Sebagaimana pernah diungkapkan pada tulisan sebelumnya,
pemberian Tunjangan Daerah (Tunjada) ternyata menimbulkan polemik di berbagai
daerah, protes dan rasa tidak puas bermunculan akibat pembagian yang tidak
adil. Di Kabupaten Agam misalnya, sejak awal telah terjadi “ribut-ribut” akibat
komposisi Tunjada yang sangat timpang, dan terakhir diberitakan koran ini
dengan judul “Guru-guru di Agam tak puas Kenaikan Tunjada Sangat kecil” (Senin,
17/09/07).
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda), Pasal 167 ayat (1) dinyatakan belanja daerah diprioritaskan untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi
kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22. Selanjutnya, oleh ayat
(2) ditegaskan “perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan
pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan,
fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem
jaminan sosial”.
Berdasarkan UU Pemda tersebut maupun peraturan lainnya, jelas
tidak ada “petunjuk” yang bisa dijadikan “alasan pembenaran” mengalokasikan
dana APBD untuk kesejaheraan para aparatur Pemda. Apalagi jika dihitung secara
presentase jumlah PNS Daerah beserta Pegawai Tidak Tetap tidak sampai mencapai
angka 10% dari seluruh masyarakat di daerah tersebut. Dan sampai saat ini
manajemen kepegawaian masih dikelola oleh pusat mulai dari penetapan NIP hingga
Pensiun, termasuk besaran gaji dan tunjangan pejabatannya disediakan dengan
menggunakan Dana Alokasi Dasar yang ditetapkan secara nasional merupakan bagian
dalam Dana Alokasi Umum (DAU) yang dinyatakan secara tegas.
Ketika rakyat yang menderita akibat bencana alam atau yang
hidup di bawah garis kemiskinan tidak tertanggulangi dengan alasan APBD masih
dikavling untuk Tunjada. Apalagi ada indikasi “tidak beres” dalam menetapkan
pembagian jumlah Tunjada, yang berpangkat tinggi dan kerjanya duduk-duduk saja
dapat besar, yang mengetik surat, menyapu kantor bahkan sang Guru yang
berprofesi sebagai pendidik Cuma dapat secuil.
Apakah Tunjada termasuk korupsi atau tidak tentunya perlu
diuji secara hukum formil, tetapi mengatasi permasalahan ini tentunya akan
lebih baik jika dikembalikan kepada sensitifitas nurani Para Pemimpin Daerah,
dan itu pasti bisa, karena pemimpin itu seharusnya kuat, amanah dan
berorientasi pada kepentingan masyarakat dan bertanggung jawab penuh terhadap
segala persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pemimpin ulir amri
yang sadar bahwa amanah jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya harus
dipergunakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya, sehingga ia akan
berusaha untuk berlaku adil dan berusaha untuk melindungi kepentingan
masyarakat, terutama kaum yang lemah.
Karenanya, di bulan suci ini kita mengetuk hati para Kepala
Daerah atau anggota DPRD yang mempunyai otoritas dalam hal ini, hentikan
Tunjada, alihkan untuk penanggulangan kemiskinan atau bantuan untuk masyarakat
yang kena bencana!.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan, Rabu tanggal 19
September 2007, Hal 1
No comments:
Post a Comment