No comments:

Post a Comment