Sunday, December 20, 2015

Stop Tunjada!

Sebagaimana pernah diungkapkan pada tulisan sebelumnya, pemberian Tunjangan Daerah (Tunjada) ternyata menimbulkan polemik di berbagai daerah, protes dan rasa tidak puas bermunculan akibat pembagian yang tidak adil. Di Kabupaten Agam misalnya, sejak awal telah terjadi “ribut-ribut” akibat komposisi Tunjada yang sangat timpang, dan terakhir diberitakan koran ini dengan judul “Guru-guru di Agam tak puas Kenaikan Tunjada Sangat kecil” (Senin, 17/09/07).
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Pasal 167 ayat (1) dinyatakan belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22. Selanjutnya, oleh ayat (2) ditegaskan “perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial”.
Berdasarkan UU Pemda tersebut maupun peraturan lainnya, jelas tidak ada “petunjuk” yang bisa dijadikan “alasan pembenaran” mengalokasikan dana APBD untuk kesejaheraan para aparatur Pemda. Apalagi jika dihitung secara presentase jumlah PNS Daerah beserta Pegawai Tidak Tetap tidak sampai mencapai angka 10% dari seluruh masyarakat di daerah tersebut. Dan sampai saat ini manajemen kepegawaian masih dikelola oleh pusat mulai dari penetapan NIP hingga Pensiun, termasuk besaran gaji dan tunjangan pejabatannya disediakan dengan menggunakan Dana Alokasi Dasar yang ditetapkan secara nasional merupakan bagian dalam Dana Alokasi Umum (DAU) yang dinyatakan secara tegas.
Ketika rakyat yang menderita akibat bencana alam atau yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak tertanggulangi dengan alasan APBD masih dikavling untuk Tunjada. Apalagi ada indikasi “tidak beres” dalam menetapkan pembagian jumlah Tunjada, yang berpangkat tinggi dan kerjanya duduk-duduk saja dapat besar, yang mengetik surat, menyapu kantor bahkan sang Guru yang berprofesi sebagai pendidik Cuma dapat secuil.
Apakah Tunjada termasuk korupsi atau tidak tentunya perlu diuji secara hukum formil, tetapi mengatasi permasalahan ini tentunya akan lebih baik jika dikembalikan kepada sensitifitas nurani Para Pemimpin Daerah, dan itu pasti bisa, karena pemimpin itu seharusnya kuat, amanah dan berorientasi pada kepentingan masyarakat dan bertanggung jawab penuh terhadap segala persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pemimpin ulir amri yang sadar bahwa amanah jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya harus dipergunakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya, sehingga ia akan berusaha untuk berlaku adil dan berusaha untuk melindungi kepentingan masyarakat, terutama kaum yang lemah.
Karenanya, di bulan suci ini kita mengetuk hati para Kepala Daerah atau anggota DPRD yang mempunyai otoritas dalam hal ini, hentikan Tunjada, alihkan untuk penanggulangan kemiskinan atau bantuan untuk masyarakat yang kena bencana!.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Rabu tanggal 19 September 2007, Hal 1

No comments:

Post a Comment